LOGINHera berdiri di depan sebuah ruko tiga lantai yang cat luarnya sudah pudar. Jalan kecil di depannya cukup ramai, dilewati mahasiswa, pekerja, dan pedagang kaki lima. Dari luar, bangunan itu tampak biasa saja. Plang toko lama masih menggantung, bertuliskan “Fotokopi & ATK”.
Hera mengusap peluh di dahinya, tangan sebelah kiri masih menggenggam handphone yang diletakkan di telinganya. “Tidak terlalu mencolok, mudah diakses, dan parkiran cukup luas” Hera setengah berbisik. Mata Hera mengawasi tukang cat yang mengecat dinding putih, menukar kaca buram dengan jendela baru, dan pemasangan papan nama besar “LUMINA MAGAZINE” Nama itu dipilihnya dengan hati-hati. Terlihat modern, netral, dan memberi kesan intelektual. Tidak akan ada yang menduga di balik nama itu tersimpan arus uang gelap. “Sudah, meja, komputer dan perangkat lainnya sudah dipesan……iya, baiklah” Hera menatap layar ponselnya, panggilan Ruben sudah diakhiri. Semua renovasi ini, seandainya ini adalah kantor Majalah sungguhan. tanpa tujuan lain. Tentu saja bisa menjadi hal yang membanggakan bagi Hera. “Hahhhh” Hera menghela nafas panjang. Ruben menyarankan untuk cepat -cepat merekrut pegawai baru. Hera setuju mengingat waktunya sudah banyak terbuang untuk melakukan pekerjaan yang tidak disukainya. Lagi pula jika terlalu lama mungkin Rini dan Davi akan curiga dengan kelakuan Hera yang sibuk sendiri. Saat para pekerja pulang, Hera duduk sendirian di lantai dua yang kosong. Ia menatap ruangan itu lama sekali, berusaha membayangkan seperti apa kantor majalah ini nantinya. Ia terbayang percakapannya di telepon dengan Ruben hari ini. “Bagaimana kalau kantor ini dicurigai? Kau kan pernah dengar istilah tidak ada kejahatan yang sempurna?” “Tugasmu membuat semuanya meyakinkan. Tugas kami membuat siapa pun yang curiga… bungkam.” Hera merasa perutnya mual. Ia masih tidak percaya sudah melakukan hal sebanyak ini, sungguh kekuatan duit itu nyata adanya, Hera hanya perlu mengawasi para pekerja, membayar mereka, dan pada akhirnya, bangunan 3 lantai yang penuh lumut telah disulap menjadi kantor yang bersih dan berkilau. Mata Hera menyapu ruangan sekelilingnya, meja dan komputer yang ia pesan telah datang lengkap dengan kursi kantor, semuanya tampak sempurna, Hera memutar-mutan bola matanya yang terasa panas. Ia sangat lelah. Suara Ruben ditelepon kembali terngiang di telinganya. “Aku membebaskanmu memilih karyawan, tapi asisten mu, biar aku yang pilihkan, Pilih karyawan yang polos tapi punya kompetensi. Kita butuh wajah normal” “Kapan aku bertemu dengan asisten itu?” “Malam ini, tunggu saja disana” Hera mengetuk ngetuk meja dengan jari jarinya, kakinya ikut bergoyang tanpa henti, gelisah, ia masih menunggu asisten yang di maksud Ruben. Hera melirik arloji di tangannya. 10.19 “Tap tap tap tap tap” Suara langkah kaki menaiki tangga Seorang wanita cantik berkulit putih dengan rambut pendek menaiki anak tangga dengan penuh percaya diri, Hera terpesona dengan kecantikan wanita itu. “Hallo Hera, aku Jeni. Ruben menugaskanku untuk menjadi Asistenmu di kantor ini” Jeni menyodorkan tangannya ke arah Hera. Hera menyambutnya sambil berucap’. “ Hai, aku Hera” Hera menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia merasa canggung sedikit. “Apa kau sudah menyebarkan iklan lowongan pekerjaan?” Tanya Jeni, kepalanya berkeliling memutar pandangannya “Sudah, aku membayar orang lain mengerjakannya” sahut Hera. “Baiklah, kita hanya perlu menunggu pelamar yang