Share

Teman Baru

Sera tersenyum lebar saat menginjakkan kaki di sebuah rumah minimalis bergaya bohemian bercat cokelat yang di depannya terdapat berbagai tanaman bunga yang amat sangat cantik. Sera bisa mengenali beberapa jenis bunga di sana.

Di antaranya ada bunga krisan, mawar dengan berbagai jenis warna, lili, gerbera, carnation, matahari, gardenia, daffodil, dan hydrangea. Sudah seperti toko bunga saja. Sera tersenyum. Terasa sangat menyejukkan mata.

Tempat kursus merangkai bunga itu terlihat lengang. Sera membuka pintu dan langsung terdengar lonceng di atasnya.

Di ruangan yang cukup lebar itu tertata beberapa baris meja yang di setiap mejanya terdapat bunga-bunga yang sempat Sera lihat di depan. Sudah ada empat orang perempuan yang datang. Sera tersenyum menyapa mereka.

“Mau ikut kursus merangkai bunga juga?” tanya perempuan yang mengenakan jilbab berwarna merah muda.

“Iya,” jawab Sera dengan sopan. Ia memperkenalkan diri sambil menyalami satu per satu.

“Ini pertama kalinya ikut, ya?” Perempuan tinggi kurus dengan rambut hitam lurus ganti bertanya.

“Benar. Saya baru pindah ke daerah dekat sini.” Sera tersenyum lagi. Entahlah, rasanya ia cukup lega karena bisa keluar apartemen tanpa berat hati meski pagi tadi kepergian Ardhi yang agak mengesalkan itu sempat membuat Sera badmood.

“Ikut suami?” Perempuan berjilbab pink tadi kembali bertanya.

“Saya sudah terlihat seperti perempuan bersuami, ya?” canda Sera meski hatinya agak tercubit saat ditanya seperti itu.

Sejujurnya Sera hanya sedang kebingungan harus menjawab apa. Ingin ia mengakui kalau ia memang sudah tidak lajang lagi, namun Ardhi sudah memperingatkan untuk tidak mengungkap jati dirinya sebagai istri seorang Ardhi Prasetyo di depan orang lain.

“Biasanya yang datang ke sini itu perempuan bersuami yang ditinggal suami bekerja dan belum memiliki anak, Mbak Sera,” ujar perempuan berjilbab kuning cerah yang duduk agak jauh dari Sera.

“Sebenarnya saya baru lulus kuliah dan masih menganggur. Jadi meluangkan waktu untuk melakukan hal-hal yang saya suka. Kebetulan saya suka bunga,” kata Sera akhirnya.

Sera cukup berterima kasih karena mereka tidak banyak bertanya dan lebih fokus membahas tentang bunga. Hingga beberapa menit kemudian para peserta yang ikut kursus lebih banyak yang datang. Beserta sera, jumlah peserta kursus itu ada enam belas orang. Sesuai jadwal yang dibuat oleh pemilik tempat itu karena ruangan yang terbatas. Sera mengambil kursus seminggu sekali pada hari Rabu dan peserta yang ikut untungnya baik-baik. Suasana yang tercipta juga menyenangkan.

“Selamat pagi, semuanya. Perkenalkan nama saya Yasmin. Saya di sini yang akan mengajari peserta kursus di sini menggantikan Ibu Mira yang sedang tida bisa hadir karena baru saja melahirkan beberapa hari yang lalu,” ucap tutor bernama Yasmin yang secantik bunga melati itu

Dalam perkenalan singkat itu Yasmin menyebutkan bawa dirinya seorang florist yang mempunya toko bunga di beberapa cabang di kota Jakarta dan di Bandung.

“Hari ini sesuai data ada empat peserta baru, ya. Sebelum kita merangkai bunga yang sudah saya siapkan di atas meja, saya mau memberikan dasar-dasar merangkai bunga terlebih dahulu…”

Dan tiga jam, Sera begitu fokus dengan bunga-bunga di depannya. Menikmati semua arahan tutor yang menjelaskan dan mengajari dengan begitu sabar.

