Share

Seperti Wanita Murahan

Aku terlonjak kaget saat mendengar suara pintu terbuka dengan keras ditambah suara melengking memanggil namaku.

Aku buru-buru menghampiri suara teriakkan itu. Sebab aku takut suara teriakkan suamiku bisa membangunkan Najma.

Saat ini aku melihat suamiku pulang. Namun, air mukanya begitu terlihat penuh amarah.

Dalam hati bertanya-tanya apa gerangan yang membuat suamiku pulang-pulang tapi dalam keadaan marah.

Aku yang tidak ingin Najma bangun karena terganggu oleh teriakan ayahnya, maka buru-buru aku menghampiri Mas Raka.

“Kenapa berteriak, Mas? Najma nanti bangun,” ucapku bersikap setenang mungkin. Lalu mendorong sedikit tubuh suamiku agar tidak dekat dengan kamar.

Namun apa yang terjadi? Mas Raka tiba-tiba saja menarik tanganku lalu menjambak rambutku hingga kepalaku mendongak.

“Aw, Mas Raka kamu apa-apaan? Lepas, Mas! Sakit!” racauku yang memang sedang kesakitan ini sungguh sakit.

“Kenapa kamu tidak mau membayar utangku, hah? Kamu sudah mulai berani samaku?” marah Mas Raka.

Jadi ini yang sudah membuat suamiku marah? Karena aku tidak membayar utangnya? Atau jangan-jangan... Mas Raka memang sengaja membebankan semuanya padaku? Dan di balik menghilangnya karena ini. Tega! Dia memang suami tega.

Di tengah rasa sakit yang semakin menjadi. Sebab jambakkan Mas Raka semakin keras, aku saja sampai memegangi tangan Mas Raka berusaha untuk melepaskan tangannya dari rambutku.

“Untuk apa aku harus membayar utangmu Mas? Yang berutang itu kamu, jadi kamu pula yang harus membayarnya.”

“Kurang ajar!”

Mas Raka melepaskan jambakannya dengan mendorong kepalaku dan hampir saja dahiku menyentuh ujung meja. Beruntung kedua tanganku langsung bertumpu hingga hanya sakit di bagian tangan saja.

Aku berusaha berdiri, aku ingin bicara dengan Mas Raka. Aku ingin tahu kenapa dia begitu berubah besar.

“Kenapa kamu lakuin ini ke aku, Mas? Apa salahnya aku ke kamu? Sungguh aku sama sekali tidak melihat Mas Raka yang dulu. Sekarang hanya ada Mas Raka yang tempramen, malas dan tidak bertanggung jawab. Aku capek Mas kaya gini terus,” ucapku dengan air mata yang memaksa terjatuh begitu saja.

“Ini sudah menjadi tugas kamu, Ayu! Seorang istri yang baik itu selalu melayani dan patuh sama suaminya. Gak kayak kamu!” timpalnya dan lagi-lagi aku yang dikambing hitamkan.

“Definisi patuh dan melayani yang kamu maksud itu salah, Mas. Bagaimana aku bisa patuh sama kamu sedangkan kamu sama sekali tidak memiliki rasa tanggung jawab. Melemparkan semua beban keluarga di pundak dan di punggungku. Apa itu tidak keliru, Mas?”

Sejenak aku menjeda perkataan ku, aku ingin melihat bagaimana respons Mas Raka setelah mendengar perkataan ku.

“Semua kau bebankan padaku. Termasuk mencari nafkah kau limpahkan padaku. Semua kebutuhan hidupmu aku penuhi. Lalu sekarang kau memintaku untuk melunasi utangmu yang mana aku sendiri tidak tahu kamu gunakan untuk apa uangnya itu.”

“Kau berani!” Mas Raka marah bahkan otot-otot lehernya begitu terlihat dengan jelas.

“Iya, Mas, aku berani karena aku sudah lelah. Aku memang bukan istri yang baik. Aku bukanlah seorang istri yang hanya bisa kamu tindas terus, Mas. Lebih baik kamu ceraikan aku!”

Aku hilang kontrol, sungguh kenapa malah kalimat itu yang terucap? Aku tidak berpikir bagaimana konsekuensi dari apa yang sudah aku katakan.

“Apa kamu bilang?!”

