Share

Bab 7

Di suatu daerah yang di padati perumahan padat, saling berdempetan. Sebuah bangunan tua setinggi lima lantai berdiri di tengah-tengahnya. Dari lantai atas bangunan itu, hamparan atap rumah terlihat seperti laut, tidak terukur. 

Angin menerpa tubuh Anna, mengakibatkan rambut hitamnya melambai-lambai tidak karuan. Di lantai paling atas dari bangunan tua itu, Anna berdiri tegak di tepinya sembari menundukkan kepala. Tatapannya kosong saat melihat jalanan di bawah. 

Dalam pikirannya, Anna bertanya-tanya, apakah ia akan mati jika melompat dari ketinggian ini? Memikirkan itu menyebabkan Anna tersenyum tipis, sebuah senyum yang ia buat-buat untuk menguatkan dirinya. 

"Seharusnya aku melakukan ini dari dulu," ucap Anna dalam hati lalu dengan perlahan melangkahkan kakinya ke depan, ke sebuah angin. Setiap melidetik yang berlalu, debaran jantung Anna semakin meningkat. 

Anna tidak dapat menyangkal bahwa seluruh tubuhnya sekarang gemetaran. Tetapi, di detik-detik sebelum Anna akhirnya terjatuh, Anna merasakan tubuhnya yang kelelahan itu menjadi sangat ringan. Seperti beban hidupnya akan benar-benar terangkat. 

Kejadian itu sebenarnya terjadi cepat sekali. Di awali dengan kepalanya lalu diikuti seluruh tubuhnya, Anna akhirnya terjatuh dari lantai teratas yang ada di bangunan tua itu. Bersamaan dengan Anna menutup matanya, ia juga melemaskan seluruh tubuhnya, pasrah. Anna dapat merasakan angin menyayat kulitnya.

"Jika aku mati, aku tidak akan menderita lagi." Dari kelopak matanya yang tertutup, setetes air mata muncul lalu menghilang terbawa udara. 

"aku tidak akan bertemu ayahku yang gila lagi, aku tidak akan bekerja mati-matian lagi, dan aku juga tidak akan pernah memimpikan hal itu lagi." Setetes demi setetes air mata muncul dan menghilang. 

"Setelah mati, apa aku bisa bertemu kalian? Setidaknya aku ingin meminta maaf karena diriku yang terkutuk ini seharusnya mati lebih cepat daripada kalian." 

Selama lima belas tahun terakhir, kenangan-kenangan menyakitkan itu tidak pernah berhenti menghantuinya. Tidak peduli sebanyak apa usaha yang dilakukan Anna, kenangan itu tidak akan pernah menghilang dari pikirannya. 

Selama ini, Anna hanya mengabaikan kenangan itu sambil berharap bahwa suatu hari nanti kenangan itu akan menghilang dari dalam kepalanya dengan sendirinya. Anna tahu, hari ini adalah hari itu. Hari yang telah Anna tunggu-tunggu kedatangannya. 

"Akhirnya aku bebas juga." Seutas senyum tiba-tiba memekar di wajah Anna. Ini adalah detik-detik terakhir dalam hidupnya. Paling tidak, ia ingin tersenyum dengan tulus untuk pertama kalinya dalam lima belas tahun terakhir ini. 

"..." 

"Mengapa kamu tersenyum dengan raut wajah sejelek itu?" 

Tiba-tiba Anna membuka mata. Seorang pria yang tampaknya baru berumur dua puluh tahun dengan bola mata berwarna ungu pucat seketika memeluk dirinya yang tengah terjun bebas. Perkembangan situasi ini membuat Anna terperangah. Mulutnya tidak bisa bergerak sedangkan matanya terbuka lebar menatap wajah pria yang hanya tinggal beberapa senti lagi menyentuh wajahnya. 

Situasi ini menyebabkan Anna refleks menoleh ke samping. 

Deg! 

