Share

Bab 6

Namun hal itu tidak berlangsung lama sebab Anna segera mendorong tubuh Xavie kemudian mundur selangkah. Xavie tampaknya tidak terganggu dengan hal itu. Ketika Xavie masih terfokus memandang mata abu-abu milik wanita di hadapannya, Anna tanpa pikir panjang langsung menampar pipi Xavie dengan sekuat tenaga. 

Plak! 

Suara tamparan itu berdengung di telinga mereka berdua.

"Wow, tamparan yang bagus." Xavie mengabaikan komentar Anaemia yang ada di dalam kepalanya, saat ini ia masih memerhatikan mata milik wanita di hadapannya. Bahkan tamparan keras itu, yang membuat telinganya sampai berdengung kelihatannya tidak Xavie pedulikan.

Melihat mata abu-abu itu membuat Xavie merasakan sesuatu yang aneh, tidak diketahui. Akibatnya, Xavie akhirnya mengingat memori yang sangat ingin ia lupakan. Dalam ingatannya, langit berwarna hitam dan merah. Xavie berdiri di padang bunga berwarna warni memandang seorang wanita, wanita yang memiliki warna mata yang sama dengan dirinya, ungu pucat. 

Angin kencang menerpa lingkungan mereka, membuat kelopak-kelopak bunga terbang dan melayang tidak karuan. Wanita itu memiliki rambut sewarna pelangi yang panjangnya melebihi tinggi tubuhnya, kulit seputih salju dan wajah yang sangat-sangat cantik hingga tampak tidak manusiawi. 

Saat itu, wajah cantik wanita itu mendongak melihat langit di atas kepalanya. Ekspresi yang seharusnya tidak dimiliki oleh wanita itu muncul dan terlukis jelas dalam ingatan Xavie.

Wanita itu lekas menoleh ke arah Xavier lalu memandang dirinya. Waktu itu seolah terhenti, tatapan mata wanita itu terlihat begitu menyesakkan. Xavier terpaku sembari memegang dadanya yang terasa sakit. Bola matanya menatap lekat-lekat pada pemandangan di hadapannya. Terutama saat bibir wanita itu mulai bergerak tanpa mengeluarkan suara, dari jauh Xavie bisa tahu apa yang di ucapkan wanita itu.

"Xavie Asfáleia, aku menyesal melahirkanmu!"

Xavie kecil hanya terdiam, tidak tahu harus melakukan apa. Saat Xavie hendak berlari demi menghampiri wanita itu, tangan putih wanita itu bergerak dan seketika pandangan Xavie menghitam. 

"Kenapa aku masih mengingat memori ini?Seharusnya aku sudah menghapusnya. Kenapa? Apakah karena tatapan mata wanita ini?" Xavie bertanya-tanya dalam hati. Tanpa ia sadari, tangan kirinya kini mencengkeram dadanya yang terasa sesak. 

Di sisi lain, Anna terdiam menyaksikan ekspresi wajah pria di hadapannya. Meski sedikit berbeda dari ingatannya, Anna tahu pria ini adalah pria yang telah mencemarkan dirinya. 

"Pria ini! Pria berengsek ini!" Anna menatap Xavie seolah ingin membunuhnya. Dengan membawa kebencian dalam hatinya, Anna segera berlari melewati pria yang ada di hadapannya secepat yang Anna bisa tanpa menoreh sedikit pun kearah belakang. 

Xavie menyaksikan punggung Anna segera menghilang dari penglihatannya. Walau begitu, pandangan wajahnya masih melekat ke arah dimana Anna menghilang. Tiba-tiba Xavie menyandarkan punggungnya ke dinding lalu menjatuhkan tubuhnya. 

"Ibu," ucap Xavie dengan suara bergetar. 

Tangan kanannya yang tergeletak di lantai dengan perlahan mulai terangkat hingga mencengkeram erat dahi dan kedua pelipisnya. 

"Bocah! Berhenti! Apa yang ingin kamu lakukan?" tanya Anaemia dengan khawatir. Sebenarnya dia sudah dapat menebak apa yang akan dilakukan Xavie. 

Meski begitu, suara kekhawatiran Anaemia sepertinya tidak didengarkan oleh Xavie. Mengetahui hal itu, Anaemia langsung berteriak keras. " BOCAH! TENANGKAN DIRIMU! PIKIRKAN KONSEKUENSINYA! APAKAH KAMU INGIN CACAT!?"

Teriakan itu menyadarkan Xavie dari sesuatu yang ingin ia perbuat. Tangannya yang mencengkeram kepalanya erat sedikit demi sedikit mulai melonggar. 

Melihat itu membuat Anaemia menghela napas lega. Tidak dapat di pungkiri bahwa dirinya benar-benar panik melihat Xavie yang biasanya tenang dan dingin menjadi seperti barusan. 

