Share

Bab 5 Rintihan Hati seorang Istri

Saat Arkan melamar Ayana, sungguh dirinya merasakan debaran jantungnya berdegup kencangnya, apalagi saat dia harus menjelaskan kepada bibi Mila yang saat ini tengah mengintrogasinya. Tentunya sebagai seorang bibi yang merawat Ayana sejak kecil, pasti akan memiliki hati was-was, ketika Arkan dan mamanya melamar Ayana sebagai Istri kedua Arkan.

Setelah Mama Arkan menjelaskan dan meyakinkan bibi Mila, bahwa mereka tak akan menyakiti keponakannya, akhirnya bibi Mila merestui dan menerima lamaran Arkan kepada Ayana, walaupun saat itu terjadi perdebatan yang pelik diantara mereka bertiga.

"Baiklah kalau kita sudah sama-sama setuju, aku akan menikahkan mereka minggu depan," ucap mama Arkan dengan nada penuh ketegasan.

Deg

Jantung Ayana mulai berdegub begitu kencang, tak disangka jika mama Akan hanya memberikan jarak seminggu untuk menikah dengan putranya yang baru dikenalnya hari ini.

Ayana sedikit frustasi saat mendengar keputusan mama Elly yang dinilainya terburu-buru untuk menikahkan mereka saat itu. Namun, Ayana terlihat tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima keputusan dari mana Arkan.

Di sisi lain, terlihat Arkan tidak terima dengan keputusan mamanya, hingga dirinya pun melayangkan protes kepada mamanya.

"Ma, kenapa harus minggu depan? Ini terlalu cepat Ma, berikan kami waktu untuk saling mengenal," protes Arkan dengan nada mulai kesal.

"Lebih cepat lebih baik, perkara saling mengenal, kalian bisa saling mengenal setelah kalian menikah nantinya," balas mama Arkan dengan menyeruput teh yang disuguhkan oleh Ayana.

Ayana hanya bisa tertunduk lemas, meskipun saat itu Arkan melayangkan protes kepada mamanya. Namun, tetap saja keputusan tetap ada pada mamanya.

Sekilas wanita paruh baya itu menatap wajah Ayana yang mulai cemas, dengan tatapan intimidasinya.

"Bagaimana Ayana, apa kau setuju?" tanya mama Arkan dengan tatapan tajamnya

"Iya, saya setuju, Bu," jawab Ayana dengan wajah datar.

Mendengar keputusan Ayana, Arkan pun terpaksa menyetujui apa yang direncanakan oleh mamanya saat ini.

Tak lama kemudian, mama Arkan memberikan sebuah amplop coklat besar yang berisi uang, kepada bibi Ayana.

"Ambillah, anggap saja ini seserahan dari kami, karena kami tak sempat untuk membelikan sesuatu untuk Ayana. Satu hal lagi, jangan menolak pemberian dari kami," ucap mama Elly dengan tatapan penuh intimidasi.

Bibi Mila saling bertukar pandang dengan Ayana, sungguh dia pun seolah ingin menolak pemberian mama Elly. Namun, mama Arkan memang tidak menerima penolakan saat itu, sehingga mereka pun kini menerima pemberian dari mama Elly.

Bibi Mila mengintip uang dibalik amplop coklat besar yang diberikan oleh mama Elly dengan wajah terkejutnya.

"Maaf Bu, apakah ini tidak terlalu banyak?" Tanya bibi Mila dengan memberikan Amplop coklat tadi kepada mama Elly karena dinilai terlalu banyak.

"Tidak, uang itu tidak terlalu banyak untuk uang seserahan dariku," jawab mama Elly santai.

Arkan seketika melihat mereka saat ini seperti shock, ketika melihat banyaknya uang yang diberikan oleh mama Arkan. Padahal baginya itu memang tak seberapa, jika dibandingkan dengan pengorbanan Ayana sebagai wanita pilihannya untuk mengandung keturunan dari Arkan.

Setelah pembicaraan mereka selesai, akhirnya Arkan dan mama Elly memutuskan untuk pulang ke rumah. Sepanjang jalan Arkan hanya memikirkan Alana betapa hancurnya dirinya saat mengetahui dirinya dan Ayana akan menikah minggu depan.

Empat puluh lima menit kemudian akhirnya mobilnya sudah terparkir di halaman rumah. Saat Arkan keluar dari mobilnya, Arkan melihat Alana yang tampak antusias berlari menyambut kedatangan dirinya.

"Mas, bagaimana pertemuanmu dengan gadis itu?" tanya Alana dengan wajah tertunduk sedih.

Arkan tersenyum lembut dan mencoba mengatakan dengan hati-hati tentang rencana pernikahan mereka seminggu lagi.

"Oh kami sudah bertemu tadi, dan sudah mengobrol banyak dengannya waktu di cafe," balas Arkan dengan menyembunyikan perasaan gugupnya.

"Lalu bagaimana dengan hasilnya?" tanya Alana dengan tatapan penuh menelisik.

