Share

Sosok misterius

“Sal, Faisal! Bangun, Sal!” Jamilah menepuk-nepuk pipi anaknya yang tengah tidur sambil berteriak-teriak. 

Faisal terperanjat. Peluh membasahi seluruh tubuh, napasnya tersengal. 

“Istighfar, Sal. Kamu mimpi buruk?” tanya Jamilah.

“Iya, Bu,” jawab sang anak sambil mengatur napas. “Astaghfirullahaladzim.”

“Makanya, sebelum tidur itu berdoa dulu.” Jamilah mengingatkan. 

“Bu ...,” ucap Faisal menghentikan langkah ibunya. 

“Nini Darsih ... ternyata dibunuh, Bu.”

“Maksud kamu apa, Nak?” Jamilah kembali duduk di tempat tidur. 

“Isal melihat Nini Darsih dicekik genderuwo.”

“Kamu ini ngomong apa, sih. Itu kan, cuma mimpi, Sal. Udah, sekarang kamu wudu, terus ke musala sama Ayah.” Jamilah mengusap kepala anak semata wayangnya sebelum berlalu.

Faisal bergeming. Ada benarnya juga perkataan sang ibu, mungkin itu hanya sebuah mimpi buruk. Akan tetapi, kenapa terasa begitu nyata? 

Tak mau ambil pusing, Faisal pun beranjak untuk melaksanakan salat Subuh berjamaah.

Hamid dan Jamilah mendidik anak mereka agar taat beribadah. Semua hal boleh ditunda, kecuali salat. Itu prinsip Hamid sebagai kepala keluarga yang selalu ditanamkan kepada anak dan istrinya. Karena salat adalah amalan yang pertama kali akan dihisab di akhirat kelak.

“Kopinya, Kang,” ucap Jamilah sambil menaruh secangkir kopi di atas meja.

“Iya,” sahut Hamid.

“Kang ... sebenarnya Faisal kenapa, ya?”

“Kenapa bagaimana?” tanya Hamid sebelum menyesap kopi hitamnya. 

“Milah merasa, sejak kejadian dia diculik makhluk gaib, prilakunya jadi aneh gitu, Kang.”

“Aneh gimana, sih, Neng?” Suaminya semakin tidak paham akan maksud sang istri.

“Ah, sudah lah, mungkin ini perasaan Milah saja.”

“Eh, ari kamu. Pantes aja si Faisal jadi aneh, orang ibunya aja aneh,” ucap Hamid terkekeh. 

“Huh, dasar Akang. Nanti malam tidur di ruang tamu, mau?”

“Aih, jangan atuh, Neng. Masa musim hujan gini disuruh tidur di ruang tamu, bisa-bisa kedinginan si otong.” Mendengar perkataan suaminya seketika Jamilah tergelak. 

“Alaah ... meuni geulis pisan (cantik banget) kamu kalau udah senyum.” Gombalan Hamid pun berhasil membuat sang istri semakin tersipu. 

Sementara itu, Faisal dan Asep yang tengah menuju sekolah berbincang sambil berjalan. Faisal menceritakan perihal mimpi yang dialami tadi malam kepada sahabat karibnya itu, juga pengalamannya selama berada di alam gaib dua hari lalu. Asep hanya mengangguk-angguk. 

“Kalau begitu, semua ini pasti ada hubungannya, Sal. Bukan kebetulan kan, makhluknya bisa sama? Antara yang di alam gaib dan yang ada dalam mimpi kamu,” ucap Asep saat Faisal selesai bercerita.

“Jadi, kamu percaya sama aku, Sep?” tanya Faisal heran. 

“Iyalah, aku percaya.”

Faisal tersenyum dan merangkul pundak sang sahabat. Di saat orang tuanya tidak mempercayai dirinya, masih ada Asep yang bisa dijadikan tempat berbagi. “Makasih, Sep.”

Sambil berjalan, Faisal menunjukkan batu giok pemberian Prabu Sri Baduga Maharaja kepada Asep. 

“Wuaahhh ... dari mana kamu dapat batu mustika ini, Sal?” tanya Asep seraya memutar-mutar batu tersebut, sesekali ia mengangkat dan menerawangnya. 

“Batu mustika? Apa itu, mustika?” tanya Faisal polos membuat kawannya menoleh.

