Share

4. Kepulangan Dennis

Author: Y Airy
last update Last Updated: 2024-05-29 22:58:23

"Eh, Tom. Kamu yang jemput aku?" tanya Melanie, pagi itu Tomi yang menjemputnya,

"Lo berharap si palyboy tengik itu, ngarep banget sih lo sama dia!"

"Yee, siapa juga, aku tuh cuman nanya!"

"Emangnya gue nggak pernah jemput lo apa?" protes Tomi.

"Udah ah, ntar telat!" serunya naik ke motor Tomi, "Jalan!" sambungnya menepuk pundak temannya, mereka pun melaju ke sekolah.

Ryo mengejar Vera yang terus menghindarinya, "

"Ver, please ... kasih gue kesempatan sekali lagi!" pintanya sambil memegang lengan gadis itu dengan kuat,

"Lepasin, Yo. Gue udah bilang sama lo gue nggak mau balikan sama lo!" katanya melepaskan diri dan terus berjalan.

"Tapi Ver ...,"

"Cukup!" potongnya sambil berbalik ke Ryo yang terus mengikutinya,

"Lo berhenti ikutin gue atau gue teriak nih!" ancam Vera lalu berbalik lagi dan melangkah, Ryo hanya diam memandang gadis itu berlalu darinya, kemudian ia meninju angin dengan kesal.

Saat itu Ruben lagi ngumpul berempat di tangga, Vera melewati mereka, sempat melirik sejenak. Ruben memandangnya hingga menjauh dan tiba-tiba ia beranjak mengejarnya.

"Ben, lo mau ke mana?" tanya Rico, tapi temannya itu tak menyahut, ia menghampiri Vera,

"Hai Ver!" sapanya, Vera menoleh, ia sedikit terkejut tahu siapa yang mengejarnya.

"Ben!" berhenti.

"Mau ke mana?"

"Ke ruang OSIS!"

"Bareng yuk!" ajaknya.

"Emangnya lo mau ngapain ke sana?" tanyanya heran, karena ia tahu Ben tak punya kepentingan di sana.

"Nganterin lo " jawabnya singkat,

Vera tersenyum, "Nggak ada yang marah nih?"

"Kalau pun ada ... cuekin aja lagi!" jawabnya lagi, Vera kembali tersenyum sambil geleng kepala pelan. Mereka berjalan ke ruang OSIS sambil sama-sama mencuri pandang sesekali. Sebenarnya yang sesekali mencuri pandang itu Vera, kalau Ruben sudah jelas memandangnya sepanjang perjalanan sampai di depan pintu ruang OSIS, mereka berhenti di sana sejenak, saling memandang sebelum Vera masuk dan membiarkan Ruben masih di pintu, berdiri sambil mengantongi tangannya dan tersenyum.

***

Dennis turun dari taxi sambil membawa sebuah koper, ia memasuki halaman rumahnya dan mengetuk pintu, tak berapa lama mbok Jah membuka pintu dari dalam,

"Eh, Den Dennis!" mata wanita itu mengerjap.

"Ruben ada di rumah, Mbok?"

"Lho ... ini kan masih jam sekolah, Den. Ya masih di sekolah, tapi biasanya Den Ruben pulangnya sore atau malam!"

"Apa! Malam, anak itu!" herannya lalu ia masuk ke dalam rumah, "Jika dia pulang Bari tahu aku, aku mau istirahat dulu!"

"Iya, Den!" jawab wanita tua itu sambil menutup pintu.

Dalam perjalanan hp Ruben berdering beberapa kali, itu dari Vera, selama jam pelajaran terakhir tadi Ruben asyik chatting dengan Vera. Ruben tak mengangkat teleponnya karena ia sedang bersama Sita.

"Kenapa nggak diangkat?"

"Lagi nggak mau angkat aja,"

Ben mengantar Sita langsung pulang ke rumahnya padahal sebenarnya tadi Sita memintanya untuk menemaninya ke salon. Mereka berdiri di depan pintu.

"Bener nih lo nggak mau mampir?" tanya Sita penuh harap

"Gue buru-buru!"

"Karena temen-temen lo lagi?" Sita mengerucutkan bibirnya yang tipis.

