Khayalanku terhenti saat tangan Mas Iqbal menarik tangan ini, memberi kode agar aku berjalan lebih cepat. Abah dan Umi sedang asyik berbincang dengan laki-laki setengah baya dan seorang wanita yang wajahnya sangat mirip dengan Mbak Hanum. Tidak salah, mereka pasti orang tua Mbak Hanum. Mas Iqbal memperkenalkanku pada mereka. Meski ada nyeri di relung hati, tapi aku berusaha setenang mungkin. Dengan sopan, aku menyalami mereka satu persatu. Mereka sangat ramah menyambutku. Kalau melihat penampilan dan cara bicaranya bisa aku pastikan suami istri ini dari kalangan terpandang. Pantaslah kalau Mas Iqbal memilih Mbak Hanum, bila dibandingkan, aku bukanlah apa-apanya. Aku baru saja akan menanyakan di mana Mbak Hanum. Namun, tiba-tiba kulihat sosoknya yang anggun bersama seorang lelaki gagah berbaju batik, melangkah ke arahku. "Nisaaa ... apa kabar? Akhirnya bisa datang juga di sini." Setengah berteriak Mbak Hanum menghampiriku. Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, Mbak Ha
"Aku kasihan padanya, Mas. Dia sama denganku, yatim piatu. Karena senasib itulah aku merasa cocok dengannya, meski tahu itu bukan cinta. Akan tetapi aku berharap lambat laun rasaku akan berubah, bisa mencintainya. Ternyata Allah berkehendak lain." Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulutku. "Nah itu, Nis ... Allah Maha Tahu, Dia tidak mengizinkanmu membohongi diri sendiri" Membohongi diriku sendiri? Maksudnya apa? Belum sempat aku bertanya, Mas Iqbal sudah kembali berucap, “selain membohongi dirimu sendiri kamu juga membohongi Mas Ilham, memberinya harapan. Seolah-olah kamu benar-benar mencintainya. Kamu tahu nggak kalau suka bohong hukumannya apa?" Dengan wajah dibuat-buat serius Mas Iqbal bertanya padaku, layaknya ustadz yang bertanya pada santrinya. "Masuk neraka, Ustadz ....!!!" Aku keraskan suaraku, bergaya seperti anak TK. "Itu sudah pasti kalau di akhirat, ya .... Kalau hukuman langsung di dunia apa coba?" Kembali Mas Iqbal bertingkah konyol. "Apa, ya?" Aku
"Nis, kerudungmu terbalik, benerin dulu sana di toilet." Lemas, letih, lesu, loyo dan entah apalagi yang kurasa saat mendengar apa yang ia bisikkan padaku. Aku seperti terlena di awangawang lalu tiba-tiba tanpa ampun terhempas ke bumi. Tak tahu seperti apa rupaku saat itu. Buru-buru kuteliti kain paris biru yang mentup kepala dan ... dyarrr !!! Ternyata benar, kerudungku terbalik! Secepat kilat aku berlari ke toilet, meninggalkan Mas Iqbal yang tertawa terpingkal-pingkal melihat tingkahku. *** Kupandangi pantulan wajahku di cermin. Pipi ini masih terasa panas dan memerah. Malu, kecewa dan entah apalagi yang kurasa. Astaghfirullahaladzim ... karena terlalu bersemangat untuk menemui Mas Iqbal, sampai-sampai kerudung yang kupakai terbalik. Beruntung Mas Iqbal mengetahui lebih awal, jadi aku bisa segera membetulkannya di toilet. Bayangkan, kalau sudah ke mana- mana baru ketahuan, mau ditaruh di mana muka ini? Aku terlalu berharap pada Mas Iqbal, ternyata dugaanku jauh d
Setelah menempuh perjalanan kira-kira dua setengah jam, akhirnya kami sampai di rumah sakit. Ada dua orang pengurus panti yang menemani Mas Irsyad. Menurut mereka, beberapa hari ini kondisi Mas Irsyad tidak fit, dokter di panti menyarankan Mas Irsyad untuk istirahat. Namun, Mas Irsyad tidak mengindahkan. Ia tetap membantu pengurus panti bekerja. Puncaknya, saat salah seorang temannya mendapati Mas Irsyad tergeletak di kamar mandi. Mungkin karena terlalu capek, ditambah kondisi badan yang drop hingga akhirnya ia terjatuh usai mandi. Setelah diperbolehkan oleh dokter, akhirnya kami masuk ke ruang rawat. Sementara kedua orang tadi minta ijin untuk kembali ke panti. "Abah ... Umi ...," sambut Mas Irsyad dengan suara serak. Ia berusaha bangkit dari tidurnya, namun buru-buru Umi melarang. Selama tinggal di rumah Abah dan Umi, baru kali ini aku bertemu dengan putra tengah keluarga Hambali. Meski bertetangga, tapi Mas Irsyad di pesantren jadi kami jarang bertemu. Terakhir mungkin lima atau
