Empat hari yang lalu, kota Adelaide, Australia.
"Dad! Plis dong jangan!" Jessie terlihat memelas pada ayahnya.
"Apanya jangan?" tanya Finlay—ayah Jessie.
"Jangan kirim aku ke sana!"
Finlay menatap putrinya itu, ia terlihat bingung karena putrinya menolak mengurus perusahaan cabang miliknya yang sedang tidak stabil kondisinya.
"Daddy nggak bisa pergi, Jes! Kamu tega perusahaan Daddy bangkrut?" tanya Finlay sedikit mengangkat kedua alisnya.
Jessie mencebik sebal, bibirnya sudah mengerucut dua centi meter. "Kirim aku ke mana pun, ke Afrika juga boleh asal jangan kesana!" kekehnya tak mau tahu alasan ayahnya mengirim dirinya.
"Jessie sayang, hanya kamu yang bisa Daddy percaya. Tolong ya!" Kini gantian Finlay yang memelas pada putrinya.
Jessie terperanjat bingung, hal yang paling tidak bisa ia lihat adalah wajah ayahnya yang sedih.
"Ish ... Daddy jangan pasang wajah kayak gitu!" protes Jessie seraya menutup matanya.
Finlay tersenyum, ia kemudian memegang kedua pundak putrinya, meyakinkan gadis yang sudah dewasa itu untuk menuruti perintahnya.
"Kalau begitu tolong Daddy, ya! Bukankah kamu dulu pengen ke sana?"
Finlay mengingatkan Jessie, beberapa tahun yang lalu gadis itu merengek minta tinggal di Indonesia. Tapi, karena Finlay takut jika meninggalkan putrinya hidup sendiri, ia pun tidak mengizinkan Jessie ke Indonesia sendiri.
"Itu dulu! Sekarang nggak!" Jessie bersidekap pura-pura merajuk.
"Dasar Daddy! Kalau tahu sekarang mau kirim aku ke Indonesia, dua tahun lalu aku tidak perlu meminta putus padanya, saat ini dia pasti membenciku." Jessie menangis dalam hati, ia tidak sanggup jika harus bertemu Arkan saat di Indonesia, pemuda yang pernah mengisi hari-harinya kemudian ia patahkan hati pemuda itu karena suatu hal yang tidak bisa ia katakan.
"Tiket dan kebutuhanmu sudah di siapkan, kamu tinggal berangkat besok!" perintah Finlay tak mau tahu.
Mulut Jessie menganga tidak percaya, dia sampai mengacak-acak rambutnya sendiri karena frustasi.
"Daddy!!! Bunuh saja aku!!" teriaknya yang tidak digubris oleh sang ayah.
_
_
_
_
Hari berikutnya, tanpa mandi atau bahkan memakai make-up Jessie sudah dipaksa masuk pesawat. Untung dia masih diberi kesempatan ganti baju, kalau tidak dia mungkin akan naik pesawat dengan piyama gambar Pororo.
Jessie mencebik kesal, bahkan para pramugari sepertinya sudah bersekongkol dengan ayahnya. Itu bisa terlihat ketika dua pramugari tidak mau beranjak dari samping kursi yang ia duduki.
"Daddy keterlaluan!" gerutunya yang hanya disambut oleh senyum hangat dari dua pramugari itu.
Setelah pesawat lepas landas, dua pramugari itu meninggalkan Jessie di kursinya. Jelas gadis itu tidak mungkin bisa kabur dari dalam pesawat yang sedang mengudara.
Jessie menatap awan dari jendela, pikirannya ikut terbang melayang kembali ke masa dua tahun lalu ketika ia memutuskan hubungannya dengan Arkan lewat pesan Chat.
Kala itu ia mengetik kata yang tercipta menjadi sebuah paragraf yang panjang. Dia ingat betul bagaimana Arkan membalasnya.
[Kenapa kamu bilang begitu?]
[Apa ada masalah?]
[Jes! Jawab!]
[Jangan mengabaikan pesanku!]
[Aku butuh penjelasan!]
[Aku akan ke sana jika kamu tidak menjawab!]
[Jes! Aku serius!]
