[Assalamualaikum Selin!][Waalaikumsalam, iya, apa Shiza?][Jawab yang jujur!][Euh! Apa?][Apa benar ada yang datang taaruf setelah Mas Aqsa?]Selina langsung terhenyak mendengar pertanyaan Shiza. Dari mana Shiza tahu soal taaruf Mahendra. Sedangkan dia sendiri tak pernah memberitahu pada siapapun. Dia lupa jika dia sendiri yang memberitahu Zahrana.[Jawab Selin!][Um, Shiza, kamu tahu dari mana …]Selina berbicara sedikit tergagap.[Oh begitu! Aku gak nyangka Selin. Padahal aku mati-matian membela kamu di depan Mama dan Papa, rela berantem demi kamu. Kok kamu yang aku perjuangkan malah menerima taaruf dari pemuda lain?][Tidak seperti itu Za! Kamu salah paham,][Aku kira kamu sahabatku,]Shiza langsung menutup teleponnya. Dia kesal dan marah pada Selina yang menurutnya telah mempermainkan perasaan sang kakak.‘Duh kok jadi gini sih!’ gumam Selina dengan gelisah. ‘Dari mana Shiza tahu soal kedatangan dr Andra? Ah gak penting, aku harus segera mendatangi Shiza dan memberinya klarifika
Arman tertawa saat mendengar pertanyaan Adam. Adam yang sedikit pemarah langsung bungkam.“Jalan sekarang!” titahnya dengan membuang nafas kasar.“Iya, Akang jawab nih ya …” ucap Arman merasa bersalah.Adam tidak menyahut dan malah lebih memilih menempelkan earpods wireless ke telinganya mendengar senandung lagu dari ponselnya.“Dasar si gede ambeuk!” umpat Arman merasa Adam tak mendengarnya.Dasar si pemarah! (Bahasa Sunda)“Aku dengar …” sahut Adam membuat Arman semakin merasa bersalah.“Dikira gak denger,” gumam Arman cengengesan.Mereka pun sudah melewati tol dan bahkan sudah sampai di daerah Rajamandala. Terlihat jalanan mulai sepi.Sambil mendengarkan musik sesekali Adam mengedarkan pandangannya melihat ke pinggir jalanan yang dipenuhi pepohonan rindang yang tampak gelap.“Stop!” titah Adam tiba-tiba pada Arman membuatnya kaget untuk ke dua kalinya.“Astagfirullah, Adam, mau bikin Akang masuk ICU?”“Nggak, maksudku, stop ngebut, kurangi kecepatan,” ucapnya sembari menoleh ke sis
Malam semakin larut tetapi rasa kantuk masih belum juga hinggap. Adam jadi teringat sesuatu. Dia membuka lemari yang berisi berkas cicilan rumah. Diam-diam, tanpa sepengetahuan ke dua orang tuanya, dia mencicil sebuah perumahan elit yang terletak masih di Cianjur kota.“Aku harus melunasinya segera jika aku akan menikah,” gumamnya. Mengingat gadis bercadar itu membuat Adam mengingat rencana masa depan dan pernikahan. Entah apa alasannya.Secara finansial Adam sudah sangat mandiri sehingga dia sudah bisa membeli ini dan itu di usianya yang terbilang masih muda. Dia pemuda yang amanat dan cerdas, mampu mengelola usaha yang sudah menjadi turun temurun di keluarga pesantren.Ustaz Bashor memberi kebebasan pada anaknya untuk memilih. Dia tak mengharuskan keturunannya menjadi penerusnya karena nyatanya mereka memiliki cita-cita yang berbeda. Yang terpenting apapun profesinya mereka taat kepada Allah dengan cara mereka. Adam hanya berkutat menjadi pengusaha, tentu pengusaha yang dermawan dan
“Wah kelihatannya nasi gorengnya lezat,”Adam meraih piringnya dengan penuh semangat. “Siapa yang bikin?”Selina yang mendengar pujian Adam langsung tersenyum tipis dan beringsut dari duduknya karena dia sudah menyelesaikan acara makannya.“Aku duluan,” ucap Selina dengan langkah yang sedikit terburu-buru.“Selina lagi rajin Adam. Pagi ini Selina bikin nasi goreng,” sahut Ummi Sarah sembari masih menikmati nasi gorengnya.“Bagus, Selin! Yang sering-sering ya …” desis Adam menoleh pada Selina yang sudah tak ada di kursinya. “Kemana tuh anak,”Hap,Adam pun memakan nasi goreng itu. Tak selang lama raut wajahnya langsung berubah memerah padam.“Pedes! Minum …” pekik Adam langsung menyambar air minum. “Selina!” teriaknya.Dia menaruh nasi gorengnya dan kembali mengejar Selina yang sudah melaju dengan motor maticnya.HahahaSelina tertawa puas melihat sang kakak yang sudah berhasil dikerjainya. Karena saking akrab membuat mereka bahkan tak berjarak dan terkadang seperti anak kecil. Mungkin
