“Apa, apa lagi yang mau kau bilang? Aku sudah lelah. Semua uangku habis untuk biayai pengobatanmu. Bukannya sembuh, kau malah kambuh. Kau tau sudah berapa banyak uang yang aku habiskan untuk keluarga ini? Tapi apa yang aku dapatkan? Hah?” cibir ayah Daffin. Bibirnya terus saja berucap sumpah serapah, berisi kekesalan. Amarahnya meledak, kesabarannya telah lenyap.
Hatinya begitu panas, tak henti-hentinya ia mengacungkan jari penuh amarah kepada wanita yang kini hanya bisa terduduk dan menangis. Bentakan, hinaan dan makian terlontar jelas.
“Menyesal! Kalau aja aku tidak menikahimu, mungkin hidupku sudah bahagia sekarang. Hidup tenang dengan harta yang melimpah. Heh! Nasi sudah menjadi bubur. Aku enggak mau lebih lama hidup di rumah kumuh ini. Kalau aku bertahan di sini, hidupku tidak akan pernah berubah. Mulai sekarang, jangan pernah lagi mengingatku. Jangan pula menegurku jika bertemu. Ingat itu wanita sialan!”
Ucapan itu terhenti, dengan kepergian dirinya. Melangkah penuh angkara murka meninggalkan rumah penuh nestapa. Hanya ada kebencian dan rasa jijik jika ia berada di sana. Terlebih setiap kali ia menatap istrinya. Wanita dengan kulit yang menyusut membalut tulang. Tak menarik dan sangat membebani baginya.
Begitu pula dengan keberadaan Daffin. Putra tunggal yang saat ini berusia sembilan tahun. Putra berkulit cokelat itu memiliki wajah yang tampan seperti ayahnya, namun ia tak pernah mendapatkan kasih sayang darinya. Tindakan kekerasan dan lontaran kebencian yang selalu ia dapatkan.
Kini pemuda kecil itu hanya bisa duduk meringkuk dengan kedua tangan menutup telinga. Wajahnya memerah dengan tangis yang mengalir deras. Ia hanya bisa bersembunyi. Sakit, takut dan sesak kini menyelimuti dirinya. Mental yang lemah membuat ia tak berani membela ibunya sendiri.
Isak tangis yang terdengar semakin menusuk dalam dadanya. Begitu menyakitkan hingga menggetarkan perasaannya. Getar itu begitu dahsyat hingga mampu menggetarkan seluruh tubuhnya.
“Maafkan Ami, Nak,” ucap wanita itu. Dibalik isak tangis ada rasa kecewa karena tak kuasa membiarkan putra tercintanya merasakan semua penderitaan ini.
Isak tangis dan bentakan itu terus terngiang di telinga Daffin hingga saat ini. Datang tanpa diundang, bahkan diwaktu yang tak tepat. Setiap ingatan itu hadir, tubuh Daffin pun kembali bergetar, seperti yang terjadi saat ini.
Mungkin kini matanya menatap pria tampan yang bertubuh kekar. Namun, tidak dengan hatinya yang tak lagi berbentuk. Bayang masa lalu membuat ia takut untuk menikah. Takut menyakiti wanita yang begitu mencintainya. Takut tak mampu membahagiakan wanita yang dinikahinya. Takut menjadi penyebab tumpahnya air mata seorang wanita. Besar takut ini membuat ia tak berani mencintai, meski sudah banyak wanita yang ia temui.
“Maafkan Daffin, Mi,” ucapnya dengan bibir bergetar. Mata itu kembali berkaca-kaca. Basuhan air pun tak mampu menutupinya. Kembali terduduk dengan perasaan bersalah, Daffin terus dihantui rasa penyesalan. Menyesal karena tak mampu melindungi ibunya.
“Mi, Daffin bingung. Daffin takut, Mi. Daffin butuh Ami,” sambungnya dengan kedua tangan menggenggam erat rambut hitamnya. Genggaman itu membuatnya sakit, terlalu kuat sampai merontokkan sebahagian rambutnya. Namun, itu semua tidak berarti dibandingkan rasa sakit yang saat ini ia derita.
“Tok, tok, tok!”
Ketukan pintu memaksa Daffin kembali bangkit. Kembali membasuh wajah dan menunjukkan senyum. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk menutupi kegundahan hatinya.
“Sayang, kamu okey?” tanya Bibi dengan wajah hawatir.
“Hanya lelah, Bi,” ucap Daffin tersenyum dan mencoba memalingkan wajahnya.
“Ada Leo, dia ingin bertemu. Kalau kamu enggak mau bertemu, biar Bibi sampaikan,” ucap Bibi mencoba meyakinkan. Wajahnya begitu sendu seakan merasakan penderitaan Daffin saat ini.
