Siapa sih yang enggak kenal sama Haris dan Marsha? Pasangan favorit sebagian besar warga SMA Antariksa Jakarta. Menurut mereka, Haris dan Marsha layaknya pasangan Barbie dan Ken, sama-sama cantik dan tampan, enggak bakal ada yang bisa menyangkal. Haris dan Marsha selalu berangkat ke sekolah bersama, makan di kantin bersama, dan pulang sekolah pun bersama. Bukan hanya para murid yang mendukung mereka berdua, tetapi para guru pun ikut serta menjadi pendukung hubungan Haris dan Marsha.
Tidak seperti murid kebanyakan, Haris dan Marsha merupakan salah satu dari jajaran murid berprestasi di sekolah. Hal itulah yang membuat mereka berdua disukai oleh sebagian besar warga SMA Antariksa Jakarta, kecuali bagi segelintir orang yang membenci mereka. Apalagi bagi para guru, mereka menganggap Haris dan Marsha seperti anak emas di SMA Antariksa Jakarta. Sudah cantik dan tampan, pintar, tidak suka berbuat ulah, mana ada guru yang tidak menyukai murid seperti Haris dan Marsha.
Sudah menjadi tradisi bagi Haris untuk memenangkan OSN, Olimpiade Sains Nasional, setiap tahun. Haris adalah salah satu dari murid berprestasi yang selalu mendapatkan juara satu di mata pelajaran Fisika. Piala yang ia dapatkan terjejer rapi di lemari miliknya. Hari ini, Haris dan teman-temannya yang telah memenangkan OSN sudah berdiri di atas mimbar kecil di lapangan SMA Antariksa Jakarta untuk menerima piala dan medali emas. Kepala sekolah memberikan sambutan sebagai pembukaan, dan ucapan selamat bagi para murid yang telah memenangkan OSN tahun ini.
Namun, kali ini Marsha tidak berada di sebelah Haris untuk menerima piala dan medali dari hasil juara OSN karena Marsha memutuskan untuk tidak mengikuti OSN tahun ini. Padahal tahun ini adalah tahun terakhir baginya untuk mengikuti berbagai olimpiade. Hal itu karena Marsha ingin fokus pada tujuannya yaitu mengejar beasiswa kedokteran di universitas luar negeri.
Akan tetapi, Haris tidaklah seperti Marsha. Ia tetap mengikuti olimpiade meskipun sebentar lagi akan menduduki kelas 12, kelas di mana semua murid sudah harus mempersiapkan masa depan mereka dengan mengikuti berbagai ujian masuk perguruan tinggi. Mungkin karena otaknya yang sangat encer membuat Haris tidak pusing untuk mengikuti olimpiade sekaligus mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi.
“Selamat, ya, si langganan dapet piala.” Marsha berjalan mendekati Haris yang sedang mengobrol dengan temannya di depan kelas. Apel pagi tadi hanya dilaksanakan dengan waktu yang singkat karena kegiatannya hanya memberikan piala dan medali emas bagi para murid berprestasi serta amanat singkat dari kepala sekolah.
“Nggak ngaca, ya? Kamu juga langganan dapet piala, baru kali ini aja enggak,” ujarnya membalas perkataan Marsha. Teman Haris yang awalnya sedang mengobrol dengannya pamit pergi karena sang pujaan hati Haris sudah datang.
“Ris, gue masuk ke kelas dulu, ya.” Haris mengangguk kepada temannya dan beralih menatap Marsha.
“Nanti sore nggak ada jadwal bimbel, kan? Jalan yuk ke kafe,” ucap Haris.
“Enggak ada. Emangnya kamu juga nggak ada jadwal bimbel?” tanya Marsha kepada Haris. Jarang-jarang Haris mengajaknya untuk pergi saat sedang hari sekolah. Biasanya Haris selalu mengajak pergi saat hari weekend saja.
“Hari ini aku mau bolos bimbel dulu, mau main sepuasnya sama kamu,” sambung Haris.
“Kok gitu? Nggak boleh dong. Orangtua kamu udah capek kerja buat biayain bimbel sedangkan kamu malah seenaknya bolos,” omel Marsha kepada kekasihnya.
“Kali ini aja kok, Sha. Aku juga udah izin ke Mama dibolehin, please.” Haris memohon kepada Marsha dengan menggenggam tangannya. Supaya luluh pikir Haris.
