Cinta terdengar indah, tapi kadang menyakitkan. Apalagi jika cinta itu sudah tak dapat dipertahankan lagi. Ego dalam menjalani sebuah percintaan, hanya akan berakhir dengan kepedihan. Berbohong dalam menjalani percintaan hanya akan berakhir dengan penyesalan.
Terus apa yang harus dilakukan? Jawabnya, hanya satu MENGAKHIRI.
***
Berkali-kali ia menghembuskan napas gusar.
Bukankah itu sebuah pilihan yang berat? Sebuah keputusan yang sama sekali tak ingin ia putuskan, ada ribuan rasa yang tengah berkecamuk dalam rongga dadanya kini.
Haruskah ia mengambil langkah itu? Tak adakah pilihan lain selain itu? Atau itu adalah teguran untuknya dari Yang Maha Kuasa atas perbuatannya selama ini?
Airah menggelengkan kepala. Bukankah semua yang terjadi dan yang akan terjadi adalah ketetapan dari yang Maha Kuasa? Tak ada yang bisa menolak barang satu pun. Termasuk dirinya.
[ Aku sudah ada di luar] Satu pesan masuk.
Airah membereskan segala peralatan tulisnya, memasukkan ke dalam tas ransel seraya bergegas meninggalkan kelas.
Langkah kaki wanita itu terhenti saat melihat segerombolan pria yang tengah bercanda ria, perhatiannya terpusat pada sosok pria yang berpakaian jaket kain bewarna hitam yang terlihat tengah berbincang dengan salah satu mahasiswa itu.
Mengambil langkah mundur, mencari jalan lain, walau harus memutari beberapa fakultas. Capek. Tentu saja setiap hari dia harus melakukan hal tersebut, menghindar.
Bukan tanpa alasan mengapa Airah melakukan itu. Bertemu dengannya hanya akan menggoyahkan keputusan yang sudah wanita itu buat sematang mungkin.
Samar-samar terdengar seseorang yang memanggil namanya, dan wanita itu pastikan bahwa suara tersebut adalah suara seseorang yang saat ini tak ingin ia temui.
"Airah!" Terdengar suara Bagas yang semakin mendekat. Membuat langkah kaki wanita itu semakin cepat. Dia bagaikan seekor kura-kura yang tengah berlomba lari dengan seekor kelinci.
Bagaimanapun seekor kura-kura mempercepat derap langkahnya pasti akan kalah cepat juga.
Bagas mencekal pergelangan tangannya saat kaki wanita itu hendak melangkah keluar gerbang kampus. Entah bagaimana pria ini bisa melihatnya. Bahkan mengejarnya sampai gerbang.
"Kamu kenapa, sih? Akhir-akhir ini selalu menghindar. Aku punya salah sama kamu?" Airah bergeming tak menanggapi pertanyaan Bagas.
"Airah! Jawab dong!" Suara Bagas naik satu oktaf.
"Maaf, Gas. Aku ingin kita putus," balasannya lirih.
Bagas bergeming menatapnya dengan tatapan tak percaya.
"Kasih aku alasan, kenapa kamu ingin putus?" Bagas menatapnya nyalang. Mencekal pergelangan tangan wanita itu semakin erat.
Airah balas menatapnya lekat mencoba menahan segala gejolak rasa." Aku mencintai pria lain. Maaf, Gas."
Bagas tersenyum sinis." Kamu pikir aku bakalan percaya. Aku tahu kamu bukan wanita seperti itu, Ra."
"Tapi itulah kenyataannya, Bagas. Aku mencintai pria lain. Aku bermain serong di belakangmu. Aku tidak ingin membohongimu terlalu lama. Itu sebabnya aku mengatakan yang sebenarnya sekarang."
"Buktikan kalau memang kamu sudah tidak mencintai aku lagi."
"Kamu ingin bukti seperti apa?" Airah balik menantang.
Rahang Bagas terlihat mengeras. Wajahnya tampak memerah.
Lama mereka saling menatap sebelum sebuah suara bariton menyentak keduanya.
"Airah!" Mereka menoleh melihat seorang pria dengan tubuh atletis yang dibalut jaket kulit menghampiri mereka dengan langkah lebar.
"Lepaskan tanganmu!" titah Adnan menatap tak suka pada Bagas.
Bagas menatap Adnan dengan tatapan yang sama. "Emangnya Lu, siapa, hah?"
