Namun hal itu tidak berlangsung lama sebab Anna segera mendorong tubuh Xavie kemudian mundur selangkah. Xavie tampaknya tidak terganggu dengan hal itu. Ketika Xavie masih terfokus memandang mata abu-abu milik wanita di hadapannya, Anna tanpa pikir panjang langsung menampar pipi Xavie dengan sekuat tenaga.
Plak!
Suara tamparan itu berdengung di telinga mereka berdua.
"Wow, tamparan yang bagus." Xavie mengabaikan komentar Anaemia yang ada di dalam kepalanya, saat ini ia masih memerhatikan mata milik wanita di hadapannya. Bahkan tamparan keras itu, yang membuat telinganya sampai berdengung kelihatannya tidak Xavie pedulikan.
Melihat mata abu-abu itu membuat Xavie merasakan sesuatu yang aneh, tidak diketahui. Akibatnya, Xavie akhirnya mengingat memori yang sangat ingin ia lupakan. Dalam ingatannya, langit berwarna hitam dan merah. Xavie berdiri di padang bunga berwarna warni memandang seorang wanita, wanita yang memiliki warna mata yang sama dengan dirinya, ungu pucat.
Angin kencang menerpa lingkungan mereka, membuat kelopak-kelopak bunga terbang dan melayang tidak karuan. Wanita itu memiliki rambut sewarna pelangi yang panjangnya melebihi tinggi tubuhnya, kulit seputih salju dan wajah yang sangat-sangat cantik hingga tampak tidak manusiawi.
Saat itu, wajah cantik wanita itu mendongak melihat langit di atas kepalanya. Ekspresi yang seharusnya tidak dimiliki oleh wanita itu muncul dan terlukis jelas dalam ingatan Xavie.
Wanita itu lekas menoleh ke arah Xavier lalu memandang dirinya. Waktu itu seolah terhenti, tatapan mata wanita itu terlihat begitu menyesakkan. Xavier terpaku sembari memegang dadanya yang terasa sakit. Bola matanya menatap lekat-lekat pada pemandangan di hadapannya. Terutama saat bibir wanita itu mulai bergerak tanpa mengeluarkan suara, dari jauh Xavie bisa tahu apa yang di ucapkan wanita itu.
"Xavie Asfáleia, aku menyesal melahirkanmu!"
Xavie kecil hanya terdiam, tidak tahu harus melakukan apa. Saat Xavie hendak berlari demi menghampiri wanita itu, tangan putih wanita itu bergerak dan seketika pandangan Xavie menghitam.
"Kenapa aku masih mengingat memori ini?Seharusnya aku sudah menghapusnya. Kenapa? Apakah karena tatapan mata wanita ini?" Xavie bertanya-tanya dalam hati. Tanpa ia sadari, tangan kirinya kini mencengkeram dadanya yang terasa sesak.
Di sisi lain, Anna terdiam menyaksikan ekspresi wajah pria di hadapannya. Meski sedikit berbeda dari ingatannya, Anna tahu pria ini adalah pria yang telah mencemarkan dirinya.
"Pria ini! Pria berengsek ini!" Anna menatap Xavie seolah ingin membunuhnya. Dengan membawa kebencian dalam hatinya, Anna segera berlari melewati pria yang ada di hadapannya secepat yang Anna bisa tanpa menoreh sedikit pun kearah belakang.
Xavie menyaksikan punggung Anna segera menghilang dari penglihatannya. Walau begitu, pandangan wajahnya masih melekat ke arah dimana Anna menghilang. Tiba-tiba Xavie menyandarkan punggungnya ke dinding lalu menjatuhkan tubuhnya.
"Ibu," ucap Xavie dengan suara bergetar.
Tangan kanannya yang tergeletak di lantai dengan perlahan mulai terangkat hingga mencengkeram erat dahi dan kedua pelipisnya.
"Bocah! Berhenti! Apa yang ingin kamu lakukan?" tanya Anaemia dengan khawatir. Sebenarnya dia sudah dapat menebak apa yang akan dilakukan Xavie.
Meski begitu, suara kekhawatiran Anaemia sepertinya tidak didengarkan oleh Xavie. Mengetahui hal itu, Anaemia langsung berteriak keras. " BOCAH! TENANGKAN DIRIMU! PIKIRKAN KONSEKUENSINYA! APAKAH KAMU INGIN CACAT!?"
Teriakan itu menyadarkan Xavie dari sesuatu yang ingin ia perbuat. Tangannya yang mencengkeram kepalanya erat sedikit demi sedikit mulai melonggar.
