“Kau ingin sepotong daging kelinci ini? Makanlah, dan bergabunglah dengan yang lain.” Lin Hu menyodorkan tusukan daging panggang ke arah Xu Ming, senyumnya lebar meski napasnya masih tersengal usai memanggang di dekat api.Xu Ming hanya melirik sekilas, lalu menggeleng pelan. “Tidak perlu.”“Ah, kau ini…” Lin Hu mendecak, kemudian duduk di tanah sambil menggigit dagingnya sendiri. “Kau terlalu serius. Lihat itu, semua orang tertawa. Mereka bukan orang jahat, hanya pengawal bayaran. Tidak perlu selalu menatap gelap.”Xu Ming tetap diam, pandangannya menatap gelapnya padang yang tak berujung, seolah mencari sesuatu di balik malam. Api unggun membias redup di matanya.Tak jauh dari mereka, di lingkaran api, para pengawal bayaran duduk saling berdekatan. Suara tawa pelan terdengar, berseling dengan obrolan santai dan bunyi kendi arak beras yang berpindah tangan.“Oi, Lin Hu! Kau takkan kenyang kalau cuma makan itu! Kemarilah!” seru salah satu pengawal sambil menepuk lututnya.Lin Hu melir
"Yang Mulia! Ini… ini tidak mungkin…"Suara itu melengking, menggema di seluruh aula megah Istana Langit Emas, ruang suci tempat para peramal bintang, penasihat agung, dan ahli sihir kekaisaran berkumpul. Lantai dari batu giok putih berkilau memantulkan cahaya obor yang bergoyang, namun ketenangan aula itu hancur ketika suara penasihat tertua, Mo Tian, mengguncang udara.Mo Tian, lelaki tua berjubah ungu berhiaskan simbol bintang dan naga langit, menjatuhkan gulungan sutra ke lantai. Kedua tangannya gemetar, dan napasnya terengah seolah baru melihat bayangan maut sendiri.Raja Xuan, duduk di singgasana naga dengan tatapan tajam bagaikan elang, menyipitkan mata.“Bicaralah, Mo Tian. Jangan mengulur waktu dengan keluhan tua.”Mo Tian berlutut. “Ampun, Yang Mulia. Ramalan telah turun dari langit… Tiga malam berturut-turut, konstelasi Qian Long dan Bintang Surga Ketujuh bertabrakan dalam garis merah darah. Langit mengirimkan pertanda…”Ia menarik napas dalam, mencoba menyusun kata. “Dalam
Hujan deras mengguyur dataran Luoyuan. Aroma tanah basah bercampur darah membekas di udara, menggantung seperti kabut pekat. Hembusan angin membawa suara denting logam dan teriakan prajurit yang bercampur nyaring dengan gelegar petir dari langit kelam. Di tengah-tengah medan yang porak-poranda oleh jejak kaki kuda dan tubuh bergelimpangan, seorang pria berdiri dengan tombak naga panjang berbalut energi dao, menghadap ratusan pasukan kekaisaran.Komandan Zhao mengangkat tangan, menghentikan pasukannya saat melihat sosok berjubah kelabu berdiri sendirian di ujung tebing kecil.“Pendekar,” katanya, suaranya menggema di udara lembap. “Sebutkan namamu. Aku tidak membunuh seseorang tanpa tahu siapa yang kuhabisi.”Sosok berjubah itu tidak bergerak. Rintik hujan jatuh di pundaknya, tapi ia berdiri tegak, seperti bayangan batu yang menyatu dengan alam. Beberapa saat sunyi, lalu pria itu mengangkat kepalanya perlahan. Wajahnya masih muda, tapi sorot matanya... seperti danau yang menyimpan ribua
