“Wah kelihatannya nasi gorengnya lezat,”Adam meraih piringnya dengan penuh semangat. “Siapa yang bikin?”Selina yang mendengar pujian Adam langsung tersenyum tipis dan beringsut dari duduknya karena dia sudah menyelesaikan acara makannya.“Aku duluan,” ucap Selina dengan langkah yang sedikit terburu-buru.“Selina lagi rajin Adam. Pagi ini Selina bikin nasi goreng,” sahut Ummi Sarah sembari masih menikmati nasi gorengnya.“Bagus, Selin! Yang sering-sering ya …” desis Adam menoleh pada Selina yang sudah tak ada di kursinya. “Kemana tuh anak,”Hap,Adam pun memakan nasi goreng itu. Tak selang lama raut wajahnya langsung berubah memerah padam.“Pedes! Minum …” pekik Adam langsung menyambar air minum. “Selina!” teriaknya.Dia menaruh nasi gorengnya dan kembali mengejar Selina yang sudah melaju dengan motor maticnya.HahahaSelina tertawa puas melihat sang kakak yang sudah berhasil dikerjainya. Karena saking akrab membuat mereka bahkan tak berjarak dan terkadang seperti anak kecil. Mungkin
Selina menarik nafas lalu mengembuskannya perlahan. Lalu dia membuka suara. “Pada walinya …”“Maksud?”“Ketika ke dua orang tuanya misalnya tiada, katakan meninggal, kita meminta izin pada walinya, mau paman atau bibi, kakek atau nenek yang tinggal bersamanya. Atau kalau anak adopsi berarti meminta izin pada ke dua orang tua asuhnya,” papar Selina berusaha tenang. Terkadang dia begitu sensitif jika harus membahas tentang hal itu.“Oh, begitu …”“Iya, meminta izin adalah bentuk adab menghormati mereka, meskipun kita sudah dewasa, mandiri dan mampu menentukan hidup kita sendiri,”“Okay, baiklah. Jawaban yang mantul,”Winda keluar ruang guru dan memasuki lapangan upacara diikuti Selina di belakangnya.“Tadi Bu Win ngobrol apa?”Zahrana yang baru tiba langsung meraih bahu Selina.“Ngajak nonton bioskop malam minggu,” sahut Selina.“Kamu ikut?”“Gak tahu, mau bilang Ummi dan Abah dulu,”Selina mengedikan bahunya.“Aku pasti gak ikut, kamis aku sudah berangkat ke Bandung. Papa ada project ke
Setelah berpikir panjang Selina berencana akan ikut nonton bioskop. Setelahnya dia akan menemui Shiza untuk mengklarifikasi soal kedatangan Mahendra untuk taaruf. Semenjak beradu mulut dengannya, Shiza yang moody langsung memblokir nomornya. Oleh karena itu Selina sudah menyusun rencana itu.“Ummi, malam minggu boleh gak aku ikut sama para guru nonton bioskop?” rajuk Selina.“Bioskop?”Ummi Sarah yang sedang membaca kitab kuning menoleh.“Iya, bioskop Ummi. Pak kepsek, Pak Wijaya ulang tahun dan ingin mentraktir para guru untuk jalan-jalan ke Bandung sembari nonton bioskop,”Ummi Sarah terlihat sedang berpikir.“Berangkat bareng kok, pake kendaraan Pak Kepsek dan beberapa guru ada yang bawa mobil juga,”Ummi Sarah masih terdiam.“Boleh gak Ummi?”Selina menenggelamkan kepalanya pada bahu sang ibu. “Kok diem sih?”Pasti tidak akan disetujui, pikir Selina.“Um, sepertinya ada yang kurang. Oh iya, kambing! Adam pengen kambing guling,”Ummi Sarah menutup kitab kuning dan menaruhnya di atas
Fadel kaget dengan jawaban istrinya yang sedikit meninggi. Dia paling tidak suka dibentak meskipun dia terkadang membentak sang istri. Namun dia tidak menghardik istrinya kali ini. Dia yakin sikap istrinya yang akhir-akhir ini begitu sensitif dan pemarah akibat dirinya hamil. Istrinya mengalami perubahan hormonal. Dia sangat yakin, meskipun istrinya belum yakin karena memang belum dicek.Hawa trauma pasca beberapa kali keguguran. Setiap kali telat datang bulan dulu dia selalu cek menggunakan testpack. Namun hasilnya yang selalu nihil membuatnya tak lagi berniat mengecek urine-nya.Fadel menjawab dengan sedikit menurunkan ego kelelakiannya.“Abang ngerti dan tau kok, tidak ada pacaran. Ini makan bareng aja. Semacam pendekatan gitu. Lagian makan bareng kita dan seperti yang kamu tahu kalau Selina juga belum membuat keputusan untuk Mahendra. Siapa tahu kalau bertemu langsung muncul keakraban di antara mereka,” jelasnya dengan lebih tenang. “Ya Sayang, coba ajak,”“Gimana nanti,” pungkas