Adnan tersenyum. Melepas paksa cekalan tangan Bagas seraya merangkul pundak wanita itu. Airah bergeming menatap punggung tangan Adnan di bahunya.
"Airah adalah calon istriku," balasnya dengan nada tenang.
Bagas berdecih" Lo pikir gue percaya?"
"Kamu lihat." Adnan mengangkat tangan kiri Airah. Memperlihatkan sebuah cincin yang bertengger pada jari manisnya.
"Minggu depan aku dan Airah akan menikah." Setelah mengatakan itu, Adnan menarik tangan Airah, membiarkan Bagas yang masih bergeming menatap kepergian keduanya.
***
Ratusan pesan dan panggilan dari Bagas tak satu pun yang ia balas. Keputusan wanita itu sudah bulat, dia ingin mengakhiri hubungan mereka. Hubungan terlarang yang tak sepatutnya terjalin.
Malas berdebat dengan hati dan logika, Airah memutuskan untuk mengambil wudhu menenangkan jiwanya yang bergejolak. Mengambil mushaf, membacanya dengan tartil penuh kekhusyuan.
Hingga bacaannya terhenti pada salah satu ayat .
Artinya: "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan sesungguhnya kita adalah orang-orang yang kembali kepada-Nya. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." ( QS. Al-Baqarah [2] ayat 155 - 157 )
Tak terasa air matanya mengalir hingga jatuh membasahi mukena yang ia kenakan. Apakah ini sebuah teguran untuknya atas dosa yang selama ini sudah ia perbuat?
Airah meraih benda pipi yang ia simpan di atas kasur saat mendengar sebuah pesan masuk. Dia mencoba abai tapi pesan itu berkali-kali masuk membuatnya mau tak mau membukanya.
[Aku ada di luar]
[Airah, aku tidak akan pergi dari sini, sebelum kamu keluar]
[Jangan pernah berfikir aku akan memutuskan hubungan sepihak ini]
Airah terperanjat kaget saat mendengar bunyi ketukan pintu, membuatnya harus mengakhiri bacaan pesan yang Bagas kirim.
"Belum tidur, Nak?" tanya sang Ibu saat ia membuka pintu kamar.
Airah tersenyum." Belum, Bu."
Wanita yang paling Airah sayangi itu tampak menghela napas panjang." Apa tidak sebaiknya kamu temui dia?”
Airah menggeleng. " Sudah tidak ada yang perlu dibahas, Bu."
Sang Ibu mengambil kedua tangan Airah seraya menggenggamnya dengan lembut. " Ibu tahu ini berat untukmu, Nak. Ibu--"
"Bu!" Panggilnya. Sintia mendongak dengan bulir bening yang berjatuhan.
Airah melepaskan genggaman tangan Ibunya, seraya menghapus air mata yang berjatuhan dari pelupuk mata wanita yang telah melahirkannya itu.
"Aku akan menemuinya."
Sintia mengangguk, tersenyum." Bicaralah! Dan akhiri semuanya dengan baik-baik."
Airah mengangguk dan lekas menemui pria itu.
Dia menghela napas panjang saat melihat Bagas yang tengah bersandar pada mobilnya.
"Bagas!" Pria itu mendongak. Berlari memeluk tubuh mungil Airah.
"Aku rindu," bisiknya.
Airah menahan gejolak asa yang tengah berkecamuk. Menahan tangis yang hendak keluar. Airah juga rindu. Rindu dalam dekapan pria itu, ada rasa nyaman saat bersamanya. Walau dia yakin ini mungkin akan menjadi pelukan terakhir mereka.
Bagas merenggangkan pelukannya. Menatap wanitanya sambil tersenyum. Kedua mata pria itu tampak sembab.
Apa dia habis menangis?
"Aku punya sesuatu untukmu, Ra. Tunggu sebentar, ya?"
Bagas berlari menghampiri mobilnya. Tak berselang lama ia kembali membawa sebuah kado di tangannya.
"Besok adalah Anniversary kita yang ke 4. Aku tidak mau melewatkan momen bahagia kita. Aku--"
"Mari akhiri semuanya Bagas."