akan datang kan? Aku akan mengurus sisanya?” Jeni akhirnya menatap mata Hera. Hera mengangguk cepat. Ini sesuai dengan target waktunya, masih banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan. ### 11.30 Hujan tiba-tiba turun dengan sangat deras, aku memandangi wanita yang sangat ku cintai 4 tahun lalu, wanita yang menjadi alasanku kuat menjalani hidup yang penuh derita. Disana lah ia berdiri, di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, tanpa payung, berjalan setengah berlari, ia menyeka air dari wajahnya, itu adalah wajah yang kurindukan selama dua tahun penuh, dia adalah alasanku menjadi seperti ini. Sampai akhirnya aku melihatnya melacur! Aku membencinya, tapi aku lebih membenci diriku sendiri, karena aku tidak mampu mengeluarkannya dari kesengsaraan hidup yang ia miliki. Kami berdua adalah korban dari kesengsaraan hidup. Dia masih sama. Rambutnya masih panjang seperti dulu, sorot mata tajam, bisa sangat menenangkan sekaligus menakutkan, dan senyum tipis itu, yang tak pernah benar-benar bisa kuterjemahkan, apakah itu karena sayang, atau mengejek? “Semoga kau baik baik saja, Hera,” Bisiknya, suaranya hilang dalam derasnya hujan. Dunia berputar sangat cepat, Aku masih ingat di malam yang juga hujan itu, ingat tangisanmu, mengoyak dadaku perih, sejak saat itu aku berjanji pada diriku untuk datang kepadamu dalam keadaan yang lebih baik, namun langkahku terlalu jauh, aku tersesat dan kini, aku hanya mencintai diriku sendiri. Aku kehilangan rasa percaya diriku yang dulu berharap bisa membahagiakan mu, sekarang melihatmu baik baik saja sudah cukup membuatku bahagia, biarkan aku menjagamu dalam bayangan. Ingatlah kepergianku, tapi tidak dengan rasa luka dan sakit itu, jadikan aku sebagai kenangan indah dalam ingatanmu. Aku selalu disini, melangkah dekat tepat dibelakangmu, menjaga jarak kita hanya beberapa meter. Aku bisa mencium samar aroma mawar yang dulu sering menempel di bajuku, meski kini aroma mawar itu telah bercampur dengan sesuatu yang lebih asing. Ah, Hera ku yang cantik, dulu kau masih sangat rapuh, dan hanya aku yang tahu. Bagaimana wajahmu menahan sakit ketika aku memasuki mu, kau ingin menyerah saat itu. Tapi cintamu padaku menghalangi mu. Saat itu kita tengah dimabuk asmara. Dan kini, aku bisa melihat jelas, kau tidak lagi rapuh, kau sudah tangguh. Itu bagus, melihatmu seperti itu membuatku tidak merasa bersalah untuk tidak menepati janjiku. Kembali kepadamu. Aku tidak punya pilihan, tapi aku pastikan satu hal, aku di sini untuk mu selalu, untuk memastikan bahwa kau selalu punya pilihan. Hera, aku meninggalkanmu bukan karena aku tak peduli. Aku pergi karena aku tahu jika aku tetap di sisimu, cinta kita hanya akan menjadi beban. Setengah kebenaran, setengah kebohongan. Begitulah cara aku bermain. Duniaku terlalu kotor untuk menyeretmu masuk. Tetaplah disana, hiduplah dengan bahagia. Kau lebih kuat dari yang kukira. Kau pikir aku tidak bangga? ### Hera sangat benci dengan hujan, bukan karena ia basah, tapi karena hujan mengingatkannya pada Damar, cintanya. Waktu itu bagaikan langit runtuh dibawah kaki Hera, ia merasa tubuhnya melayang ketika Damar izin berpamitan untuk merantau ke luar kota, Hera berusaha menahan kekasihnya namun Damar sangat bulat dengan tekatnya, sejak saat itu ia tidak pernah lagi bertemu dengan Damar. Setiap hari yang di lalui Hera adalah siksaan kerinduan yang tidak pernah usai, tidak ada pria yang ia cintai melebihi Damar. Damar adalah