“Beneran udah izin? Nggak bohong kan kamu?” Marsha masih curiga dengan Haris. Meskipun pintar dan tampan, tetapi ia juga terkadang suka berbohong. Pernah saat itu Haris mengajak Marsha pergi ke pantai. Haris bilang kalau ia sudah meminta izin kepada ibunya, Tina, dan beliau telah mengizinkan mereka berdua untuk pergi.
Namun, ketika sedang bersenang-senang di pantai, tiba-tiba Haris ditelepon oleh Tina dan beliau sedang mencari di mana keberadaan anaknya. Sontak Haris langsung berkata jujur dan Tina pun marah kemudian menyuruh Haris dan Marsha untuk segera pulang. Sesampainya di rumah, Haris dimarahi habis-habisan oleh Tina karena telah berani membohonginya. Marsha yang tidak tahu apa-apa hanya diam. Untungnya beliau tidak memarahi Marsha. Sejak saat itu, ketika Haris ingin mengajak Marsha pergi ia harus mendapatkan izin dari ibunya agar kejadian tersebut tidak terulang lagi.
“Iya, Marsha. Kalau nggak percaya coba aja telepon Mamaku.” Haris meyakinkan Marsha. Sepertinya kali ini Haris berkata jujur dan Marsha memercayainya.
“Iya deh percaya. Tapi jangan kelamaan, ya, Ris. Soalnya nanti malem aku kedatangan tamu saudara jauh.” Saudara jauh Marsha ini berasal dari negara yang terletak di benua Eropa, tepatnya di Swiss. Marsha dan keluarganya jarang sekali bahkan hampir tidak pernah bertemu dengan mereka. Maka dari itu, Marsha ingin sekali bertemu dengan saudaranya untuk yang pertama kalinya. Ia dan keluarganya harus memberikan kesan pertama yang baik kepada saudara jauh mereka.
“Loh kamu punya saudara dari Swiss? Kok nggak pernah cerita ke aku,” tukas kekasihnya itu.
“Ceritanya nanti aja, ya, Ris, waktu kita pergi. Lia barusan chat ke aku katanya Bu Ani bentar lagi masuk kelas,” ucap Marsha sedikit panik setelah mengecek ponselnya yang ternyata terdapat pesan dari Lia. Ia tidak sadar sudah mengobrol dengan Haris hingga bel masuk berbunyi.
“Iya, buruan masuk nanti kalau telat bisa dihukum sama Bu Ani.” Marsha mengangguk dan segera pergi menuju kelasnya.
Ternyata benar, sesampainya di kelas sudah ada Bu Ani yang sedang duduk di meja guru depan kelas. Marsha merutuki dirinya sendiri karena terlalu asyik mengobrol dengan Haris hingga lupa jika ada pelajaran matematika oleh Bu Ani, salah satu guru yang termasuk guru disiplin di sekolah. Marsha bergegas mengetuk pintu kelas dan ia dipersilakan masuk oleh Bu Ani.
“Kenapa datangnya telat, Marsha?” tanya beliau kepada Marsha.
Marsha meneguk salivanya pelan karena gugup dan menjawab, “Maaf Bu, saya barusan dari toilet.”
Bu Ani mengangguk, “Baiklah, silakan duduk. Lain kali jangan telat lagi, ya,” ucapnya. Marsha kemudian mengangguk dan segera menuju bangkunya yang terletak di tengah-tengah. Untung saja hari ini Bu Ani sedang baik hati. Biasanya jika ada murid yang terlambat masuk saat pelajaran beliau tidak segan untuk segera menyuruh keluar agar tidak mengikuti pelajarannya.
Lia yang duduk di sebelah Marsha tertawa pelan, “Ke toilet apa ke kelas Haris? Perasaan tadi gue lihatnya lo lagi ngobrol sama si Haris deh, Sha,” ledek Lia kepada Marsha. Marsha segera menyikut lengan teman sebangkunya itu karena berbicara terlalu keras. Ia takut jika Bu Ani akan mendengar ucapan Lia hingga beliau akan menghukumnya.
