"Kok kau diam aja dia menyerobot antrianmu?" ujar Dira dengan tatapan berang. "Sudahlah, dia hanya_" Tanpa meragu Dira dengan berani menghampiri pria yang berani merusak antrian. Melayangkan pukulan dan mengenai pipi lawan. Namun, saat pria itu berniat membalas Daffin datang dan menangkisnya. Dengan penuh kemarahan Daffin berkata, "Jangan menyentuh istriku!" Apa jadinya jika dua insan yang takut menikah harus terikat dalam pernikahan? Dira dan Daffin terjerat sekandal yang memaksa keduanya untuk menikah. Pria yang bersikap kalem dan lembut itu harus memiliki istri yang super aktif dan terlalu pemberani. Keduanya saling bergelud dengan hati untuk menghadapi trauma di masa lalu.
View More“Kenapa wajah kau merengut aja? Enggak senang kau sama tugas kali ini?” tanya seorang pria yang mengenakan setelan rapi berlapis jaket dan topi. Tatapannya terlihat senang akan wajah kecut wanita di depannya.
“Cak kelen pikir, apa ada polisi disuruh jadi baby sitter?” gerutu Dira dengan bibir depan yang naik sebahagian. Matanya menatap tajam, menciutkan nyali lawan bicaranya.
“Tugas kita itu jaga keamanan. Ya udah, keamanan semua oranglah. Apa yang salah?” sambung teman yang lainnya yang sedari tadi duduk di kursi belakang mobil.
“Cakap kau enggak salah, yang salah pribadi polwan sebijik ini. Anti kali sama cowok ganteng. Kenapa, apa kau takut jatuh cinta terus cinta kau enggak terbalas?” ledek mereka diikuti tawa.
“Ah, banyak kali cakap kelen pun. Aku mau nugas dulu, awas kelen enggak bertugas ya?” ancam Dira sembari mengepalkan tangan ke arah dua temannya. Membuka pintu mobil lalu melangkah turun menuju mall dan hilang dalam keramaian.
“Eh, enggak curiga si Dira?”
“Entahlah. Keknya enggak,” ujarnya sembari mengangkat kedua bahu.
***
Dira melangkah dengan gagah memasuki mall, bunyi hak menapak lantai terdengar lantang. Tegap dan siaga, wajahnya menatap berani ke arah depan. Berbalut jaket dengan rambut diikat lalu disembunyikan kedalam topi, Dira nyaris seperti seorang pria.
Di tengah keramaian pengunjung, mata Dira hanya bertumpu pada seorang pria yang tengah berada di atas panggung. Pria berwajah India dengan berewok tipis menghiasi senyumnya. Dia Daffin-model yang tengah naik daun.
“Jika bukan karena tugas, yang malasan aku berurusan dengan artis,” gerutu Dira dengan penuh kekesalan, giginya merapat dengan tatapan mata hendak menerkam mangsanya. Meski merasa enggan, namun langkah kaki Dira terus saja bergerak mendekati panggung.
“Daffin Gay! Kami enggak sudi menerima gay di kota ini!” teriakan kencang dari seorang pria yang berada di ujung panggung.
Seketika semua mata berpaling ke arah pria itu, tatapan kaget sekaligus geram terlihat dari wajah para penggemar Daffin.
“Turun! Turun! Turun!” teriak beberapa orang dari tempat yang berjarak. Mereka cukup ramai, teriakan mereka menggema memenuhi mall. Tidak hanya dari lantai satu, bahkan para pengunjung di lantai lainnya ikut mengintip dari bibir pembatas. Tatapan demi tatapan yang dilayangkan membuat Daffin semakin tertekan. Suara yang meminta ia turun pun semakin lama, semakin terdengar deras.
Para kru sibuk meminta mereka untung tenang, sebahagian yang lainnya mencoba menyadarkan Daffin dari bawah panggung. Namun, Daffin terlalu takut Terlihat dari pupil matanya terus saja bergerak ke kanan kiri dengan cepat. Bergemuruh, dadanya bergerak kencang diikuti detak jantung yang bekejar-kejaran. Daffin begitu tertekan.