"Gue juga punya privasi kan," jawabnya sambil berjalan menuju mobil,

"Pasti karena Melanie, kan?" teriak Sita. Ben menghentikan langkahnya,

"Kenapa sih lo selalu mentingin dia banget? Sedikit-sedikit Melanie, emangnya dia itu istri lo!" kesal Sita.

Ruben berbalik, "Gue udah bilang sama lo buat nggak ngurusin urusan gue, gue nggak suka sama cewe manja dan cerewet kaya' lo, ngerti !" marahnya, dan kemarahan itu jelas terlihat di matanya. Ia memang tidak suka jika ditanyain soal hubungannya dengan Melanie.

"Ben!" Sita mulai panik, takut jika cowo itu mutusin hubungan mereka.

"Gue harap ini terakhir kalinya lo bahas soal ini!" gerutunya lalu kembali berbalik ke mobilnya dan masuk ke sana.

Sita melangkah mengejar, "Ben!" ia meraba kaca mobil itu, "Ben, lo nggak marah kan? Ben maafin gue!" rengeknya tapi pemuda itu tidak peduli, ia menginjak gas mobilnya dan melaju kencang.

"Ben!" seru Sita, ia mengambil teleponnya dan menelpon Ruben, tapi tak pernah diangkat. Lalu ia mengirim pesan singkat di chattroom. Ruben bahkan tak menyentuh hpnya sama sekali, ia terus melaju.

***

Vera duduk di taman sambil sesekali melihat jam tangannya, ia mulai kesal. Tiba-tiba ada sekuntum bunga di hadapannya, tangan Ruben muncul dari belakang, Vera mengambil bunga itu, Ben pun duduk di sampingnya.

"Sorry ya nunggu lama!"

"Oh, nggak apa-apa kok, pasti sulit ya melarikan diri dari Sita?" katanya dengan nada yang penuh pengertian.

"Nggak juga sih!"

Mereka akhirnya pergi jalan-jalan seharian. Sekitar jam 10 malam Ben baru masuk rumahnya, ketika ia hendak naik ke tangga, ia dikejutkan dengan suara seseorang.

"Bagus, anak sekolah larut malam baru pulang, mau jadi apa kamu?"

Ruben menoleh, "Kak Dennis!" desisnya, ada rasa bahagia juga rindu saat melihat sosok Dennis.

Dennis mendekat , "Kenapa kamu ini, semakin lama malah semakin liar, keluyuran tiap malam!"

Wajah Ruben berubah sekejap, "Gue cuman main, Kak!" cueknya, ia pikir Dennis akan memeluknya dengan kerinduan yang sama seperti yang ia rasakan.

"Main, main apa, main dengan para berandalan di jalanan! Mabuk-mabukkan, buat malu keluarga!"

"Ok, gue emang suka mabuk, bisanya cuma main-main, tapi lo sadar nggak itu karena apa? Buat apa gue diem di rumah yang udah kaya' kuburan, nggak ada kehidupan sama sekali! "

"Ruben!"

"Lo," tunjuk Ruben ke dada kakaknya "Lo itu nggak ada bedanya sama mama dan papa, semuanya sama !" geramnya lalu berlari ke atas ,

"Ben, Ruben!" seru kakaknya tapi Ruben tak menggubrisnya, ia masuk ke kamarnya dan mengunci pintu, membanting tasnya ke ranjang. Rumahnya sekarang memang sudah berbeda, berbeda dari 12 tahun yang lalu, sebelum usianya 6 tahun rumah itu seperti surga, penuh dengan tawa dan kasih sayang tapi entah kenapa lambat laun itu semua menghilang dan mulai pudar, hanya ada tangan neneknya yang masih menghangatkan suasana dan memberinya kasih sayang hingga akhirnya nenek pun harus meninggal saat usianya masih 10 tahun, saat itulah semua berubah, rumah itu benar-benar sepi, tak ada lagi tawa yang bergema, semua orang sibuk, ia hanya bermain ditemani piano peninggalan nenek dan bayang-bayang dari neneknya dan juga kenangan masa kecil.

***

Paginya Ruben duduk di meja makan, ia meneguk segelas susu hangat dan menggigit rotinya lalu mengunyahnya, saat itu Dennis datang dan duduk di hadapannya, ia meneguk segelas air putih sambil memandang adiknya.

Ruben berdiri dan mulai melangkah,

"Kamu mau ke mana?"

"Ya sekolah, ke mana lagi?"