“Biar Daffin temui aja, Bi.”
Daffin terus melangkah meninggalkan Bibi yang masih mematung menatap dirinya. Punggung Daffin mungkin terlihat tegap nan gagah, namun Bibi tahu betapa lemahnya dia.
***
“Hai, udah makan?” tanya Daffin dengan ramahnya. Bibir tersenyum riang, seakan menunjukkan betapa bahagianya dia saat ini.
“Belum. Gua enggak selera makan,” jawab Leo dengan nada lemah.
“Hah? Hahaha, apa gua enggak salah dengar? Lu diet?” tanya Daffin dengan tawa yang dibuat-buat.
“Dira jadi bahan gosipan karena lu, Daf,” ucap Leo tegas.
Sontak saja tawa Daffin terhenti. Wajah kesedihan itu kini berubah menjadi kecemasan.
Sepanjang penerbangan Dira terus saja memejamkan matanya. Bukan karena mabuk kendaraan, melainkan menahan kesedihan hatinya. Kepergian tanpa pamit yang ia lakukan saat ini ternyata menyakiti dirinya sendiri. Takut dan gelisah pun tak henti membayangi. Wajah kedua adik perempuannya selalu terbayang. Meski mereka tak banyak menghabiskan waktu bersama, namun mereka senantiasa bertemu di setiap harinya. Begitu pula wajah sang ayah yang tak pernah lupa memeriksa kamarnya di malam hari. Semua ini menyebabkan kerinduan hadir, meski baru beberapa jam ia meninggalkan kota kelahirannya. “Mba, Mba!” tegur seorang pria yang duduk tepat di samping Dira. “Maaf, Mba. Ini ada sekotak roti untuk Mba,” sambungnya yang hingga saat ini tak mendapat jawaban dari Dira. Dira masih saja diam dan mengabaikan pria itu. Sesungguhnya ia belum tertidur, hanya saja ia takut kalau air matanya mengalir jika ia memaksa untuk
Dira dan Tomi berada di kafe Tjikini yang ada di Jakarta Pusat. Duduk tenang di sudut ruang sambil menikmati teh hangat. Suasana terasa sepi dengan Dira yang begitu betah berdiam diri. Berbeda dengan Tomi yang terkesan hangat dan ramah, hingga ia begitu banyak bicara.“Terima kasih, Mba,” ucap Tomi kepada seorang pelayan wanita.Meja yang kosong pun kini telah berisi dengan beragam macam menu. Lontong cap gomeh, nasi goreng belacan dan tape bakar.“Silakan makan,” ucap Tomi kepada Dira. Ia menyeringai lebar merasa yakin kalau diantara pilihannya pasti ada yang Dira suka.“Kamu nyuruh aku habisin semua?” tanya Dira dengan kedua mata menyala. Tak henti-hentinya Dira menatap satu demi satu menu yang ada. sesungguhnya, ia begitu ingin mencoba semuanya. Terlihat menggairahkan, terlebih masih dalam keadaan panas. Terutama menu lontong yang kembali mengingatkan Dira akan
Jantung Dira berdenyut kencang dengan nada yang lembut, aneh dan membingungkan. Keadaan ini bermula saat ia kembali bertemu Daffin. Kedatangan Daffin yang begitu mendadak membuat Dira terus teringat pada dirinya. Terlebih saat tangan Daffin menyentuh lembut wajahnya. Jarak pandang yang begitu dekat sungguh membuat Dira tak nyaman.Kulit kecokelatan dan hidung yang mancung itu terlihat jelas olehnya. Bulu-bulu halus yang tumbuh sekitar pipi dan dagu tertata begitu rapi. Meskipun Daffin menggunakan kacamata, namun Dira dapat melihat dengan jelas matanya yang menatap tajam ke arah dirinya. Tatapan penuh rasa hawatir hingga membuat Daffin nekad mengorbankan diri demi melindungi Dira.Jeritan, “Aduh!” nya saja hingga kini masih terngiang di telinga Dira. Hembusan napas dan aroma tubuhnya juga melekat erat dalam ingatan.“Argh ... katanya Jakarta luas, kenapa pulak aku bisa jumpa dia lagi?” gerutu Dira
Pagi yang mengesalkan, Dira tidak menyangka Jakarta begitu macet. Tak seperti kota Medan yang hanya berhenti kala lampu jalan menunjukkan warna merah. Jika saja ia tidak menurut akan ucapan teman serumahnya, mungkin ia akan datang telat pagi ini.“Tak, tuk, tak, tuk!”Suara langkah kaki Dira menggema di sepanjang lorong. Berjalan gagah dengan wajah angkuh Dira menjadi pusat perhatian banyak orang. Bukan karena parasnya yang cantik, melainkan karena rambutnya yang panjang dan terlihat disanggul.“Hei, siapa tuh? Dari mana dia? Tampangnya lumayan juga,” ucap salah satu polisi pria yang lebih dulu melihat Dira memasuki pagar kantor polisi.“Mayan sih, tapi tuh kakinya kok ngentak-ngentak gitu. Udah macam sepatu kuda aja. Tuk, tik, tak, tik, tuk,” sambung polisi pria lainnya diikuti tawa meledek.Menyadari tertawaan itu dilayangkan untuknya, Dira t
