Share

Berbohong

Aku terkejut saat Najma anakku tiba-tiba saja masuk. Sedangkan aku masih berada di posisi yang tidak layak dilihat oleh anak kecil berusia tujuh tahun.

Aku secepatnya merapatkan selimutku. Berharap Najma tidak melihat sesuatu yang memang tidak pantas dilihatnya.

“Mama kenapa? Kok tumben tidur di kamar Papa?"

Pertanyaan itu lolos dari bibir Najma saat dirinya berdiri tepat di samping ranjang.

Dan sekarang sepertinya aku harus berpura-pura. Walau hati tidak ingin namun inilah yang terbaik daripada Najma tahu yang sebenarnya.

“Mama gak enak badan, Sayang. Takut nular ke kamu jadi Mama memilih tidur di kamar Papa. Oh, iya, Mama bisa minta tolong ke Najma tidak?”

“Minta tolong apa, Ma. Katakanlah!”

“Mama haus, bisa tolong bawain Mama air.”

“Tentu saja, Ma. Sini sekalian saja tempat airnya Najma isi penuh.”

Najma mengambil tempat air yang memang selalu ada di setiap kamar. Sengaja aku simpan karena memang setiap malam aku, Mas Raka maupun Nazma selalu terbangun hanya karena ingin minum.

Setelah Najma pergi. Aku lekas bangkit memakai baju yang tadi dilepas dengan paksa oleh Mas Raka. Sungguh, tubuhku terasa sakit semua. Mas Raka benar-benar memperlakukan aku dengan sangat kasar.

Tidak ada pendahuluan, hingga membuat aku merintih kesakitan.

Setelah aku memakai baju. Aku kembali menyembunyikan tubuhku di bawah selimut. Seraya merasakan rasa sakit di sekujur tubuhku. Aku sama sekali tidak mengerti kenapa dalam waktu lima tahun ini Mas Raka semakin tak aku kenali lagi. Serasa hidup dengan orang asing.

Tak lama Najma datang dengan membawa air. Aku tersenyum melihatnya, beruntung Najma tumbuh menjadi anak Sholehah dan aku harap sampai ia tumbuh dewasa pun tetap seperti ini. Najma yang sangat baik, manis, Sholehah dan tentu sangat mencintaiku dan mencintai Papanya meskipun aku tahu papanya tidak pernah ada waktu berdua saja dengannya.

“Ma, minumlah!”

Najma menyerahkan segelas air putih padaku lalu ia duduk di atas ranjang. Dan aku pun mengambil gelas yang berisi air yang Najma berikan.

Sejurus kemudian Najma memijat kedua kakiku secara bergantian. Sungguh, aku serasa menjadi mama yang tidak berguna, yang tidak bisa menyenangkan anaknya.

“Terima kasih, Najma.” ucapku seraya meminum air dalam gelas itu.

Dia hanya mengangguk dan tersenyum lebar. Aku meminum habis segelas air putih itu jika boleh jujur aku memang sedang dalam keadaan haus.

Setelah air dalam gelas habis hanya dalam satu tegukan saja, aku langsung menyimpan gelas kosong itu.

Najma masih berada di dalam kamar Mas Raka. Ia masih berada di posisi yang sama. Terduduk. Aku merasa ada sesuatu yang aneh, merasa jika seberanya anak gadisku ini mengetahui sesuatu.

“Kembalilah ke kamarmu, Sayang! Besok kamu sekolah.”

Aku berusaha untuk mengalihkan keadaan. Aku tidak ingin Najma justru mengorek sesuatu yang lebih dalam lagi. Ia tidak berhak tahu, ia masih kecil, ia belum layak ikut campur dalam urusan orang dewasa.

“Najma tidur di sini saja, Ma. Selagi papa enggak ada.”

Malah kalimat itu yang keluar dari bibir Najma. Aku tidak punya keberanian untuk menolak keinginannya. Padahal malam ini aku ingin sendiri, meratapi hidupku yang tak tahu akan seperti apa.

Dengan berat hati aku menyetujui permintaan kecil anakku. Sepintas aku teringat sesuatu jika selama ini Najma tidak pernah meminta sesuatu padaku apalagi pada papanya.

Ya Allah... rasanya aku menjadi seorang mama yang gagal. Tidak mampu membahagiakan anakku sendiri. Bahkan aku sama sekali tidak peka dengan anakku. Aku tidak pernah bertanya apa maunya atau sekadar di hari libur pergi ke tempat yang mungkin saja ingin ia kunjungi pun aku tidak pernah.