hidupnya. Bahkan ia rela memberikan keperawanannya pada pria itu. Airmata keluar tanpa ampun, bersatu dengan air hujan yang membasahi wajahnya. Hera menggigil pelan, ia masih merindukan Damar, merindukan ciuman panas bahkan ia merindukan bau khas tubuh kekasihnya itu. Hera terisak, hujan menyamarkan tangisannya, ia ingin berhenti kuat, ia ingin bersandar kembali pada Damar. “Aku ingin tahu, apakah kau masih hidup?” Bisik Hera ditengahi hujan yang semakin deras.Hera menatap cermin besar di ruangan persiapan. Wajahnya nyaris tak dikenali, riasan tebal, gaun tipis berkilau, mata yang biasanya berbinar lembut kini menyimpan bara keputusasaan. Seorang wanita berambut pirang dan memakai perhiasan berkilauan mendekat padanya lalu perempuan itu tersenyum palsu.“Relax Beb. After tonight, you won't remember anything. They'll give you something to forget everything.""Maaf aku gak ngerti" sahut Hera, dirinya merasa malas untuk merespons kata-kata itu, karena mendadak ia teringat pada Alexa, yang tertinggal di dalam gedung pesta pertaman kali mereka dipersembahkan pada tamu-tamu sultan dengan naluri binatang."Kau beruntung sudah dibawa ke tempat ini girl. Kau mungkin akan tewas mengenaskan jika masih di istana itu, you know what I mean,mereka memberitahuku kau berasal dari sana." "Siapa?""Hahaha... disini segala gosip beredar dengan cepat beb, come on, be prepared" sahut wanita itu samil berlalu, meninggalkan aroma parfum mahal yang menyeruak.Hera
Udara di ruangan itu beraroma mawar dan kemenyan. Hera terlihat berkilau dan indah di bawah cahaya lampu kristal yang memantul dari gelas-gelas kaca dan juga dinding-dinding berlapis emas. Kain sutra berwarna gading menutupi sebagian tubuhnya. Semua para gadis telah di dandani sepanjang hari, setelah mereka sampai ke gedung pencakar langit, seorang perempuan yang Hera perkirakan berusia 40-an dan berkulit zaitun, mengenakan abaya hitam dengan belahan dada rendah, menuntun mereka untuk membersihkan diri, dan pakaian yang tidak bisa disebut pakaian.Hera sendiri mendapatkan pakaian terbuka yang sungguh tidak nyaman, meskipun latar belakangnya adalah seorang kupu-kupu malam, tapi baju seperti ini sama sekali bukanlah baju, melainkan kain penutup dada sampai bokong. Dari kejauhan, suara dentingan gelas berpadu dengan gendang dan alat musik yang mengundang kesenangan.Hera merasakan dinging di telapak tangannya, dan denyut nadi yang berkejaran cepat di pelipisnya. Udara di ruangan itu ber
Kegelapan yang mutlak, dingin, dan berbau besi.Ketika Hera sadar, hal pertama yang ia rasakan adalah sakit yang berdenyut di belakang kepalanya, bekas pukulan yang dilayangkan para penculiknya kemarin. Ia mencoba menyentuh area yang terasa basah dan lengket itu tapi kedua tangannya diikat erat ke belakang dengan kabel zip tie tebal, menusuk pergelangan tangannya.Ia berada di dalam kontainer baja. Udara di dalamnya pengap, bercampur bau keringat, ketakutan, dan aroma laut yang lembap. Telinganya berdengung, tetapi perlahan, ia mulai mendengar suara lain. Isak tangis. Suara-suara lirih wanita lain yang terikat, dikumpulkan dalam kegelapan yang pekat."Kau sudah sadar?" bisik suara serak yang berasal dari dekatnya. "Mereka membius mu setelah memukul kepalamu kemarin malam." Alexa berusaha menjelaskan. Hera menatap Alexa sebentar.Keadaan temannya itu tidak jauh lebih baik dari dirinya, hanya saja tangan Alexa diikat ke depan bukan di belakang.Hera mendengus pelan, menahan rasa sakit.