Tak ada satu pun yang dapat menolak, ketika takdir sudah menetapkan dua hati untuk berpisah. (Airah~ Bagas) **** Pagi menjelang siang, wanita itu masih bergeming menatap kosong di balik jendela. Menatap pepohonan yang tumbuh segar di area dekat kamarnya dengan buku yang berada dalam pangkuannya. Perdebatannya dengan Bagas tadi malam membuat rasa bersalah bersemayam dalam dadanya. "Jika kamu ingin mengakhiri hubungan ini, silahkan kamu akhiri sendiri. Tapi ingat! Aku tidak akan pernah mau mengakhiri hubungan ini apa pun yang terjadi!" "Bahkan jika aku sudah menikah? Bahkan jika aku sudah menjadi istri orang lain, Gas?" "Arrrggg." Bagas menjambak rambutnya frustasi. "Beri aku alasan kenapa kamu ingin menikah dengan pria itu? Aku bahkan tidak mendapat jawaban apa pun dari Ayah dan Ibumu. Jangan membuatku semakin gila dengan keputusan tiba-tibamu ini." Bagas menatap Airah dengan wajah dan mata yang terliha
Alhubbu kal harbi, minas sahli an tus’ilaha, walaakin minas sha’bi an tukhmidaha. (Cinta itu laksana sebuah perang, amat mudah mengobarkannya, namun amat sulit untuk memadamkannya) Anonim *** Lebih dari setengah jam menunggu, hingga pintu bercat coklat susu di depan mereka, akhirnya terbuka. Tiga orang yang tengah duduk di kursi panjang depan ruangan tersebut bergegas berdiri dan menghampiri sosok pria berbadan gempal itu. "Bagaimana keadaan anak saya dok?" Kekhawatiran tampak jelas di kedua bola mata paruh baya tersebut. "Dia baik-baik saja, untunglah lukanya tidak terlalu dalam, " balas pria ber-snelli putih panjang di depannya sambil mengulas senyuman. "Bisa saya lihat anak saya, Dok?" tanya Nia. "Silahkan, kalau begitu saya pamit diri, kalau ada apa-apa Bapak Ibu bisa panggil saya. " Mereka mengangguk, tak lupa mengucapkan terima kasih. Ketiganya memasuki ruangan, menghampiri sosok yang tengah
Aku merindukanmu seperti matahari yang merindukan bulan. ~ Airah~ *** Hampir mendekati dua belas bulan wanita itu meninggalkan kota metropolitan, dengan berbagai perasaan yang berkecamuk dia kembali menginjakkan kakinya di kota itu. Kota yang membawanya pada kenangan masa silam. Airah menatap Arunika dengan bulir bening yang berjatuhan, cahayanya memancarkan warna ke orengan dari ufuk timur hingga mengenai dinding kaca kamarnya. Sejuknya udara pagi tak dapat menyejukkan hatinya yang tengah dilipat gejolak yang berkecamuk. "Jadi kapan berangkat ke kampusnya, Ra?" Wanita itu terperanjat kaget saat Sintia tiba-tiba sudah berada di dalam kamarnya. Berjalan mendekat dan menyimpan nampan makanan dan minuman yang ia bawa di atas nakas. Airah menoleh sekilas. "InsyaAllah besok, Bu," balasnya, kembali menatap pepohonan di balik jendela. Sintia menghampirinya. Membalikkan tubuh Airah kemudian menggenggam tangan sang anak dengan lembut dia berujar, "Apa kamu yakin dengan keputusanmu in
Tak ada kenangan yang dapat dilupakan dengan mudah, apalagi jika kenangan itu menimbulkan jejak luka yang membekas. (Bagas~Airah) "Ketika kita bertemu tragedi nyata dalam hidup, kita dapat bereaksi dengan dua cara—entah dengan kehilangan harapan dan jatuh ke dalam kebiasaan merusak diri sendiri, atau dengan menggunakan tantangan untuk menemukan kekuatan batin kita."~ Anonim. *** Airah menghembuskan napas panjang saat setelah sampai di depan gerbang kampus. Setelah sekian lama, akhirnya dia menjejakkan kakinya kembali di kampus tersebut. Dengan mengucap Bismillah ia melangkahkan kakinya menuju kelas. Melewati koridor demi koridor dan tatapan aneh orang-orang yang tertuju padanya. Hingga langkahnya sampai ke ruang kelasnya. Terlihat beberapa pasang mata yang menatapnya heran. Mungkin karena busana yang kini ia kenakan. "Airah?" Wanita itu menoleh. Tersenyum mendapati Anya (sahabatnya) yang juga melihatnya heran. "MasyaAllah, kamu berhijab sekarang?"
