Kejadian semalam sukses membuat aku merenung. Memikirkan langkah apa yang harus aku lakukan ke depannya. Aku tidak mungkin terus hidup bersama suamiku. Yang ada secara perlahan ia sudah membuat aku menjadi gila.
Aku sudah memantapkan hati. Ada dan tidak ada dia pun tidak akan berpengaruh apa-apa. Malah meksipun dia masih suamiku aku merasa tidak memiliki suami. Terlebih Najma ia sudah terbiasa hidup bersamaku hidup tanpa sosok papa di sampingnya.Sementara itu untuk ke depannya aku berniat akan membuka usaha toko kue. Karena aku sadar penghasilan dari nulis dan menjadi dropshiper kadang tidak pasti.Memiliki toko setidaknya aku punya investasi jangka panjang. Aku harus dari sekarang memikirkan untuk masa depan anakku. Dia tidak boleh bernasib sama sepertiku, dia harus bahagia cukup sekarang dia menderita di masa depan, jangan!Aku membawa handphone yang ada di atas meja. Niatku ingin melihat saldo di tabungan. Aku butuh perhitungan untuk menyewa toko. Tidak apa-apa sekarang menyewa nanti setelah memiliki rezeki aku akan membeli toko.Namun apa yang terjadi... bukan angka beberapa digit yang terlihat melainkan satu angka yang aku lihat. nol. Aku menutup mulut tidak percaya, ke mana hilangnya uangku dalam satu malam? Aku yakin kemarin masih ada saldonya. Sekarang? Hilang.Setelah itu aku ingat sesuatu kartu ATM-ku. Aku lekas saja ke kamar ingin memastikan sesuatu. Tubuhku rasanya lemas tak bertenaga ATM-ku hilang. Dia pasti mengambilnya tidak salah lagi.Aku juga bodoh kenapa aku tidak langsung mengganti password ATM-ku. Jelas saja suamiku tahu karena dia sendiri yang membuatnya. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku sudah tidak memiliki simpanan apa pun lagi semuanya habis.Kenapa dia begitu tega padaku. Kenapa dia malah membuat aku susah. Setidaknya jika dia tidak bisa menafkahi ku berhentilah untuk membuat aku susah dan menderita. Aku capek, rasanya aku sudah tidak memiliki kesabaran lagi. Dia terus saja menguras habis stok sabarku.Di tengah kesedihan ku itu, dia datang. Orang yang tidak mempunyai hati, orang yang tidak memiliki rasa tanggung jawab sedikitpun. Aku segera bangkit lalu meluapkan semua amarah ini.“Dasar pria brengsek! Kembalikan uangku!” Amukku seraya mendorong tubuh suamiku.Aku merasa dorongan ku begitu lemah tapi mampu membuat dia terjungkal rupanya ia mabuk.Tubuhnya yang terduduk di lantai langsung menatap tajam ke arahku. Aku sepertinya sudah mencari masalah diwaktu yang tidak tepat.“Kurang ajar! Kau berani mendorongku?”Dia bangkit dengan mata melotot jangan lupakan tangannya pun ikut terkepal erat. Langsung saja dia menghampiriku ia mencekik ku.Aku berusaha untuk melepaskan cekikannya. Sungguh ini sangat sakit, bahkan aku mulai tak bisa bernapas. Berulang kali aku terbatuk-batuk. Dia sama sekali tidak peduli akan keadaanku.“Le-pas, Mas! Ka-kau mau mem-mmbunuhku!”“Kau sudah berbuat kurang ajar! Kau pantas mendapatkan ini, biar kamu tahu diri!”Aku tidak memiliki tenaga lagi untuk meladeni ocehan suamiku itu. Dia sudah gila! Dia seperti sikopat.Mungkin melihat wajahku yang sudah merah membuat ia melepaskan cekikannya. Di detik berikutnya Mas Raka malah kembali menarikku menuju kamar. Aku sudah yakin apa yang akan terjadi, ia akan mengulang kejadian kemarin. Menggauliku dengan kasar.Aku pasrah, aku sudah tidak sanggup lagi melawan. Mungkin memang takdirku yang harus seperti ini selalu mendapatkan perlakuan tidak baik dari suami sendiri.“Kamu jahat, Mas. Kamu tidak punya hati!” ujar ku di tengah tak berdayanya aku.“Sebaiknya kau diam! Jangan banyak bicara apa lagi menangis seperti itu, kau seperti seorang wanita yang menangis karena dipaksa digauli. Padahal aku adalah suamimu sendiri.”