Selina menarik nafas lalu mengembuskannya perlahan. Lalu dia membuka suara. “Pada walinya …”“Maksud?”“Ketika ke dua orang tuanya misalnya tiada, katakan meninggal, kita meminta izin pada walinya, mau paman atau bibi, kakek atau nenek yang tinggal bersamanya. Atau kalau anak adopsi berarti meminta izin pada ke dua orang tua asuhnya,” papar Selina berusaha tenang. Terkadang dia begitu sensitif jika harus membahas tentang hal itu.“Oh, begitu …”“Iya, meminta izin adalah bentuk adab menghormati mereka, meskipun kita sudah dewasa, mandiri dan mampu menentukan hidup kita sendiri,”“Okay, baiklah. Jawaban yang mantul,”Winda keluar ruang guru dan memasuki lapangan upacara diikuti Selina di belakangnya.“Tadi Bu Win ngobrol apa?”Zahrana yang baru tiba langsung meraih bahu Selina.“Ngajak nonton bioskop malam minggu,” sahut Selina.“Kamu ikut?”“Gak tahu, mau bilang Ummi dan Abah dulu,”Selina mengedikan bahunya.“Aku pasti gak ikut, kamis aku sudah berangkat ke Bandung. Papa ada project ke
Setelah berpikir panjang Selina berencana akan ikut nonton bioskop. Setelahnya dia akan menemui Shiza untuk mengklarifikasi soal kedatangan Mahendra untuk taaruf. Semenjak beradu mulut dengannya, Shiza yang moody langsung memblokir nomornya. Oleh karena itu Selina sudah menyusun rencana itu.“Ummi, malam minggu boleh gak aku ikut sama para guru nonton bioskop?” rajuk Selina.“Bioskop?”Ummi Sarah yang sedang membaca kitab kuning menoleh.“Iya, bioskop Ummi. Pak kepsek, Pak Wijaya ulang tahun dan ingin mentraktir para guru untuk jalan-jalan ke Bandung sembari nonton bioskop,”Ummi Sarah terlihat sedang berpikir.“Berangkat bareng kok, pake kendaraan Pak Kepsek dan beberapa guru ada yang bawa mobil juga,”Ummi Sarah masih terdiam.“Boleh gak Ummi?”Selina menenggelamkan kepalanya pada bahu sang ibu. “Kok diem sih?”Pasti tidak akan disetujui, pikir Selina.“Um, sepertinya ada yang kurang. Oh iya, kambing! Adam pengen kambing guling,”Ummi Sarah menutup kitab kuning dan menaruhnya di atas
Fadel kaget dengan jawaban istrinya yang sedikit meninggi. Dia paling tidak suka dibentak meskipun dia terkadang membentak sang istri. Namun dia tidak menghardik istrinya kali ini. Dia yakin sikap istrinya yang akhir-akhir ini begitu sensitif dan pemarah akibat dirinya hamil. Istrinya mengalami perubahan hormonal. Dia sangat yakin, meskipun istrinya belum yakin karena memang belum dicek.Hawa trauma pasca beberapa kali keguguran. Setiap kali telat datang bulan dulu dia selalu cek menggunakan testpack. Namun hasilnya yang selalu nihil membuatnya tak lagi berniat mengecek urine-nya.Fadel menjawab dengan sedikit menurunkan ego kelelakiannya.“Abang ngerti dan tau kok, tidak ada pacaran. Ini makan bareng aja. Semacam pendekatan gitu. Lagian makan bareng kita dan seperti yang kamu tahu kalau Selina juga belum membuat keputusan untuk Mahendra. Siapa tahu kalau bertemu langsung muncul keakraban di antara mereka,” jelasnya dengan lebih tenang. “Ya Sayang, coba ajak,”“Gimana nanti,” pungkas
Ummi Sarah merasa bersalah karena tidak bilang dari awal kalau dia sedang menstruasi sehingga seolah memberikan harapan palsu pada sang suami.“Maaf … kebawa suasana,”Ummi Sarah terkekeh. Tak terbayang wajah Ustaz Bashor yang harus menahan hasratnya.Ustaz Bashor mandi air dingin untuk meredam perasaannya. Dia pun kembali dengan memakai handuk melilit di pinggangnya.“Segar …” serunya sambil meraih piyama tidur. Ummi Sarah pun beranjak mendekatinya dan memeluknya dari belakang. “Abah, maafin Ummi ya,”“Tidak apa-apa, Habibati …” (Habibati; kekasih perempuan)“Apa? Panggil apa barusan?”Ummi Sarah apa tidak salah dengar. Ustaz Bashor yang selalu bersikap baik dan lembut pada istri jarang sekali memanggilnya dengan sebutan yang istimewa. Dia tak romantis seperti pasangan lain, dia membuktikan kasih sayangnya dengan perbuatan.“Gak apa-apa, Ummi,”Ustaz Bashor tersenyum dan menatap istrinya dengan lembut. “Sudah malam, ayo kita tidur!” ajak Ustaz Bashor yang sudah memakai pakaian lengka