Meski Tante Elis sudah memberitahu Winena jika keluarga besarnya sudah dikabari tentang meninggalnya Armandio Jati, Winena masih mengira bahwa rumah akan tetap sepi.Sebab, tetangga dan kerabat dekat keluarganya, bahkan keluarga besarnya satu per satu berpaling saat Armandio Jati beralih status dari tersangka menjadi terdakwa sejak berbulan-bulan lalu atas kasus korupsi yang menjeratnya. Namun, kematian Armandio Jati rupanya berhasil mengumpulkan mereka semua kembali di sini, di rumah Ibu, yang sudah beberapa bulan ini tidak Winena sambangi dengan alasan sibuk bekerja dan mengurus suami, juga karena Winena tidak sanggup melihat Ibu sedih. Menghindar dari Ibu terasa jauh lebih mudah baginya. Masih terdengar bisik-bisik tidak menyenangkan saat Winena melewati halaman rumah yang luas dan kemudian memasuki rumah yang sudah ramai dengan pelayat. Tentu saja tak ada yang bisa Winena lakukan. Penghakiman orang-orang itu valid dan bukan tanpa alasan. Armandio Jati memang bersalah, mempunyai t
Winena tahu ini bukan saatnya bernostalgia. Namun, berada di kamar yang sudah jarang dihuni sejak ia menikah dengan Faris itu mendadak membawa Winena kepada kenangan-kenangan yang lagi-lagi menbuat Winena semakin punya alasan untuk tidak terlalu larut dalam duka lara karena ditinggal pergi ayahnya dengan cara yang mengenaskan. Yang Winena ingat, hampir seluruh kenangan yang terjadi di kamarnya adalah hal-hal yang menyenangkan dan membahagiakan. Tentu saja kenangan-kenangan itu tercipta sebelum Winena tahu bahwa ayahnya tidak sesempurna yang wanita itu kira. Setelah mengetahui ayahnya mendua, kamar ini yang selalu menjadi saksi bisu saat Winena menangis diam-diam. Di kamar ini pula Winena berkali-kali mengutuk ayahnya yang menduakan Ibu. Jika dulu kamar dengan dinding bercat putih bersih itu menjadi tempat paling favorit bagi Winena, makin lama kamarnya terasa seperti tempat pengasingan. Di sini, Winena membentengi diri dari rasa sakit menyaksikan keretakan keluarga kecilnya. Winena t
Melayat ke rumah duka Armandio Jati bersama rekan-rekan kantornya, Sena memilih untuk duduk di deretan kursi terluar yang akan memudahkan laki-laki itu beranjak pergi setelah upacara pemakaman berakhir. Sena juga menjaga jarak dari Pak Rudy, atasan sekaligus mentor yang membuat Sens kecewa sekali hari ini. Meski sudah berusaha menerima keputusan yang telah dijatuhkan, kemarahan di dalam dadanya masih belum mereda. Diperlakukan seperti sampah benar-benar membuat ego Sena terluka. Sena membuang muka saat rombongan keluarga Armandio Jati satu per satu masuk ke dalam mobil, sebagian ikut ambulans untuk berangkat ke tempat pemakaman. Dari yang Sena ketahui, Armandio Jati mempunyai satu istri dan anak semata wayang yang menolak diekspos ke media. Sena tidak tahu orangnya yang mana, tetapi Sena tetap berusaha sekeras mungkin untuk mengalihkan tatapan. Tak sanggup Sena menatap satu per satu wajah keluarga Armandio Jati yang sedang berduka. "Kasihan anak dan istrinya harus nanggung aib." "Ma
Meski berkali-kali sudah diminta unuk mengikhlaskan, tidak semerta-merta Ibu mau mendengarkan. Ibu berselimut duka dalam waktu yang lama. Tangis tak jua kunjung berhenti. Setelah tersadar dari pingsannya, Ibu kembali menangis. Meratapi kepergian suaminya yang pergi begitu saja tanpa pamit. Keadaan Ibu memburuk dan akhirnya drop hingga harus dilarikan ke rumah sakit malam itu juga. Lagi-lagi, ditemani Tante Elis, Winena menunggui ibunya yang harus menginap di rumah sakit. Sementara itu, di rumah tetap digelar acara tahlilan. "Tante... kalau Ibu pergi—" "Astaghfirullahal’azim, jangan bilang begitu, Win!" tegur Tante Elis menghentikan ucapan ngawur Winena. Wanita yang usianya sudah setengah abad, hanya terpaut beberapa tahun lebih muda dari Ibu, tetapi masih tampak seperti berusia pertengahan tiga puluh tahun itu menatap Winena dengan sedih. "Ibumu cuma lagi berduka, Win." "Tapi, Tante—" Tante Elis menggeleng. Meminta Winena berhenti mengatakan apa pun yang ia asumsikan di kepalan