“Cih! Kau bilang suami? Sejak kapan kau merasa jadi seorang suami? Bukankah selama ini kau hanya keluyuran pulang-pulang sudah dalam keadaan mabuk. Di mana otakmu, Mas.”Mas Raka yang saat ini akan melancarkan aksinya harus terhenti. Ia malah memberikan tatapan yang sangat menakutkan seakan-akan ia akan menerkamku lalu menelanku bulat-bulat.Dia menjauhkan tubuhnya dari tubuhku, ia pergi tanpa sepatah kata pun. Kenapa dengan dirinya? Apakah dia tersinggung dengan perkataanku? Sejak kapan ia jadi pria perasaan? Namun masa bodoh! Aku merasa apa yang aku lakukan itu tidaklah salah. Jika memang dia merasa tersinggung semoga saja ia langsung sadar diri.“Kenapa tidak dilanjutkan? Merasa apa yang aku katakan itu benar? Iya kan? Jika kamu bukanlah seorang suami idaman melainkan seorang suami benalu yang hanya numpang hidup pada istrinya.”“AYUNINDYA!”Mas Raka berteriak murka mendekat ke arahku. Matanya melotot wajahnya merah padam menaha amarah. Ia mendekat ke arahku lalu di detik berikutnya ia kembali mendaratkan satu tamoarsn yang sangat keras. Bahkan sudut bibiku saja sampai robek.Aku memegangi pipi yang terasa panas akibat ditampar Mas Raka.“kamu jahat, Mas! Jahat! Sebenarnya apa yang kamu inginkan? Jika memang sudah tidak mampu untuk membahagiakan aku dan juga Najma, tolong talak aku, Mas!. Aku sudah tidak kuat.”Aku menangis tersedu-sedu, sunggu kali ini kesabaranku sudah diujung tanduk. Aku tidak mampu lagi untuk terus dan terus bersabar. Cukup! Aku menyerah!“Sudah aku katakan jangan pernah mengucapkan kata cerai di depanku. Karena sampai kapan pun aku tidak akan pernah menceritakan kamu! Kamu harus ingat itu!”Ternyata meskipun dalam keadaan mabuk amarahnya malah semakin menjadi. Aku jadi takut. Aku seperti tidak melihat suamiku melainkan sedang melihat iblis mengamuk.Muak dengan sikap Mas Raka, aku memutuskan untuk kembali ke kamar. Di sana aku kembali menangis. Kenapa aku jadi wanita secengeng ini? Kenapa aku harus jadi lemah? Harusnya aku tidak boleh seperti ini. Harusnya aku bisa menyelesaikan masalah ini.Lalu sekarang nasib ATM-ku gimana? Semua uangku ludes tidak tersisa sepersen pun. Dan harapanku tidak mungkin bisa terwujud.*Hari ini aku memutuskan untuk menemui temanku yang kebetulan seorang pengacara. Sekarang keputusanku sudah bulat jika perceraian adalah jalan keluarnya.Aku tahu perceraian itu dibolehkan dalam agama, namun, sesuatu yang sangat dibenci Allah. Tapi... Apakah aku harus tetap bertahan? Menghadapi sikap Suamiku yang semakin hari semakin menjadi saja.TIDAK! Aku bukanlah wanita yang bisa sesabar Itu. Biarlah sebuah perceraian menjadi jalan keluarnya.Sepuluh menit lamanya aku menunggu teman masa sekolahku. Namun, dia tak kunjung datang juga. Padahal aku sangat buru-buru karena aku takut Najma pulang dan aku tidak ada di rumah.Hampir saja aku membatalkan pertemuan hari ini. Karena saat aku hendak beranjak dari arah belakang tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggil namaku seraya meminta maaf karena terlambat."Assalamualaikum, Ayu, maaf aku terlambat."Aku menoleh ke sumber suara dan ternyata dia adalah temanku. Dia adalah orang yang aku tunggu."Marvel."Marvel adalah teman masa SMA ku dulu. Sungguh aku terkejut saat mengetahui jika Marvel adalah seorang pengacara, karena yang aku tahu dia adalah pria pendiam yang tidak pernah berbicara. Dan aku tidak tahu jika pengacara yang dikenalkan temanku adalah Marvel.Adapun ia berbicara hanya ketika tengah melakukan persentasi diskusi di depan kelas. Selebihnya ia diam bak orang bisu.“Maaf, aku terlambat.”Marvel kembali meminta maaf padaku. Saat benar-benar duduk di hadapanku.“Apa kamu sudah lama menungguku?” tanyanya lagi.Aku menggeleng, meskipun memang aku hampir saja membatalkan pertemuan ini karena kesal sendiri sebab Marvel tidak kunjung datang.“Aku maklumi, kamu kan pengacar hebat pasti sibuk karena jam terbangnya sudah tinggi." Ujarku jujur.“Aku hanya pengacara biasa, Ayu. Kamu berlebihan.” Ujarnya seraya ia mengambil lalu menyimpan map warna biru di atas meja.“Aku serius. Marvel yang aku kenal dulu berbeda jauh. Sekang sudah jadi pengacara sukses. Aku sebagai teman SMA mu mera
