Share

24. Shan Kerei

Author: Donat Mblondo
last update Huling Na-update: 2025-05-15 09:32:54
Sua memejamkan mata. Bayangan Linjin masih bergetar di dalam benaknya. Suara teriakan gadis itu di detik terakhir hidupnya, saat tubuhnya mulai tenggelam dalam kesakitan, saat jiwanya perlahan meninggalkan dunia.

Itu adalah kenangan yang selama ini menancap dalam. Rasa kebencian dan amarah kepada mereka yang berbuat kejam. Sumber tekad yang kuat untuk membalas mereka yang menyakitinya.

Namun, setelah Sua berpikir. Akhirnya ia memberi keputusan. Ia merasa, ingatan saat jiwanya masuk ke tubuh ini pun sudah cukup menjadi bekal. Penghianatan Liu Chang dan Cai Ji, serta ketidakadilan sang ayah kepadanya. Ia masih memiliki ingatannya sendiri.

“Aku akan serahkan ingatan terakhir, saat Liu Chang membunuhku,” ujarnya.

Rai menoleh cepat, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. 'Dibunuh?'

Hening sejenak. Kabut di sekitar mereka bergoyang pelan, seakan mendengar rahasia yang baru saja terucap.

Rai mengangguk pelan. Lelaki itu tahu bahwa Sua pasti memiliki alasan memilih menyerahk
Donat Mblondo

Visual Shan Kerei. Ada di fb: Thai Qu Ching

| 4
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   175. Xiangyuan Lun

    Masih belum tampak jelas wajah sosok itu. Sua memberanikan diri untuk mendekat. Tampak wajah samar yang ia kenal. "Bai Yuan!"Sua berdiri tegak meski dadanya berdegup cepat. Hawa yang keluar dari tubuh Bai Yuan terasa aneh — bukan sekadar tekanan spiritual, tapi juga hawa penuh obsesi yang dingin dan kelam. Bayangan di sekeliling lorong seakan merapat, menyoroti wajahnya yang kini mulai tampak di bawah cahaya pelita: Bai Yuan."Tak disangka kau masih mengingatku," ucap Bai Yuan. Senyumnya masih sama seperti dulu — tenang, memikat, tapi penuh tipu daya. Rambutnya kini lebih panjang, diikat ke belakang, dan matanya... terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menyusup ke istana musuh.Ia melangkah mendekat, pelan, seolah jarak di antara mereka adalah sesuatu yang harus dihormati. Tapi ketika jarak tinggal satu jengkal, tangannya terangkat, hendak menyentuh sisi wajah Sua.Sua menepis dengan tegas. “Jangan sentuh aku.”Bai Yuan tak terlihat tersinggung. Ia hanya tertawa pelan, rendah

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   174. Siluet hitam

    Shan Kerei merasakan kehadiran Rai bahkan sebelum namanya disebut. Instingnya yang diasah selama bertahun-tahun dalam kegelapan dan darah berdenyut tajam. Dan saat suara Rai menyebut namanya, ia menoleh. Perlahan, tanpa terkejut, tanpa cemas.Dua pasang mata bertemu dalam bayang-bayang lorong sempit.Rai berdiri tegak, pedang tergenggam di tangan kanan. Sorot matanya dingin, bukan karena takut, tapi karena terlalu sering melihat kematian datang mendekat. Di hadapannya, Shan Kerei berbalut jubah hitam legam, wajah setengah tertutup kain gelap hanya menyeringai tipis.“Lama tak bertemu, Rai Yuan,” ucap Shan Kerei. Suaranya serak, seperti suara batu diasah di atas logam."Atas dasar apa kau menginjakkan kakimu di Shewu, Shan Kerei!" Suara Rai menggelegar rendah, seperti gemuruh dari dalam bumi.Shan Kerei mengangkat bahu, santai, seolah mereka hanya dua orang lama yang kebetulan bertemu di pasar. Tapi sorot matanya tajam, penuh kepastian.“Atas dasar perintah,” jawabnya. “Aku mendapat ta