Anakku persis sepertiku, pendiam. Dan seperti itulah kerugian seorang yang sedikit bicara. Apa-apa selalu dipendam sendiri sekalipun itu sebuah permintaan atau masalah kecil saja ragu untuk mengutarakan. Lalu bagaimana jika masalah besar? Aku tidak bisa membayangkan.

Aku melambaikan tangan lalu merentangkannya meminta Najma untuk ikut bergabung tidur di bawah selimut yang sama. Dia mengangguk lalu secepatnya membaringkan tubuhnya dan menyelimutinya dengan selimut.

Aku memeluknya, kini aku pun ingat kembali akan suatu hal. Kapan terakhir kali aku melakukan hal seperti ini? Aku terlalu sibuk memikirkan kelakuan papanya hingga melupakan dirinya—anakku.

“Maafkan Mama, Sayang,” ucapku dengan lirih disela pelukanku.

“Harusnya Najma yang minta maaf. Karena Najma belum bisa bantu Mama. Najma malah menyusahkan Mama.”

Aku menggeleng cepat serta membalikkan tubuh Najma hingga kami saling berhadapan.

“Tidak sayang. Najma sama sekali tidak menyusahkan Mama. Justru Najma itu kebanggaan Mama. Dengan melihat Najma rajin belajar, mengaji , salat tepat waktu dan menjadi anak solehah Mama sudah senang. Jangan pernah beranggapan seperti tadi lagi, ya.”

“Mama ....”

Aku memeluknya lagi. Kali ini ingin rasanya aku menangis meraung-raung tapi aku tidak boleh terlihat lemah di hadapan anakku. Dia harus tahu jika aku adalah seorang ibu yang tangguh.

“Sudah. Sekarang kita tidur.”

Aku mengakhiri momen sedih ini. Bukan hal yang baik juga jika terus mengeluarkan air mata. Air mata ini terlalu berharga untuk menangisi hal-hal yang tidak berguna.

Jujur, aku akui memang kadang bibir bisa dengan mudahnya bilang kuat, jangan nangis. Namun tetap saja kadang hati malah mengingkarinya.

Ya Allah, aku hanya ingin agar kehidupan Najma anakku dilimpahkan dengan kebahagiaan yang tidak akan pernah ada habisnya.

Dia anak baik, dia anak sholehah dan dia adalah anak penurut. Kalau boleh aku ingin meminta agar waktu berputar kembali dan aku meminta agar Najma anakku terlahir dari keluarga sempurna. Tidak seperti sekarang .

Namun aku sadar diri, itu adalah hal mustahil. Ini adalah takdir. Aku akan berusaha untuk memberikan kebahagiaan untuk Najma.

Aku semakin mengeratkan pelukanku. Aku sembunyikan wajahku di punggung Najma. Sungguh untuk berhenti tidak menangis begitu sulit. Hatiku telanjur nelangsa.

"Mama nangis?"

Ya Tuhan, sepertinya anakku menyadarinya jika aku tengah menangis.

"Enggak, kok, sayang. Najma kok belum tidur? Tidur lagi, ya, ini masih malam."

Aku berbohong, maafkan Mama, Najma. Sepertinya hidupku mulai dipenuhi dengan kebohongan.

"Najma tidak bisa tidur."

Lalu secara tiba-tiba Najma membalikkan tubuhnya hingga aku benar-benar kepergok tengah menangis.

Najma terdiam menatapku, sementara itu aku langsung tertunduk. Merasa malu sendiri karena ketahuan sudah berbohong.

"Mama kenapa nangis?"

"Mama gak kenapa- kenapa, Sayang. Mama hanya merasa badan mama sakit. Saking sakitnya jadi Mama nangis."

Najma lalu mengulurkan tangannya, menyeka kedua mata dan pipiku dari air mata.

"Jangan nangis, Ma. Bukannya Mama suka bilang ke Najma kalau sakit itu kafarat dosa. Jadi kita harus sabar. Kalau kita cengeng nanti enggak jadi kafaratnya. Mama lupa, ya."

Aku hanya mengangguk saja, sungguh aku saja lupa pernah berkata seperti itu.

"Iya, maaf. Ternyata Mama kalau sakit tidak sekuat Najma. Sekarang udah, nih, udah gak nangis lagi."

Najma tersenyum. "Najma sayang Mama."

Najma lalu memelukku.

"Mama juga sayang Najma."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status