Kesal, Dira menatap kesekitaran mencari asal suara. Namun, ia kesulitan karena ada banyak orang yang terus berteriak meminta Daffin turun. Sesaat Dira tersadar akan sosok Daffin yang kini masih berdiri kaku di atas panggung. Kulit kecokelatannya mendadak pucat dengan tubuh yang sulit digerakkan.
“Sialan! Masalah lagi,” gerutu Dira yang semakin mempercepat langkahnya.
Dira terus berusaha melewati ratusan pengunjung. Para kru sibuk menenangkan keributan, namun tidak berhasil. Ditengah kekacauan yang ada, seorang kru meminta Daffin kembali ke belakang panggung. Namun yang terjadi, Daffin justru memilih untuk berlari jauh meninggalkan semua orang. Tubuhnya gemetar takut. Teriakan yang menggema mengembalikan masa traumanya. Dengan mata yang berkaca-kaca dan hati yang dipenuhi rasa takut, bergemuruh dengan pikiran yang kalud. Resah dan tertekan akibat harus menanggung malu. Ia benar-benar tidak menyangka mendapat perlakuan seperti ini.
Kakinya terus saja berlari, meski tak tahu kemana hendak pergi. Tanpa memperdulikan pengunjung yang ada di hadapannya, Daffin terus saja mengelak dan melewati mereka semua. Pintu lift terbuka, tak terlihat seorang pun di dalam dan tanpa meragu, ia masuk lalu menangis sejadi-jadinya di sana. Terduduk meringkuk di sudut ruang, Daffin menangis terisak dengan tangan yang terus menjambak.
Jauh di belakang, terlihat Dira juga berlari mengikuti Daffin. Gelar pelari tercepat yang ia miliki kini tak berarti, karena ada banyak pengunjung yang menghalangi. Tak kehilangan akal, Dira mengejar Daffin melalui tangga darurat setelah menyadari Daffin menaiki lift.
Seakan dikejar waktu, kaki Dira bergerak menaiki anak tangga dengan lincahnya. Mulai merasa sesak, langkah Dira terhenti kala melihat sosok Daffin berada di balkon mall yang ada di lantai tiga.
“Mau ngapain kau!” teriak Dira sembari mengontrol napas.
“Siapa kamu?” tanya Daffin dengan wajah takut, tubuh gemetar dan tangan yang memegang erat bagian besi pembatas. Kini dirinya sudah berdiri di atas pinggiran batu dan bersiap untuk terjun.
“Aku? Bukan siapa-siapa,” jawab Dira tenang, diikuti tatapan merendahkan sambil bersandar dengan kedua tangan berlipat di dada. Sedikitpun Dira tak memperlihatkan wajah hawatir seperti kebanyakan orang. Ia justru menunjukkan sikap acuh.
“Kau mau bunuh diri ya?” sambungnya dengan nada yang benar-benar tenang.
“Bukan urusanmu!” ucap Daffin dengan mata memerah dan wajah penuh kesedihan.
“Cuman nanya kok. Kalau mau bunuh diri juga silakan,” tantang Dira dengan nada yang tegas. Senyum disudut bibirnya menunjukkan keyakinan, keyakinan kuat kalau ia akan berhasil menghalangi keinginan Daffin untuk mengakhiri hidupnya.
Daffin terdiam, niatnya melemah. Seakan tersadar, ia mulai menunjukkan wajah meragu.
“Kok enggak jadi? Enggak serulah ceritanya,” ledek Dira yang kemudian mendengkus sebal.
Daffin semakin bingung akan sikap Dira yang justru mendukung tindakan bodohnya. Ia menatap Dira tajam dengan pikiran yang berkecamuk. Hanya seorang diri tanpa manajer di sisinya, Daffin merasa sangat kacau saat ini. Rasa tertekan ini membuat semangat hidupnya kian melemah, tepatnya semenjak kematian ibunya.
“Kau pikir dengan bunuh diri masalah selesai, hah?” tanya Dira dengan nada menyungut. Perlahan Dira melangkah mendekat ke arah Daffin.
“Lompatlah! Sukur-sukur mati, kalau setengah mati, apa enggak nambah beban. Cak kau pikir dulu,” suara lantang yang keluar dari mulut Dira membuat Daffin menelan ludah.