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   173. Musuh lama

    Malam turun tenang di Istana Shewu. Langit di luar kelabu, tapi di ruang tengah istana, cahaya lampu minyak memantul hangat di dinding-dinding batu yang dihias lukisan bunga Xiang dan sulur-sulur dedaunan. Di ruang makan yang dikelilingi pilar giok itu, duduk empat orang: Rai, Sua, Su Ying, dan Zihan.Mereka makan dalam keheningan yang tidak canggung, tapi dipenuhi rasa saling mengamati. Sendok kayu dan sumpit perak beradu pelan dengan mangkuk, suara pelan sup herbal mendidih di wadah tanah liat, dan aroma teh chamomile memenuhi udara.Zihan duduk di sisi Sua, sesekali mencuri pandang ke kakaknya. Sua tampak tenang, tapi Su Ying, yang duduk di seberangnya, bisa membaca garis lelah halus di sudut matanya. Sementara itu, Rai, duduk menghadap jendela terbuka, tetap diam. Satu tangannya memegang cawan anggur, tapi tak kunjung diminum.Tiba-tiba—Suara tajam melesat membelah udara.“UGH!”Erangan prajurit terdengar dari arah luar. Rai sontak berdiri. Kursinya terjungkal ke belakang, mengha

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   172. Perang emosional

    Sejak itu, Rai berubah. Bukan berubah secara mencolok, bukan pula berubah menjadi sosok yang berbeda. Ia tetap pria gagah, penakluk medan perang, penguasa rimba malam. Tapi ada yang bergeser dalam tatapannya… dalam caranya diam.Ia tak pernah lagi beranjak terlalu jauh dari istana. Segala urusan ia atur dari dalam dinding istana. Bahkan saat diundang dalam perjamuan teh resmi bersama para bangsawan, Rai hadir… hanya jasadnya. Pandangannya? Tak pernah benar-benar berada di ruangan itu.Sua duduk di ujung barisan wanita, mengenakan gaun hijau tua bersulam benang emas, rambut disanggul anggun dengan hiasan giok tembus cahaya. Senyumnya sopan, tutur katanya santun. Tapi, tiap kali ia menggerakkan tangan, menyentuh cangkir teh, atau sedikit mengangguk kepada tamu lain — mata Rai tergerak lebih dulu.Seperti bayangan yang mengikutinya tanpa suara. Tatapan yang tak mau lepas.Tak seorang pun tak menyadarinya — terutama Su Ying, ibu Sua.Perempuan paruh baya itu telah hidup cukup lama untuk t

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   171. Yang Rai takutkan

    “Linjin?” Rai langsung bangkit setengah duduk, tangannya sigap menopang kepala perempuan itu.Sua tak menjawab. Bibirnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Napasnya terputus-putus, tak beraturan, seperti tubuhnya sedang berebut udara dengan sesuatu yang tak terlihat.Lalu... ia merasakannya.Napas lain. Bukan napas Rai. Bukan napasnya. Sesuatu yang asing. Lembut tapi kuat. Menyusup ke dalam dirinya, lalu pergi.Dan bersamaan dengan itu, sesuatu muncul dalam benaknya, sekelebat bayangan ruangan lain. Terlalu cepat dan kabur, tapi cukup nyata untuk membuatnya kaku.Lampu putih menyilaukan. Bau antiseptik menusuk. Suara mesin detak jantung berdetik pelan…Tiit... tiit... tiit...Sua memejamkan mata erat-erat. Tangannya mencengkeram seprai. Suaranya pecah, parau dan gugup, “Ada… sesuatu… yang menarik jiwaku…”Wajah Rai mengeras. “Apa maksudmu? Di mana?”Sua menggeleng cepat, seperti menolak kenyataan. Tapi bayangan itu — bau alkohol medis, kain kasa, detak monitor — masih membekas

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   170. Tarikan jiwa

    Jari-jari Rai menguat di pinggang Sua, menariknya lebih dekat, membuat batas di antara mereka lenyap. Tubuh mereka saling menyatu, saling menyandarkan rindu yang sempat tertunda. Sua merasakan getar halus dari dada Rai — entah detak jantungnya sendiri, atau milik pria itu, tapi keduanya berpadu dalam irama yang sama.Ciuman itu bukan sekadar pelepas rindu, melainkan pengakuan tanpa suara. Gerakan mereka pelan tapi pasti, seperti dua jiwa yang memilih diam untuk saling menyelami lebih dalam. Saat bibir mereka akhirnya berpisah, hanya untuk menarik napas, dahi Sua bersandar pada dahi Rai — mata setengah tertutup, senyum tipis menyusup di antara sisa rasa yang masih menggantung di lidah mereka.Rai mengangkat tubuhnya dan membaringkannya perlahan di atas ranjang. Mereka saling meluruhkan batas, membiarkan kulit berbicara tanpa tabir. Tangan pria itu pun menyentuhnya.Setiap inci tubuh menjadi ladang rasa yang mereka cicipi tanpa tergesa. Setiap sentuhan membuatnya mendesah seperti tubuh

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status