Winena tidak bisa menceritakan kepada Tante Elis tentang alasan ia dan Faris bercerai. Setidaknya, tidak untuk sekarang. Winena merasa bahwa memang sudah sebaiknya ia simpan masalah internal dalam rumah tangganya dengan Faris meski hal itu bukanlah benar untuk dilakukan. Namun, memangnya mau bagaimana lagi? Ia sudah berusaha melaporkan Faris ke polisi, tetapi pihak kepolisian tidak cepat tanggap. Padahal, Winena sudah berharap laporan yang terakhir akan diproses karena saat itu polisi yang ia temui berkata bahwa akan membantu Winena. Sayangnya sudah lebih dari dua minggu sejak Winena terakhir datang ke kantor polisi dengan menyerahkan bukti kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi kepadanya, tetapi belum ada kabar lanjutan dari polisi. Winena pun berpikir bahwa bercerita kepada orang-orang terdekatnya juga akan sia-sia. "Apa memang sudah nggak bisa didiskusikan lagi, Win?" Winena terdiam. Sesungguhnya, Winena memang sempat berharap bahwa Faris tidak benar-benar serius tentang g
Winena sudah sering mendengar perkataan orang-orang tentang takdir manusia di mana mereka tidak bisa memilih dari keluarga mana mereka akan dilahirkan. Jika saja bisa, tentu saja setiap orang ingin lahir di keluarga yang tidak bermasalah, keluarga yang sempurna. Namun, jelas pemikiran yang sedemikian rupa itu terlalu dangkal. Setiap keluarga, pasti akan menghadapi masa di mana ada masalah-masalah yang tak bisa dihindari. Dan Winena yakin, jika seandainya Winena lahir di keluarga berbeda, yang lebih baik sekalipun, tetap akan ada pemikiran yang sama lagi jika suatu ketika ada masalah mendera. Winena hanya sesekali berandai, bahwa tidak apa-apa jika ia mengalami masalah bertubi-tubi yang lain, asal ayahnya bukan seorang peselingkuh, asal ayahnya bukan seorang koruptor. Sebab, meski tetap harus arus menanggung luka dan beban hidup yang berat, Winena tidak akan kebingungan harus bersembunyi di mana saat ia tak kuat lagi mendengar bisik-bisik jahat bahkan ujaran kebencian yang terang-ter
Butuh tempat yang cukup tenang bagi Winena untuk menenangkan diri. Karena tidak membawa apa-apa—ponsel dan dompet tertinggal di kamar inap Ibu—Winena tidak bisa pergi meninggalkan rumah sakit begitu saja. Winena berniat untuk duduk-duduk di taman rumah sakit saja. Semalam, saat ia dan Tante Elis selesai makan malam di luar, mereka melewati taman rumah sakit yang meski tidak cukup luas tetapi sepertinya rindang karena ada beberapa pohon besar yang ditanam di sana. Memang pemandangannya tidak terlalu jelas karena sudah malam hari yang hanya mengandalkan cahaya lampu yang tidka terlalu terang, tetapi Winena ingat jika di taman itu disediakan beberapa kursi untuk duduk. Dari gedung di mana kamar inap Ibu berada, Winena berbelok ke kanan, menyusuri lorong rumah sakit dengan pikiran kusut yang membuat kepalanya berdenyut sakit. Lalu tanpa sadar Winena menyentuh pipi yang masih terasa menyengat panas karena tamparan Tante Elis. Winena tidak terlalu ingat seberapa keras tamparan itu, tetap
Namun, sayangnya, tiga puluh menit kemudian setelah keduanya duduk di sebuah kedai kopi di dekat rumah sakit, ada sesuatu yang menyentak Winena. Untuk ukuran orang yang masih asing, Winena seakan bisa merasakan keakraban di antara mereka. Namun, segera ia tepis pemikiran itu. Ini bukan saatnya menjalin pertemanan atau apa pun itu namanya dengan orang lain. Hidupnya sedang kacau, tetapi bisa-bisanya Winena malah duduk-duduk manis dengan seseorang yang baru dikenalnya dan mengobrolkan tentang hal-hal random. "Saya... harus segera kembali. Tadi saya pamit ke keluarga saya cuma mau keluar sebentar." "Saya mengerti, Winena. Nggak usah panik begitu," ucap Sena dengan sorot teduh di mata. Astaga... Mendadak saja Winena hanyut dalam tatapan itu. Sebab, sudah lama sekali Winena tidak ditatap dengan begitu hangat. Tatapan yang menenangkan gemuruh riuh di hati dan kepalanya. Sayang sekali, tatapan itu justru Winena dapatkan dari orang asing yang kemungkinan tidak pernah Winena temui lagi. A