Sera yang masih awam dengan kegiatan merangkai bunga itu pun bisa menyelesaikan satu buket yang cantik. Sera mendokumentasikan hasil rangkain bunga krisan, mawar, dan carnation itu dari beberapa sudut hingga mendapat hasil foto yang bagus.

“Mbak Sera setelah ini mau ke mana?” tanya Aila, perempuan berjilbab merah muda yang pembawaannya sangat ramah dan humble. Pada pertemuan pertama itu Aila langsung menawarkan pertemanan.

“Mau cari makan siang lalu pulang.”

“Mau makan siang di mana Mbak? Boleh bareng?”

Aila memanggil Sera dengan sebutan ‘Mbak’ karena ia lebih mudah tiga tahun. Meski masih belia, perempuan itu sudah menikah selama hampir enam bulan.

“Aku cari kafe yang nggak terlalu rame,” jawab Sera. Ia menggunakan kata ganti ‘aku’ karena Aila yang pertama memulai, jadi Sera ikut menyesuaikan agar tidak terkesan tak acuh.

“Aku tahu kafe di sekitar sini yang cukup enak makanannya dan nggak terlalu ramai, ke sana sama aku, ya, Mbak?” tawar Aila dengan senyum terpatri. Sera tidak kuasa menolak.

Dengan berjalan kaki, mereka sampai di kafe bernama Camellia. Bangunan mungil yang tempatnya asri. Sera takjub menemukan tempat cantik itu di pelosok Jakarta.

Mereka masuk ke dalam kafe dan disuguhi dekorasi ruangan yang hangat. Lantunan musik klasik menyambut kedatangan Sera dan Aila. Hanya ada beberapa pengunjung berkelompok di beberapa meja dan itu membuat Sera cukup senang. Belakangan ini, ia menjadi lebih suka tempat sepi.

“Bagus tempatnya,” komentar Sera dengan senyum kecil di bibir.

Aila ikut tersenyum karena kafe pilihannya tidak mengecewakan Sera.

Mereka langsung duduk di meja kosong dekat jendela yang terbuka, menampilkan deretan bunga-bunga yang tertanam di beberapa pot di luar kafe.

“Menu paling enak apa, Ai?” tanya Sera saat membaca buku menu yang menampilkan berbagi jenis makanan dan minuman.

“Tenderloin steak-nya enak banget, Mbak. Menu paling laris di sini.”

Sera manggut-manggut. “Kamu pelanggang di sini?”

Aila tersenyum menunjukkan gigi-gigi kelincinya. “Iya, Mbak. Dulu ketemu suamiku juga di sini.”

Bibir Sera tertarik ke atas. “Sepertinya kehidupan pernikahan kamu seru, ya? Kamu terlihat bahagia.”

Aila, perempuan yang masih belia itu kembali tersenyum. “Jadinya mau pesan apa, Mbak?”

“Terderloin steak aja deh. Minumnya es lemon tea.”

“Siap, Mbak. Biar aku yang pesan. Mbak Sera duduk saja,” ucap Aila menawarkan diri. Perempuan itu dengan gesit berdiri menuju bagian pemesanan.

Tidak sampai tiga puluh menit pesanan diantar. Mereka pun menyantap makan siang dengan tenang. Tidak ada percakapan selama lima belas menit mereka menghabiskan makan siang.

“Enak banget,” gumam Sera setelah menandaskan satu porsi tenderloin steak yang dimasak medium rare dan menghabiskan satu gelas es lemon tea yang terasa menyegarkan.

“Syukurlah kalau Mbak Sera suka,” timpal Aila. Semetara perempuan itu memesan chicken steak dan es caramel latte yang juga sudah tandas.

“Rasanya menikah gimana, Ai?” tanya Sera beberapa saat setelah mereka terdiam.