Ia hanya merunduk, karena kini niatan hendak melompat mendadak berselimut rasa takut. Omongan Dira benar-benar membuat dia berpikir berkali-kali untuk kembali melakukannya.
“Kalau enggak jadi bunuh diri, balek aja kemari. Jangan pula niat udah hilang, eh malah kepeleset terus jatuh betulan.”
Tersenyum bangga, trik Dira dalam menyelamatkan orang yang hendak bunuh diri kali ini kembali berhasil. Dengan penuh keangkuhan sembari menghitung dalam hati, Dira menatap tajam wajah Daffin.
“Satu, dua, ti ....”
Seketika terdengar suara yang sangat keras, “Ton, ton ...,” klakson sebuah truk pengangkat barang mengejutkan mereka. Tangan Daffin terlepas dari pegangan dan, “Brak!” suara benda jatuh pun terdengar.
Dira lebih dulu pulang bersama Bibi, sedangkan Daffin bersama kru lainnya. Rasa tak ingin berpisah itu hadir, namun Daffin tahan. Terlebih setelah melihat wajah jutek Dira. Bayang indahnya perjalanan pulang jika ia lalui bersama pun segera pudar setelah Sofia memanggil dirinya.“Bi, hati-hati ya. Jangan lupa untuk selalui kabari Daffin. Oke,” ucap pria tampan itu. Tatapan tulus serta kecupan penuh kasih ia layangkann pada wanita yang ada di hadapannya.“Ya sayang, Bibi tunggu di rumah.”Sesungguhnya Daffin ingin mengatakan sesuatu kepada Dira, tetapi sepertinya gadis itu menghindar dan memilih untuk pergi terlebih dahulu. Daffin hanya bisa menghela napas berat dari mulutnya. Ia pun mengantarkan Bibi menuju parkiran mobil.Sepanjang jalan Daffin terus tersenyum dalam diam. Sontak kejadian ini membuat banyak mata yang menaruh curiga.“Ehem, ada apa nih. Kok ada yang lain. Apa ada yang tau?” ledek salah satu kru.“Tanya Sofia gih. Kan dia yang paling dekat. Ngomong-ngomong cewek tadi sia
Salah seorang kru mengetahui kabar kecelakaan yang dialami mobil Daffin. Ia pun segera menyampaikan kepada Leo selaku manajernya Daffin.“Mas Leo, aku dapat kabar kalau sopir mas Daffin kecelakaan,” ucapnya dengan tatapan cemas.“Apa?” tanya Leo dengan nada yang begitu kuat. Hingga membuat banyak mata memandang ke arahnya seketika. Tak terkecuali Daffin yang saat ini sibuk pemotretan.“Sebentar ya,” ucap Daffin meminta izin untuk menghentikan pemotretan sementara. Ia pun segera menghampiri Leo guna menanyakan apa yang telah terjadi.“Sopir lu kecelakaan!” jelas Leo dengan raut wajah cemas.“Emang dia kemana?” tanya Daffin yang tak mengetahui alasan sopirnya pergi.Leo pun menjelaskan, bahwa ia telah menyuruh si sopir mencari sesuatu di daerah kota. Untuk menjaga keamanan, ia menyuruhnya pergi dengan mengendarai mobil pribadi milik Daffin.Setidikitpun Daffin tak menaruh curiga. Ia justru sangat menghawatirkan keadaan pemuda yang menjadi sopir barunya. Sopir muda yang sengaja ia utus u
Belaian lembut di kepalanya membuat Dira tersadar akan kantuknya. Wangi yang tak asing berhasil menggelitik hidungnya. Sadar betul akan sosok yang kini duduk memandanginya Dira, perlahan membuka matanya. Meski kabur, Dira tahu benar bahwa Daffin kini duduk tersenyum menatapnya.“Kau?” ucapnya menatap tak percaya.Memutuskan untuk bangkit dan segera memeluk Daffin. Tersenyum penuh haru kebahagiaan, Dira merasa senang sekali saat ini. Terisak, ia melampiaskan semua kekacauan hatinya. Memeluk kian erat, hingga membuat kerutan pada sebahagian kemeja Daffin.Sepertinya tidak hanya Dira, melainkan Daffin pun menunjukkan tatapan yang sama. Keduanya terhanyut dalam hangatannya pelukan rindu. Seling memeluk erat seakan tak ingin kembali dipisahkan.Semua ini terasa begitu nyata, hingga akhirnya tatapan Dira yang sedari tadi bersembunyi di dada Daffin kini beralih pada Devi. Senyum penuh syukur yang terlihat pada wajah wanita tua itu memberi isyarat bahwa semua ini nyata.Masih tak menyadari da
