Share

Chapter 3 : A Date

Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Haris bergegas menuju parkiran motor. Ia sudah memberitahu kekasihnya untuk segera menuju ke parkiran motor jika kelasnya sudah bubar. Haris sudah menunggu Marsha selama sepuluh menit di parkiran motor. Namun, sedari tadi batang hidung milik perempuannya itu belum muncul juga. Haris bahkan sudah menelpon Marsha tiga kali tetapi tidak ada satu pun panggilan yang dijawab. 

Haris melihat Sadam, salah satu teman sekelas Marsha, sedang menuju ke parkiran motor. Ia lantas menanyakan keberadaan Marsha kepada Sadam karena pasti ia tahu ke mana Marsha pergi.

“Dam!” panggilnya.

Sadam mencari sumber suara yang baru saja memanggilnya. Ia kemudian segera menuju ke arah Haris, “Kenapa manggil, Ris?”

“Lo lihat Marsha tadi ke mana nggak?” tanya Haris to the point kepada Sadam.

“Kayaknya tadi Marsha sama Lia disuruh kumpul ke ruang OSIS, tapi gue juga nggak tau, Ris. Coba lo cek aja sendiri ke sana,” jelas Sadam. Kemudian Haris mengangguk.

“Okay. Thanks, ya, Dam.” Sadam membalas ucapan Haris dengan acungan jempol.

“Duluan, Ris.” Sadam kemudian meninggalkan Haris dan segera menuju ke parkiran di mana motornya berada. Setelah itu Haris segera pergi ke ruang OSIS untuk mencari Marsha.

Kini Haris tepat berada di depan ruang OSIS. Terdapat beberapa sepatu yang berjejer rapi di rak. Ia menilik satu per satu sepatu yang ada di sana dan menemukan sepatu milik Marsha, lebih tepatnya sepatu yang ia belikan untuk Marsha saat menginjak usia ke tujuh belas tahun.

Haris menunggu Marsha dengan duduk di bawah pohon dekat ruang OSIS. Ia membuka ponselnya dan sekali lagi memberikan pesan kepada Marsha. Sambil menunggu Marsha, Haris bermain dengan kucing yang ada di sekolah. Nama kucing itu adalah Miko. Semua warga SMA Antariksa pasti tahu siapa Miko. Kucing ras kampung yang merangkap menjadi penjaga sekolah layaknya preman. Miko biasanya selalu tidur siang di depan masjid atau ruang OSIS. Ketika lapar, ia akan pergi ke kantin untuk meminta makanan kepada para murid. Lebih tepatnya memalak para murid.

“Haris!” Marsha memanggil Haris yang tengah fokus bermain dengan Miko. Mendengar namanya dipanggil, Haris segera mendekati Marsha.

“Kok nggak bilang kalau ada rapat?” tanyanya.

“Maaf, ya, Ris. Tiba-tiba Bu Dian suruh aku sama Lia buat jadi perwakilan kelas study tour. Aku nggak sempet buka hp karena tadi sibuk nulis informasi buat study tour dua minggu lagi,” jelas Marsha kepada Haris. Marsha tahu pasti Haris sedikit kesal karena ia tidak memberikan kabar kepadanya.

Haris tersenyum dan mengangguk, “Iya, nggak apa-apa kok. Tadi aku juga telat keluar kelasnya.”

“Ya udah, yuk.” Haris menggenggam tangan Marsha dan mengajaknya menuju ke parkiran sekolah. Para murid yang berada di sana hanya bisa melihat dengan rasa iri dan ingin merasakan seperti mereka berdua. Apalagi Lia, ia sudah menjerit di dalam hati karena melihat sahabatnya yang sangat romantis ketika bersama kekasihnya.

“Gue duluan, ya, Li,” pamit Marsha kepada Lia dan temannya itu mengangguk.

Haris dan Marsha berjalan sambil bergandengan tangan menuju ke parkiran. Biasanya Marsha risih jika tangannya digenggam saat sedang berada di sekolah oleh Haris. Namun, karena hari sudah lumayan sore dan para murid sudah pulang, ia pun menerima genggaman tangan Haris.

“Oh iya, katanya kamu mau cerita tentang saudara jauhmu, gimana?” Haris membuka obrolan sembari mereka berdua berjalan menuju parkiran motor.