"Bocah, aku tak tahu ingatan apa yang ditinggalkan ibumu kepadamu, tapi apa pun itu,  jangan sekali-sekali mencoba menghilangkannya! Baik atau buruknya kenangan itu, semuanya berharga," tutur Anaemia. 

"Apa yang roh busuk seperti dirimu ketahui tentang diriku," bantah Xavie pelan setelah akhirnya cukup tenang. 

"Seorang bocah berumur delapan tahun yang merasa cukup pintar untuk memahami hubungan manusia." Dari nada suaranya, Xavie tahu Anaemia sekarang sedang tersenyum mengejek dirinya namun untuk saat ini Xavie memilih untuk mengabaikannya. 

"Sebagai orang yang telah hidup selama miliaran tahun, aku akan memberimu sebuah nasehat." Xavie diam mendengarkan Anaemia. "Sekarang larilah! Kamu tahu maksudku, bukan?" 

Mendengar itu, Kelopak mata Xavie terangkat. Tatapan matanya yang sayu kini mulai bersinar. Meskipun tubuhnya dan pikirannya di penuhi keraguan, Xavie bangkit lalu berlari mengejar Anna. 

"Sudah cukup!" kata Xavie kepada dirinya sendiri. Xavie tahu, ia tak akan pernah lepas dari perasaan mengganggu ini bahkan jika ia menghilangkan ingatannya. Sudah tiga tahun semenjak ia melupakan ingatan itu. Meski begitu, perasaan aneh itu tetap tidak menghilang dan semakin lama waktu berlalu perasaan itu malah semakin menguat. 

Jika Xavie tidak mengejar wanita itu sekarang, ia merasa dirinya tidak akan pernah mendapat ketenangan. Xavie tahu ini adalah kesempatannya untuk terlepas dari perasaan mengganggu ini dan mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang selalu menggerogoti pikirannya. Oleh karena itu, Tidak peduli apa pun yang terjadi, Xavie harus menemui wanita itu untuk mengkonfirmasi sesuatu. 

Matahari bersinar terang di atas kepala Xavie. Di sekitarnya, jalanan cukup renggang oleh para pejalan kaki, membuat Xavie leluasa untuk berlari dan mengejar keterlambatannya selama lima menit. 

Saat ini Xavie menggunakan intuisi dan indra supernya untuk mencari keberadaan Anna. Walau begitu, ia sepertinya cukup percaya diri untuk dapat menemukan wanita itu hanya berdasarkan hal itu saja. 

Sudah beberapa gang kecil terlewati, ketika Xavie memasuki gang kecil lainnya ia tiba-tiba di hadang oleh seorang polisi wanita. Xavie cukup terkejut namun dia yang tidak memiliki niatan untuk berhenti memutuskan untuk berlari melewatinya. 

Siapa sangka polisi itu cukup keras kepala. Dia menangkap tangan Xavie setelah pria itu melewati dirinya. Mau tak mau Xavie terpaksa berhenti lalu menoleh dan menatap wajah polisi wanita itu sengit. 

"Maaf atas ketidaknyaman ini tapi semalam terdapat insiden pembunuhan di daerah sekitar ini. Berdasarkan beberapa rekaman CCTV, anda berada di lokasi ini saat pembunuhan itu terjadi. Jadi, sebagai sak-" 

"Bukan urusanku!" Xavie menepis genggaman tangan polisi itu, membuat polisi itu terkesiap. Xavie lekas melanjutkan langkah kakinya dengan lebih cepat dari pada sebelumnya. Di sisi lain, polisi itu terdiam menatap punggung Xavie yang semakin kabur dari pandangan matanya. 

Beberapa menit kemudian polisi itu menghela napas lalu mengambil sebuah smartphone dari dalam sakunya dan menghubungi seseorang untuk melaporkan kejadian barusan.

"Saya menemukan saksi itu di tengah jalan tapi saksi kabur saat saya ingin menginterogasinya."

"Baik." 

"Akan saya laksanakan." 

Begitulah ucapan polisi wanita itu kepada seseorang di balik telepon. Usai mematikan hubungan telepon, polisi itu memandang ke arah dimana Xaviev melarikan diri lalu menghela napas kesal. 

***

Di suatu daerah yang di padati perumahan padat, saling berdempetan. Sebuah bangunan tua setinggi lima lantai berdiri di tengah-tengah perumahan. Dari lantai atas gedung itu, hamparan atap rumah terlihat seperti laut, tidak terukur. 

Angin menerpa tubuh Anna, mengakibatkan rambut hitamnya melambai-lambai tidak karuan. Di lantai paling atas dari bangunan tua itu, Anna berdiri tegak di tepinya sembari menundukkan kepala. Tatapannya kosong saat melihat jalanan di bawahnya. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
Anna, jangan bundir, plis
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status