13 Tahun telah berlalu sejak pembantaian bayi laki-laki di Kekaisaran Luoyan karena kabar mengenai Ramalan Bintang yang bertabrakan dengan Konstelasi Qian Long. Xu Ming tumbuh dan besar disebuah desa terpencil bernama Desa Kayu.Desa Kayu terletak di wilayah barat daya dari ibu kota Kekaisaran Langit Emas, tersembunyi di antara jajaran pegunungan terpencil yang berbatasan dengan hutan purba dan lembah berbatu. Untuk mencapai desa ini dari ibu kota, diperlukan waktu setidaknya satu bulan penuh perjalanan menggunakan kereta kuda melalui jalur-jalur sempit dan terjal yang jarang dilalui. Secara geografis, desa ini dikelilingi oleh medan yang sulit diakses terdapat hutan bambu lebat, lereng berkabut, dan jurang dalam yang menjadikannya lokasi strategis untuk menghindari pengawasan kekaisaran. Lokasinya yang terpencil inilah yang memungkinkan Xu Ming bertahan hidup setelah dihanyutkan ke sungai oleh ibunya saat pengepungan rumah keluarganya di kaki Gunung Qing Shan.Di pinggiran Lembah Huoy
Langit masih diliputi semburat ungu ketika Xu Ming berdiri di tanah basah, napasnya menggantung dalam udara pagi yang dingin. Kedua tangannya mengepal, lalu perlahan membentuk segel dasar pelatihan napas."Tiga... dua... satu..." bisiknya.Pukulan lurus dilontarkan ke batang kayu tua yang tergantung dengan tali rotan. BUK! Tubuh mungilnya terpental setengah langkah ke belakang. Telapak tangannya berdarah lagi.Dari kejauhan, Nenek Hua muncul dengan langkah tertatih, membawa kantung obat. Rambutnya yang abu tersapu angin pagi saat ia menghela napas."Setiap pagi seperti ini… selalu saja tanganmu berdarah," gumamnya sambil membuka gulungan kain kasa.Di sampingnya, Kakek Mozi bersandar pada tongkat bambu, matanya tetap tertuju pada Xu Ming."Anak itu keras kepala, ya?" komentar Hua sambil duduk di atas batu."Bukan hanya keras kepala," jawab Mozi, tersenyum kecil. "Tulangnya masih muda, tapi semangatnya… seperti baja tua yang telah ditempa ratusan kali.""Kau juga yang menanamkan itu pad
“Kau yakin anak-anak itu siap?”Suara Nenek Hua terdengar pelan, tapi tajam, saat ia menyusun gulungan daun pahit ke dalam mangkuk tembaga. Asap tipis mengepul, membawa aroma yang menusuk hingga ke paru-paru.Kakek Mozi, berdiri di bawah pohon plum tua, tak langsung menjawab. Ia hanya menatap bocah yang duduk bersila di ujung pelataran altar batu. Xu Ming, diam, mata terpejam, napas lambat tapi berat, seperti menahan sesuatu di dalam tubuhnya.“Tidak ada yang pernah benar-benar siap, Hua,” kata Mozi akhirnya. “Tapi jika bahkan tulang-tulang muda Desa Batu kita tak mampu menanggung kerikil pertama di kaki mereka ini, kita yang tua ini hanya bisa berdoa…”Nenek Hua mendengus pelan. “Kau bicara seperti dewa, Pak Tua. Aku hanya ingin semua anak-anak ini menerobos dengan lancar. Termasuk Xu Ming... Aku sudah menganggapnya seperti cucuku sendiri. Aku hanya ingin dia menggenggam erat keinginannya, apa pun yang terjadi nanti.”Keduanya mengangguk sepakat, lalu berjalan pelan menuju altar batu
Salah satu keistimewaan dalam jalan kultivasi adalah kemampuannya menembus batas tubuh, jiwa, dan waktu itu sendiri. Bagi manusia fana, hidup tak lebih dari serpihan musim. Seratus tahun dianggap panjang, namun bahkan usia itu pun kerap terputus di tengah jalan. Lain halnya dengan seorang kultivator. Meski tak berbakat, selama berhasil menembus Taraf Pertama: Penempaan Tubuh Dao, ia dapat memperpanjang hidup hingga dua atau bahkan tiga abad lamanya.Karena itu, langkah pertama dalam kultivasi bukan sekadar awal pelatihan, melainkan kelahiran kembali. Sebuah pemisahan dari kefanaan, menuju usia panjang yang hanya dimiliki oleh mereka yang terpilih. Malam itu, di Desa Batu, tampak sebuah perayaan sederhana. Anak-anak yang baru saja menyelesaikan upacara pendewasaan menari mengelilingi api unggun, tertawa dan saling bercanda. Namun bagi mereka yang memahami dunia Dao, ini bukan sekadar pesta. Ini adalah keajaiban. Simbol bahwa generasi baru telah lahir, anak-anak yang kini tak lagi terik