Alana tampak memperhatikan Arkan, dia seolah mengetahui apa yang Arkan pikirkan saat ini. Diamnya membuat Alana semakin  curiga dengan suaminya.

"Mas, kok diam? Apa yang terjadi selanjutnya?" Kembali Alana bertanya kepada Arkan.

"Ah iya Sayang, ada apa?" tanya Arkan dengan menyembunyikan perasaan gugupnya.

"Kau sudah melihat wajah maduku? " tanya Alana dengan tatapan penuh menelisik.

Arkan menganggukkan kepalanya sebagai tanda balasnya.

"Seperti apakah wajahnya dan sikap gadis yang akan jadi maduku, Mas? Apa kau suka dengannya?" kembali Alana melontarkan pertanyaannya kepada Arkan.

Gleg..

Arkan seketika menelan salivanya dengan susah payah, kali ini Arkan tak mampu menjawab pertanyaan istrinya karena dia takut istrinya akan merasa cemburu.

Ini semua seperti buah simalakama bagi Arkan. Dia berusaha untuk tetap tenang dan mencari jawaban agar tidak membuat sakit hati Alana.

"Alana, hanya kau wanita satu-satunya yang aku cintai saat ini, wanita itu pilihan mamaku dan aku baru mengenalnya beberapa jam yang lalu, bagaimana kau berpikir aku menyukai gadis itu, hmm?" ucapnya dengan menatap lembut wajah istrinya.

Arkan melihat seulas senyumannya yang tersungging diwajahnya, dia berharap Alana tak akan berpikiran buruk kepada dirinya maupun kepada Ayana.

"Aku berharap pilihan mamamu adalah gadis yang baik, Mas. Yang terpenting dia tidak neko-neko dan akan memberikan keturunan untukmu dan keluargamu. Aku juga berharap jika suatu saat nanti kau menikah dengan dirinya, kau tidak akan melupakanku, Mas. Apalagi kau berniat untuk meninggalkan aku," tutur Alana dengan menitikkan air mata.

"Kau tidak usah berpikiran akan aku akan meninggalkanmu Alana, aku akan tetap mencintaimu dan aku akan tetap berada di sisimu, meski kau tak akan bisa memberikan aku keturunan," tuturnya dengan menatap lekat wajah istrinya yang sudah tertunduk sedih di sana.

"Bagaimana aku tidak berpikir macam-macam tentang kalian nanti, Mas. Mas tidak tau bagaimana perasaanku saat harus menerima kenyataan harus berbagi suami dengan wanita lain." Alana menjedah ucapannya dan menutup wajahnya dengan kasar.

Sekilas Alana tampak sedang menarik nafasnya dengan panjang, untuk mencoba mengendalikan emosinya.

"Aku bukannya tidak bisa memberikanmu keturunan Mas, bukankah kau sendiri mengetahui, jika kata dokter aku tak mengalami masalah dalam kesuburanku, hanya saja Tuhan masih belum memberikan kepercayaan kepadaku," lanjut ucapannya dengan bibir mulai bergetar.

"Iya Sayang, maafkan Mas, bukan maksud Mas seperti itu. Namun, kau harus mengerti sayang, semua ini bukan kemauan Mas, dan kau juga menyetujui dengan apa yang mama katakan kepadamu," balas Arkan dengan merendahkan intonasi nada bicaranya.

"Aku memang tidak memiliki pilihan Lain Mas, aku hanya punya kamu dan keluargamu saat ini, mama Elly yang saat itu membawaku keluar dari panti asuhan, sudah saatnya aku harus berbakti pada mamamu, Mas," timpal Alana dengan suara tertekan ditenggorokanya.

"Termasuk kau harus menerima perjodohan mama dengan wanita pilihannya?"

Deg

Seketika jantung Alana langsung mencelos, bibirnya mulai mengatup seolah tak bisa berkata apapun saat itu.

Setetes bening terlihat mulai jatuh dari pelupuk matanya.

Alana mengangguk berat sebagai respon atas jawabannya.

"Apapun yang aku lakukan ini adalah pengorbanan yang harus aku bayar atas apa yang sudah aku dapatkan selama menjadi istrimu, Mas," balasnya dengan suara tercekat.

"Tapi tidak harus mengorbankan perasaanmu, Alana. Kau bisa menentang keinginan mamaku," balas Arkan.

"Kamu pikir aku bisa menentang keinginan mama kamu, Mas? Lalu bagaimana denganmu sendiri? Apa kamu bisa menentang keinginan mama kamu, Mas?" Cibir Alana dengan menggelengkan kepalanya.

Arkan terdiam seketika, bagaimana dia bisa menentang keputusan mamanya, selama ini semua yang mengatur adalah mamanya.

"Aku sudah berusaha untuk menentang keinginan mama aku, tapi ...."

"Kau tidak bisa menentang keinginan mama kamu' kan, Mas?" sahut Alana dengan cepat.

Gleg

Bersambung

 

 

 

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status