Melihat itu membuat Anaemia menghela napas lega. Tidak dapat di pungkiri bahwa dirinya benar-benar panik melihat Xavie yang biasanya tenang dan dingin menjadi seperti barusan.
"Bocah, aku tak tahu ingatan apa yang ditinggalkan ibumu kepadamu, tapi apa pun itu, jangan sekali-sekali mencoba menghilangkannya! Baik atau buruknya kenangan itu, semuanya berharga," tutur Anaemia.
"Apa yang roh busuk seperti dirimu ketahui tentang diriku," bantah Xavie pelan setelah akhirnya cukup tenang.
"Seorang bocah berumur delapan tahun yang merasa cukup pintar untuk memahami hubungan manusia." Dari nada suaranya, Xavie tahu Anaemia sekarang sedang tersenyum mengejek dirinya namun untuk saat ini Xavie memilih untuk mengabaikannya.
"Sebagai orang yang telah hidup selama miliaran tahun, aku akan memberimu sebuah nasehat." Xavie diam mendengarkan Anaemia. "Sekarang larilah! Kamu tahu maksudku, bukan?"
Mendengar itu, Kelopak mata Xavie terangkat. Tatapan matanya yang sayu kini mulai bersinar. Meskipun tubuhnya dan pikirannya di penuhi keraguan, Xavie bangkit lalu berlari mengejar Anna.
"Sudah cukup!" kata Xavie kepada dirinya sendiri. Xavie tahu, ia tak akan pernah lepas dari perasaan mengganggu ini bahkan jika ia menghilangkan ingatannya. Sudah tiga tahun semenjak ia melupakan ingatan itu. Meski begitu, perasaan aneh itu tetap tidak menghilang dan semakin lama waktu berlalu perasaan itu malah semakin menguat.
Jika Xavie tidak mengejar wanita itu sekarang, ia merasa dirinya tidak akan pernah mendapat ketenangan. Xavie tahu ini adalah kesempatannya untuk terlepas dari perasaan mengganggu ini dan mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang selalu menggerogoti pikirannya. Oleh karena itu, Tidak peduli apa pun yang terjadi, Xavie harus menemui wanita itu untuk mengkonfirmasi sesuatu.
Matahari bersinar terang di atas kepala Xavie. Di sekitarnya, jalanan cukup renggang oleh para pejalan kaki, membuat Xavie leluasa untuk berlari dan mengejar keterlambatannya selama lima menit.
Saat ini Xavie menggunakan intuisi dan indra supernya untuk mencari keberadaan Anna. Walau begitu, ia sepertinya cukup percaya diri untuk dapat menemukan wanita itu hanya berdasarkan hal itu saja.
Sudah beberapa gang kecil terlewati, ketika Xavie memasuki gang kecil lainnya ia tiba-tiba di hadang oleh seorang polisi wanita. Xavie cukup terkejut namun dia yang tidak memiliki niatan untuk berhenti memutuskan untuk berlari melewatinya.
Siapa sangka polisi itu cukup keras kepala. Dia menangkap tangan Xavie setelah pria itu melewati dirinya. Mau tak mau Xavie terpaksa berhenti lalu menoleh dan menatap wajah polisi wanita itu sengit.
"Maaf atas ketidaknyaman ini tapi semalam terdapat insiden pembunuhan di daerah sekitar ini. Berdasarkan beberapa rekaman CCTV, anda berada di lokasi ini saat pembunuhan itu terjadi. Jadi, sebagai sak-"
"Bukan urusanku!" Xavie menepis genggaman tangan polisi itu, membuat polisi itu terkesiap. Xavie lekas melanjutkan langkah kakinya dengan lebih cepat dari pada sebelumnya. Di sisi lain, polisi itu terdiam menatap punggung Xavie yang semakin kabur dari pandangan matanya.
Beberapa menit kemudian polisi itu menghela napas lalu mengambil sebuah smartphone dari dalam sakunya dan menghubungi seseorang untuk melaporkan kejadian barusan.
"Saya menemukan saksi itu di tengah jalan tapi saksi kabur saat saya ingin menginterogasinya."
"Baik."
"Akan saya laksanakan."
Begitulah ucapan polisi wanita itu kepada seseorang di balik telepon. Usai mematikan hubungan telepon, polisi itu memandang ke arah dimana Xaviev melarikan diri lalu menghela napas kesal.
***
Di suatu daerah yang di padati perumahan padat, saling berdempetan. Sebuah bangunan tua setinggi lima lantai berdiri di tengah-tengah perumahan. Dari lantai atas gedung itu, hamparan atap rumah terlihat seperti laut, tidak terukur.
