LOGIN“Mau apa kau ke rumahku?”Suara Alysaa bergetar—bukan lemah, tapi menahan amarah yang sudah mencapai batas.Shaz menatapnya tanpa berkedip. Wajahnya keras, rahangnya mengeras, seolah seluruh dunia telah berkonspirasi melawan satu-satunya hal yang ingin ia genggam.“Pergi,” ucap Alysaa tegas. “Sekarang.”Shaz tidak menjawab."Pergi! Aku bilang, pergi sekarang!" Suaranya bergetar, memecah kesunyian tebal di antara mereka.Shaz berdiri terpaku, rahangnya mengeras, seolah kata-kata itu menembus pertahanannya. Namun, alih-alih berbalik, ia perlahan melangkah mundur, matanya tak lepas dari wajah Alyssa yang memerah.Alyssa mengira ia menang, mengira pertempuran emosional ini akan usai. Namun, saat Shaz mencapai pintu, gerakannya berubah cepat dan tegas.Sebuah bunyi klik yang dingin dan mematikan memenuhi ruangan. Shaz telah mengunci pintu.Napas Alyssa tercekat. "Apa yang kau—"Sebelum ia selesai bicara, Shaz mengeluarkan kunci pintu itu dan dengan gerakan ringan yang mengerikan, melempark
Shaz tidak perlu membuka peta.Kakinya—lebih tepatnya, ingatannya—menuntunnya dengan sendirinya menuju sebuah kompleks perumahan yang tenang di sudut kota Bandung. Jalanannya tidak terlalu lebar, dipagari pepohonan kecil yang ditanam rapi, rumah-rumah minimalis berjajar dengan desain yang serupa namun tetap menyimpan keunikan masing-masing.Sebuah papan kecil di tepi jalan bertuliskan:Komplek Aruna Pratama Residence.Shaz memperlambat laju mobilnya.Ia tahu tempat ini. Terlalu tahu.Hari itu Sabtu. Langit Bandung cerah, udara sejuk—hari yang sempurna untuk tinggal di rumah. Dan Shaz tahu satu hal tentang Alysaa: ia tidak suka keluar jika tidak perlu. Akhir pekan baginya adalah waktu paling setia untuk rumah, buku, dan keheningan.Mobil itu berhenti tepat di depan sebuah rumah bercat krem muda dengan pagar hitam sederhana. Tidak besar. Tidak mewah. Namun bersih, rapi, dan hangat—seperti pemiliknya.Shaz mematikan mesin.Dadanya terasa mengencang saat pandangannya menyapu halaman kecil
“Alysaa…”Nama itu keluar begitu saja, nyaris seperti refleks. Begitu suara Shaz terdengar di seberang, dunia Alysaa seakan berhenti berputar. Ia tidak menjawab. Napasnya tertahan di dada, jari-jarinya membeku di layar ponsel.Di sisi lain, Shaz menelan ludah.Diamnya terlalu sunyi. Terlalu menusuk.“Sayang…” suaranya bergetar, lebih pelan dari yang ia rencanakan. “Aku tahu kamu pasti kaget. Aku—”Tak ada jawaban.Namun Shaz tetap bicara, seolah takut jika ia berhenti, kesempatan itu akan lenyap selamanya.“Aku akan ke Bandung malam ini,” katanya cepat, nyaris terburu-buru. “Aku akan ke rumahmu. Aku perlu bicara langsung sama kamu.”Alysaa masih diam.Diam yang bukan karena tak mendengar—melainkan karena terlalu banyak yang ia dengar.“Sayang, aku nggak bisa hidup—”Klik.Nada sambung terputus.Shaz terpaku. Layar ponsel kembali gelap, memantulkan wajahnya sendiri—pucat, mata berkabut, seperti seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu untuk kedua, atau mungkin ketiga kalinya.“Al…?”
Ingatan sering kali bekerja seperti kompas yang rusak—tak selalu menunjukkan arah, tapi cukup memberi keyakinan untuk melangkah. Dengan keyakinan itulah Shaz meninggalkan apartemennya sore itu, berjalan menyusuri trotoar Jakarta Pusat yang masih basah oleh sisa hujan tadi siang.Ia berhenti di depan sebuah bangunan cukup besar dengan kaca lebar dan papan nama sederhana:Senja Raya Rent Car.Tidak mencolok. Tapi tenang. Seperti tempat yang tepat untuk memulai perjalanan panjang.Begitu pintu dibuka, suara bel kecil berdenting pelan. Di balik meja resepsionis, seorang perempuan berhijab krem mendongak. Wajahnya bersih, sorot matanya hangat—jenis tatapan yang membuat seseorang merasa diperhatikan, bukan dinilai.“Selamat sore, Mr,” ucapnya ramah.Shaz mengangguk. “Sore.” Shaz membalasnya dengan bahasa inggris yang cukup membuat perempuan itu mengerti bahwa ia harus menggunakan bahasa inggris saat berbicara dengan Shaz.Perempuan itu berdiri, mengambil tablet dari meja. “Mau sewa mobil?”
Langit Jakarta sore itu berwarna jingga keemasan saat pesawat Qatar Airways yang membawa Shaz dari Doha akhirnya mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Perjalanan panjang itu telah menguras tenaganya, tetapi hatinya justru terasa semakin bersemangat. Ada dorongan kuat di dalam dadanya, seolah setiap detak jantung berteriak: “Alysaa… aku datang.”Setelah melewati imigrasi dan mengambil bagasi, Shaz melangkah keluar menuju terminal kedatangan. Hiruk-pikuk bandara langsung menyergapnya—suara porter menawarkan jasa, keluarga yang saling berpelukan penuh haru, dan aroma khas kota besar yang begitu kontras dengan Doha.Ia menahan napas sejenak, menatap kerumunan, lalu tersenyum tipis."Indonesia… akhirnya aku menginjakkan kaki di tanahmu."Shaz memesan taxi dari bandara, lalu menuju sebuah apartemen elit di kawasan pusat Jakarta. Gedung itu menjulang tinggi, dengan lobi berlantai marmer yang berkilau dan petugas resepsionis yang menyambut ramah. Ia memilih unit dengan pemandangan
Sudah lebih dari sebulan sejak Shaz terakhir kali melihat aktivitas Alysaa di media sosial. Story terakhirnya, sebulan lalu, masih terpatri jelas dalam ingatan—senyum manisnya yang bercampur dengan cahaya senja, tawa kecilnya bersama teman-temannya. Setelah itu, hening. Tak ada lagi jejak baru, tak ada lagi tanda keberadaan yang bisa menenangkan kegelisahan hati Shaz.Ia bahkan sampai menghitung jumlah pengikut di akun Instagram Alysaa hampir setiap hari, seakan-akan angka itu bisa memberi jawaban. Tetapi, alih-alih lega, ia justru semakin diliputi rasa kosong.Hari ini, Shaz berada di Hamad International Airport, Doha. Baba dan Mami akan kembali ke India, sementara Sharah bersama Faheem dan Fateema bertolak ke Dubai. Suasana bandara terasa begitu berbeda. Kali ini, Shaz bukan sekadar mengantar, melainkan benar-benar melepas sebagian keluarganya yang menjadi tumpuan semangatnya sejak kecelakaan itu.Shaz sudah bisa berjalan sendiri dan sudah kembali pulih. Ia kembali menyetir mobilnya







