"Allah melimpahkan setiap ujian-Nya padamu karena Allah percaya bahwa kamu bisa dan mampu dalam melewatinya. " ~Nur Airah Nih~ *** Jam telah menunjukkan pukul lima sore. Janjian, hari ini Airah dan Anya akan bertemu di Kafe tempat biasa mereka nongkrong. "Assalamu'alaikum, maaf, ya, Ra, aku telat." Airah memutar bola mata malas. Kebiasaan." Wa'alaikumussalam, aku dah nunggu satu jam lebih, loh." Anya menggeser kursi dan duduk di depannya."Iya, maaf banget. Tadi tiba-tiba ada urusan penting di Rumah Kasih Cinta. Maaf, ya. Ra," sesalnya sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di dada. "Rumah kasih cinta?" Anya mengangguk." Rumah khusus buat pengidap penyakit kanker," sahutnya seraya melambaikan tangan ke pramusaji. Lagu Kupu-kupu Cinta--Sigma pun mengalun merdu. Menemani makan sore mereka. "Hm, An." Anya mendongak melihat wanita di depannya sambil memasukkan mie goreng ke mulutnya. "Boleh aku ikut dengan
Allah SWT berfirman dalam (Surah Asy-Syu’arah : 78-82) yang artinya : Yaitu yang telah menciptakan aku, maka Dia yang memberi petunjuk kepadaku, dan yang Memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku, dan yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali), dan yang sangat kuinginkan akan mengampuni keselahanku pada hari kiamat.” *** Perlahan mata sayu itu terbuka. Lamat-lamat ia mengerjap guna menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke dalam retina matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah plafon berwarna putih. Airah merasakan denyut sakit di kepalanya, di sebelah bagian tangan kanannya terdapat selang infus yang terpasang. Pintu ruangan terbuka. Menampilkan sosok Anya dan seorang dokter laki-laki setengah baya menghampirinya. Anya berhambur memeluk tubuh sang sahabat. “Alhamdulillah, Ra, kamu sudah sadar.” Ia merenggangkan pelukannya. “Apa kamu masih merasa pusing?” Airah mengangguk. ”Iya sedikit pusing.” Mata bening Ai
Cinta terdengar indah, tapi kadang menyakitkan. Apalagi jika cinta itu sudah tak dapat dipertahankan lagi. Ego dalam menjalani sebuah percintaan, hanya akan berakhir dengan kepedihan. Berbohong dalam menjalani percintaan hanya akan berakhir dengan penyesalan. Terus apa yang harus dilakukan? Jawabnya, hanya satu MENGAKHIRI. *** Berkali-kali ia menghembuskan napas gusar. Bukankah itu sebuah pilihan yang berat? Sebuah keputusan yang sama sekali tak ingin ia putuskan, ada ribuan rasa yang tengah berkecamuk dalam rongga dadanya kini. Haruskah ia mengambil langkah itu? Tak adakah pilihan lain selain itu? Atau itu adalah teguran untuknya dari Yang Maha Kuasa atas perbuatannya selama ini? Airah menggelengkan kepala. Bukankah semua yang terjadi dan yang akan terjadi adalah ketetapan dari yang Maha Kuasa? Tak ada yang bisa menolak barang satu pun. Termasuk dirinya. [ Aku sudah ada di luar] Satu pesan masuk. Airah membereskan segala peralatan tulisnya, memasukkan ke dalam tas ransel
Tak ada satu pun yang dapat menolak, ketika takdir sudah menetapkan dua hati untuk berpisah. (Airah~ Bagas) **** Pagi menjelang siang, wanita itu masih bergeming menatap kosong di balik jendela. Menatap pepohonan yang tumbuh segar di area dekat kamarnya dengan buku yang berada dalam pangkuannya. Perdebatannya dengan Bagas tadi malam membuat rasa bersalah bersemayam dalam dadanya. "Jika kamu ingin mengakhiri hubungan ini, silahkan kamu akhiri sendiri. Tapi ingat! Aku tidak akan pernah mau mengakhiri hubungan ini apa pun yang terjadi!" "Bahkan jika aku sudah menikah? Bahkan jika aku sudah menjadi istri orang lain, Gas?" "Arrrggg." Bagas menjambak rambutnya frustasi. "Beri aku alasan kenapa kamu ingin menikah dengan pria itu? Aku bahkan tidak mendapat jawaban apa pun dari Ayah dan Ibumu. Jangan membuatku semakin gila dengan keputusan tiba-tibamu ini." Bagas menatap Airah dengan wajah dan mata yang terliha
