Elvira terbangun kala jam menunjukan pukul enam pagi. Bergegas ia ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan kembali bekerja di sebuah Rumah Sakit sebagai tenaga Akuntansi. Usai mandi, dilihatnya Gilang masih tidur di sebuah sofa panjang. Setelah memakai pakaian kerjanya, Elvira pun keluar kamar dan berpamitan pada Zuraida, sang mertua.“Pagi Buu ... saya berangkat kerja dulu,” izin Elvira pada Zuraida dan Syamsudin yang tengah duduk menikmati secangkir kopi di meja makan.“Kamu nggak sarapan dulu atau minum teh? Ini ada pisang goreng,” tanya Zuraida memandang Elvira telah rapi dan cantik dengan polesan minim di wajahnya.“Nggak, Buu. Nanti saja di kantor,” tuturnya tersenyum tipis dan membalikkan tubuhnya, kala jam menunjukkan pukul setengah tujuh.“Vira..!” panggil ZuraidaElvira pun menengok ke arah mertuanya dan berucap, ”Ya, ada apa Buu?” “Biasanya tanggal berapa kamu gajian?” tanya Zuraida santai.Elvira yang tidak paham dan bingung dengan pertanyaan yang tak pernah diba
Tepat pada saat istirahat makan siang, Elvira dan kedua temannya keluar kantor menuju sebuah warung makan dibelakang kantornya. Di sepanjang jalan kedua temannya yang telah mempunyai anak, masing-masing bercerita tentang kehidupan keluarga mereka. Sedangkan Elvira hanya mendengarkan keluarga bahagia dari kedua temannya hingga sampai di sebuah warung makan yang biasa mereka datangi.“Vir, katanya elo mau cerita tentang keluarga baru elo,” ucap Ningsih saat mereka tengah menunggu makanan yang dipesannya.“Hmmm..., Ya gitu dah, sepertinya gue harus bisa adaptasi dari keluarga baru gue. Masalahnya selama ini kan, gue selalu di urusin sama mama gue. Jadi gue merasa terkaget-kaget aja sih, dengan kondisi yang gue hadapin,” urai Elvira yang tidak berkata jujur.“Emang laki elo itu dari keluarga kagak punya atau gimana? Maksud gue, mertua elo yang laki kerja apa kagak? Lalu, laki elo sebenernya kerjanya dimana sih? Soalnya kita semua kagak pernah liat elo dijemput sama laki elo sebelumnya,
Elvira yang tidak menyangka akan mendengar kata ancaman dari ayah mertuanya, seketika badannya menggigil. Elvira memandang wajah ayah mertuanya yang menatap tajam dengan wajah memerah.“Kamu sudah masuk dalam keluarga ini! Jadi, kamu jangan macam-macam. Silakan kamu lapor pada polisi, silakan! Tapi ingat! Berapa lama polisi bisa melindungi kamu dan mama kamu serta keluarga kamu..., Setelah salah satu kita masuk penjara? Kalau kamu mau dirimu, mamamu dan kedua keluarga adikmu selamat..., Ikuti apa yang jadi ketentuan di rumah ini. Paham!?” tekan Syamsudin seraya menunjuk ke arah Elvira.Gempita yang iba pada Elvira pun meraih tangan wanita cantik itu menjauh dari meja makan dan berjalan menuju kamar Elvira yang tampak pucat pasi dan gemetar usai mendengar ancaman nyata yang di dengarnya. Sesampai di dalam kamar, Gempita pun memeluk Elvira.“Kak, sabar yaa..., Kakak yang sabar. Gempi juga udah nggak kuat. Tapi, ayah bekas preman. Dimana-mana banyak anak buahnya. Jangan melawan kak, j
Elvira dan Gempita saling bercerita satu dan lainnya. Gempita bercerita tentang masa kanak-kanaknya yang di isi dengan pengalaman buruk berada pada rumah dalam lingkungan lokalisasi.“Kak Vira, dulu itu waktu Gempi kelas 6 SD pernah liat Ibu bawa lelaki muda ke kamarnya. Waktu itu, Ayah lagi pulang ke kampung halamannya. Gempi tetap nggak boleh keluar rumah, tapi Ibu begituan sama lelaki muda. Waktu itu Kak Gilang ikut ayah ke kampungnya,” tutur Gempita memejamkan matanya saat mengingat kejadian yang menjijikkan.“Kok sampai Ibu juga jual diri.., emangnya cewek-cewek anak buah ibu nggak ada? Bukannya Gempi bilang ibu itu germo?” tanya Elvira mengorek keterangan dari Gempita atas masa lalunya.“Waktu itu masih ada Kok cewek yang lainnya. Tapi, lelaki itu minta ibu yang melayaninya. Padahal, kalau ayah tau..., ibu bisa dipukul sama ayah. Soalnya kan, ayah nggak ngasih ibu jual diri lagi. Kapan hari waktu ketauan sama ayah aja, ibu dihajar abis-abisan..,” ungkap Gempita mengupas keada
