Salah seorang kru mengetahui kabar kecelakaan yang dialami mobil Daffin. Ia pun segera menyampaikan kepada Leo selaku manajernya Daffin.“Mas Leo, aku dapat kabar kalau sopir mas Daffin kecelakaan,” ucapnya dengan tatapan cemas.“Apa?” tanya Leo dengan nada yang begitu kuat. Hingga membuat banyak mata memandang ke arahnya seketika. Tak terkecuali Daffin yang saat ini sibuk pemotretan.“Sebentar ya,” ucap Daffin meminta izin untuk menghentikan pemotretan sementara. Ia pun segera menghampiri Leo guna menanyakan apa yang telah terjadi.“Sopir lu kecelakaan!” jelas Leo dengan raut wajah cemas.“Emang dia kemana?” tanya Daffin yang tak mengetahui alasan sopirnya pergi.Leo pun menjelaskan, bahwa ia telah menyuruh si sopir mencari sesuatu di daerah kota. Untuk menjaga keamanan, ia menyuruhnya pergi dengan mengendarai mobil pribadi milik Daffin.Setidikitpun Daffin tak menaruh curiga. Ia justru sangat menghawatirkan keadaan pemuda yang menjadi sopir barunya. Sopir muda yang sengaja ia utus u
Dira lebih dulu pulang bersama Bibi, sedangkan Daffin bersama kru lainnya. Rasa tak ingin berpisah itu hadir, namun Daffin tahan. Terlebih setelah melihat wajah jutek Dira. Bayang indahnya perjalanan pulang jika ia lalui bersama pun segera pudar setelah Sofia memanggil dirinya.“Bi, hati-hati ya. Jangan lupa untuk selalui kabari Daffin. Oke,” ucap pria tampan itu. Tatapan tulus serta kecupan penuh kasih ia layangkann pada wanita yang ada di hadapannya.“Ya sayang, Bibi tunggu di rumah.”Sesungguhnya Daffin ingin mengatakan sesuatu kepada Dira, tetapi sepertinya gadis itu menghindar dan memilih untuk pergi terlebih dahulu. Daffin hanya bisa menghela napas berat dari mulutnya. Ia pun mengantarkan Bibi menuju parkiran mobil.Sepanjang jalan Daffin terus tersenyum dalam diam. Sontak kejadian ini membuat banyak mata yang menaruh curiga.“Ehem, ada apa nih. Kok ada yang lain. Apa ada yang tau?” ledek salah satu kru.“Tanya Sofia gih. Kan dia yang paling dekat. Ngomong-ngomong cewek tadi sia
“Kenapa wajah kau merengut aja? Enggak senang kau sama tugas kali ini?” tanya seorang pria yang mengenakan setelan rapi berlapis jaket dan topi. Tatapannya terlihat senang akan wajah kecut wanita di depannya. “Cak kelen pikir, apa ada polisi disuruh jadi baby sitter?” gerutu Dira dengan bibir depan yang naik sebahagian. Matanya menatap tajam, menciutkan nyali lawan bicaranya. “Tugas kita itu jaga keamanan. Ya udah, keamanan semua oranglah. Apa yang salah?” sambung teman yang lainnya yang sedari tadi duduk di kursi belakang mobil. “Cakap kau enggak salah, yang salah pribadi polwan sebijik ini. Anti kali sama cowok ganteng. Kenapa, apa kau takut jatuh cinta terus cinta kau enggak terbalas?” ledek mereka diikuti tawa. “Ah, banyak kali cakap kelen pun. Aku mau nugas dulu, awas kelen enggak bertugas ya?” ancam Dira sembari mengepalkan tangan ke arah dua temannya. Membuka pintu mobil lalu melangkah
Daffin terbaring di atas ranjang klinik sahabat. Klinik kecil yang berada di tengah pajak petisah, tepat di seberang carefour. Wajahnya terlihat pucat dengan bibir yang bewarna merah alami. Masih dalam keadaan terpejam, Daffin mengigau menyebutkan sesuatu yang tidak dimengerti Dira. Igauan itu membuat wajah Daffin mendadak bersedih dengan air mata yang mengalir deras dari kedua sudutnya. Tidak ada yang bisa Dira lakukan, kecuali menatap wajah Daffin dengan dahi mengernyit. Hatinya merasa lega mengetahui keadaan Daffin yang baik-baik saja. Namun, ia tetap merasa kesal akan tingkah Daffin saat ini. Kekesalannya terus bertambah dan kain menumpuk. Hanya ada kebencian setiap kali ia menatap wajah Daffin. “Gara-gara kau ini, hampir aja jabatanku terancam. Aneh-aneh ajalah tingkah manusia jaman sekarang. Sikit-sikit bunuh diri, pikirnya yang enggak dituntutnya setelah mati. Huh! Udah jadi model terkenal pun goyang kali mentalnya. Enggak cocok k
