Berhadapan dengan situasi seperti ini, waktu terasa begitu lambat bagi Khairul. Detik demi detik sangat berharga baginya.
Laki-laki itu terlihat tengah berjalan mondar-mandir di depan sebuah ruangan yang tertutup rapat. Pikirannya melayang mengingat sang istri di dalam sana yang tengah berjuang menjelang proses persalinan. Penantian ini terasa begitu mencekam.
"Tidak apa-apa. Naila pasti kuat kok," tegur sang Mama melihat anak lelakinya tampak begitu gelisah.
"Dia begitu kesakitan, Ma. Khairul tidak tega melihatnya."
"Setiap wanita yang mau melahirkan memang begitu. Mana ada yang melahirkan tidak sakit, Rul?" Perempuan itu memberi isyarat putranya untuk mendekat.
"Memangnya sakit sekali ya, Nek?" celutuk Nayra.
Gadis kecil itu baru saja pulang dari sekolah. Dia sampai ke rumah sakit dan tidak sempat menemui sang ibunda, karena Naila sudah keburu
Naila masih setia menimang ponsel yang baru saja ia non aktifkan. Tangannya gemetar. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Dia masih tak percaya dengan kejadian yang baru saja ia alami. Sebuah pembicaraan lewat telepon yang sungguh membuatnya terguncang. Seorang perempuan tak di kenal yang mengaku bernama Elfira, mendadak mempertanyakan sebuah nama yang selama beberapa bulan ini menghuni sebuah ruang di dalam kenangannya. "Ada hubungan apa kamu dengan Ammad?" Hampir saja benda pipih berbentuk segi empat panjang itu luruh dari telinganya. Perempuan itu hanya sanggup mengelus dada. Dia merasakan jantungnya bergerak lebih cepat. Ya, nama itu. Lagi-lagi perempuan itu menyebut nama Ammad! "Kamu siapa?" tanya Naila. "Aku Elfira, saudaranya Ammad." "Ohh.. Tidak ada hubungan apa-apa, Kak. Hanya sekedar teman," jawabnya sembari berusaha untuk tetap tenang.
Dua tahun yang lalu .... Naila tengah asyik mencuci piring di belakang warung ketika ibu Diana datang menghampiri dirinya. "Naila, ada yang mencarimu di depan." Wanita muda itu menoleh, lalu mengerutkan keningnya. "Siapa, Bu?" tanyanya. "Tinggalkan saja pekerjaanmu, Naila. Temui dulu orangnya. Sejak tadi ia menunggumu." Wanita setengah baya itu tersenyum tipis. Masih dengan hati yang bertanya-tanya, Naila mencuci tangannya sampai bersih. Ia merapikan jilbabnya, lalu beranjak pergi dari tempat itu. "Bang Ammad," seru Naila saat masuk ke ruangan depan warung. Laki-laki itu melambaikan tangan. Seulas senyum tersungging dari bibir polos tanpa lipstik itu. "Ade malam ini ada acara?" tanyanya. Mereka tengah duduk berhadapan. "Setelah selesai kerja, biasanya Ade langsung pulang. Kasihan Nayra di
Di hadapan mereka telah terhidang dua porsi nila goreng dan satu porsi ayam goreng request Nayra. Ada juga lalapan serta sambal terasi. Nasi yang masih hangat dan tak lupa dua gelas teh hangat sebagai teman makan yang sempurna. Nayra memilih minum dengan air putih. Hahaha... Ada-ada saja request gadis kecilnya. "Makanan dah siap," seru Ammad sembari bertepuk tangan. "Wah, ada ayam goreng," pekik Nayra. Jelas tergurat rasa senang di wajahnya. Naila memandang gadis kecilnya dengan rasa iba. Di tengah keterbatasan kondisi ekonomi mereka, Naila tidak bisa membelikan ayam untuk Nayra setiap hari. Pekerjaannya hanya membantu di warung ibu Diana dengan upah yang tak seberapa. Paling kalau lagi beruntung, dia bisa membawa sisa lauk dan sayur yang tak terjual dari warung itu. "Iya, Sayang. Makan yang lahap ya," ucap Naila sambil tersenyum. Dia segera mencuci
Waktu yang semakin beranjak siang membuat warung ibu Diana semakin ramai oleh pengunjung. Naila sibuk dengan pekerjaannya. Menyiapkan makanan pesanan pengunjung, mengangkat peralatan makan yang kotor, membersihkan meja bekas makan, bahkan mencuci piring dan gelas. "Ade." Naila mengurungkan niatnya untuk membawa piring dan gelas kotor ke belakang warung, ketika di lihatnya sosok lelaki gagah itu bergegas menghampirinya. "Abang." Ada binar di matanya. Sekilas ia mengamati penampilan laki-laki yang baru datang itu. Semakin hari sosoknya terlihat semakin menawan di dalam pandangannya.. "Abang mau makan apa?" tanyanya. "Apa saja, Ade. Asal jangan masakan yang rasanya agak manis. Abang tidak suka." "Silahkan Abang pilih sendiri. Ade gak tahu makanan kesukaan Abang," ucapnya. Laki-laki itu mengamati berbagai macam masakan yang ada di hadapannya, kemudian m