Mas Raka sudah mengangkat tangannya. Aku yakin dia akan menamparku namun tertahan di udara saat aku balik menantang Mas Raka.

“Pukul, Mas! Biar mempermudah proses perceraian kita karena kasus KDRT. Ayo pukul!”

Seketika Mas Raka langsung menurunkan tangannya. Lalu tiba-tiba saja Mas Raka menarik tanganku dengan begitu keras.

“Kamu mau apa, Mas?”

Aku bertanya tapi Mas Raka sama sekali tidak menghiraukan, ia terus saja menarik tanganku hingga aku menyadari jika Mas Raka membawaku ke kamarnya.

Sudah hampir setengah tahun ini aku tidur terpisah dan tepat saat ini Mas Raka malah membawaku ke kamarnya.

Tiba di kamar Mas Raka mendorongku hingga aku terjatuh di atas kasur. Sementara Mas Raka mengunci pintu kamar. Aku sudah bisa menebak apa yang selanjutnya akan Mas Raka lakukan. Namun... tidak harus dengan cara seperti ini.

“Aku akan membuat kamu hamil lagi! Agar kamu tarik kembali keinginan untuk bercerai denganku.”

Aku benci! Dia memang licik! Jahat! Kenapa dia malah tidak mau melepaskan aku? Padahal aku sudah lelah, aku capek dan muak dengan sikap Mas Raka.

“Aku gak mau, Mas,” tolakku.

Dia memang suamiku, dia berhak atas diriku. Namun aku takut apa yang dikatakan Mas Raka menjadi kenyataan jika aku akan hamil kembali. Terlebih sudah setengah tahun pula aku sama sekali tidak memakai kontrasepsi, dengan alasan Mas Raka tidak pernah menyentuhku.

Bukan menolak rezeki. Karena sejatinya anak adalah rezeki. Tapi... jika ayahnya saja seperti ini bagaimana dengan nasib anakku nantinya.

Mas Raka mulai mendekat, seiring dengan langkahnya yang semakin mendekat ia juga mulai menanggalkan pakaiannya. Sedangkan aku hanya bisa menangis.

Setelah mendekat Mas Raka menarik kakiku hingga aku terlentang, menanggalkan pakaian ku dengan kasar. Lalu di detik berikutnya ia melakukan sesuatu yang harusnya terasa indah, ini justru terasa menyedihkan. Mas Raka menggauliku seperti sedang menggauli wanita murahan yang hanya digunakan dikala dibutuhkan.

Tidak ada sedikit pun kelembutan, ia melakukan dengan kasar bahkan permintaanku untuk menghentikan aksinya sama sekali tidak ia dengar. Suara rintihan kesakitanku sama sekali tidak ia pedulikan.

‘Ya Allah, kenapa harus seperti ini? Rasanya sakit!’

Setelah apa yang Mas Raka inginkan tuntas. Ia beranjak dan langsung saja memakai kembali pakaiannya. Tanpa sedikit pun peduli padaku.

“Semoga benih yang sudah aku tanamkan bisa membuat kamu langsung hamil,” ujarnya seraya mengusap perutku.

Aku langsung saja memalingkan wajahku. Rasanya tidak sudi mendengar perkataan Mas Raka.

Ia lalu pergi meninggalkan aku sendiri. Dengan menorehkan sejuta luka di hati dan tubuhku. Dengan terisak-isak aku mencoba untuk menutupi tubuhku, sungguh aku merasa seperti seorang wanita murahan.

Ditinggalkan setelah digauli. Aku meringkuk di bawah selimut berwarna putih itu. Aku menangis namun tidak bersuara. Mungkin hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini.

Aku mencoba untuk bersabar meskipun sebenarnya sabarku sudah mulai menipis. Aku mencoba untuk terlihat kuat meskipun sebenarnya begitu banyak luka, sakit rasanya.

Ya Allah, aku hanya bisa pasrah terhadap apa yang telah Kau gariskan. Jika memang Engkau percaya aku mampu, tolong tambahkan lagi stok sabarku dan tolong perkokoh kembali kekuatanku, agar aku bisa melalui ini semua dengan keikhlasan yang mendalam.

Jika memungkinkan jodohku panjang maka aku mohon lunakkan hati Mas Raka, buka mata hatinya dan kembalikanlah Mas Raka yang dulu.

“Mama...,”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status