Dira terbangun di atas ranjang, wajahnya terlihat bingung. Sambil menahan rasa sakit di kepalanya, Dira segera membuka selimut yang ternyata tubuhnya masih mengenakan pakaian lengkap. “Sialan! Aku pikir dia ngapa-ngapain aku. Untungnya enggak,” gerutu Dira yang segera bangkit dan meraih jaket miliknya, Dira bersiap pulang. Dirinya benar-benar merasa lelah saat ini, meski tidak menghabiskan banyak tenaga, namun kurang tidur cukup membuat wajahnya terlihat lemas. “Eh, Mbanya mau kemana?” tanya Leo dengan senyum terkembang. “Mau pulang!” jawab Dira cuek, wajahnya terlihat tak senang sambil melirik tajam ke arah Daffin. “Mba tugasnya belum selesai. Mba harus temani kami selama di Medan,” jelas Leo dengan tubuh sedikit merunduk. Sepertinya ia takut sekaligus heran melihat tingkah kasar Dira yang awalnya ia kira gadis baik karena berwajah kalem. Namun, ternyata ia salah. Dira jauh lebih menakutkan
Seharian ini Dira terus menunjukkan wajah penuh kekesalan. Bibir cemberut dengan kaki yang menendang-nendang kasar ke arah benda yang ada di hadapannya. “Kok bisa anak itu kabur? Pintu terkunci, terus pun jendela dilapisi besi dalamnya kan?” gerutu Dira yang masih tidak terima akan hilangnya jejak sang penguntit. “Punya CCTV tapi kok belum dinyalakan. Percuma aja dipasang! Argh ... nyesal kali enggak aku hajar habis-habisan anak itu. Kalau aja yang punya kafe enggak datang, udah babak belur dia kubuat!” Dira masih saja tidak terima akan apa yang terjadi. Selain tidak mendapatkan informasi penting dari si penguntit, Dira juga harus menanggung malu kepada dua orang polisi yang diminta datang menangani masalah ini. Duduk di sudut meja sambil terus menatap cemberut, Dira mengepal erat kedua tangannya. Jika bukan karena harus kembali menjaga Daffin, Dira sudah pergi mencari si penguntit itu.
Pesawat mendarat di bandara Soekarno Hatta, tepat pukul tujuh pagi. Terlihat ada banyak orang mengerumuni halaman bandara. Mereka terlihat seperti reporter dengan ciri khas tas kecil, kamera dan perekam suara yang berada dalam genggaman. Sekitar sepuluh orang, mereka duduk sambil berbincang menatap ke arah pintu keluar bandara. Diluar dugaan, Leo memasang wajah kaget saat menatap ke arah para pencari berita yang kini berdiri menunggu mereka. Tak lagi bisa mengelak, Daffin memutuskan untuk melewati mereka dengan raut wajah tenang. Tak lupa senyuman manis yang menjadi ciri khasnya. “Daf, apa benar kamu ingin bunuh diri?” “Kenapa kamu tidak terlihat di panggung para model? Bukannya kamu salah satu juri acara itu?” “Apa kamu pergi karena tuduhan Gay?” “Daf, beri kami jawaban!” Jutaan pertanyaan diabaikan begitu saja, hanya senyum dan sikap santun yang
Daffin terlihat bersedih memandangi wajah bibinya. Ia tak menyangka, serangan para media kini mulai merambat hingga keanggota keluarganya. “Bu, sebagai Bibi Daffin apa pendapat anda tentang tuduhan gay yang diberikan pada Daffin?” “Apakah anda yakin kalau Daffin tidak memiliki kelainan seks?” “Daffin tidak pernah mendekati wanita, apa itu benar?” Semua pertanyaan itu sontak membuat Bibi Daffin shok. Napasnya terasa sesak dengan pandangan mata yang perlahan meredup. Tak mampu lagi mengontrol diri, seketika tubuhnya tumbang dan terbaring lemah di atas lantai. Wanita dewasa yang menjadi pelayannya tak mampu berbuat apa-apa, selain meminta perawat mengangkat tubuh Devi ke atas ranjang dan menghubungi Daffin untuk segera datang. Betapa sedih dan hancurnya hati Daffin, air matanya terus mengalir deras menyaksikan sang bibi yang kini terpejam tak sadarkan diri. Rasa bersalah t