"Tenangkan hatimu. Biarkan napasmu menyatu dengan bumi, dan biarkan Dao menunjukkan bentuk aslimu."Suara Kakek Mozi menggema lembut di aula latihan batu di sisi barat Desa Kayu. Pagi masih basah oleh embun. Aroma kayu, rumput liar, dan tanah yang lembab memenuhi udara, menghadirkan suasana sakral yang hening dan penuh harap.Sepuluh pemuda duduk bersila dalam lingkaran, mata terpejam, tubuh mereka tegak dalam keheningan. Mereka adalah generasi baru ksatria Taraf Satu, yang kini bersiap melangkah ke fase sejati dalam dunia kultivasi: membentuk pondasi Dao yang stabil.Kakek Mozi berdiri di tengah lingkaran, menggenggam tongkat bambunya."Setiap orang memiliki karakter Dao yang unik," ujarnya, suaranya tenang namun sarat makna. "Api, angin, batu, cahaya, racun, bahkan kehampaan... semua bisa menjadi dasar teknik Dao kalian. Namun karakter Dao itu tidak datang dari luar. Ia lahir dari dalam. Dari tulangmu. Dari napasmu. Dari jiwamu yang mulai bangkit."Ia mengangkat tangan kanannya. Sek
“Kau ingin sepotong daging kelinci ini? Makanlah, dan bergabunglah dengan yang lain.” Lin Hu menyodorkan tusukan daging panggang ke arah Xu Ming, senyumnya lebar meski napasnya masih tersengal usai memanggang di dekat api.Xu Ming hanya melirik sekilas, lalu menggeleng pelan. “Tidak perlu.”“Ah, kau ini…” Lin Hu mendecak, kemudian duduk di tanah sambil menggigit dagingnya sendiri. “Kau terlalu serius. Lihat itu, semua orang tertawa. Mereka bukan orang jahat, hanya pengawal bayaran. Tidak perlu selalu menatap gelap.”Xu Ming tetap diam, pandangannya menatap gelapnya padang yang tak berujung, seolah mencari sesuatu di balik malam. Api unggun membias redup di matanya.Tak jauh dari mereka, di lingkaran api, para pengawal bayaran duduk saling berdekatan. Suara tawa pelan terdengar, berseling dengan obrolan santai dan bunyi kendi arak beras yang berpindah tangan.“Oi, Lin Hu! Kau takkan kenyang kalau cuma makan itu! Kemarilah!” seru salah satu pengawal sambil menepuk lututnya.Lin Hu melir
Langit siang perlahan memudar menjadi jingga pucat ketika Xu Ming dan Lin Hu menapaki jalan tanah menuju Padang Rumput Seribu Li. Hembusan angin membawa aroma tanah kering dan rumput liar, membuat debu-debu kecil berputar mengikuti langkah mereka."Jalan ini akan membawa kita ke perbatasan padang," kata Lin Hu sambil menunjuk ke arah dataran yang mulai terbuka. "Dari sana, tinggal lurus… sampai tak ada lagi pohon yang menemani."Xu Ming hanya mengangguk, matanya menatap lurus ke depan, menembus horizon.Namun suara derap langkah kuda dari belakang memecah keheningan. Lin Hu menoleh cepat. “Ada karavan… besar… mendekat,” gumamnya.Dari balik debu jalan, muncullah deretan kereta kayu besar, ditarik oleh kuda-kuda kokoh. Di sekelilingnya, para pengawal bersenjata menunggangi kuda, wajah mereka keras dan penuh kewaspadaan. Suara gemerincing logam dan derap kaki kuda menggetarkan tanah.“Jangan terlihat mencurigakan…” bisik Lin Hu, menunduk pelan.Namun terlambat. Salah satu pengawal di de
