Share

Serumpun Kisah Masa Lalu

Daffin terlihat bersedih memandangi wajah bibinya. Ia tak menyangka, serangan para media kini mulai merambat hingga keanggota keluarganya.

“Bu, sebagai Bibi Daffin apa pendapat anda tentang tuduhan gay yang diberikan pada Daffin?”

“Apakah anda yakin kalau Daffin tidak memiliki kelainan seks?”

“Daffin tidak pernah mendekati wanita, apa itu benar?”

Semua pertanyaan itu sontak membuat Bibi Daffin shok. Napasnya terasa sesak dengan pandangan mata yang perlahan meredup. Tak mampu lagi mengontrol diri, seketika tubuhnya tumbang dan terbaring lemah di atas lantai. Wanita dewasa yang menjadi pelayannya tak mampu berbuat apa-apa, selain meminta perawat mengangkat tubuh Devi ke atas ranjang dan menghubungi Daffin untuk segera datang.

Betapa sedih dan hancurnya hati Daffin, air matanya terus mengalir deras menyaksikan sang bibi yang kini terpejam tak sadarkan diri. Rasa bersalah terus menghantui, niat hendak membahagiakan justru menyebabkan petaka.

Matanya tak bisa berpaling dari menatap wajah sang bibi. Wajah cantik nan anggun yang begitu mirip dengan ibunya. Seketika ingatan lima belas tahun yang lalu pun kembali hadir.

“Argh! Aku enggak tahan lagi tinggal di rumah ini!” ujar ayah Daffin sembari menyusun pakaian ke dalam tas. Ia terlihat begitu tergesa-gesa, wajahnya memerah dengan tatapan penuh kebencian. Tanpa ada rasa iba, pria itu bersiap pergi meninggalkan rumah kumuh yang menjadi tempat tinggalnya.

“Baba!” teriak lelaki kecil yang berusaha menahan kepergian ayahnya. Sambil menahan air mata ia memeluk erat tubuh pria itu. 

“Awas! Urus aja wanita penyakitan itu. Buat susah!” ungkapnya sembari melayangkan kaki guna menyingkirkan dekapan anaknya. Merasa begitu jijik, hingga enggan menyentuhnya, kini tubuh kecil itu terhempas ke lantai.

“Jangan pergi, Ba!” pintanya kembali, kedua tangannya kembali merangkul erat kaki sang ayah. Ia begitu berjuang untuk menahan, hingga membuat tubuh kurusnya bergetar.

“Lepaskan! Aku tidak sudi hidup miskin seperti kalian.”

Tenaganya habis, tubuh lelaki kecil itu tersungkur setelah ditendang kuat oleh ayahnya. Hanya bisa menatap punggung yang perlahan menghilang. Tak kuasa menangis, karena kerap diledek cengeng. Namun, wajahnya tak mampu berdusta, kini kedua matanya sudah berkaca-kaca diiringi dada yang sesak dipenuhi kesedihan.

“Daffin,” panggil seorang wanita yang sedari tadi terbatuk-batuk dan hanya terbaring di atas ranjang. Suaranya begitu lembut hingga nyaris tak terdengar. Memaksa tubuh kecil itu untuk kembali bangkit. Dengan langkah goyah, ia berjalan mendekati ibunya.

“Maafkan Ami ya, Nak.”

Lelaki kecil itu hanya bisa tersenyum sambil mengangguk, ia tak sanggup menunjukkan wajah kesedihan, meski hatinya sangat hancur. Ia terus berusaha menguatkan diri, merasa cukup bahagia dengan memiliki Ibu di sisinya. Membaringkan kepala di bibir ranjang dan membiarkan rambutnya dibelai. Daffin berusaha menahan tangisnya, meski dorongan kuat terus bergejolak di kerongkongannya.

Perlahan tangan pucat itu berhenti membelai, tersadar akan sesuatu yang ditakutkan terjadi, Daffin menengadahkan wajahnya.

“Ami!” panggilnya sembari menyentuh lembut pipi yang mulai memucat. Tangannya gemetar, ia berusaha menenangkan diri sendiri. Meletakkan telinga di bagian dada dan merasakan napas yang ternyata tak lagi berhembus. Ibunya telah berpulang.

Duduk menatap kosong ke arah ibunya, kini ia hanya hidup sebatang kara. Terlalu takut untuk menangis, hanya bisa menjerit dalam hati. Bibirnya tertutup rapat dengan tangan yang terus bergetar.

“Yang sabar ya, Nak!” ucap bibinya sembari memeluk erat tubuh Daffin. Tangis Devi pecah, namun tidak dengan Daffin. 

Ada banyak orang yang datang menjiarahi. Mereka membacakan lantunan ayat seraya mendoakan kebaikan untuk ibunya. Sedangkan Daffin hanya diam termenung sambil terus menatap wajah sang ibu. Meski ia tak lagi bernyawa, namun wajah itu terlihat begitu cantik. Mata terpejam dan bibir terkembang, wanita itu seakan tengah tertidur lelap. 

***

Tangis Daffin begitu deras, dengan mata terpejam ia berupaya mengatasi kesedihannya. Tanpa sadar, Devi telah terbangun dari pingsannya. Tangan lembut itu membelai rambut hitam Daffin dengan penuh kasih.

“Bi,” sapa Daffin yang dengan segera menyeka air matanya.

“Bibi enggak kenapa-kenapa. Kamu enggak perlu nyalahi diri sendiri,” ucap Devi sambil tersenyum hangat.

Tangis Daffin kembali pecah, satu-satunya keluarga yang ia miliki kini tengah dilanda kerisauan akibat perbuatannya. Hatinya benar-benar hancur, sambil terisak Daffin membaringkan kepala di bibir ranjang dan membiarkan tangan lembut sang bibi menyentuhnya.

Jauh dalam pikiran Devi merasa meragu. Tak dapat dipungkiri jika Daffin terlalu lembut sebagai pria. Ia sangat ahli dalam berbenah rumah, memasak dan merawat wanita tua seperti dirinya. Hal-hal yang menjadi tugas wanita bisa ia lakukan dengan sangat baik. Lembut dan hangat, bahkan cukup peka jika dibandingkan dengan wanita. Ia seakan memiliki jiwa wanita yang terjebak dalam tubuh pria.

“Apa Daffin masih menyukai wanita?” tanya Devi dalam hatinya. Keraguan ini mendadak datang setelah menerima serangan para wartawan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status