Pisau melayang, untungnya aku sigap menghindar. Kembali aku berlari menghampiri Mamah dengan tampilan menyeramkan itu yang di mana matanya memutih keseluruhan. Wajah Mamah juga pucat pasi.
"Mah, sadar, Mah! Mamah kenapa!" Walau dilanda rasa takut, tetapi aku berusaha mengguncang bahu Mamah. "Sadar, Mah! Ini Tania."Mamah memiringkan kepalanya sembari menyeringai jahat. Lantas, kedua tangannya yang berlumuran darah, dengan sekejap mencekik leherku."Mati!" teriaknya seraya mencekik dan mendorong tubuhku, sampai punggung ini terbaring di meja makan. "Mati kamu, mati!" Suara Mamah tetap terdengar ada dua. Berat dan melengking.Hawa di sekitar jadi memanas. Mamah menambah erat cengkeramannya di leherku."Ma-Mamah, sa-sadar, Mah!" Terbata, aku berucap. Bulir air luruh begitu saja di ekor mata.Tanganku berusaha melepaskan cengkeraman Mamah, sedangkan kakiku menendang-nendang karena mulai kesulitan bernapas."Maa ... sa-Aku memekik seraya menutup mata dan telinga. Beruntung sang pengemudi langsung memberhentikan mobilnya hingga terdengar bunyi decitan nyaring di aspal. Lututku terasa lemas, aku jatuh bersimpuh dengan debar jantung yang menggila. Aku menatap kosong ke depan dengan napas yang masih syok. "Kamu nyari mati?" Suara seseorang mengalihkan pandanganku. Ternyata itu mobil Polisi Joshi. Aku menatapnya dengan mata berair, sedangkan sang polisi yang mengenakan pakaian dinasnya serta dibalut jaket kulit hitam itu, menatapku kesal. "Itu pencurinya! Cepat tangkap!"Suara dari samping kanan, sontak membuatku kembali panik. Di sana ada beberapa warga juga si pemilik tas yang menatapku marah, seakan-akan ingin menelanku hidup-hidup. Dengan lutut yang masih bergetar, aku gegas berdiri. Lantas, bersembunyi di balik punggung Polisi Joshi. "Tolong aku." Kusembunyikan wajah di balik punggung tegap sang polisi. Terdengar derap langkah me
Suasana hening beberapa menit setelah ucapan spontanku tadi. Tidak terdengar sahutan apa pun dari Polisi Joshi mengenai tawaran memalukan dariku tadi. Aku benar-benar kalut, tidak tahu harus berbuat apa demi mendapatkan uang. Polisi Joshi terus bergeming di tempatnya berdiri, tidak terdengar apa pun darinya. Baik suara, gerak badan, ataupun helaan napas darinya. Suasana di sekitar sangat hening. Hanya terdengar isakkan tangis dan sesenggukan tertahan dariku. Aku masih sama, bersimpuh dengan kedua telapak tangan yang menutupi wajah. Aku tidak berani mendongak, memandang Polisi Joshi. Merasa sangat malu dengan apa yang barusan kulontarkan. Bagaimana bisa aku secara spontan mengeluarkan perkataan menjijikkan seperti itu. Aku baru saja berusaha menjual diri sendiri. Sangat memalukan! "Kalau kamu sudah selesai menangisnya. Ayo, kita ke rumah sakit!"Mendengar ucapan Polisi Joshi, perlahan aku mendongak. Aku memandang punggung Polisi Joshi yang sudah
Aku terbangun disebuah ruangan sempit, lembab, juga pengap. Indra penciumanku menangkap bau tanah yang begitu anyir. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hanya tanah merah yang ditangkap oleh indra penglihatan. "Aku di mana?" Sesak makin mencekikku. Tubuh ini mulai dibanjiri keringat dingin, napasku tersengal, juga bau busuk menguar begitu tajam. Seperti ada bangkai di sekitarku. Perlahan, aku coba bangkit berdiri. Namun, puncak kepalaku malah terjedot sesuatu. Bersamaan dengan itu, tanah merah berguguran jatuh menimpa kepalaku. Aku mendongak dengan telapak tangan menggapai ke atas. "Tanah?" gumamku. Mata ini sontak melebar. Aku meraba sisi kanan juga kiri. Tanah. Aku berada di dalam tanah. Segera aku memukul-mukul tanah yang berada di atas kepalaku. Membuat tanah malah kembali berguguran menimpa wajah ini. "Apa aku sudah mati?" Tak henti-hentinya aku menggumam ketakutan. "Aku belum ingin mati. Siapa yang akan menjaga Mamah kalau
"Ibu kamu sudah dipindahkan ke rawat inap. Semoga saja beliau cepat sadar." Fadli berucap dengan penuh harap. Namun, pandanganku malah fokus mengejar punggung Polisi Joshi yang sedang keluar dari ruang perawatanku. Setelah memperingatiku tentang kesepakatan biaya operasi Mamah, dia pergi begitu saja. Aku sedang berada disituasi apa? Hantu sahabatku meneror dan sampai membuat Mamah kritis di rumah sakit. Aku bahkan sampai menjual tubuh ke pria asing demi menyelamatkan nyawa Mamah. Namun, itu semua belum mampu menyelamatkannya. Kondisi Mamah masih berada di antara hidup dan mati. "Nia?" Fadli mengguncang pelan bahuku, membuat diri ini tersadar dari lamunan. "Kamu baik-baik saja?" lanjutnya bertanya. Wajahnya terlihat mengkhawatirkanku. Aku tersenyum getir. "Bagaimana bisa aku baik-baik saja, sedangkan Mamah dalam kondisi seperti itu.""Ibumu pasti akan segera siuman, Nia. Kamu banyak berdoa saja. Bantuan Allah pasti ada," saran Fadli le