Xu Ming menatap jalanan berdebu yang perlahan memanjang, sesekali menoleh ke belakang saat suara roda kayu kereta Paman Han semakin melemah. Kereta kayu itu menjauh, membawa suara-suara Desa Niu Ping yang semakin sayup, hingga akhirnya hanya hembusan angin yang tersisa."Kalau aku tak mulai langkah pertama, aku akan menyesal selamanya…"Namun saat kereta Paman Han akhirnya lenyap di balik tanjakan, Xu Ming berbalik. Dadanya terasa kosong. Ada haru, ada tekad, tapi juga sejumput kesepian yang sulit dijelaskan. Ia menatap jalan panjang ke barat laut yang membentang tak berujung.Ia tidak langsung bergerak. Hanya berdiri, menatap ke arah jalur yang membentang. Jemarinya refleks meremas selempang di dadanya. Helaan napasnya pendek. Sepatu kainnya sedikit menggali tanah saat ia menggeser kakinya ke depan, tapi kemudian berhenti lagi.“…jadi begini rasanya.”Tangannya meraba kantong penyimpanan baru di pinggang. Ia menarik tali pengikatnya, membuka pelan, lalu mulai memasukkan barang satu p
Langit pagi menggeliat perlahan, menyapu perbukitan dengan warna pucat keperakan. Kabut tipis masih menempel di rerumputan saat kereta kayu tua menuruni jalanan berbatu dari Desa Batu. Roda-rodanya mencicit pelan, menyanyikan lagu kepergian yang tak tahu kapan akan kembali terdengar.Xu Ming duduk di sisi belakang, tubuhnya berguncang mengikuti irama roda. Ia memeluk lutut, diam sejak satu jam lalu. Tatapannya menerobos ke kejauhan, melampaui ladang kecil dan jalan desa, menembus cakrawala yang mulai membuka diri pada dunia yang asing dan tak terjamah.Di depan, Paman Han duduk tegak. Tangan-tangannya kokoh menggenggam kendali kuda. Angin pagi meniup janggut pendeknya ke samping, membuat sosok lelaki paruh baya itu tampak seperti pahatan batu yang hidup dari zaman lampau. Wajahnya keras, tapi ada sesuatu dalam keheningan itu seperti seseorang yang menyimpan banyak, namun memilih untuk menahan.Sesekali, matanya melirik ke arah Xu Ming dari balik bahunya. Tapi ia
“Cepat, jangan sampai terlambat! Keretanya sudah siap di gerbang!”“Ada yang lihat di mana anak itu? Xu Ming?!”“Anak-anak, beri jalan! Jangan lari-lari dekat kuda!”Udara pagi di gerbang Desa Batu tak seperti biasanya. Riuh rendah suara warga menyesaki ruang antara rumah-rumah jerami dan jalanan tanah yang berdebu. Kabut tipis belum sepenuhnya mengangkat, namun sinar mentari mulai menyusup di sela-sela pohon bambu, menggambar bayang-bayang panjang di atas tanah. Seekor kuda cokelat besar berdiri tenang, tapi sesekali menghentakkan kaki, menarik kereta kayu sederhana yang sudah menunggu sejak sebelum fajar menyingsing.Di sisi kereta, Paman Han membungkuk, sibuk mengecek kekencangan tali dan roda. Tubuhnya besar, namun gerakannya cekatan. Tangannya sudah kotor oleh debu dan peluh sejak lama.“Hah, kalau saja anak itu telat lima menit lagi, aku pergi sendiri,” gumamnya sembari menyeka keringat dengan p
“Akhirnya, fluktuasi energi dao pada tulang belakangmu mulai stabil, bocah…” Suara Bing-Bing memecah kesunyian ruangan kecil itu, terdengar lebih pelan dan hati-hati dari biasanya. Di hadapannya, Xu Ming duduk bersila dengan tubuh yang tampak begitu tegang, wajahnya pucat dan basah oleh peluh. Setiap tarikan napas terdengar berat, seolah sedang menanggung beban yang amat besar.Di sekeliling Xu Ming, riak-riak energi biru keperakan masih berkecamuk, kadang meletup tak terduga hingga membuat batu-batu kecil di lantai bergetar. Bing-Bing memandanginya dengan waspada. Sudah lebih dari tiga bulan Xu Ming mengurung diri, berusaha menyerap Fussion Essence Pill dan membangunkan Bing Bing, dan beberapa hari ini harus terkendala karena fluktuasi energi Dao dari Tulang Suci Naga Abadi yang mengamuk hebat di dalam tubuhnya, energi itu begitu liar, seperti naga yang menolak dijinakkan.“Ayo… bertahan sedikit lagi…” bisik Bing-Bing, meli