Tendakan kuat Dira membuat engsel pintu terlepas, hingga kini pintu terbuka lebar. Sontak saja semua mata menatap ke arah Dira, namun ia tak gentar. Dengan tenang dan penuh keangkuhan Dira berkata, “Ngapain kelen?”Tatapan bingung dan merendahkan pun dilayangkan untuk Dira. Seorang pria bertubuh tegap dengan perut yang buncit menatap tak senang ke arah Dira.“Bukan urusanmu, keluarlah!” pinta Denis dengan sikap mengabaikan.“Hei, kau! Ikut aku!” pinta Dira mengarah kepada Tomi.Terdiam, kini mata Denis dan kedua temannya berbalik menatap ke arah Tomi. Diam dan merasa takut, Tomi masih saja betah menempelkan tubuhnya di dinding.“Tunggu apa lagi? Satu, dua, ti-”Tomi dengan segera menggerakkan tubuhnya mendekati Dira.“Tidak semudah itu teman,” ucap teman Denis. Tangannya bergerak
Dari kejauhan Alia melihat ada keramaian di depan rumahnya. Beberapa orang asing dengan pakaian casual. Menggunakan kaos berlapis jaket dan celana lea. Mereka ramai menanyai beberapa orang tetangga Alia. “Ngapain orang itu? Kok ditanyai? Apa lagi ada shooting TV?” gerutu Alia yang mulai merasa curiga. Mereka membawa alat perekam suara dan kamera kecil yang diduga bisa digunakan untuk merekam video. “Keknya enggak ada yang aneh lah. Enggak ada kejadian apalagi bencana. Apa ini lagi buat konten? Tapi kok ditanyai gitu. Enggak mungkin ah,” ungkapnya yang memilih menjauhi gang rumahnya. Ia merasa resah dan memutuskan untuk menunggu di kedai simpang rumah menunggu kepulangan ayah atau kakaknya. “Buk, ngapain orang itu rame-rame di situ, Buk?” tanya Alia kepada ibu pemilik kedai. “Entah, Ibuk pun baru tau. Kalau enggak si Ucok yang bilang, Ibuk pun enggak tau,” jawab ibu itu cuek sambil terus melih
“Heh! Cantik kali mukak kau malam ini. lagi jatuh cinta kau yah?” ucap Arini yang berupaya memancing kejujuran Alia. Namun, sepertinya kali ini Alia tidak terpancing. Terlihat dari sikapnya yang masih terus diam mengabaikan kakaknya-Arini.Dengan dahi mengernyit Arini mencari akal kembali.“Eh, tadi aku ada dengar kabar tentang Kak Diralah. Tau kau?” ucap Arini yang dengan sengaja menghentikan ucapannya.Benar saja, seketika wajah Alia menatap kaget ke arahnya. Namun, masih saja mengunci rapat mulutnya.“Apa yang ko dengar, Kak?” ucapnya sambil menunjukkan wajah cemas.Sontak saja Arini menjadi bingung sendiri. Ia pun menduga berita buruk yang mungkin Alia tahu berhubungan dengan kakak mereka Dira.“Ko dengar apa pulak dari orang ini? kau dululah yang cakap,” ucapnya memujuk. Wajahnya terlihat tegas seakan menun
“Daf, senyum lu mana? Senyum?” ucap salah satu kru.Daffin mencoba tersenyum sedikit lebih lebar dan itu semakin membuat wajahnya terlihat kaku. Senyum yang sangat tidak mengalir itu tak cocok dengan tema pengambilan foto hari ini.“Haduh ...! Gimana sih? Senyumnya kepaksa itu,” ucap pria dengan gaya berkelas. Memakai barang branded dimulai dari kemeja hingga aksesoris terkecilnya. Dia Leon-perancang dan pemilik busana sekala internasional.Dua orang kru yang sedari tadi berdiri di samping Leon pun menunjukkan wajah takut. Tanpa diminta mereka mendekati kru yang bertugas mengarahkan Daffin.“Bos marah tuh, senyumnya kaku. Gimana sih model kalian?” ucap mereka dengan tatapan kesal.“Kalian tau enggak kalau bos udah marah bisa gawat. Mending buruan suruh tuh cowok senyum alami, biar cepat kelar semuanya,” sambung temannya.&nbs