"Jika melukaiku adalah jalan untuk menebus kesalahan dan rasa sakit hatimu, maka lukai dan sakiti saja hatiku. Tapi, ku mohon jangan melukai dirimu sendiri, karena itu sama saja kamu menambah rasa bersalahku padamu." Nur Airah Nih 🥀🥀🥀 Jam berdenting menunjukkan pukul dua dini hari. Airah melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Mengambil wudhu dan melaksanakan sholat dua rakaat sebagai penutup malam ini. Air matanya tak dapat ia bendung kala masa lalu muncul silih berganti dalam memori. Bahu wanita itu terguncang oleh tangis. Wajahnya, wajah sosok yang sangat dia cintai. Wajah pria yang ingin dia bersamai hingga ajal menjemput. Wajah sosok yang selalu dia harapkan menjadi imam dalam sholatnya. Kini, hanya dapat ia kenang dengan doa yang terus dia langitkan. Airah merindukan pria itu. Sangat. Hampir dua belas bulan wanita itu menjauh berharap agar dapat melupakan sosoknya, melupakan semua kenangan yang telah mereka raju
Kutitip dirimu hanya pada-Nya, karena Allah lah sebaik-baiknya penjaga. Nur Airah Nih *** Airah menatap pintu bercat biru dari jarak lima meter di hadapannya sambil mondar-mandir gelisah. Ia menoleh saat mendengar pintu ruang kuliah teknik informatika 101 tersebut terbuka. "Dani!" Pria itu menoleh. Airah lekas berlari menghampirinya, dan berdiri di hadapannya. "Bagaimana keadaannya, apa dia baik-baik saja?" "Dia baik-baik saja. Lu, nggak usah khawatir." Airah tersenyum tipis." Terima kasih banyak." Dani menganggukkan kepalanya seraya melanjutkan langkah kakinya. Kini dia bisa bernapas lega, walau tak sepenuhnya. Meminta bantuan kepada Dani adalah salah-satunya jalan yang bisa ia tempuh saat ini. Dia tidak ingin terjadi sesuatu terhadap Bagas diluar nalar kewarasannya. Airah menghembuskan napas lelah saat ia berbalik badan dan melihat Angel and the geng tengah berjalan lebar ke arahnya. "Ngapain Lu di
Bisakah aku mendengar suaramu sebagai obat atas rinduku. ~Adnan Ghafi Shahzaib~ 🕊🕊🕊 Sejenak lenggang, hanya terdengar suara degup jantung dua insan yang tengah terpaku dalam pikiran mereka masing-masing. Adnan menghela napas berat, dia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa sembari matanya menatap lurus plafon putihnya di atasnya. Pikirannya seakan tengah menerawang jauh ke belakang. Sedangkan wanita yang duduk tiga meter darinya tengah menatap lurus lantai granit putih polos di bawahnya. Menunggu jawaban atas pertanyaannya. Detik menit menunggu tapi tak kunjung pria itu menyahut apa pun. Adnan menutup matanya sejenak. Lagi helaan napas itu terdengar berat keluar dari bibirnya. "Jika aku mempertanyakan hal yang sama, apa kamu juga akan menjawabnya?" Adnan menoleh, menatapnya lamat. Kali ini Airah yang diam tak menjawab. Pria itu kembali mengalihkan tatapannya pada plafon di atasnya. "Tak ada seorang pun yang tak merindukan orang yang mereka cintai, Ra, " imbuhny
Cinta adalah penyakit yang tidak ada kebaikan dan balasannya. Ali bin Abi Thalib. *** Lamat-lamat mata sendu wanita itu terbuka. Mengerjapkan, guna menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah plafon putih rumah sakit. “Alhamdulillah, akhirnya kamu sudah bangun.” Airah menoleh ke samping mendapati raut khawatir seorang pria. Kesadaran wanita itu belum pulih sepenuhnya. Ia memperhatikan sekitar, matanya seketika membulat saat menyadari akan sesuatu. Bagas. “Airah, kamu mau ke mana?” tanyanya saat melihat si wanita turun dari ranjang dan memakai sandal swallow miliknya. Adnan menahan tangannya saat ia hendak menarik handle pintu kamar. “Mas, apa yang kamu lakukan?” “Tubuhmu belum terlalu pulih. Kamu harus istirahat.” Airah menggeleng, bagaimana bisa ia istirahat disaat pria yang ia cintai tengah terluka parah. “Aku tidak apa-apa, Mas.” Airah melepas paksa cekala