Elvira yang kini sendirian di dalam kamarnya, mengingat kembali cerita yang didengarnya dari Gempita dengan bahasa yang sangat kotor dan kasar. Menurut Gempita, ia hanya menyampaikan apa yang didengar dan diintipnya dari celah lubang kunci kamarnya, kala Zuraida dimasa mudanya kerap mengajak anak buah suaminya dan beberapa lelaki muda untuk memuaskan hasrat birahinya.“Gila..., Kenapa gue jadi pengen begituan juga yaaa, gara-gara denger cerita kotor Gempita?” tanya Elvira pada dirinya sendiri.Sejenak ia memejamkan matanya dan membuang hasrat yang tiba-tiba saja merasuki dirinya dengan mengingat masa-masa bersama Irwan di Bali. Entah mengapa kerinduan atas sosok Irwan begitu sangat kuat. Padahal semua itu telah berlalu selama sepuluh hari. Kemudian, Elvira pun membuka galeri ponselnya. Ia menyimpan satu photo dirinya dan Irwan saat makan di tepi pantai. Dilihatnya kembali photo tersebut.“Sialan..., Ganteng juga pak Irwan itu yaa..., Hmmm..., Enak banget yang jadi istrinya..., Ee
Pada hari Sabtu di pagi buta, terlihat Gempita dan Elvira tengah memasak di dapur. Disana mereka melakukan pekerjaan bersama-sama, kala Zuraida dan suaminya masih terlelap dalam tidurnya.“Gempi, ayo kita sholat subuh dulu,” ajak Elvira usai mengecilkan kompor gas.“Hmmm..., Udah kakak aja. Gempi yang tunggu ungkep ayamnya,” tolak Gempita.“Gempi..., sholat itu wajib...,.Yukk.”Elvira meraih tangan Gempita yang memang dilihatnya tidak melakukan kewajibannya selama ini.“Maaf Kak..., Rasanya saya belom bisa jalanin kewajiban,” tolaknya lagi tersenyum getir.“Gempi..., Sore nanti kamu akan wisuda. Taruhlah selama ini kamu kecewa dengan keadaan yang harus kamu jalani. Tapi, kalau bukan karena kuasa NYA..., apa bisa kamu menjadi sarjana?” tanya Elvira yang terus berusaha tetap konsisten menjalankan kewajibannya.“Kak..., Gempi kecewa bukan karena diri Gempi sendiri. Kecewa karena kenapa sih, orang sebaik kakak bisa masuk ke dalam keluarga ini? Kalau Gempi sama Bang Gilang, mungkin
Dua bulan kemudian, ketika Elvira tengah makan siang bersama kedua temannya, Elvira merasakan mual yang teramat sangat hingga bulir keringat pun membasahi baju kerjanya saat ia menahan rasa mual usai makan ikan pepes dan sayur asem.“Ning...! Gue mual banget, apa ikannya yang udah basi yaa...?” bisik Elvira pada Ningsih yang duduk di sebelahnya.“Masa sih...?” tanya Ningsih seraya mencicipi ikan pepes di piring Elvira.“Kenapa lo pada?” tanya Martini melihat kedua rekan kantornya yang saling bertatapan dan Ningsih mengambil pepes ikan di piring Elvira.“Kagak Ah! Elo aja kali yang masuk angin jadi kayak merasa mual,” bantah Ningsih.“Eehh..., kenapa ikan pepesnya? Basi yaa?” tanya Martini berbicara pada kedua rekan kerjanya yang belum sempat menjawab pertanyaannya.Pemilik warung nasi yang mendengar celoteh Martini pun mendatangi meja mereka.“Ada apa Buu...? Ikan pepes saya baru tadi jam 10 pagi matang..., Nggak basi ini mah. Nih, coba kalau kagak percaya. Masa iya saya jual m
Elvira meraih air yang diberikan rekan kerjanya dan meneguk tandas air dalam gelas kaca. Setelah itu Elvira terdiam sejenak dan kembali fokus pada laptopnya. Kemudian, Martini dan Ningsih yang melihat Elvira kembali aktif menginput beberapa nota di hadapannya pun, menegur rekan kerjanya.“Vira..., Kagak jadi lo cerita sama kita?” tanya Ningsih menggeser kursi kantornya mendekati meja kerja Elvira.Elvira yang tidak ingin membuka aib atas yang terjadi padanya, menggelengkan kepala dan menarik napas panjang serta menghentikan jemari tangannya untuk melakukan penginputan untuk berbicara pada kedua rekan kerjanya.“Ning..., Tini..., Sepertinya gue aja yang terlalu ke bawa perasaan, padahal sih semua baik-baik aja. Mungkin karena mertua gue yang otaknya duit-duit aja, yang buat gue mikir untuk tunda dulu punya anak. Elo tau kalau kita mau punya anak kan, harus bener-bener siap semuanya, termasuk finansial juga,” ucap Elvira begitu lancar menyembunyikan keadaan yang sedang di hadapinya.