"Ini masih terlalu pagi!"

"Nggak ada bedanya!" jawabnya lalu melanjutkan langkah, Dennis hanya diam. Ia pikir tak ada gunanya berdebat dengan adiknya saat ini, anak itu pasti tidak akan menggubris ocehannya.

Di sekolah ....

Ryo masih berusaha membujuk Vera, tapi nampaknya sudah tak ada lagi kesempatan untuknya. Vera melihat Ruben keluar dari mobil, ia pun meninggalkan Ryo dan menghampiri cowo incaran para cewe itu.

"Hai, Ben!" sapanya,

Ruben pun tersenyum padanya, Ryo melihat itu dari tempatnya berdiri.

"Ruben! Oh ... jadi karena dia Vera nggak mau balikan lagi sama gue? Kenapa harus Ruben? " geramnya sendiri.

Di pintu masuk kelas, Melanie di sapa Sita,

"Hai, Mel?"

"Hai!" sahutnya dengan senyuman,

"Lo lihat Ruben nggak?"

"Baru dateng kayaknya di depan!"

"Thanks ya!" Sita tak membahas apa yang terjadi kemarin di depan rumahnya kepada Melanie, ia takut salah bicara lagi seperti kemarin saat bersama Ruben, itu saja sudah cukup membuat Ruben marah padanya. Ia pun berlalu menuju ke depan, dan apa yang ia lihat, ia melihat Ruben bersama Vera. Ia pun menghampiri keduanya,

"Ben!" mereka berdua berhenti, tapi tampaknya hal itu tak memberi efek apa-apa pada Ruben.

"Ben, kok lo jalan sama Vera, kita belum putus kan? Kalau lo masih marah soal kemarin, gue minta maaf, tapi jangan putusin gue!" pintanya manja merengkuh lengan Ruben.

"Sorry, kaya' nya kita nggak bisa lanjut!"

"Tapi Ben!"

"Lp mau bilang kalau lo sayang sama gue? Basi tahu nggak! Hampir semua cewe juga bilang gitu, bosen dengernya!" Ruben melepas tangan Sita dari lengannya.

"Ben maafin gue, please!" rengeknya lagi, tapi Ruben tetap saja berjalan pergi menggandeng Vera, dan Sita hanya bisa melihat itu, sepertinya memang sudah tak ada harapan lagi, ia tahu ia bisa saja kehilangan Ruben sejak tempo hari Ruben mulai melirik Vera, dan yang ia takutkan itu memang terjadi. Ternyata Andien benar, Ruben hanya menjadikannya salah satu dari koleksinya saja, tapi entah mengapa dirinya tak bisa membenci pria itu.

Melanie duduk sendiri di kelas sambil membaca buku, di sekolah ia memang tak dekat dengan anak lain selain Ruben, Rico dan Tomi. Jika semuanya sibuk maka ia akan sendirian dan hanya buku yang jadi temannya.

Andien yang sedang berjalan melihat Sita menangis di taman belakang, ia pun menghampirinya,

"Kenapa lo, baru diputusin Ruben?" Sita tak menjawab tapi Andien sudah pasti tahu jawabannya itu,

"Udahlah ngapain ditangisin, nggak ada gunanya, di sekolah ini cuma ada satu cewe doang yang nggak bakalan jadi korban!" seru Andien sambil duduk di sampingnya,

Sita menoleh,

"Lo pasti tahu siapa dia, gue rasa ... dia memang beruntung!"

Malamnya, di caffe Ruben duduk berhadapan dengan Melanie, mereka sedang menunggu Tomi dan Rico, selain itu menunggu giliran Melanie menyanyi, ia bukan satu-satunya penyanyi di sana, selain Melanie ada band lain yang mengisi sampai jam 7 malam.

"Gue lihat Sita nangis sampai bengkak, lo apain dia?"

"Nggak gue apa-apain kok, selain gue pecat jadi pacar gue, dia terlalu kepo urusan pribadi gue?"

"Dia kan pacar lo, wajar dong!"

"Bekas!" desisnya, kemudian ia melihat gadis yang tempo hari di caffe itu, "Eh, gue ke sana dulu ya!" katanya beranjak. Melanie hanya menggeleng pelan.

Ruben menghampiri gadis itu, "Hai, Alice!"

"Ruben, sorry ya aku telat!"