Ummi Sarah merasa bersalah karena tidak bilang dari awal kalau dia sedang menstruasi sehingga seolah memberikan harapan palsu pada sang suami.“Maaf … kebawa suasana,”Ummi Sarah terkekeh. Tak terbayang wajah Ustaz Bashor yang harus menahan hasratnya.Ustaz Bashor mandi air dingin untuk meredam perasaannya. Dia pun kembali dengan memakai handuk melilit di pinggangnya.“Segar …” serunya sambil meraih piyama tidur. Ummi Sarah pun beranjak mendekatinya dan memeluknya dari belakang. “Abah, maafin Ummi ya,”“Tidak apa-apa, Habibati …” (Habibati; kekasih perempuan)“Apa? Panggil apa barusan?”Ummi Sarah apa tidak salah dengar. Ustaz Bashor yang selalu bersikap baik dan lembut pada istri jarang sekali memanggilnya dengan sebutan yang istimewa. Dia tak romantis seperti pasangan lain, dia membuktikan kasih sayangnya dengan perbuatan.“Gak apa-apa, Ummi,”Ustaz Bashor tersenyum dan menatap istrinya dengan lembut. “Sudah malam, ayo kita tidur!” ajak Ustaz Bashor yang sudah memakai pakaian lengka
Selina menggaruk kepalanya dan tersenyum. “Ada deh,” ucapnya pada Ummi Sarah. Tentu saja Ummi Sarah tahu apa yang putrinya pikirkan.“Kamu nonton bioskop aja ‘kan?” pancing Ummi Sarah. Semoga Selina memegang perkataannya.“Iya, sama makan-makan dong Ummi. Sayang dong jauh-jauh ke kota tapi cuma nonton doang. Harus sama wisata kuliner juga Ummi, biar seru,”“Jadi pengen ikut …” desis Ummi Sarah.“Sabar Ummi! Nanti kita sekeluarga ke sana, pas libur tahun ajaran baru,”“Hem, benar,”“Sama guru ‘kan?”“Ya Ummi, tenang saja. Kami berangkat bersama-sama, maka kami pun pulang bersama-sama. Ummi jangan kayak Abah deh, khawatiran … aku ‘kan gak pergi ke Scotland atau ke Turki,” kekehnya. “Dekat banget, masih antar kota,”“Jadi anak perempuan harus bisa menjaga diri,” ucapnya membuat Selina tersindir. Apa jangan-jangan Ummi Sarah tahu isi kepala Selina yang akan menemui Shiza dan pasti akan bertemu dengan Aqsa.“Aku tahu Ummi,”Selina memeluk ibunya dengan erat. “Ummi, aku harus pakai baju apa
“Jam berapa kumpul di sekolah?”Selina mengalihkan topik bahasan.“Jam dua belas saja, selesai mengajar,” jawabnya. “Bu Selina ada jadwal ngajar hari sabtu?”“Ada, kelas bawah,”“Oh, bagus kalau begitu,”“Ya Bu Winda, makasih ya infonya, aku pamit mau pulang,” ijin Selina mengakhiri percakapan.“Tentu Bu Selina, hati-hati di jalan! Sampai nanti ketemu hari sabtu,”Winda melambaikan tangannya.Sementara itu di rumah Hawa, Fadel terus saja membujuk Hawa agar ikut reuni. Toh, bukan acara di kampus tapi hanya sekedar makan-makan.“Mau ‘kan nemenin Abang? Soalnya Abang gak enak kalau gak ikut,” jelasnya dengan penuh harap.“Gak ah,”“Please, Sayang,”Fadel mendekatkan wajahnya ke wajah sang istri.Cup.Tiba-tiba dia menempelkan bibirnya pada bibir sang istri. Lalu dia menarik sang istri untuk direngkuhnya.“Kamu nemenin Abang! Jangan dengar omongan orang lain! Kita yang menjalani hidup kita dengan penuh syukur,”Seolah Fadel tahu isi kepala Hawa. Dan, ternyata di balik sikapnya yang temper
“Cincin itu hanyalah simbol semata, pengikat, tapi jika akad nikah belum terjadi berarti belum dikatakan berjodoh,” sela Hanum, mewakili Selina yang bingung harus menjawab apa. Mana mungkin dia menceritakan bagaimana proses taarufnya yang gagal karena suatu hal dan taaruf lainnya datang. Semua baru proses taaruf bukan khitbah atau lamaran. “Cincin itu tak terlalu penting menurutku,”“Benar, aku setuju dengan Bu Hanum,” sahut Winda menoleh pada Hanum yang berada di sisinya. “Kalau adat di kita lamaran biasanya diikat dengan cincin tapi kadang jarak waktu lamaran dan walimah begitu lama,”“Kalau dalam Islam, sebaiknya jarak antara waktu taaruf, lalu khitbah atau kita mengenalnya dengan lamaran, memastikan akan melangsungkan pernikahan ke walimahan tidak boleh lama, agar tidak mengundang fitnah,” jelas Selina.“Oke, makasih Ustazah Selina sudah memberi pencerahan,” ucap Elvira dengan mengangguk. Selina yang dipanggil ustazah hanya tertawa kecil.“Eh, berarti walimahnya sebentar lagi dong