“Mustika adalah suatu benda yang terbentuk oleh alam. Biasanya dibentuk oleh unsur tumbuhan, binatang, tanah, air, api, udara, atau mineral lainnya.” Penjelasan Asep membuat Faisal terbelalak. 

“Pinter juga kamu ya, Sep,” puji Faisal.

Asep mengangkat alis sambil senyum. “Aing tea ... Asep gitu, loh.” 

Kedua bocah itu pun akhirnya tergelak. Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang tengah mengamati gerak gerik mereka sedari tadi. 

Sesampainya di sekolah, Faisal dan Asep segera menuju kelas yang berbeda karena mereka memang tidak satu kelas. Sebelum berpisah, Asep membisikkan sesuatu. 

“Sal, nanti setelah pulang sekolah, kita harus memeriksa rumah Nini Darsih,” ucap Asep. 

“Kamu gak takut, Sep?”

“Takut, sih, tapi kita harus mengungkap misteri ini, Sal.”

“Oke.”

Karakter Asep dan Faisal memang sebelas dua belas, sama-sama penakut tetapi penuh rasa penasaran. 

Faisal masuk kelas dan langsung mendaratkan bokongnya di tempat duduk. Dari jauh, ia melihat seorang gadis berjalan ke arahnya dengan tatapan dingin. Lina? Kenapa dia? Batin Faisal. Kemudian gadis manis berjilbab itu duduk di sebelah Faisal tanpa permisi. 

“Faisal, bisa ngobrol sebentar?” 

“B-boleh,” jawab Faisal gugup. Pasalnya, Lina adalah anak indigo. 

Selama hampir tiga bulan duduk di kelas tujuh, Lina tidak pernah berteman dengan siapa pun, ia selalu menyendiri. Hal itulah yang membuat Faisal merasa aneh saat disapa oleh gadis berhidung bangir itu. 

“Kamu tahu, ada yang mengikuti?” tanya Lina tanpa basa-basi. Sontak Faisal menggeleng cepat. 

“Itu, di pojok sana. Ada nenek-nenek yang aku perhatikan mengikuti kamu sejak tadi,” jelas Lina sambil menunjuk ke arah pojok ruang kelas. 

“Apa?” pekik Faisal. Ia menoleh ke arah yang ditunjuk, tetapi tidak melihat sosok yang disebut oleh teman sekelasnya itu. Seketika bulu kuduknya meremang. 

Siapa nenek-nenek itu?

*** 

Malam harinya, seperti biasa Faisal mengaji di langgar bersama Asep dan kawan-kawan lain. Mereka belajar membaca Al Quran dan disimak oleh Abah Salim secara bergantian. Setelah itu anak-anak yang usianya besar—termasuk Faisal—menyimak bacaan adik-adik yang masih di tingkat iqro’. 

Asep agak kecewa dengan Faisal yang tiba-tiba membatalkan rencananya sore tadi untuk memeriksa rumah Nini Darsih. Namun, setelah mendengar penjelasan Faisal tentang apa yang dilihat Lina sewaktu di sekolah, membuat nyali Asep ikut menciut juga. 

“Assalamualaikum,” seru Faisal setibanya di rumah setelah selesai mengaji.

Hening, tidak ada sahutan. Karena pintu tak terkunci maka Faisal pun masuk ke dalam rumahnya. Mungkin kedua orang tuanya tidak mendengar, pikirnya. Ia melangkah ke dapur untuk mengambil air minum. 

Ternyata benar, sang Ibu berada di dapur, tengah berdiri di samping meja tempat kompor. 

“Bu, Ayah ke mana?” 

Jamilah hanya bergeming, tidak menjawab pertanyaan sang anak. Awalnya Faisal merasa heran dengan sikap ibunya, tetapi karena tidak mau ambil pusing ia pun segera melangkah ke ruang tamu dan menyalakan televisi. 

Sekitar sepuluh menit menonton televisi sendirian, tiba-tiba ia mendengar seseorang yang mengucap salam dari luar rumah.

“Ibu?” pekik Faisal kaget melihat ibunya tengah tersenyum di ambang pintu. 