"Oh, nggak apa-apa!" jawabnya dengan senyuman, ia mengajaknya duduk di sebuah meja.

Saat itu Rico dan Tomi baru datang menghampiri Melanie.

"Hai Mel, si Ruben mana?" tanya Rico,

"Tuh!" tunjuknya dengan dagu ke tempat Ruben duduk, keduanya menoleh ke sana,

"Yaelah, kalau gini caranya ngapain kita ke sini!" celetus Tomi,

"Jadi bodyguard!" tukas Melanie.

"Jadi lo sering dicuekin cari mangsa!" sahut Rico sambil duduk,

Ruben lama ngobrol dengan Alice dan akhirnya ia mengantarnya pulang setelah menghampiri teman-temannya sejenak untuk menitipkan Melanie pulang nanti. Setelah itu ia pun juga langsung pulang. Akhir-akhir ini ia sering tak menunggu Melanie sampai selesai.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   44. Mel, Ini Aku (End)

    Ben duduk di dapur di rumah yang dulu ia beli untuk Melanie tinggali. Di setiap sudut rumah itu ada wajah Melanie, ada tawanya, ada senyumannya. Ia jadi tersenyum sendiri mengingat dirinya sedang menunggu hidangan yang dibuat Melanie selesai sambil terus menggodai gadis itu. Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya hingga ia terkejut. "Kunyuk loe!" serunya. Rico dan Tomi tertawa. "Loe tuh kadal tengik, senyum-senyum sendiri. Kirain udah normal loe!" samber Rico. "Sialan loe, emangnya gue gila!" "Eh, dia nggak nyadar!" keluh Tomi. "Loe tuh emang sempet gila sehari tahu nggak, nih buat sarapan. Loe belum ngisi perut kan!" tambahnya. Ruben melirik bungkusan McD yang ditaruh Tomi di meja, ia menyambarnya, membuka isinya dan langsung melahapnya. "Thanks! " jawabnya sambil mengunyah. "Kepsek bilang loe tetap boleh ikut UAN bulan depan , mengingat loe murid nomor satu dilihat dari otak!" seru Rico memberitahu temannya. "Kalau dari badung, nomor satu juga!" tambah Tomi. "Eh!" se

  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   43. Tak Bisa Tinggal

    Semua orang berkumpul di ruang keluarga, Dennis baru pulang dini hari tadi. Artika meyakinkannya bahwa tak sepenuhnya itu kesalahan dirinya. Kita tidak akan bisa mengulang waktu, yang bisa di lakukan sekarang hanyalah memperbaiki semuanya. Ya, itu benar. Kita tak akan bisa mengulang waktu dan mengubah yang telah terjadi. Handy Wirata, kini mengerti mereka memang lebih mementingkan bisnis bukan putranya. Ia bahkan tak mengenal siapa putranya. Mengingat apa yang terjadi pada Ben pasca meninggalnya melanie ia tahu betapa gadis itu sangat berarti bagi putranya. Dan selama ini gadis itulah yang mengisi kekosongan hidup Ruben. Setelah ini ia tak tahu apa yang akan terjadi, ia khawatir dengan keadaan psikis putra bungsunya. Sementara Erika sibuk mondar-mandir di depan keduanya. "Ma, duduklah!" pinta Dennis. "Apa menurut kalian Ben akan keluar kamar hari ini?" tanyanya cemas. "Ma, melihat dari apa yang terjadi semalam kurasa dia sudah mulai membaik!" jawab Dennis. "Mama takut mengetuk pi

  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   42. Bunuh Saja Aku

    Tiga hari setelah kepergian Melanie ....Ruben duduk di lantai kamarnya, duduk bersandar ranjang, kakinya ditekuk, kedua lengannya ia sandarkan pada lutut. Pandangannya kosong, sesekali air mata turun menggelinding melewati pipinya. Sudah tiga hari setelah pulang dari makam ia seperti itu. Ia berada di kamar itu pun karena Rico dan Tomi yang membawa tubuhnya. Dia pingsan saat berdiri setelah terlalu lama duduk di samping makam Melanie, tak mengucapkan apa pun selain Al- Fatihah dan nama gadis itu yang terucap puluhan kali. Hingga detik ini ia sama sekali tak beranjak sejak ia tersadar dari pingsannya. Saat ia sadar, ia mencari Melanie di setiap sudut kamar seperti orang gila. Setelah sadar bahwa Melanie telah pergi, ia menangis dan menyambar semua barang yang ada di meja kamarnya hingga berhamburan ke lantai sambil berteriak. Setelah itu tubuhnya melemas dan ia terduduk di sana hingga sekarang. Duduk melamun, tanpa makan, minum dan bicara. Erika sudah berusaha bicara padanya berkali-