Abah memandang kami bergantian. Lalu, disusul Umi masih dengan sisa kantuknya, menyembulkan kepala dari balik pintu kamar mandi. Mereka pasti terbangun karena mendengar keributan. "Kalian ... ngapain berdua di kamar mandi?" tanya Abah terheran-heran. Kulihat Umi juga tak kalah herannya. Sementara Mas Irsyad malah tersenyum nakal melihatku panik dan malu. Aku bergegas keluar dari kamar mandi, Mas Irsyad otomatis mengikuti, karena kantong infus masih aku angkat. Segera kugantung kembali kantong itu pada tiangnya. Setelah itu Mas Irsyad masuk kembali ke kamar mandi. Kali ini Abah yang membantu membawa tiang infus, memasukkan benda panjang berbahan stainless itu ke dalam kamar mandi. Melihat apa yang Abah lakukan, membuat diri ini tiba-tiba menjadi orang terbodoh di dunia. Kenapa tadi aku melepas kantong infusnya? Seharusnya membiarkan tetap tergantung lalu memasukkan ke kamar mandi dengan tiangnya, seperti yang Abah lakukan. Agar semuanya jelas, dan untuk menghindari salah
Hari ini dua minggu sudah Mas Irsyad tinggal bersama kami. Perlahan kondisinya makin membaik, meski harus tetap rutin berobat jalan ke rumah sakit. Rencananya, malam ini Abah dan Umi akan menggelar tasyakuran atas kepulangan dan kesembuhan Mas Irsyad juga wisuda Mas Iqbal. Sudah pasti seluruh anggota keluarga akan berkumpul. Tak terkecuali Mas Iqbal yang usai wisuda belum sempat pulang. Bahkan Mbak Ainun sudah datang dari tadi pagi bersama Mas Anas. Melalui pesan singkat, Mas Iqbal mengabarkan akan berangkat dari Semarang pagi hari. Berarti siang ini dia akan sampai rumah. Kembali Mas Iqbal berjanji saat sampai rumah nanti akan melanjutkan kalimatnya yang terpotong, karena Abah meneleponku saat di menara masjid. Jujur, aku sangat penasaran dengan apa yang akan Mas Iqbal katakan padaku. Karena itulah, kedatangannya kali ini sangat aku nantikan. Waktu berjalan begitu lambat, sementara degup di dada terasa semakin cepat. Agar lebih rileks aku membantu Umi melipati tisu untuk acara
POV IqbalKejutan pertamaku sukses membuat Nisa tertegun. Gadis pujaanku itu terkaget-kaget, saat Hanum mengenalkan Mas Haris sebagai calon suaminya. Kini, semoga ia menyadari jika dugaannya selama ini--dengan menganggap Hanum sebagai kekasihku--adalah salah besar. Akan kubuat ia makin terkejut, saat kuungkapkan rasaku padanya di menara masjid. Huft! Aku teringat kembali kejadian setengah bulan lalu saat baru selesai diwisuda.Kita bisa saja berencana namun, Allah yang menentukan segalanya. Dulu, aku mengabaikan kata-kata itu, sebelum kejadian di menara Al Husna terjadi. Niat hati ingin memberi kejutan untuk Nisa, tapi sebaliknya, justru aku yang terkejut karena tiba-tiba Abah menelepon dan mengabarkan bahwa Mas Irsyad terjatuh.Tidak hanya itu, kembali kubenarkan kata-kata bijak tadi, saat berencana akan mengungkapkan rasaku--yang terpotong saat di menara. Namun, Allah berkehendak lain.Berawal di Sabtu pagi, saat Mas Irsyad mengantar Nisa ke kampus. Ada nyeri menyusup di relung hati
KAULAH YANG MEMBUAT AKU INGIN HIDUP SERIBU TAHUN LAGI" Begitulah bunyi tulisan yang ada di bagian kanan bawah lukisan. Tak lupa Mas Irsyad menuliskan tanggal lukisan itu dibuat, tanda tangan, serta namanya.Hatiku seperti dicabik-cabik, dadaku bergemuruh, tubuhku bagai tersetrum aliran listrik ribuan watt. Memang tidak ada kata cinta di kalimat itu, tapi kalimat itu sudah mewakili betapa dalam perasaan Mas Irsyad pada Nisa.Teringat kembali saat aku menangis meraung-raung karena mobil remote mainanku direbut oleh Mas Irsyad. Haruskah sekarang aku juga melakukan hal yang sama seperti lima belas tahun lampau? Menangis lalu mendatangi Mas Irsyad, meninju dadanya bertubi- tubi dengan kedua kepal tanganku. Lalu, berhenti saat Mas Irsyad dengan wajah merengut melemparkan mobil remote ke arahku.Terbayang kini tubuh ringkihnya pasti akan terhuyung lalu ambruk tak berdaya jika aku meninjunya. ‘Tega jah kau lakukan itu pada Mas Irsyad, kakakmu sendiri? Yang kini sedang merangkak menggapai hidu