Angin menerpa tubuh Anna, mengakibatkan rambut hitamnya melambai-lambai tidak karuan. Di lantai paling atas dari bangunan tua itu, Anna berdiri tegak di tepinya sembari menundukkan kepala. Tatapannya kosong saat melihat jalanan di bawahnya.
Di suatu daerah yang di padati perumahan padat, saling berdempetan. Sebuah bangunan tua setinggi lima lantai berdiri di tengah-tengahnya. Dari lantai atas bangunan itu, hamparan atap rumah terlihat seperti laut, tidak terukur.Angin menerpa tubuh Anna, mengakibatkan rambut hitamnya melambai-lambai tidak karuan. Di lantai paling atas dari bangunan tua itu, Anna berdiri tegak di tepinya sembari menundukkan kepala. Tatapannya kosong saat melihat jalanan di bawah.Dalam pikirannya, Anna bertanya-tanya, apakah ia akan mati jika melompat dari ketinggian ini? Memikirkan itu menyebabkan Anna tersenyum tipis, sebuah senyum yang ia buat-buat untuk menguatkan dirinya."Seharusnya aku melakukan ini dari dulu," ucap Anna dalam hati lalu dengan perlahan melangkahkan kakinya ke depan, ke sebuah angin. Setiap melidetik yang berlalu, debaran jantung Anna semakin meningkat.Anna tidak dapat menyangkal bahwa seluruh tubuhnya sekarang gemetaran. Tetap
Hari ini seharusnya menjadi hari senin yang terik di Kota Carson negara bagian Nevada karena matahari bersinar sepanjang siang, tetapi kemudian gerimis turun di sore hari dan hingga sekarang masih belum berhenti. Jam di pergelangan tangan kirinya menunjukkan pukul delapan malam. Havard Heiberg tampak fokus berlari melewati beberapa lorong kecil tetapi getaran dari ponsel yang ada di sakunya mengakibatkan Havard berhenti lalu mengambil ponsel dan menerima panggilan yang masuk ke ponselnya."Dilitiriódis petaloúda skarfaloméni se éna maraméno louloúdi, " ucap Havard datar, uap hangat mengepul keluar dari mulutnya."Dilitiriódis petaloúda skarfaloméni se éna maraméno louloúdi," balas orang di balik telepon, suaranya terdengar seperti suara perempuan."Ada apa?" tanya Havard tanpa basa-basi.Dari dalam teleponnya, Havard dapat mendengar suara seorang wanita y
Dalam pandangannya yang berkabut, samar-samar Xavie dapat melihat keadaan lingkungannya yang kacau. Rumah, toko, gedung, bahkan bangunan pencakar langit, semuanya roboh dan tenggelam ke dalam tanah. Akibatnya, kematian terjadi di seluruh penjuru kota. Di sekitarnya, Xavie melihat banyak mayat manusia yang mati dengan sangat mengenaskan. Rata-rata tertimbun bangunan yang hancur, tetapi dalam kondisi yang berbeda-beda. Ada beberapa yang anggota tubuhnya tercerai berai, ada yang kepalanya pecah, ada yang isi perutnya tumpah, dan banyak lagi yang mati dengan mengerikan seperti itu. Hanya sedikit orang yang mati dalam kondisi utuh. Beberapa masih hidup namun dalam kondisi kritis, artinya sebentar lagi mereka juga akan mati. Seorang anak perempuan berumur delapan tahun, satu-satunya manusia yang Xavie lihat masih hidup dan sadar sekarang sedang menangis. Sekujur tubuhnya di peduhi memar dan luka-luka berdarah, terlebih kedua kakinya yang hancur. Sambil menyerer
Pintu terbuka, seorang berjas rapi memasuki ruangan. Orang itu adalah Andre Blanchet. Kurang dari lima belas menit lagi rapat akan segera di laksanakan, tetapi pria merepotkan yang sangat tak ingin Anna temui kini masuk ke ruangannya. Seperti biasa, Andre terlihat tampan dengan gaya fashion formal yang terlihat elegan. berbeda dengan Anna yang memakai kemeja putih polos, Wajahnya yang selalu tanpa emosi menggunakan make up tipis sedangkan rambutnya diikat cepol, sangat fresh dan sederhana. "Maaf atas kedatanganku yang tiba-tiba, apakah aku mengganggumu?" Andre berjalan mendekati Anna lalu duduk di kursi depan mejanya, berhadapan dengan Anna. "Tentu tidak Tuan Andre," jawab Anna sambil tersenyum, seperti saat bertemu klien-klien penting. Mendengar itu, ujung bibir Andre terangkat. "Apakah Tuan memiliki kepentingan dengan saya," tanya Anna sebagai formalitas. Anna tahu, tentu saja ada! baru dua hari yang lalu Andre melamarnya unt