  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   41. Bahagia Bersamamu

    "Mel, maukah kamu menikah denganku hari ini?" tanya Ben memberikan pinangannya."Ha!" hanya itu yang keluar dari mulut Melanie dengan mata melebar."Aku nggak mau kita terus seperti ini, hidup serumah tanpa ikatan resmi. Bukankah seharusnya itu nggak boleh?""Ya, itu memang nggak boleh, seharusnya!" jawabnya."Kalau begitu kita harus menikah kan?"Melanie tertawa ...."Kita masih terlalu muda, Ben!""Kamu ragu dengan cintaku?" serunya membuat Melanie terdiam. Ben menghela nafas panjang dan menghembuskannya hati-hati."Aku sangat mencintai kamu, dan cintaku tulus sama kamu. Aku ingin kita hidup dalam ikatan yang suci, menikahlah denganku!" ungkapnya serius."Ben!" desis Melanie.Melanie masih bingung harus berkata apa, ia juga sangat mencintai Ruben. Ia juga ingin menikah dengannya, tapi usia mereka kini masih terlalu muda. Ia tak mau pernikahan mereka hanya didesak dengan keadaan."Kita menikah hari ini, dan setelah itu nggak akan ada lagi yang memisahkan kita, aku hanya ingin hidup

  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   40. Dilema Dennis

    Artika menghampiri Dennis yang sedang menenggak minuman di dalam gelas yang ada di genggamannya. Tiga botol sudah kosong, kini botol di mejanya bertambah menjadi enam. Terlihat ia sedang menenggak langsung dari mulut botol itu. Tika berdiri di sampingnya."Dennis, kamu kenapa?" tanyanya.Dennis tak menjawab, ia hanya melirik kekasihnya. Ia sudah setengah mabuk, tapi masih sadar. Wajahnya terlihat babak belur tanpa ada pengobatan, ia tak sempat lakukan itu. Sesampainya di pelabuhan ia langsung mengendarai mobilnya ke tempat ini, tempat di mana sekarang ia sedang mencoba menenangkan diri di dalam botol anggur dan Wisky."Apa kamu berkelahi dengan Ruben?" tanya Tika."Aku hanya ingin dia pulang, apa itu salah?" jawabnya, "Dia begitu keras kepala!" lanjutnya."Mungkin memang nggak seharusnya kamu memaksanya.""Aku tahu. Dia ... bahkan nggak bisa memaafkan aku!" serunya sambil menenggak lagi minumannya."Jika kamu sungguh-sungguh minta maaf, mungkin ....""Sudah kulakukan, tapi kesalahanku

  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   39. Semua Milikmu

    Dennis keluar dari taksi dan memasuki area pembangunan itu. Ia berjalan menghampiri Ruben. "Ben!" desisnya. Ruben yang sedang mengaduk pasir dengan semen pun menoleh mendengar suara itu. Ia cukup terkejut karena Dennis ada di sana. Ben memandangnya, tak percaya. Heran dan marah. "Kenapa Kak Dennis ada di sini?" tanyanya. "Aa ....""Lo ngikutin gue!" katanya lagi sebelum Dennis sempat menjawab pertanyaan sebelumnya."Ben, apa yang kamu lakukan di sini?" desisnya. Ben tak langsung menjawab, "Kamu nggak perlu bekerja seperti ini, kamu bisa menggunakan uangmu sesuka hatimu!" "Gue mau bekerja di mana dan seperti apa, itu bukan urusan lo." "Ben, tapi bukan bekerja seperti ini!" "Memangnya kenapa? Ada apa dengan pekerjaan ini. Apa pekerjaan seperti ini itu hina? Kak, pekerjaan ini halal dan seenggaknya ini lebih baik dari pada gue meminta pada kalian!" "Kamu nggak perlu meminta, semua itu milikmu. Ben, aku mohon. Mama pasti akan sedih jika tahu kamu bekerja seperti ini!" "Mereka ngg

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status