Dira masih saja menatap bingung ke arah pemuda itu. Pemuda yang begitu mirip dengan rekannya Tomi.“Kau kok bisa di sini, Tom?” tanya Dira dengan nyolotnya.“Maaf, salah orang. Saya bukan Tomi,” ucapnya sembari menunjukkan senyuman. Lalu memutuskan pergi. Namun, baru saja tubuhnya berbalik, Dira lebih dulu menahan pundaknya dengan tangan.“Enggak usah main-main kau! Ngapain kau di sini?” tanya Dira kembali. Perasaan curiga mendadak hadir. Tepatnya semenjak kemarin, dimana mereka harus menangkap pengedar di bar.“Le, Cepat sini! Malah kenalan sama cewek,” ucap relawan lain. Ia melambaikan tangan ke arah pria yang diduga Tomi.“Maaf, Mba. Sekali lagi saya bilang, saya bukan Tomi. Mungkin kami hanya mirip,” ungkapnya menolak halus. Tangannya dengan lembut melepaskan tangan Dira dari pundaknya.“Enggak, kau pasti Tomi!” ungkap Dira. Kali ini ia bertindak nekad dengan menepis tangan kemeja pria itu. Terlihat ada tato kecil bergambar bintang di sana. Memperjelas kalau dia bukanlah Tomi yang
Terik cuaca tak lantas membuat Dira menyerah. Perut yang belum sempat terisi tak menunjukkan gejala lapar. Yang ada dalam benak Dira saat ini hanyalah ingin segera menemukan Daffin. Terus melangkah dan mencoba memasang telinga, Dira berharap bisa mendengar kata tolong dari seseorang. Bayang wajah Daffin yang tengah kesakitan pun membuat Dira semakin cemas.“Woy! Kemari!” teriak salah satu relawan.Dira dan timnya pun turut mendekati asal suara. Ternyata mereka menemukan tas berisi uang tunai yang tak sedikit jumlahnya. Tas kecil berupa koper itu bewarna putih. Sesaat Dira sadar akan penjelasan aparat kemarin.“Jangan bilang yang dilihat supir truk itu koper ini. Bukannya orang,” gumam Dira yang mulai mencemaskan akan keberadaan Daffin saat ini.Kini hari mendekati siang, suasana semakin panas meski ada banyak pohon yang melindungi mereka. Lelah, kaki Dira mulai gemetar. Tak dapat dipungkiri jika saat ini tubuhnya terasa lemas sekali. “Mba, ini minum dulu! Wajah Mba pucat banget,” uca
“Daffin!” teriakan Dira menggema. Sebuah tepukan di pundaknya membuka matanya.“Kamu enggak kenapa-kenapa, Nak? Minum teh dulu!” pinta Devi dengan wajah sembabnya.Dira tersadar dan seketika merasa malu. Ternyata apa yang baru saja ia lamai hanyalah sebuah mimpi.“Kamu mimpiin Daffin ya?” tanya Devi sembari mendekap tubuh Dira.Tangis yang sedari pagi ia tahan pun meledak. Dira menangis terisak berharap sesak didadanya berkurang. Ia terus menangis sambil membayangkan wajah Daffin yang ia lihat di dalam mimpi. Ia tak bisa membayangkan jika penampakan Daffin yang ia temui adalah keadaan nyata yang Daffin alami. Bisa saja darah yang ada pada tangan dan kaki Daffin itu nyata dan kini Daffin masih terbaring kesakitan menanti ajal di tengah hutan belantara.Tangis Dira sungguh sulit dikontrol, meski ia merasa malu dalam keadaan seperti ini. Namun, hatinya tak mampu membohongi diri. Pilu jika Daffin benar pergi untuk selamanya, sedangkan ia mulai menyadari bahwa telah jatuh hati.“Kita doaka
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments