Share

Bab 4 Mengantar Afikah

Kesabaran adalah obat terbaik dari segala kesulitan. Sabar dan ikhlas kunci sukses menjalani segala cobaan yang Allah berikan, agar hati dan keyakinan kita tetap kuat bertahan. Ditengah kepungan badai yang menghantam, kuat menjalaninya  selagi dirinya tetap bersamanya.

***

Ucapan Vika masih terngiang di telinga Afikah. "Bagaimana oma bisa menilaiku seperti itu, apa yang ia sangkahkan itu sangat salah, bahkan sedikit pun aku tidak memikirkan tentang harta keluarga ini," batin Afikah.

Afikah melamun saat dirinya memotong dan meniris bawang. Tanpa dirinya sadari tangannya terkena sayatan pisau itu, bik Ijah yang melihat darah di jari Afikah, segera menyadarkan Afikah. 

"Non, jarinya non Afikah berdarah, kok bisa sih, Non? Berdarah seperti itu, tapi tidak berasa," ucap bik Ijah panik, ia segera mengambil kotak p3k dan mengobati luka sayatan di jari Afikah. 

"Maaf ya, Bik.  Saya sudah merepotkan bibik," ucapnya.

"Iya, Non. Untung saja luka sayatannya nggak dalam. Lain kali hati-hati ya," ucap bi Ijah menasehati. 

Afikah tersenyum. "Iya, Bik. Makasih ya," ucapnya.

"Sama-sama, Non."

Malam ini mereka makan malam bersama, Renata selalu bisa mencairkan suasana yang sedikit hening itu.

"Kak, tau nggak? Ajeng marah padaku saat aku menceritakan kakak menikah dengan kak Afikah," ungkap Renata.

"Iya, tadi siang, kami juga ketemu Anin, dia sempat marah juga," ucap Rayyan.

"Tuh dua bersaudara nggak pernah merasa bersalah ya! sifatnya ada aja, buat masalah terus."

Afikah hanya mendengar tanpa harus bertanya seperti keluarganya yang lain yang tetap diam menyimak. Dirinya selalu menunduk bila Vika menatap sinis ke arahnya. Rasanya Afikah tidak bisa lagi menelan makanannya apa lagi harus  menghabiskan makanannya itu. Namun Afikah tidak mau makanannya mubazir terbuang sia-sia,  karena ia sangat tau masih banyak orang di luaran sana kelaparan, ia tidak boleh membuang makanan dan menyia-nyiakannya.

Devan yang sekilas melihat Afikah merasa tidak nyaman, bahkan sejak tadi Afikah hanya mengaduk-aduk makanannya sambil menunduk takut, ia melirik ke arah Vika, istrinya. Dirinya tau Afikah begitu karena ditatap sang istri dengan tatapan tajam. 

"Nak Afikah, makanannya nggak enak ya? Kok sejak tadi opa lihat nak Afikah tidak berselera untuk makan? Apa nak Afikah sakit?" tanya Devan perhatian.

Rayyan dan semuanya melihat ke arah Afikah.

"Kamu sakit, Nak?" tanya Amirah lembut. 

"Ti-tidak kok, Opa, Bunda. Saya tidak apa-apa! Juga tidak sakit!  Makanannya juga enak kok,"  ucapnya. 

"Ya sudah, dimakan ya, Nak. Jangan diaduk-aduk saja biar perutnya terisi," ucap Devan lagi.

"Iya, Opa. Terima kasih."

"Mau aku suapi ...?" tawar Rayyan. Membuat Afikah langsung menggeleng malu. 

Semua yang ada di meja makan, yang sudah selesai dengan makannya  tersenyum sambil geleng kepala. 

"Dasar modus ... Mentang-mentang pengantin baru, dunia serasa milik berdua yang lain cuma numpang lewat," ucap Renata nyengir.

"Suka-suka aku 'lah! Usil banget nih bocah," jawab Rayyan.

"Ya gitu ya, kacang lupa kulitnya! nggak mau terima kasih sama adik kakak yang cantik ini? yang selalu bisa diandalkan! mana bonusnya? kakak bilang kalau kakak menikahi kak Afikah aku dapat bonus, 'kan aku yang jomblangin kakak," ucapnya. 

Afikah menatap Rayyan,  dirinya baru tau ternyata Renata memang selama ini sengaja mendekatkan dirinya dengan Rayyan.

"Iya-Iya kakak nggak akan luka, dan terima kasih atas jasanya juga bantuannya. Emang mau bonus apa?"

Renata nyengir. "Yuhu ... Bonusnya beliin adek hp baru yang keluaran terbaru dan_"

"Sayang ... Nggak boleh gitu dong kalau bantu itu yang ikhlas pantang mengharapkan imbalan, 'kan memang dari awal niatnya adek sendiri  jomblangin kakak sama kak Afikah, sebelum kakak nyuruh adek," potong Amirah.

Renata langsung cemberut dan menunduk malu. "Nggak apa, Bun. Kakak sudah janji kok sama adek, bakal ngasih yang adek minta," ungkap Rayyan. 

"Kan bunda denger sendiri kakak bilang apa, kakak sesendiri yang mau ngasih kok," lirihnya.

Amirah hanya bisa tersenyum melihat tingkah sang putri.

"Nggak apa adek minta ke kakak hadiah tapi nggak boleh terlalu beratin kakak ya! apalagi barang yang mahal, pilih barang yang bermanfaat buat adik nggak harus mahal banget yang penting bermanfaat." Kenzo menasehati sang putri. 

"Iya, Ayah. Nggak terlalu mahal kok, juga bermanfaat pastinya, hp adek sudah sering lemot, adek pingin hp yang ramnya besar biar gampang dan nggak lemot lagi, terus adek juga minta beliin kamera digital buat menunjang hobi adek, yang suka fotografi," ucapnya. 

Kenzo langsung tersenyum. "Itu sama saja adek merampok kakak, kamera digital yang adek bilang ke ayah itu harganya mahal sekali,  untuk kamera digitalnya biar ayah yang beliin, kakak cukup beliin adek ponsel aja ya," tawar Kenzo. 

"Beneran, Ayah?" ucapnya berbinar.

"Iya, beneran!" ujar Kenzo. 

"Alhamdulillah, asyik ...," teriaknya. 

"Makasih, Ayah. Ayah memang the best deh," pujinya.

Vika yang terlihat tidak menyukai hal itu langsung berdiri dan pamit untuk segera istirahat di kamarnya. 

Semua yang menyadari itu langsung terdiam.

"Kalian juga istirahat ya!" ajak Devan pada kedua cucunya dan cucu menantunya. Devan segera menyusul Vika masuk ke kamar mereka. 

Rayyan kasihan melihat Afikah yang tidak nyaman dengan tingkah sang oma. 

"Sayang, kita ke kamar yuk!" ajaknya. Afikah mengangguk.

Saat ini mereka sudah berada di kamar mereka. 

"Maafin oma ya, kalau sering buat kamu nggak nyaman," ucapnya sambil menggenggam jemari Afikah.

"Aku nggak apa kok, Mas. Aku bisa mengerti atas sikap oma padaku, yang penting kalian semua menyayangiku, terutama kamu. Karena kamu alasan aku ada di sini," ucap Afikah.

"Aku akan selalu mencintaimu, dan aku tidak akan menyakitimu," ujarnya. 

"Terima kasih, Mas. Biarkan oma begitu, dan biarkan sang waktu yang akan merubah sikap oma padaku, aku juga sangat menyayangi oma, Mas," ucapnya tulus. 

Rayyan tersenyum mengangguk. "Terima kasih juga, Sayang.  Atas pengertiannya. Hati kamu naik sekali. Semoga oma segera menyadari ketulusan kamu."

Rayyan mencium kening Afikah sedikit lama, lalu turun ke bibir Afikah, lalu seterusnya mereka sama-sama larut dalam perasaan, mereka sama-sama terbuai dalam gairah, mereka pun melakukan penyatuan, penyatuan penuh gairah dan  cinta keduanya.

***

Minggu ini Afikah ada ujian di kampusnya, ia sudah berangkat sejak pagi setelah sarapan, seperti biasanya Rayyan dengan setia mengantarkan sang istri.

Saat menurunkan Afikah, Rayyan melihat ada seorang pemuda yang berdiri di depan gerbang,  pemuda yang kemarin siang ia temui bersama Afikah di kafe tempat Afikah bekerja dulu. Ya, pemuda itu adalah Ridho.  Entah ada perasaan tidak suka pada Ridho, apa lagi sepagi ini pemuda itu sudah berada di kampus sang istri. 

"Ada perlu apa tuh cowok, pagi-pagi ke kampusnya Afikah, bukannya dia kuliah di Australia," batin Rayyan.

Rayyan melihat Ridho yang mulai berjalan ke arah Afikah dan dirinya dengan senyuman yang membingkai wajah tampannya.

"Selamat pagi, Fik, Mas Rayyan," sapanya dengan suara yang lembut dan sopan. 

"Pagi ...," jawab Afikah dan Rayyan.

"Lho sepagi ini kok ada di sini?" tanya Afikah. 

"Iya, aku beli bubur ayam kesukaanku yang ada di depan sana, " ucapnya sambil menunjuk ke arah kedai bubur ayam depan kampus ini.

"Terus aku ingat kalau kamu kuliah di sini,  kebetulan sekali aku juga ingin minta maaf pada kalian berdua atas kejadian kemarin, mohon dimaafkan ya. Maafkan juga sikap kak Anin yang mungkin kekanak-kanakan," ucapnya dibuat seiba mungkin.

Ridho sangat tau sahabatnya itu begitu lembut hatinya. Afikah juga pemaaf meskipun banyak orang yang menyakitinya. Afikah juga tidak tega menolaknya bila seseorang meminta bantuan padanya.

"Iya, kamu tenang aja, kami memaafkanmu, kamu hanya salah faham pada kami dan kami ngerti 'kok. Aku sudah memaafkan kak Anin juga 'kok," jawabnya. 

"Mas  Rayyan juga mau kan maafin aku dan kak Anin?" tanyanya. 

"Tentu ... Aku sudah  memaafkan kalian 'kok," jawab Rayyan juga.

"Makasih ya, ya sudah aku cabut dulu ya, mungkin pesananku sudah selesai dibuatkan," ucap Ridho meninggalkan keduanya. 

Afikah segera masuk ke dalam kampus setelah menyalami punggung tangan Rayyan.

"Nanti mas jemput ya, Sayang."

"Iya, Mas."

"Nanti kirim pesan atau langsung vc mas ya, Sayang."

"Siap,  bosku ...," ucap Afikah sambil memberi hormat layaknya seorang polisi .

Rayyan tersenyum. 

"Udah ...  langsung masuk nggih! Belajar ya bener,"

Afikah tersenyum mengangguk sambil memberi kode hormat lagi pada Rayyan.

Rayyan sangat bahagia bisa melihat senyuman di wajah cantik Afikah, dan ia bahagia senyuman itu ia yang memberinya pada Afikah, bahagia bahwa dirinya menjadi alasan Afikah untuk tersenyum dan dekat dengannya.

"Aku mencintaimu Afikah dan selamanya akan seperti ini," gumamnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status