Marsha mengangguk, “Iya, Ris. Jadi aku punya saudara dari Swiss. Mereka saudara dari ayahku, tepatnya kakak dari ayahku. Kata ibuku mereka jarang banget ke Indonesia. Pernah tapi cuma sekali itu pun waktu aku masih bayi, jadi aku nggak inget wajahnya. Mereka juga punya anak satu yang katanya seumuran juga sama aku, jadi aku nggak sabar mau ketemu sama mereka.” Marsha menjelaskan dengan wajah yang cerah. Terlihat sekali jika ia tidak sabar untuk bertemu dengan saudaranya. Hal itu membuat Haris tersenyum.

“Dia berarti sepupumu, kan? Laki-laki atau perempuan, Sha?” tanya Haris kemudian memberikan helm kepada Marsha ketika sudah sampai di depan motornya.

“Laki-laki, Ris. Kata ayahku namanya Peter. Kelihatan banget kan bulenya,” jawab Marsha sembari menerima helm dari Haris. Ia segera menaiki motor Haris karena hari sudah mulai sore. Sedangkan Haris hanya mengangguk membalas perkataan Marsha.

“Ini kita jadinya ke mana, Ris?” tanya Marsha.

“Makan-makan aja yuk di kafe. Biar nanti kamu pulangnya nggak kesorean, kan katanya nggak sabar mau ketemu sama Peter.” Marsha terkekeh kemudian mengangguk. Haris segera menjalankan motornya menuju kafe yang jaraknya tidak jauh dari sekolah.

Sesampainya di kafe, Haris dan Marsha segera memesan makanan dan minuman serta mencari tempat duduk yang kosong. Kebetulan sekali kafe yang mereka pilih lumayan sepi sehingga mereka dapat mengobrol dengan kondusif.

“Lanjutin cerita yang tadi, Sha,” ucap Haris lalu meneguk minumannya yang baru saja tiba.

“Baru segitu, Ris. Kan aku belum ketemu sama mereka. Besok deh aku ceritain lagi.” Marsha sibuk bermain dengan ponselnya. Ia baru menerima pesan dari teman sebangkunya, Lia, yang mengatakan bahwa akan ada siswa baru dari Australia. Temannya itu memang sangat gercep ketika ada berita baru di sekolah.

“Ris, udah tau belum kalau ada siswa baru dari Australia?” Marsha bertanya kepada Haris yang juga sibuk bermain dengan ponselnya, tepatnya sedang bermain game.

Haris mengangguk, “Tau lah, kan yang pertama kali kasih tau Putra. Kenapa emangnya?” ucapnya. Fyi, Putra adalah salah satu teman tongkrongan Haris, lebih tepatnya sahabat Haris. Jika Lia adalah teman Marsha yang sangat update, maka Putra adalah teman Haris yang sangat update juga.

“Kok bisa si Putra cepet banget taunya. Tau dari mana dia?” tanya Marsha kepo.

“Biasalah, dia kan telinganya ada di mana-mana. Gosip baru keluar aja dia langsung tau.” Haris heran dengan sahabat satunya ini. Telinga milik Putra bisa ada di mana-mana. Bagaimana tidak, gosip tentang salah satu teman kelasnya yang pacaran saja bisa langsung tersebar berkat telinga Putra. Atau bisa dibilang berkat telinga Putra yang suka menguping dan mulutnya yang sangat tidak bisa menjaga rahasia. Untungnya Putra masih berbaik hati kepada Haris untuk menjaga rahasia yang dimiliki sahabatnya itu.

“Aduh, kok hidupku jadi dikelilingi sama bule, ya. Nanti ketemu sama sepupu bule, besok ketemu sama siswa pindahan bule juga. Lama-lama aku ikutan jadi bule juga,” oceh Marsha. Haris hanya memutar bola matanya malas. Ia sudah terbiasa dengan tingkah Marsha yang satu ini.

“Udah makanannya dihabisin dulu, habis itu kita pulang. Langitnya udah mau gelap, nih,” ujar Haris dan Marsha mengangguk. Mereka berdua segera menghabiskan makanan dan minuman yang ada di meja sembari mengobrol hal-hal yang tidak penting.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status