Jessie mendesah kasar, ia tidak berani menjawab pesan Arlan saat itu. Ia hanya membacanya kemudian mematikan nomornya, menggantinya dengan nomor baru. Ia bahkan sampai memutus hubungan komunikasi dengan Shelly dan Jihan kedua temannya yang ada di Indonesia.
"Semoga dunia tidak sesempit daun kelor, atau aku bertemu denganmu dengan cara seperti cerita di novel-novel atau drama telenovela. Jika bisa jujur, aku tidak siap bertemu dengamu dan aku masih merasa bersalah karena memberimu sebuah harapan yang semu."
Jessie masih menatap awan putih yang tercipta dari kepulan asap yang membentuk indah. Pikirannya benar-benar kalut di selimuti kegundahan rasa bersalah dan penyesalan.
_
_
_
_
Setelah perjalanan selama hampir tujuh jam. Pesawat yang dinaiki Jessie akhirnya mendarat dengan lancar di bandara terbesar di kota itu.
Berjalan dengan malas, Jessie menuruni anak tangga dengan kaca mata hitam yang menutupi manik mata hitam dengan bulu mata yang lentik. Menyeret kopernya, Jessie langsung disambut oleh sekretaris kepercayaan ayahnya di kota itu.
"Non Jessie, ya?" tanyanya dengan suara khas orang Jawa.
"Iya," jawab Jessie seraya membuka kaca matanya.
Pemuda itu mengulurkan tangannya, memberi salam seraya memperkenalkan diri. "Saya Feri, sekretaris di perusahan Tuan Finlay."
Jessie membalas jabat tangan Feri sebagai rasa hormat. Akhirnya Feri membukakan pintu mobil untuk Jessie dan mempersilahkannya masuk. Setelah memasukan koper Jessie di bagasi, sekretaris kepercayaan Finlay itu mulai mengemudikan mobil yang ia bawa menuju apartemen milik keluarga Jessie.
Sepanjang jalan, Jessie hanya mengamati jalanan yang dilalui. Semuanya terlihat berbeda setelah enam tahun, lebih banyak gedung-gedung yang menjulang tinggi juga kini area lapang sudah sangat jarang terlihat, semuanya sudah beralih menjadi perumahan atau gedung perkantoran.
Perusahaan ayah Jessie bergerak dalam ekspor impor produk makanan, perusahaan itu sudah berdiri dari Jessie kecil. Selama beberapa tahun ini perusahaan itu baik-baik saja. Tapi entah kenapa dua bulan lalu kinerja perusahaan itu menurun. Jessie yang awalnya menjabat sebagai wakil direktur di perusahaan ayahnya yang ada di Adelaide, tiba-tiba diminta sang ayah untuk pergi ke Indonesia mengurus perusahaan itu agar tidak bangkrut.
Bagi Finlay, perusahaan itu bangkrut dan tutup tidak masalah baginya karena ia masih memiliki beberapa cabang perusahaan di negara lain. Tapi bagaimana dengan nasib pekerjanya? Jika perusahaan itu ditutup, tentu saja akan ada ribuan karyawan dan pekerja pabrik yang akan menjadi pengangguran setelahnya. Inilah alasan Finlay meminta Jessie sendiri yang mengurusnya karena ia percaya jika putrinya itu pasti mampu.