Segera aku melompat dari brankar, menuju ke pintu keluar. Celaka! Pintunya macet, tidak bisa terbuka. Tiba-tiba saja embusan angin berhawa panas memukul punggungku. Pandangan ini langsung menoleh ke belakang. Terlihat di gorden sana, kaki yang menjuntai tadi perlahan melayang mendekat dengan ditutupi gorden di bagian atasnya. Darah yang merembes di kakinya yang pucat menodai lantai keramik putih. Aku makin panik dan terus memutar-mutar kenop pintu dengan cepat. Berharap pintu ini bisa terbuka. Tidak hilang akal, aku mencoba memukul-mukul daun pintu dengan keras. "Tolong! Ada orang di luar? Tolong aku!" Suaraku meninggi juga panik. Terlebih lagi gorden dengan kaki yang menjuntai itu makin mendekat. "Tolong ak---!"Napasku tercekat diiringi dengan dengan tubuh yang membeku saat kurasakan sebuah tangan yang sedingin es mendarat di pundakku. "Jangan ganggu aku. Kumohon pergilah!" Aku langsung berjongkok sembari menutup wajah ketakutan.
Tanganku yang tadinya mengelus-elus puncak kepala Alisa dengan sayang, sekarang menjadi gemetar pasca mendengar suara menyeramkan itu. Terlihat Alisa sudah terlelap tenang, berbeda denganku yang tengah gemetar ketakutan. Kemungkinan besar suara yang menyambung nyanyianku tadi, ialah Alina. Dia pasti akan menerorku lagi. Aku menunduk dalam, mencoba menarik napas yang terasa tercekat. Berusaha untuk mengendalikan perasaan yang gemetar ketakutan. Perasaan ini bisa menelanku sewaktu-waktu. "Jangan takut, Tania. Ingat, derajat manusia lebih tinggi dibanding setan!" bisikku tegas. Aku berusaha mensugesti diri agar berani. "Allahu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum, laa ta khudzuhuu sinatuw walaa naum. Lahuu maa fissamawati wa maa fil ardli man dzal ladzii yasyfa’u ‘indahuu illaa biidznih ....""Kyaaaakkk ... akan aku bunuh kamu, Tania!"Seiring dengan lantunan Ayat Kursi yang kulafalkan, jeritan amarah menggema di ruangan 5×5 meter ini. A
Atmosfer di sekitar serasa menipis. Membuatku merasa sesak napas. Mata ini terus memelotot memerhatikan darah yang terus merembes dari kedua paha perawat di sebelah brankar Mamah, serta daging segar di bawahnya yang seperti bergerak-gerak. 'Siapa perawat itu? Apakah dia manusia atau ...?' batinku gemetaran. Aku perlahan mendongak, hendak melihat bagian atas perawat itu yang sedang terhalang oleh brankar Mamah. Kosong. Tidak ada siapa pun di hadapanku. Hanya ada layar elektrokardiogram. Perawat yang bernama Yulia tadi tiba-tiba saja menghilang. Aneh, padahal jelas-jelas ada seorang perawat tadi yang datang. Merasa penasaran, aku kembali berjongkok, hendak mengecek kembali ke bawah brankar. Tidak ada juga. Hanya ada lantai keramik putih yang menyambut pandangan ini. Namun, tiba-tiba saja ada sepasang kaki penuh darah jatuh menjuntai dari brankar Mamah. Terayun-ayun pelan sambil sesekali terdengar nyanyian lirih dari atas. Aku menelan ludah denga
Pagi kembali tiba lagi. Seperti biasa, sepulang dari melaut Fadli akan langsung mengambil Alisa di rumah. Aku memberikan balita menggemaskan itu ke ayahnya. "Kenapa wajahmu murung seperti itu, Nia?" Fadli menatapku lekat. Aku mengembuskan napas kasar. "Sebaiknya ... kamu jangan lagi menitipkan Alisa kepadaku," ucapku berat. Teringat dengan ucapan para warga semalam yang seakan-akan melabeliku sebagai wanita murahan. Mereka memang tidak mengatakannya langsung, tetapi arah pembicaraan mereka sangat jelas mengarah ke hal tersebut. "Kenapa, Nia? Apa Alisa terlalu merepotkanmu?" Wajah Fadli terlihat sendu. Aku menggeleng lemah. "Alisa sama sekali tidak merepotkanku. Hanya saja ...." Ucapanku menggantung. Pandangan ini menoleh ke kiri-kanan. Benar saja, para tetangga sedang mengintai kami dari kejauhan. Mereka pasti berpikiran yang macam-macam lagi tentang aku dan Fadli. "Kenapa, Nia? Kenapa kamu terlihat tidak nyaman seperti itu