Sekilas Anna dapat merasakan jantungnya berhenti berdetak. Akibat pelukan dari Xavie, posisi tubuh Anna yang awalnya terbalik antara atas dengan bawah kini berputar dan membuatnya menjadi mendatar. Langit di berada di belakang Xavie sedangkan jalan berada di belakang Anna. 

Anna segera menutup kembali bola matanya lalu menoleh ke depan, tepat di hadapannya Xavie berusaha menggenggam bangunan di samping tubuhnya. Mereka berdua semakin cepat terjatuh. Saat Xavie melihat sebuah kesempatan, tangan kirinya langsung mencengkeram tepi bangunan. 

Hal itu menyebabkan Xavie langsung menggertakkan gigi. Pasalnya, tulang dan ototnya terasa seperti tertarik dan tercabik-cabik. Walau sudah begitu, tangan kirinya tampaknya terlalu licin hingga menyebabkan telapak tangannya meluncur, menyisakan jari-jarinya yang tegang karena menahan beban yang berlebihan. Satu hal baik dari pada itu adalah mereka berdua akhirnya berhenti terjatuh. 

Merasakan udara di sekitarnya sudah kembali normal, Anna membuka matanya perlahan. Di depan matanya terdapat seorang pria yang sedang terengah-engah, kelelahan. Anna lekas mengingat pria itu, pria itu adalah penyebab dari kejadian ini, pria itu adalah bajingan yang telah mencemarkan tubuhnya. 

"Sekarang bajingan ini ingin mencegahku bunuh diri." Kemarahan langsung merasuki pikiran dan tubuh Anna. 

Tanpa pikir panjang, Anna meronta-ronta dari pelukan Xavie. Baru saja Anna sadari bahwa tubuh bagian depannya menyentuh tubuh bagian depan milik Xavie. Terutama bagian dadanya, Anna dapat merasakan dada bidang milik pria itu. 

Tangan Anna dengan sekuat tenaga mencoba mendorong tubuh Xavie. Bersamaan dengan itu, kaki Anna bergerak menendang-nendang kaki pria itu. Semua itu Anna lakukan agar dirinya terlepas dari pelukan pria itu. Tapi apa daya, Xavie memeluk Anna erat sekali. 

"Hei! Tenanglah! Kamu mau jatuh?" Xavie berkata dengan khawatir. Xavie dapat merasakan sedikit demi sedikit jarinya meluncur dari tepi bangunan itu. 

Mendengar itu tidak sedikit pun membuat Anna takut, malahan ia semakin semangat meronta-ronta. 

"BERHENTI!" teriak Xavie. 

Teriakan itu berhasil menyebabkan Anna berhenti bergerak. Melihat itu, Xavie menghela napas lega. Sebetulnya Xavie tidak menyangka perempuan itu akan menurut dengan perkataannya, tapi untuk sekarang Xavie tidak peduli. 

Sebelum Xavie benar-benar merasa tenang, Anna membenturkan dahinya ke dahi Xavie kemudian kembali memberontak dengan lebih agresif. Kondisi ini membuat Xavie bingung harus melakukan apa. 

Selagi Xavie sibuk berpikir, tiba-tiba dia mendengar suara dari wanita di hadapannya. "Lepaskan aku!" 

Suaranya terdengar pelan, serak, dan bergetar. Sangat menyedihkan. Mendengar itu hanya membuat Xavie memeluk Anna semakin erat. 

Sejak bertemu Anna dalam kondisi seperti ini, Xavie belum pernah benar-benar melihat wajah wanita itu, terutama matanya. Sesungguhnya, Xavie masih merasa takut menghadapinya. Tetapi suara itu berhasil memancingnya tanpa sadar untuk melihat wajah wanita itu dengan lebih jelas. 

Wanita dihadapannya itu memiliki wajah yang sangat cantik. Namun sayang, kecantikannya itu diselimuti kepedihan pekat. Terlebih mata abu-abu itu, hanya dengan melihatnya dapat membuat dada Xavie terasa begitu menyesakkan. 