“Tunggu… Ini… tidak mungkin…” Bing-Bing memicingkan mata, tatapannya tajam menelusuri punggung Xu Ming yang masih berkeringat deras. Sorot matanya tiba-tiba membesar, tubuh mungilnya membeku sejenak sebelum akhirnya berteriak kaget, “Bocah bau! Tulang belakangmu… itu… bersinar?!”Xu Ming yang masih meringis kesakitan hanya bisa memejamkan mata, napas terengah-engah. Tapi di sela rasa sakit yang menghantam keras dari punggungnya, ia bisa merasakan sesuatu yang aneh, getaran halus, seolah ada sesuatu yang bangkit dari dasar sumsum tulangnya, menyebar panas tapi juga penuh kekuatan yang menggetarkan.Bing-Bing mendekat dengan cepat, wajahnya setengah galak, setengah waspada. Ia menempelkan tangannya yang mungil ke punggung Xu Ming. Mata birunya memantulkan sinar keemasan yang berdenyut pelan di sepanjang tulang belakang bocah itu. Seketika, Bing-Bing mendengus keras, bibir mungilnya bergetar kesal.Bing-Bin
“Nenek… bisakah kau… meninggalkanku sendiri malam ini?”Nenek Hua yang tengah memeriksa kuali pemurnian menoleh cepat, alisnya berkerut. “Tunggu… Apa ada sesuatu yang salah? Bukankah Nenek perlu berjaga selagi dirimu menyerap Fussion Essence Pill itu?Xu Ming menggenggam pil penyatu esensi Dao erat, matanya menunduk dalam. “Aku tahu Nek… Tapi kali ini, aku harus menyerapnya sendirian. Ada… hal yang harus kulakukan. Sesuatu yang… untuk saat ini perlu dirahasiakan dari siapapun.”Nenek Hua memandangnya lama, napasnya berat seolah ingin membantah, tapi akhirnya hanya menghela panjang. “Baiklah… Nenek akan menuruti permintaanmu kali ini. Tapi ingat, jangan ceroboh dan mencelakai diri sendiri. Segera panggil nenek, jika sesuatu yang buru terjadi, mengerti?”Xu Ming mengangguk pelan. “Terima kasih, Nek.”Pintu kayu tertutup perlahan, menyisakan ruangan yang tiba-tiba terasa jauh lebih hening dan dingin. Angin malam menyelinap masuk melalui celah dinding, menyisakan desir tipis yang menyentu
“Inti monster Taraf Tiga yang ke-91,” ucap Xu Ming sambil menyerahkan batu kristal merah keunguan itu ke tangan Nenek Hua.Wanita tua itu menerima dengan anggukan ringan. “Sembilan lagi. Pastikan tidak retak atau menghitam. Kalau energi dasarnya rusak, akan mengganggu kestabilan kuali.”Xu Ming duduk bersila di lantai batu. Napasnya masih terengah, sisa latihan aliran Qi pagi tadi belum sepenuhnya pulih. Kalung kristal es tergantung di lehernya, diam dan dingin seperti biasanya. Sudah hampir dua minggu sejak mereka kembali dari misi pengumpulan. Seratus inti monster Taraf Tiga itu bahan utama yang paling sulit dalam penyulingan Pil Penyatu Esensi Dao. Tim pemburu melakukannya bersama-sama, dan tidak mudah. Beberapa luka, beberapa hari terjebak, dan banyak tenaga terbuang.Nenek Hua tidak tahu pil ini sebenarnya bukan untuk apinya. Xu Ming kembali mengingat janjinya. Ia tidak boleh membocorkan siapa Bing-Bing sebenarnya. “Akhirnya 100 esensi monster taraf 3 ini sudah diperiksa satu pe