Alhubbu kal harbi, minas sahli an tus’ilaha, walaakin minas sha’bi an tukhmidaha. (Cinta itu laksana sebuah perang, amat mudah mengobarkannya, namun amat sulit untuk memadamkannya) Anonim *** Lebih dari setengah jam menunggu, hingga pintu bercat coklat susu di depan mereka, akhirnya terbuka. Tiga orang yang tengah duduk di kursi panjang depan ruangan tersebut bergegas berdiri dan menghampiri sosok pria berbadan gempal itu. "Bagaimana keadaan anak saya dok?" Kekhawatiran tampak jelas di kedua bola mata paruh baya tersebut. "Dia baik-baik saja, untunglah lukanya tidak terlalu dalam, " balas pria ber-snelli putih panjang di depannya sambil mengulas senyuman. "Bisa saya lihat anak saya, Dok?" tanya Nia. "Silahkan, kalau begitu saya pamit diri, kalau ada apa-apa Bapak Ibu bisa panggil saya. " Mereka mengangguk, tak lupa mengucapkan terima kasih. Ketiganya memasuki ruangan, menghampiri sosok yang tengah
Aku merindukanmu seperti matahari yang merindukan bulan. ~ Airah~ *** Hampir mendekati dua belas bulan wanita itu meninggalkan kota metropolitan, dengan berbagai perasaan yang berkecamuk dia kembali menginjakkan kakinya di kota itu. Kota yang membawanya pada kenangan masa silam. Airah menatap Arunika dengan bulir bening yang berjatuhan, cahayanya memancarkan warna ke orengan dari ufuk timur hingga mengenai dinding kaca kamarnya. Sejuknya udara pagi tak dapat menyejukkan hatinya yang tengah dilipat gejolak yang berkecamuk. "Jadi kapan berangkat ke kampusnya, Ra?" Wanita itu terperanjat kaget saat Sintia tiba-tiba sudah berada di dalam kamarnya. Berjalan mendekat dan menyimpan nampan makanan dan minuman yang ia bawa di atas nakas. Airah menoleh sekilas. "InsyaAllah besok, Bu," balasnya, kembali menatap pepohonan di balik jendela. Sintia menghampirinya. Membalikkan tubuh Airah kemudian menggenggam tangan sang anak dengan lembut dia berujar, "Apa kamu yakin dengan keputusanmu in
Tak ada kenangan yang dapat dilupakan dengan mudah, apalagi jika kenangan itu menimbulkan jejak luka yang membekas. (Bagas~Airah) "Ketika kita bertemu tragedi nyata dalam hidup, kita dapat bereaksi dengan dua cara—entah dengan kehilangan harapan dan jatuh ke dalam kebiasaan merusak diri sendiri, atau dengan menggunakan tantangan untuk menemukan kekuatan batin kita."~ Anonim. *** Airah menghembuskan napas panjang saat setelah sampai di depan gerbang kampus. Setelah sekian lama, akhirnya dia menjejakkan kakinya kembali di kampus tersebut. Dengan mengucap Bismillah ia melangkahkan kakinya menuju kelas. Melewati koridor demi koridor dan tatapan aneh orang-orang yang tertuju padanya. Hingga langkahnya sampai ke ruang kelasnya. Terlihat beberapa pasang mata yang menatapnya heran. Mungkin karena busana yang kini ia kenakan. "Airah?" Wanita itu menoleh. Tersenyum mendapati Anya (sahabatnya) yang juga melihatnya heran. "MasyaAllah, kamu berhijab sekarang?"
"Jika melukaiku adalah jalan untuk menebus kesalahan dan rasa sakit hatimu, maka lukai dan sakiti saja hatiku. Tapi, ku mohon jangan melukai dirimu sendiri, karena itu sama saja kamu menambah rasa bersalahku padamu." Nur Airah Nih 🥀🥀🥀 Jam berdenting menunjukkan pukul dua dini hari. Airah melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Mengambil wudhu dan melaksanakan sholat dua rakaat sebagai penutup malam ini. Air matanya tak dapat ia bendung kala masa lalu muncul silih berganti dalam memori. Bahu wanita itu terguncang oleh tangis. Wajahnya, wajah sosok yang sangat dia cintai. Wajah pria yang ingin dia bersamai hingga ajal menjemput. Wajah sosok yang selalu dia harapkan menjadi imam dalam sholatnya. Kini, hanya dapat ia kenang dengan doa yang terus dia langitkan. Airah merindukan pria itu. Sangat. Hampir dua belas bulan wanita itu menjauh berharap agar dapat melupakan sosoknya, melupakan semua kenangan yang telah mereka raju