“Menyenangkan, Mbak. Aku menikahi seseorang yang sepuluh tahun lebih tua. Dia sangat dewasa dan mengayomi. Aku dibimbing dan ditemani dia dengan sabar untuk menjadi dewasa. Kadang rasanya masih seperti mimpi setiap kali aku membuka mata dan di sisiku ada laki-laki yang berstatus suamiku, Mbak.” Aila tersenyum. Matanya menerawang. “Meski aku menikah dengan dijodohkan oleh orang tua kami, tapi aku tetap bahagia dan ridho. Mencintai suamiku adalah berkah yang diberikan Tuhan untukku, Mbak. Aku bersyukur bertemu dengan laki-laki sebaik suamiku.”

Sera iri. Amat sangat iri meski ia tahu, bahwa sebahagia apa pun Aila, pasti tetap ada halang rintang dan usaha-usaha yang tidak mudah untuk membangung kehidupan rumah tangganya agar menjadi harmonis.

“Menikah itu seru, Mbak,” sambung Aila lagi. “Pada satu bulan pertama menikah dengan suamiku, rasanya masih sangat canggung. Mau melakukan apa-apa malu rasanya. Tidur pun kadang masih nggak nyenyak karena sudah nggak sendiri lagi di satu tempat tidur. Aku sampai mengusahakan untuk bangun pagi sebelum suamiku bangun karena nggak enak kalau bangunnya lebih dulu suami. Tapi lama-lama berubah juga, aku bangun semaunya kalau lagi capek.”

Aila tertawa dan ceritanya terjeda selama beberapa saat sebelum kembali berlanjut. “Aku pernah nggak sengaja buang gas di dekat suamiku dan saking malunya aku sampai nangis, Mbak. Padahal suamiku memaklumi. Pernah juga suatu hari aku abis makan jengkol yang dibawain ibu mertuaku, aku belum sempat sikat gigi waktu suamiku pulang dari kerja dan mencium bibirku. Dia muntah-muntah setelahnya karena nggak tahan bau jengkol dan memang nggak suka makanan itu.”

Cerita-cerita kehidupan rumah tangga Aila itu terus berlanjut hingga kedunya kembali memesan minuman karena tertahan di tempat itu lebih dari dua jam.

Pukul setengah tiga sore, Aila dan Sera berpisah di depan kafe Camellia. Sera pergi naik taksi untuk kembali ke apartemen setelah mengabari Adi. Saat selesai kursus merangkai bunga tadi, ia kelupaan untuk mengirim pesan ke Adi dan ternyata laki-laki itu pun tak menanyakan keberadaannya.

Dalam perjalanan menuju apartemen, Sera terjebak macet karena ada sebuah kecelakaan yang terjadi beberapa ratus meter di depannya. Kabarnya sebuah truk tronton terguling dan butuh waktu yang lama untuk mendongkrak dan menepikan truk tersebut. Jalanan yang kebetulan satu arah itu membuat taksi yang ditumpangi Sera tidak bisa bergerak lebih dari satu jam.

Saat taksi dan mobil-mobil yang terjebak mobil itu akhirnya bisa bergerak, sebuah pesamn dari Adi membuat Sera menghela napas.

Adi Kurniawan

Bu Sera, kalau sudah tidak ada urusan di luar segera pulang ya, Bu.

Bapak Ardhi mencari Ibu.

Sera mengabaikan pesan itu dan membuang pandangan keluar jendela.

Bayangan akan kehidupan pernikahan Aila yang harmonis menyeruak di kepalanya. Kembali menumbuhkan rasa iri yang menekan dada.

Tak bisa dipungkiri, Sera juga menginginkan pernikahan yang harmonis.

to be continued.

Komen (24)
goodnovel comment avatar
Ayu Syargawi
bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Mista Lakantin
suka dgn ceritanya
goodnovel comment avatar
Buk Kartini Ramli
bagus caritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status