"Lepaskan aku!" seru Anna kembali, lebih keras dari pada sebelumnya. Air mata mengalir deras di pipinya. Mata Anna yang memerah karena menangis itu menatap Xavie lekat-lekat. 

"Lepaskan aku!" Kini suara itu terdengar seperti keputus-asaan. 

Apa yang harus kulakukan untuk membuat pria itu melepaskanku? Apakah dia sebegitu inginnya melihatku menderita? Apakah dia ingin menyiksaku? Pria bajingan ini! Jari-jari Anna mulai mencengkeram tubuh pria itu dengan keras lalu dengan seluruh tenaga miliknya yang tersisa, Anna mendorong tubuh pria itu. 

Mendadak Xavie memajukan wajahnya lalu mencium bibir merah muda Anna yang pucat. Xavie mengambik kesempatan itu ketika Anna terengah-engah, kelelahan. 

Anna membuka matanya lebar, ia tidak pernah mengantisipasi hal seperti ini. Sekilas pikiran Anna menjadi kosong karena tidak tahu harus bereaksi seperti apa di situasi yang baru dia alami ini. Ditambah sekarang, Xavie tengah memainkan lidahnya di dalam mulut Anna.

Sebelum Anna sempat menggigit lidah pria itu, Xavie menarik bibirnya terlebih dahulu. 

"Sudah tenang?" tanya Xavie, prihatin. 

Mendengar perkataan tak tahu malu dari Xavie lantas membuat Anna langsung menampar pria itu. 

Plak! 

Xavie merasa pantas mendapatkan tamparan itu, jadi ia menerimanya dan tidak mencoba untuk menghindarinya. Setelah berpikir keras, Xavie tidak berhasil menemukan cara untuk menenangkan wanita itu kecuali dengan menciumnya secara mendadak. Melakukan itu memang beresiko, tapi sepertinya itu berhasil untuk menenangkan Anna. 

Setelah tamparan itu, terdapat keheningan diantara mereka berdua. Untuk beberapa saat, Xavie maupun Anna tak tahu harus bereaksi seperti apa di situasi seperti ini. 

"Aku minta maaf," tutur Xavie, merasa bersalah. Untuk memecah keheningan, Xavie berinisiatif memulai percakapan.

"Lepaskan aku lalu aku akan memaafkanmu!" Anna memandang sengit ke arah Xavie. Dari raut wajah wanita itu, Xavie tahu Anna tidak akan pernah memaafkan dirinya. 

"Aku tidak akan pernah melepaskanmu." 

Jawaban Xavie benar-benar membuat Anna merasa putus asa. Bibir Anna yang pucat kemudian terbuka lalu berkata. "Kenapa?"

Sebelum Xavie sempat menjawab, Anna melanjutkan ucapannya. 

"KENAPA!?" 

Xavie terdiam. 

"Kenapa kamu tidak membiarkanku mati saja!" seru Anna diiringi tangisan. Dalam suaranya yang pecah, ia sungguh berharap untuk mati saat ini juga. 

"Aku minta maaf!" tanpa Xavie sadari suaranya akhirnya pecah. "Jangan mati! Jangan tinggalkan aku! Aku masih memerlukanmu."

Samar-samar Xavie dapat melihat bayangan ibunya pada diri Anna. 

Setelah mendengar suara Xavie, mata Anna yang kosong itu sedikit demi sedikit mendapatkan sinarnya kembali. "Aku memerlukanmu." kata-kata itu sudah sangat jarang Anna dengar. Kini mata Anna yang kabur itu mulai melihat wajah Xavie dengan lebih jelas. 

Air mata mengaliri pipi pria itu sedangkan wajahnya membawa kesedihan yang dalam. Melihat Xavie membuat Anna mengingat dirinya sendiri. Tak tahu mengapa, tapi Anna berpikir bahwa pria itu mirip sekali dengan dirinya. Saat ini, Xavie mengarahkan matanya kepada Anna, memandang Anna lekat-lekat. Entah kenapa, semua hal itu membuat Anna marah.