Brak! Sebuah mobil Audi A5 berwarna putih melesat dari belokan gang kecil, menabrak body bagian depan mobil yang di kendarai Xavie. Hantaman yang terjadi secara tiba-tiba itu membuat Xavie terkejut. Ia berusaha mengendalikan mobilnya agar tidak menabrak benda-benda di sekelilingnya namun gagal. Mobilnya tetap menabrak tiang listrik diikuti kepalanya yang terbentur oleh kemudi. Dahinya sedikit lecet, darah mengalir keluar lewat sana. Sambil teraduh-aduh, perlahan kepalanya terangkat dan melihat mobil BMW M3 milik istrinya telah mengalami kerusakan yang parah. Body bagian depan mobil itu telah hancur, asap mengepul keluar lewat sana. "Ini karma, kamu seharusnya mendengarkan perkataan orang yang lebih tua." Anaemia berkomentar di dalam kepala Xavie, seolah mengejek dirinya. Usai mendengar perkataan Anaemia, pembuluh darah di bagian samping dahinya tampak membesar, pertanda Xavie benar-benar kesal. "DIAM!" teriak Xavie dalam hati
Langit semakin menggelap, tirai malam sebentar lagi akan terbuka. Di tengah ramainya pepohonan pinus, Winda Jiao berlari melewati berbagai rintangan alam demi mengejar Xavie yang berada jauh di depannya. Sebelum memasuki hutan, Winda selalu bertanya-tanya mengenai alasan dibalik pria itu, Xavie, berlari menuju kedalaman hutan kecil ini. Winda memikirkannya sambil melangkahkan kakinya kencang tetapi sebelum ia mendapatkan jawabannya, hutan telah memberikan jawaban : gemerisik dedaunan, deru sungai kecil yang deras, derik serangga malam, dan kukuk burung hantu di kejauhan. Suara-suara itu menggema dari segala arah, menciptakan suasana yang sangat mencekam. Sang surya tenggelam, Winda Jiao akhirnya bergidik. Ia dapat merasakan bulu kuduknya meremang. Jika harus jujur, Winda Jiao merasa malu. Di usianya sekarang, ia masih bisa merasa ketakutan di tempat seperti ini. Walau begitu, kakinya tetap tidak berhenti. Winda masih melangkah maju, berusaha
"Butuh berapa potong agar kamu berhenti beregenerasi?" tanya Xavie sinis, pandangannya mengarah sebentar ke arah Winda sebelum kembali ke monster itu. Ejekan-ejekan yang diberikan Xavie kelihatannya berhasil menyebabkan monster itu marah. Sekarang monster itu telah terfokus kepada Xavie, melupakan Winda yang sudah mendapatkan kendali tubuhnya. Setelah melewati sedikit keheningan, monster itu menerjang ke arah Xavie yang diam menantangnya. Di sisi lain, Winda langsung melangkahkan kakinya terbirit-birit meninggalkan Xavie bersama dengan monster itu. Bagi Winda saat ini, nyawanya adalah yang paling utama. Setelah keluar dan berlari cukup jauh dari gudang itu, ia bisa melaporkan kejadian itu kepada atasannya. Itulah yang Winda rencanakan pada waktu itu. Kembali kepada Xavie. Baik tatapan mata atau pun raut wajahnya, tidak ada yang berubah ketika melihat Winda meninggalkannya. Ia fokus memindai seluruh tubuh monster yang dengan cepatnya bergerak
Sosok penyihir yang menggunakan sapu terbang itu lekas turun begitu mengetahui Xavie telah menyadari keberadaannya. Di sisi lain, Xavie mewaspadai sosok penyihir yang dengan kencangnya terbang dan menghampirinya."Akar sihir tipe angin," pikir Xavie."Pakai! Orang aneh." Penyihir itu melemparkan jubahnya, Xavie dengan santainya menutupi tubuh telanjangnya. Kewaspadaannya telah hilang begitu melihat hal yang dilakukan dan mendengar suara penyihir itu.Penyihir itu adalah seorang wanita, ia langsung melirik Xavie yang telah selesai menutupi tubuhnya dengan jubah miliknya. Rhongomyniad di tangan Xavie sudah menghilang sebelum penyihir itu melihat dirinya. Kurang lebih, Xavie paham dengan situasinya sekarang."Aku belum pernah melihatmu sebelumnya, apakah kamu penyihir dari luar kota?" tanya penyihir itu."Ya," jawab Xavie singkat.Ketika Xavie dan penyihir itu saling berbicara, monster itu mengambil kesempatan deng