Naila buru-buru meneguk minumannya untuk menetralisir kecamuk rasa yang bergejolak di dadanya. "Nayra ngomong apa sih?" sergahnya. "Insya Allah kalau Mama ada uang, Nayra bisa makan ayam goreng. Kita tidak perlu menunggu om Ammad mengajak jalan," ucapnya sambil mengelus rambut anak itu. "Tapi beda rasanya, Mama," bantah Nayra. Wajahnya mendadak murung. "Beda apanya, Sayang? Kan sama saja makan ayam goreng juga," sahut Naila. "Beda, Ma. Kalau makan ayam goreng dengan om Ammad bisa sambil ngobrol macam-macam. Kan rame, Ma," sambungnya. Naila seperti tertohok. Barulah ia paham dengan maksud pembicaraan putri semata wayangnya. Gadis kecilnya merindukan sosok seorang ayah di dalam kehidupannya. Sosok seorang ayah yang tak akan pernah di temui seumur hidupnya. Naila menatap putri kecilnya dengan perasaan iba. "InsyaAllah, nanti om Ammad mengajak jalan lagi. Nayra berdoa saja ya," hibur wanita muda itu, meskipun ia tenga
"Ada hubungan apa kamu dengan laki-laki itu, Nak? Mama lihat kamu sudah begitu dekat dan Nayra pun begitu menyukainya." "Tidak ada hubungan apa-apa, Mama," *Mama lihat Ammad menyukaimu," bantah ibunya. "Naila hanya menganggapnya sebatas teman dan saudara, Ma. Buat Naila, bang Ammad hanya sebatas abang yang baik dan perhatian kepada Naila dan Nayra." "Hubungan kalian sudah terlalu dekat, Sayang. Mama bisa melihat, bagaimana sorot mata laki-laki itu memandangmu. Mama ini juga pernah muda, Nak." Naila menghela nafas panjang, seolah ingin membuang segala rasa di dalam dadanya. Matanya kosong menatap langit-langit kamar. Ibunya masih setia memperhatikan dari sisinya. "Naila juga bukan anak kecil lagi, Mama. Naila pun mengerti arti dan sikap seorang laki-laki, tapi Naila tidak mau gegabah. Karena boleh jadi, perhatian dan sikap bang Ammad selama ini hanya sekedar untuk mengekspresikan rasa sayangnya kepada Naila dan Nayra. Mungkin dia merasa
"Abang minta maaf karena kemarin tidak main ke sini. Kebetulan Abang sedang ada urusan di Banjarmasin. Ade tidak apa-apa, kan?" ujarnya ketika perempuan itu menaruh satu porsi nila goreng lengkap dengan sambal kesukaannya. "Tidak apa-apa, Bang. Lagian juga buat apa Abang minta maaf. Abang tidak punya salah apa pun," sahut Naila. "Terima kasih ya, De. Oh, ya, besok hari minggu. Ade dan Nayra mau nggak Abang ajak jalan-jalan lagi?" Naila hanya membalas dengan sebuah senyuman. "Ade tanya Nayra dulu ya." "Ya Allah ... semuanya tergantung dengan Nayra." Laki-laki itu tertawa kecil. Dia memulai ritual makan siangnya. Lembut dan gurih daging ikan nila goreng berpadu dengan sambal yang terasa pas di lidahnya. "Habis mau gimana lagi? Nayra itu putri Ade satu-satunya dan Ade tidak mau jalan bersama dengan seorang laki-laki yang tidak disukai oleh Nayra." "Iya
Pagi ini begitu cerah. Hanya sedikit awan yang memenuhi biru warna langit. Matahari bersinar, membiaskan rasa hangat hingga sampai ke hati. Naila sudah siap dengan gamis biru kesayangannya dengan di padu jilbab warna senada. Demikian juga Nayra. Sejak tadi ia sibuk berceloteh dan bertanya pada Naila, kapan om Ammad datang menjemput mereka. Sebuah mobil berhenti tepat di halaman rumah. Naila menengok ke depan. "Om ...!" pekik Nayra. Gadis kecil itu berlari menghampiri Ammad. Laki-laki itu mencondongkan badannya untuk merangkul tubuh mungil Nayra. "Apa kabar, gadis kecil Om?" tanyanya. Ia mengusap pipi "Baik, Om. Nayra kangen dengan Om. Udah beberapa hari tidak ke sini," ucapnya polos. Ammad tertawa. Dia mencubit hidung Nayra dengan gemas. "Om juga kangen Nayra. Sudah beberapa hari ini Om banyak pekerjaan,"" sahutnya.