"Kenapa kamu mengucapkan kata-kata itu!? Setelah memerkosaku, kenapa kamu masih ingin menyiksaku!? Padahal ini bukan urusanmu! Kamu pikir aku akan memaafkanmu. Sampai mati pun aku tidak akan pernah memaafkanmu!" Napas Anna tersenggal-sengal usai melampiaskan emosinya. Baik Anna maupun Xavie hanya terdiam sembari menatapi wajah orang di hadapannya. 

"Kamu tidak perlu memaafkanmu." Xavie akhirnya berbicara, suaranya masih bergetar. "Tapi, biarkan aku berusaha menebus kesalahanku." 

"Apa yang bisa dilakukan pria miskin seperti dirimu!" Bantah Anna, marah. 

Angin kencang menerpa tubuh mereka berdua yang masih berdiri di atas udara kosong, menyebabkan rambut mereka berdua berkibar-kibar. 

"Semua." Anna diam mendengar perkataan Xavie. "Semua akan kulakukan untukmu selama aku masih hidup." 

Kelopak mata Anna sedikit menaik. Perkataan yang baru saja di lontarkan Xavie terdengar lebih seperti sebuah permohonan. Jujur saja, hati Anna benar-benar tergerak setelah mendengar suara menyedihkan itu. Mungkin ini firasat, Anna tak tahu mengapa, tapi Anna merasa bahwa Xavie bersungguh-sungguh dengan perkataannya barusan. 

Sebuah pemikiran gila seketika memasuki pikiran Anna. Perlahan, bibirnya bergerak lalu berkata menggunakan suara yang hampir tidak terdengar. 

"Kalau begitu, menikahlah denganku." 

Anna tampak terkejut dengan ucapannya sendiri. Begitu juga halnya dengan Xavie yang tidak pernah membayangkan Anna akan mengucapkan kata-kata itu. Sebelum Anna sempat berharap agar Xavie tidak mendengar perkataannya barusan, Xavie menjawab dengan lembut lalu tersenyum cerah. 

"Baiklah." 

Anna tak sempat bereaksi karena usai mendengar jawaban Xavie, pegangan jari-jari Xavie meluncur dari tepi bangunan tersebut. 

Setelah menghabiskan banyak waktu untuk memberontak dan berdebat, pada akhirnya Anna tetap akan mati. Anna hanya bisa tertawa sinis kepada hidupnya, tapi untungnya, kini ia tidak akan mati sendirian. Ada pria yang cukup gila untuk menangkap dan memeluk dirinya yang tengah terjatuh. 

Sedikit demi sedikit Anna akhirnya menutup mata lalu mempersiapkan tubuhnya yang sebentar lagi akan hancur karena benturan.

Bruk!  

Tubuhnya tiba-tiba menghantam sesuatu, rasanya tidak terlalu sakit. Anna membuka matanya lalu menyadari bahwa dirinya berada dipelukan Xavie. Karena refreks, Anna langsung membangkitkan setengah tubuhnya kemudian melirik Xavie yang masih menutup mata. Untuk beberapa detik, Anna merasa khawatir dengan keadaan pria itu. 

Ketika Anna terfokus melihat keadaan Xavie, tak lama kemudian ekor mata pria itu bergerak dan dalam sekejap Xavie membuka kedua matanya. 

"Kamu tahu, aku lebih suka perempuan yang malu-malu daripada perempuan yang agresif." Xavie tersenyum melihat Anna yang masih duduk di atas tubuhnya. 

Plak! 

Tanpa pikir panjang, Anna langsung menampar Xavie. Bisa-bisanya pria berengsek itu mengucapkan kalimat itu kepada dirinya. Tiba-tiba pikiran Anna teralihkan dengan kejadian saat ia masih memberontak dan berdebat dengan Xavie. Jadi, selama itu Anna hanya berada di ketinggian lima meter. Tanpa Anna ketahui, wajahnya memerah. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status