Share

Talak Aku, Mas!

Kejadian semalam sukses membuat aku merenung. Memikirkan langkah apa yang harus aku lakukan ke depannya. Aku tidak mungkin terus hidup bersama suamiku. Yang ada secara perlahan ia sudah membuat aku menjadi gila.

Aku sudah memantapkan hati. Ada dan tidak ada dia pun tidak akan berpengaruh apa-apa. Malah meksipun dia masih suamiku aku merasa tidak memiliki suami. Terlebih Najma ia sudah terbiasa hidup bersamaku hidup tanpa sosok papa di sampingnya.

Sementara itu untuk ke depannya aku berniat akan membuka usaha toko kue. Karena aku sadar penghasilan dari nulis dan menjadi dropshiper kadang tidak pasti.

Memiliki toko setidaknya aku punya investasi jangka panjang. Aku harus dari sekarang memikirkan untuk masa depan anakku. Dia tidak boleh bernasib sama sepertiku, dia harus bahagia cukup sekarang dia menderita di masa depan, jangan!

Aku membawa handphone yang ada di atas meja. Niatku ingin melihat saldo di tabungan. Aku butuh perhitungan untuk menyewa toko. Tidak apa-apa sekarang menyewa nanti setelah memiliki rezeki aku akan membeli toko.

Namun apa yang terjadi... bukan angka beberapa digit yang terlihat melainkan satu angka yang aku lihat. nol. Aku menutup mulut tidak percaya, ke mana hilangnya uangku dalam satu malam? Aku yakin kemarin masih ada saldonya. Sekarang? Hilang.

Setelah itu aku ingat sesuatu kartu ATM-ku. Aku lekas saja ke kamar ingin memastikan sesuatu. Tubuhku rasanya lemas tak bertenaga ATM-ku hilang. Dia pasti mengambilnya tidak salah lagi.

Aku juga bodoh kenapa aku tidak langsung mengganti password ATM-ku. Jelas saja suamiku tahu karena dia sendiri yang membuatnya. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku sudah tidak memiliki simpanan apa pun lagi semuanya habis.

Kenapa dia begitu tega padaku. Kenapa dia malah membuat aku susah. Setidaknya jika dia tidak bisa menafkahi ku berhentilah untuk membuat aku susah dan menderita. Aku capek, rasanya aku sudah tidak memiliki kesabaran lagi. Dia terus saja menguras habis stok sabarku.

Di tengah kesedihan ku itu, dia datang. Orang yang tidak mempunyai hati, orang yang tidak memiliki rasa tanggung jawab sedikitpun. Aku segera bangkit lalu meluapkan semua amarah ini.

“Dasar pria brengsek! Kembalikan uangku!” Amukku seraya mendorong tubuh suamiku.

Aku merasa dorongan ku begitu lemah tapi mampu membuat dia terjungkal rupanya ia mabuk.

Tubuhnya yang terduduk di lantai langsung menatap tajam ke arahku. Aku sepertinya sudah mencari masalah diwaktu yang tidak tepat.

“Kurang ajar! Kau berani mendorongku?”

Dia bangkit dengan mata melotot jangan lupakan tangannya pun ikut terkepal erat. Langsung saja dia menghampiriku ia mencekik ku.

Aku berusaha untuk melepaskan cekikannya. Sungguh ini sangat sakit, bahkan aku mulai tak bisa bernapas. Berulang kali aku terbatuk-batuk. Dia sama sekali tidak peduli akan keadaanku.

“Le-pas, Mas! Ka-kau mau mem-mmbunuhku!”

“Kau sudah berbuat kurang ajar! Kau pantas mendapatkan ini, biar kamu tahu diri!”

Aku tidak memiliki tenaga lagi untuk meladeni ocehan suamiku itu. Dia sudah gila! Dia seperti sikopat.

Mungkin melihat wajahku yang sudah merah membuat ia melepaskan cekikannya. Di detik berikutnya Mas Raka malah kembali menarikku menuju kamar. Aku sudah yakin apa yang akan terjadi, ia akan mengulang kejadian kemarin. Menggauliku dengan kasar.

Aku pasrah, aku sudah tidak sanggup lagi melawan. Mungkin memang takdirku yang harus seperti ini selalu mendapatkan perlakuan tidak baik dari suami sendiri.