"Mas Feri! Kamu kerja sama Daddy sudah berapa tahun?" tanya Jessie yang masih duduk di kursi penumpang dengan menyangga dagu menatap jalanan."Sudah sekitar lima tahun, Non!" jawabnya.Jessie mendeham, tatapannya masih tertuju pada jalanan yang sangat ramai sore itu. "Jangan pangil aku 'Non', bisa nggak Jessie aja!" pintanya."Ya, tapi nggak sopan!" Feri terlihat kikuk."Nggak apa, kalau kamu manggil 'Non' aku malah merasa aneh saja, lagi pula kamu nggak terlalu cukup tua dari aku, coba 'ku tebak! Umurmu pasti dua puluh delapan, hanya lebih tua dua tahun dariku, 'kan," ucapnya menebak.Feri mengusap tengkuknya kikuk, ia nyengir kuda seraya melirik bayangan Jessie dari kaca spion.Mobil itu masih melaju, tatapan Jessie menajam ketika melewati Mall terbesar di kota itu, apalagi kalau bukan PG Mall. "Apa dia masih kerja di sana? Kalau iya, maka aku tidak akan pe
Dodi yang tersadar jika Jessie menanti bantuan apa yang ingin dia minta pun tersenyum canggung, ia kemudian bertanya pada Jessie, merk kopi mana di antara dua kemasan di tangannya yang lebih nikmat.Mendengar pertanyaan Dodi tentu saja membuat Jessie hampir meledakkan tawa. Ia pikir bantuan apaan karena pemuda itu terlihat begitu serius."Ini!" Jessie menunjuk pada kemasan yang ada di tangan kanan Dodi.Setelah membantu memilihkan kopi untuk Dodi, Jessie langsung mengambil beberapa bungkus kemasan kopi yang ia inginkan, kemudian pergi dari tempat di mana Dodi masih berdiri mematung.Tersadar jika gadis yang sempat mengalihkan dunianya berlalu, Dodi secepat kilat mengejarnya yang sudah berdiri di mesin kasir."Semuanya dua ratus empat puluh lima ribu," kata kasir itu seraya memasukkan barang Jessie ke kantong.Jessie membuka dompetnya hendak mengambil lembaran uang dari sana, tapi te
"Ji, putramu mana?" tanya Jessie."It's time for me, tentu saja dia sama neneknya. Hahahaha." Jihan tertawa lepas, ia memang sengaja menitipkan putranya kepada sang nenek."Kita udah nikah, dapat bonus juga. Kamu kapan? Umur udah matang, jangan sampai nunggu perawan tua baru nikah!" cibir Shelly."Hei, hei! Mulut ibu-ibu ternyata lebih pedas dari sambal setan!" cibir Jessie balik."Ingat, kamu lagi hamil jadi jangan banyak marah-marah. Nanti darting, terus kata orang jawa kalau lagi hamil lalu benci sama orang, anaknya bakal mirip yang kamu benci. Mau anakmu mirip aku," timpal Jessie. "Eh, kayak aku tak apa, aku 'kan cantik," imbuh Jessie memuji diri sendiri."Cih, amit-amit mirip kamu, yang ada nanti anakku nggak laku kayak kamu meski cantik," cibir Shelly sedikit mendecih dengan mengusap perutnya yang besar."Ih ... kamu ya, suka banget doain aku nggak laku, ucapan adalah doa, kam
Diruang tempat bertemunya bagian penanggung jawab pinjaman, karyawan Arkan sedang melakukan diskusi dengan perwakilan Smith Company."Tidak bisa Nona, perusahaan Anda sedang tidak stabil dan kami lihat kalau harga saham saja sedang mengalami penurunan yang signifikan. Jadi kami tidak berani memberikan pinjaman dengan jumlah yang perusahaan Anda ajukan,"ujar karyawan itu."Tapi harga saham kami masih di atas rata-rata meski mengalami penurunan, bagaimana bisa kalian tidak mempertimbangkannya juga?""Tapi ini sudah peraturan, kami hanya bisa memberikan pinjaman antara lima puluh hingga tujuh puluh milyar saja," tandas karyawan itu.Jessie mendesah kasar, biaya operasional juga gaji karyawan yang sudah menunggak sebulan harus segera dibayarkan. Jika pinjaman yang diajukan kurang dari seratus, maka ia khawatir jika itu tidak bisa mencukupi mengingat kalau kas anak cabang perusahaan ayahnya itu sudah benar-benar me