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Haris bergegas menuju parkiran motor. Ia sudah memberitahu kekasihnya untuk segera menuju ke parkiran motor jika kelasnya sudah bubar. Haris sudah menunggu Marsha selama sepuluh menit di parkiran motor. Namun, sedari tadi batang hidung milik perempuannya itu belum muncul juga. Haris bahkan sudah menelpon Marsha tiga kali tetapi tidak ada satu pun panggilan yang dijawab.Haris melihat Sadam, salah satu teman sekelas Marsha, sedang menuju ke parkiran motor. Ia lantas menanyakan keberadaan Marsha kepada Sadam karena pasti ia tahu ke mana Marsha pergi.“Dam!” panggilnya.Sadam mencari sumber suara yang baru saja memanggilnya. Ia kemudian segera menuju ke arah Haris, “Kenapa manggil, Ris?”“Lo lihat Marsha tadi ke mana nggak?” tanya Haris to the point kepada Sadam.“Kayaknya tadi Marsha sama Lia disuruh kumpul ke ruang OSIS, tapi gue juga nggak tau, Ris. Coba l
Setelah sekitar tiga puluh menit berada di kafe, Haris dan Marsha akhirnya pulang. Mereka segera meninggalkan kafe dan Haris mengantarkan Marsha ke rumahnya. Tidak butuh waktu yang lama, sekitar sepuluh menit mereka sudah sampai di depan rumah Marsha. Terdapat mobil terparkir di depan rumahnya.“Saudaramu udah dateng tuh,” ucap Haris ketika motornya sudah berhenti di depan rumah Marsha.Marsha mengangguk lalu turun dari motor Haris, “Aku pulang duluan, ya, Ris. Thanks buat hari ini.”“No problem, Babe. Buruan masuk udah ditungguin sama si Peter.” Marsha tertawa dan tersenyum kepada Haris.“Aku pulang dulu, ya.” Haris menyalakan motornya dan segera meninggalkan rumah Marsha kemudian ia melambaikan tangannya kepada Haris.Marsha kemudian bergegas masuk ke dalam rumah dan sudah ada dua orang dengan kulit putih pucat serta rambut kecoklatan. Pasti mereka adalah saudaranya. Ibunya, Indah,
Laki-laki berambut pirang turun dari mobil sport hitamnya yang berhenti tepat di depan SMA Antariksa Jakarta. Laki-laki itu menarik perhatian para murid yang sedang berjalan kaki menuju sekolah terutama para murid perempuan karena parasnya yang tampak asing seperti orang luar negeri. Ia segera menuju ke dalam sekolah tepatnya ruang guru untuk mengurus kepindahannya dari Australia. Yap, ia adalah murid pindahan yang akhir-akhir ini jadi perbincangan warga sekolah.Namanya adalah Felix. Laki-laki berdarah Australia-Indonesia yang sudah tinggal di Australia sejak usia lima tahun. Ayahnya adalah seorang Australia sedangkan ibunya seorang Indonesia. Namun, hampir sebagian DNA yang diturunkan kepada Felix berasal dari ayahnya. Oleh karena itu, banyak yang mengatakan bahwa Felix adalah orang asli Australia, padahal ia juga masih memiliki darah Indonesia dari ibunya. Felix pun fasih berbahasa Indonesia layaknya orang Indonesia kebanyakan karena ibunya selalu menyuruh Felix u
Felix dihujani berbagai pertanyaan oleh teman-temannya sesampainya di kelas. Mulai dari di mana tempat tinggal Felix saat di Australia, bagaimana Felix bisa pindah ke Indonesia serta ada yang bertanya apakah Felix sudah memiliki kekasih atau belum. Haris yang merasa risih mendengar ocehan teman-temannya kepada Felix pun geram dan segera mengajak Felix ke luar dari kelas.“Kita mau ke mana?” tanya Felix ketika Haris menarik tangannya keluar dari kelas.“Duduk-duduk aja di sini. Gue pusing denger mereka nanya macem-macem ke lo. Lo nggak pusing apa?” jawab Haris. Ia kemudian menduduki bangku panjang yang ada di depan kelas dan diikuti oleh Felix yang duduk di sebelahnya.“Enggak, sih. Gue pura-pura nggak bisa bahasa Indonesia aja makanya dari tadi gue diem,” ucap Felix. Ia kemudian menawarkan sepuntung rokok kepada Haris dan membuat teman barunya itu kaget.“Gila lo!?” pekik Haris kepada Felix. Haris segera mem