“Kamu jahat, Mas. Kamu tidak punya hati!” ujar ku di tengah tak berdayanya aku.

“Sebaiknya kau diam! Jangan banyak bicara apa lagi menangis seperti itu, kau seperti seorang wanita yang menangis karena dipaksa digauli. Padahal aku adalah suamimu sendiri.”

“Cih! Kau bilang suami? Sejak kapan kau merasa jadi seorang suami? Bukankah selama ini kau hanya keluyuran pulang-pulang sudah dalam keadaan mabuk. Di mana otakmu, Mas.”

Mas Raka yang saat ini akan melancarkan aksinya harus terhenti. Ia malah memberikan tatapan yang sangat menakutkan seakan-akan ia akan menerkamku lalu menelanku bulat-bulat.

Dia menjauhkan tubuhnya dari tubuhku, ia pergi tanpa sepatah kata pun. Kenapa dengan dirinya? Apakah dia tersinggung dengan perkataanku? Sejak kapan ia jadi pria perasaan? Namun masa bodoh! Aku merasa apa yang aku lakukan itu tidaklah salah. Jika memang dia merasa tersinggung semoga saja ia langsung sadar diri.

“Kenapa tidak dilanjutkan? Merasa apa yang aku katakan itu benar? Iya kan? Jika kamu bukanlah seorang suami idaman melainkan seorang suami benalu yang hanya numpang hidup pada istrinya.”

“AYUNINDYA!”

Mas Raka berteriak murka mendekat ke arahku. Matanya melotot wajahnya merah padam menaha amarah. Ia mendekat ke arahku lalu di detik berikutnya ia kembali mendaratkan satu tamoarsn yang sangat keras. Bahkan sudut bibiku saja sampai robek.

Aku memegangi pipi yang terasa panas akibat ditampar Mas Raka.

“kamu jahat, Mas! Jahat! Sebenarnya apa yang kamu inginkan? Jika memang sudah tidak mampu untuk membahagiakan aku dan juga Najma, tolong talak aku, Mas!. Aku sudah tidak kuat.”

Aku menangis tersedu-sedu, sunggu kali ini kesabaranku sudah diujung tanduk. Aku tidak mampu lagi untuk terus dan terus bersabar. Cukup! Aku menyerah!

“Sudah aku katakan jangan pernah mengucapkan kata cerai di depanku. Karena sampai kapan pun aku tidak akan pernah menceritakan kamu! Kamu harus ingat itu!”

Ternyata meskipun dalam keadaan mabuk amarahnya malah semakin menjadi. Aku jadi takut. Aku seperti tidak melihat suamiku melainkan sedang melihat iblis mengamuk.

Muak dengan sikap Mas Raka, aku memutuskan untuk kembali ke kamar. Di sana aku kembali menangis. Kenapa aku jadi wanita secengeng ini? Kenapa aku harus jadi lemah? Harusnya aku tidak boleh seperti ini. Harusnya aku bisa menyelesaikan masalah ini.

Lalu sekarang nasib ATM-ku gimana? Semua uangku ludes tidak tersisa sepersen pun. Dan harapanku tidak mungkin bisa terwujud.

*

Hari ini aku memutuskan untuk menemui temanku yang kebetulan seorang pengacara. Sekarang keputusanku sudah bulat jika perceraian adalah jalan keluarnya.

Aku tahu perceraian itu dibolehkan dalam agama, namun, sesuatu yang sangat dibenci Allah. Tapi... Apakah aku harus tetap bertahan? Menghadapi sikap Suamiku yang semakin hari semakin menjadi saja.

TIDAK! Aku bukanlah wanita yang bisa sesabar Itu. Biarlah sebuah perceraian menjadi jalan keluarnya.

Sepuluh menit lamanya aku menunggu teman masa sekolahku. Namun, dia tak kunjung datang juga. Padahal aku sangat buru-buru karena aku takut Najma pulang dan aku tidak ada di rumah.

Hampir saja aku membatalkan pertemuan hari ini. Karena saat aku hendak beranjak dari arah belakang tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggil namaku seraya meminta maaf karena terlambat.

"Assalamualaikum, Ayu, maaf aku terlambat."

Aku menoleh ke sumber suara dan ternyata dia adalah temanku. Dia adalah orang yang aku tunggu.

"Marvel."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status