Ruben mengepalkan tangan, darahnya menetes ke lantai baja dermaga. “Dimitri... kau baru saja menyentuh milikku,” Bisiknya.Semua perasaan tidak enak dan terasa salah ini bukanlah sebuah ketakutan, melainkan dendam yang belum selesai ia laksanakan. Setiap kali Dimitri muncul, sesuatu yang buruk pasti akan menimpanya, Dimitri ini terasa seperti kutu yang sangat ingin ia musnahkan, tapi ketakutan lain muncul bersamaan setiap kali ia melihat pria itu, beberapa hal tidak bisa hilang dari ingatannya. Meskipun itu sudah 20 Tahun yang lalu.Saat Ruben kecil dipaksa ibunya untuk tinggal bersama ayahnya, ia tidak pernah tau alasannya, yang pasti dia menyadari satu hal yaitu kenyataan bahwa Ibunya adalah kekasih gelap ayahnya.Keluarga mereka menyebutnya "Bastardo" meskipun saat itu ia masih berusia 7 tahun.Udara di lapangan pelatihan menembak belakang kediaman utama Don Valentino terasa tajam dan dingin, tetapi tidak sedingin tatapan yang selalu ia terima dari sudut matanya. Di usia dua belas
Ruben memberikan Hera waktu untuk tetap mematung selama beberapa waktu, ia tidak berniat merusak apapun yang Hera rasakan saat ini, di tangan kanannya kotak komputasi masih menggantung aman, Ruben menghela nafas panjang, matanya memandang tangan kirinya yang masih belum dilepaskan Hera dari genggamannya. Ia ingin menggaruk kepalanya yang tidak gatal, entah sudah berapa lama mereka berdua berdiri mematung di sana.Akhirnya Ruben melihat air mata Hera jatuh tanpa suara, ia tetap menunggu dan memandangi gadis itu."Aku tidak salah" Hera bergumam"Hah?" Ruben mencoba memastikan pendengarannya"Bukan aku yang meninggalkan dia kan?" tanya Hera, ia menatap mata Ruben dengan kedua matanya yang berkaca-kacaRuben ingin sekali menghapus air mata gadis itu, tapi ia tidak berdaya"Dia yang mengkhianati aku terlebih dulu kan?" Hera bertanya pelan, lebih tepatnya ia ingin meyakinkan dirinya sendiri.Ruben yang mendengar itu menghela nafas dan berus
Momen Aktivasi PertamaHera dan Ruben sudah membuka kotak kemarin dengan mulus dan tanpa adanya gangguan berarti, Kedua tangan Ruben sudah memegang benda bersinar itu. Ia mengulurkan benda itu ke arah Hera. “Coba masukkan liontin itu di sini.” Ruben menunjukkan lubang kosong yang sesuai dengan ukuran liontin Hera. “Dan kalau ini jebakan? Kalau benda ini meledak tiba-tiba?” “Maka kita berdua sudah terlalu jauh untuk mundur.” Hera menyentuh permukaan benda itu lalu memasukkan liontin itu. Semuanya terasa pas dan sempurna. Detik berikutnya, cahaya biru memancar lebih kuat — menembus udara, menyalakan ukiran di dinding sekeliling mereka. Seluruh ruangan bergetar pelan, dan gema suara lembut terdengar, samar-samar seperti bisikan. “Cosa Nostra ” Hera mundur selangkah, menatap Ruben dengan mata melebar. kotak log