“Heh! Ini anak, ibunya ngucap salam bukannya dijawab malah dipelototin gitu,” ujar sang ibu seraya menyodorkan tangan kanan. Faisal segera meraih tangan itu dan menciumnya dengan takzim. 

“I-Ibu, dari mana?” tanya Faisal dengan wajah bingung. 

“Oh, Ibu dari warung, beli obat nyamuk.”

“Ta-tapi, bukannya Ibu tadi di dapur?” 

Jamilah mengerutkan dahi, “Di dapur gimana? Ini Ibu baru pulang.”

Faisal segera berlari ke dapur. Tidak ada orang, pintu dapur juga terkunci dari dalam.

“Aneh, aku yakin tadi itu Ibu,” gumam Faisal. Masih dalam keadaan bingung, ia pun kembali ke ruang tamu.

“Kamu kenapa sih, kayak orang bingung gitu?” tanya Jamilah. 

“Emm ... gak apa-apa, Bu. Oh iya, Ayah mana?” tanya Faisal mengalihkan pembicaraan. 

Percuma juga menceritakan kejadian janggal itu, ibunya sudah pasti takkan percaya dan menganggapnya salah lihat. 

“Ayah sedang ke rumah pak RT, katanya mau dijadikan saksi untuk proses jual beli rumah almarhum Nini Darsih,” jelas Jamilah. “Udah sana, kamu ganti baju dulu.”

“Iya, Bu.”

Namun, saat Faisal memasuki kamar, ia terkejut mendapati kamarnya yang sudah luluh lantak. Semua barang yang ada di dalam lemari kini berpindah ke lantai dengan kondisi berserakan. 

“Bu ... Ibu!” teriak Faisal dari dalam kamar. 

“Ada apa, Sal? Kenapa teri ... Astaghfirullah, kenapa bisa begini?” pekik Jamilah saat mendapati kamar anaknya sudah seperti kapal pecah. Ia dan Faisal saling pandang.

“Jangan-jangan, ada pencuri?” ucap Jamilah. Ia angsung berbalik dan melangkah cepat menuju kamarnya. 

Faisal mengekor di belakang sang Ibu, diamatinya Jamilah yang tengah mengecek seluruh benda di dalam lemari kayu berwarna coklat yang masih rapi dan terkunci. Kemudian Jamilah mengeluarkan semua barang berharga miliknya, perhiasan, juga dompet yang tersembunyi di antara tumpukan pakaian. 

“Assalamualaikum ... lho, ada apa bu?” tanya Hamid yang baru pulang, bahkan tak ada yang sempat menjawab salamnya.

“Aneh, gak ada barang yang hilang.” Bukannya menjawab pertanyaan sang suami, Jamilah justru menggumam sendiri. 

“Ini teh ada apa sebenarnya?” tanya Hamid lagi.

“Sepertinya ada pencuri, Yah,” jawab Faisal. 

“Tapi, barang-barang berharga Ibu gak ada yang hilang,” sahut Jamilah. 

“Terus, pencuri apa?” Hamid dibuat gemas oleh perilaku anak dan istrinya itu. 

“Ayo lihat kamar Isal, Yah,” ajak Faisal. Sontak sang ayah pun membelalak tak percaya dengan apa yang dilihatnya. 

Akhirnya Faisal dibantu ibunya merapikan kembali pakaian-pakaian yang berserakan. Tidak ada barang berharga apa pun di dalam lemari berukuran sedang itu. Sedangkan di laci meja belajar, hanya terdapat alat tulis. 

Satu-satunya yang dianggap harta bagi Faisal adalah sebuah celengan plastik dengan bobot cukup berat, tetapi benda itu justru tak berpindah sedikit pun dari tempatnya di sudut meja. 

“Ibu masih heran, mau apa ya orang ngacak-ngacak kamar begini?” gumam Jamilah sambil terus menata pakaian anaknya di dalam lemari. 

"Apa pun alasannya, mulai sekarang kita harus waspada. Lancang sekali berani masuk ke rumahku.”

Faisal hanya diam mendengarkan ibunya yang menggerutu. Pikirannya bercabang-cabang mencari sebuah jawaban. Mulai dari sosok yang menyerupai ibunya di dapur, hingga kamarnya yang diobrak-abrik seseorang. 

Jika bukan ingin mencuri harta benda, lalu apa yang dicari? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status