"Kenapa?" tanyanya membuka percakapan mereka."kenapa apanya?" tanya Jessie balik mengalihkan tatapannya ke arah lain untuk menghindari tatapan Arkan.Arkan mengurai kedua tangannya, mengalihkannya ke kedua sisi kursi, bertumpu untuk mengunci Jessie di kursi yang diduduki. Ia menatap tajam mata gadis itu yang terus menghindari tatapannya."Jessie! Kenapa minta putus?!" Arkan menanyakan pertanyaan yang terus mengganjal di hatinya selama dua tahun ini."Tidak bisakah kita mengesampingkan urusan pribadi? Kita sedang di kantor, kenapa tidak membicarakan masalah bisnis!" kilah Jessie masih mencoba menghindar."Jangan mengalihkan pembicaraan, aku tidak akan membahas masalah bisnis sebelum tahu jawaban tentang pertanyaan yang tidak pernah kamu jawab!" paksanya.Jessie memejamkan mata sekilas, tidak ada alasan kenapa dirinya meminta putus. Hanya rasa bersalah karena terus memberi mimpi pada
Dodi langsung masuk ketika Feri pergi mengikuti Jessie. Ia terkejut ketika melihat Arkan sedang kesakitan karena kakinya terkena injakan sepatu fantofel milik Jessie."Kamu kenapa? Dan apa yang kamu lakukan, Ar!" Dodi menyelidik."Ahh ... bukan urusanmu!" Arkan masih dalam mode kesal.Arkan kembali ke kursinya, sungguh ia tidak menyangka kalau Jessie akan sampai sedikit kasar padanya. Arkan menyentuh bibirnya dengan jemari, ia bisa merasakan dinginnya bibir Jessie. "Apa sebegitu takutnya dia denganku sampai tubuhnya terlihat gemetar," gumamnya dalam hati."Ar! Kamu nggak melakukan pelecehan, 'kan! Tadi aku lihat dia keluar seraya menutup mulutnya," tuduh Dodi menatap curiga pada Arkan.Arkan hanya diam, ia enggan menanggapi perkataan Dodi, pikirannya masih tertuju pada Jessie. Beribu pertanyaan terus berputar di otaknya, kenapa dia tidak ingin kembali? Kenapa dia menolak?"Apa dia sudah menikah?" Arkan bertanya-tanya dalam hati. "Jika iya, lalu ak
Tian sudah berada di depan pintu kamar Jessie, pria itu sudah diberikan nomor kombinasi untuk membuka pintu oleh gadis itu sehingga langsung bisa masuk."Jes!" pangilnya mencari keberadaan Jessie.Tian berjalan menuju kamar yang terdapat di sana, pria itu membuka pintu kemudian melihat Jessie yang berbaring dengan selimut yang membungkusnya."Jes!" panggilnya lagi seraya berjalan mendekat ke ranjang Jessie."Ti-an, kamu sudah datang!" Jessie ingin membuka matanya tapi terasa berat.Tian langsung duduk di tepian ranjang Jessie, membuka selimut dan melihat keadaan gadis itu. Pria itu melihat ruam di kedua tangan Jessie yang membuatnya mendesah kasar."Sudah kamu minum obatmu?" tanya Tian.Jessie hanya mengangguk lemah, kepalanya masih terasa berat. Tian berdiri kemudian membuka koper yang ia bawa. Bukan pakaian yang ada di sana tapi peralatan medis, seperti stetoskop, cairan infus, obat-obatan juga selang dan penunjang lainnya.T
Tian baru saja kembali dari minimarket setelah membeli beberapa buah dan sayur untuk Jessie ketika bertemu Arkan di lift basement. Tian tahu Arkan karena dia sudah melihat foto pemuda itu. Namun, untuk memberitahu tentang Jessie dia tidak berani, takut jika membuat emosi dan suasana hati Jessie memburuk dan membuat penyakitnya semakin parah."Tian, kamu dari mana?" tanya Jessie yang baru saja bisa bangun dari tempat tidur dan sudah berdiri di ambang pintu kamarnya."Membeli buah dan sayur, lemari penyimpanan makananmu isinya sangat tidak baik untuk kamu konsumsi, jadi aku membelikan bahan makanan yang aman kamu makan," jawab Tian seraya menaruh belanjaan di atas meja makan.Pria itu mendekati Jessie yang masih berdiri bersandar kusen pintu, lantas menyentuhkan punggung tangannya ke dahi gadis itu, mengecek apa demamnya masih tinggi seperti semalam."Sudah turun," ucapnya, kemudian Tian menyibakkan le