Sudah satu minggu berlalu sejak kepindahan Felix ke SMA Antariksa Jakarta. Kini, perlahan Felix sudah mampu beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan teman-temannya. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh Felix. Mulai dari apa yang harus ia lakukan di sekolah seperti mengikuti berbagai organisasi dan berusaha menjadi salah satu murid berprestasi di sana. Beruntungnya dua bulan lagi Felix akan menginjak kelas 12, sehingga ia tidak diwajibkan untuk mengikuti organisasi di sekolah. Selain itu, para murid juga diharuskan untuk menjaga nama baik sekolah dengan tidak bertingkah seenaknya sendiri. Selain beberapa hal yang harus dilakukan di sekolah, terdapat pula beberapa hal yang tidak boleh dilakukan olehnya ketika berada di sekolah.Pertama, para murid sangat dilarang keras untuk menyontek saat sedang ulangan harian dan ujian akhir. Guru di sana akan memberikan hukuman yang berat jika terdapat murid yang ketahuan menyontek. Kedua, para murid dilarang membawa kendaraan
Akhir-akhir ini Marsha disibukkan oleh adanya jadwal tambahan bimbel setiap pulang sekolah. Marsha berusaha untuk mengejar materi pelajaran supaya tidak ketinggalan karena satu minggu lagi ia akan mengikuti kegiatan study tour yang menghabiskan waktu hampir satu minggu. Setiap bel pulang sekolah berbunyi Marsha sudah siap dengan ransel di punggungnya serta paper bag yang berisi kumpulan soal dari bimbelnya. Biasanya ia berangkat dari sekolah menuju tempat bimbel menggunakan ojek online atau kadang bersama Haris. Namun, karena hari ini Haris ada kegiatan kerja kelompok akhirnya Marsha berangkat ke tempat bimbel dengan menggunakan ojek online.Ojek online yang dipesan oleh Marsha ternyata sudah berada di depan sekolah. Ia kemudian pamit kepada Lia untuk berangkat bimbel, “Li, gue duluan, ya.”Lia kemudian mengangguk, “Yuk keluar bareng. Kakak gue juga udah nungguin di depan.” Mereka berdua lalu bergegas
“Baik anak-anak, tugasnya dikumpulkan terakhir hari Sabtu sebelum kalian study tour, ya. Nanti tugasnya tinggal kalian letakan saja di meja Bapak,” jelas Pak Budi kepada para murid kelas 11 IPA 1. Beliau merupakan salah satu dari guru seni rupa yang ada di SMA Antariksa.“Untuk temanya bebas, Pak?” tanya Rendi selaku ketua kelas di 11 IPA 1.“Untuk tema kalian bebas memilih apa saja. Jika temanya semakin unik maka nanti nilai kalian semakin tinggi,” tambah Pak Budi. Para murid pun mengangguk menanggapi ucapan Pak Budi.“Baik kalau begitu Bapak sudahkan pelajaran hari ini karena sebentar lagi bel istirahat berbunyi. See you next time.” Setelah itu Pak Budi segera meninggalkan kelas 11 IPA 1.Para murid berhamburan dari tempat duduknya setelah Pak Budi keluar dari kelas. Hal yang sudah biasa Pak Budi lakukan ketika pelajarannya adalah mendahului istirahat sebelum bel berbunyi. Oleh karena itu
Langit sudah berubah warna menjadi jingga yang menandakan bahwa hari sudah semakin sore. Haris, Felix, dan Putra yang awalnya berniat untuk mengerjakan tugas dari Pak Budi malah berakhir dengan bermain game sampai sore. Kanvas berwarna putih yang bersandar di dinding itu masih belum ternodai oleh satu warna pun. Tiga empu yang sedang memegang stik permainan ini masih fokus menggerakkan jarinya. Mereka bertiga masih belum menyelesaikan game-nya.“Jam berapa sih sekarang?” tanya Haris kepada kedua temannya tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi.Felix kemudian melihat jam yang ada di dinding, “Jam setengah enam.”Haris lantas berhenti menggerakkan jarinya dan menatap kedua temannya, “Parah! Kita belum ngerjain tugas Pak Budi!” Putra seketika menatap ke arah Haris, “Lah iya, bego!”Namun, berbeda dengan sang tuan rumah yang tidak peduli dan tetap fokus dalam permainan di layar televisi. Hal it