Aku pasrah, apa pun yang akan dilakukan Mas Raka padaku. Bukankah setiap hari pun aku selalu mendapatkan perlakuan yang tidak baik. Jadi, jika hari ini pun dia akan berbuat kasar padaku, aku sudah siap.Mas Raka terus menatapku. Ia menatap nyalang Seperti seorang harimau yang tengah menatap mangsanya. Aku beranikan diri untuk mendongak menatap balik tatapan Mas Raka."Kamu sekarang mulai berani, ya sama aku." ujarnya dan aku sama sekali tidak mengerti dengan maksud kata berani.Berani apa yang Mas Raka maksud? Karena sungguh aku sama sekali tidak merasa berbuat hal yang menurutku di luar batas kewajaran."Maksud Mas apa?" Tanyaku tidak kalah sewotnya dan sekali lagi aku tahu harusnya aku tidak boleh meninggikan suaraku dihadapan Mas Raka."Kau sudah berselingkuh. Istri macam apa kamu, hah?" Aku terkejut atas tuduhan Mas Raka. Berselingkuh! Lucu! Dia menuduhku yang tidak-tidak. Entah apa yang ada dipikirannya."Aku tidak berselingkuh, Mas. Mas jangan asal menuduh tanpa bukti.""Apa ma
Mas Raka pergi setelah ia berhasil melukaiku. Tubuhku terasa sakit dan ngilu. Dengan kejadian ini aku semakin yakin perpisahan adalah jalan keluarnya. Sudah cukup selama lima tahun ini aku bersabar menghadapinya. Percuma jika pun harus dipertahankan, yang ada jiwaku terancam, batinku menderita, tidak ada keberkahan dan ketenangan. Terlebih aku ingin menjaga psikolog anakku, aku tak mau jika Najma sewaktu-waktu melihat ayahnya tengah menyakitiku. Aku juga tidak mau jika terus berbohong pada Najma. Menutupi keburukan ayahnya.Aku hendak berdiri dengan susah payahnya, setengah jam sudah aku hanya bisa meringkuk di lantai kamar mandi. Tidak pedulikan rasa dingin yang menerpa. Sungguh mendadak aku kehilangan sensor perasanku selain rasa sakit di tubuh.Baru saja aku melangkahkan kaki hendak keluar, tiba-tiba Najma berdiri menatapku dengan sorot mata yang sendu. Bagaimana ini? Jika Najma sudah melihatku dalam keadaan kacau seperti ini, bagaimana aku menjelaskan padanya?"Najma,'' panggilku
Nasib hidup sebatang kara itu seperti ini. Tidak ada tempat untuk bersandar. Setidaknya jika kedua orang tuaku masih ada mungkin aku tidak akan semenyedihkan ini. Ada tempat untuk aku kembali atau mungkin hanya sekadar melihat wajah mereka saja sudah menjadi obat agar aku tetap sabar dan kuat.Setelah semalam berpikir. Aku memutuskan untuk ke rumah mertuaku. Aku akan menceritakan padanya apa yang terjadi dan langkah apa yang akan aku lakukan untuk rumah tanggaku.Memang mertuaku sudah tahu bagaimana kelakuan Mas Raka saat ini. Namun aku selalu bilang, aku masih bisa mengatasi. Jika memang nantinya aku sudah tidak kuat maka aku akan memilih pergi. Dan ternyata Sekarang adalah waktunya. Aku sudah tidak bisa mempertahankan lagi keutuhan rumah tangga ini. Aku mengemasi baju Najma. Karena aku pun memutuskan untuk menitipkan terlebih dahulu Najma sampai masalah antara aku dan Mas Raka usai. Sungguh aku tidak mau kejadian di mana Najma menyaksikan kami bertengkar membuat aku khawatir. Terleb
Aku bisa melihat wajah kecewa sekaligus sedih di wajah ibu mertuaku, setelah aku menceritakan semuanya. Entah apa yang ada dipikiran ibu mertuaku itu. Tatapan matanya tidak mampu aku artikan.Ibu mertuaku lalu beranjak, aku kira ia akan meninggalkan aku kenyataannya ia hanya pindah posisi duduk menjadi bersebalahan dengan ku. Tanpa aku duga ibu mertuaku memelukku dengan tubuh yang bergetar dan terisak. Apakah ibu mertuaku menangis? Hanya itu yang terlintas di kepalaku. Dan tentunya ini membuat aku ikut menangis meskipun aku tidak tahu penyebab aslinya alasan mertuaku menangis."Maafkan anak ibu, menantu. Sungguh ibu pun tidak mengerti dengan sikapnya yang begitu berubah drastis itu. Jika memang sebuah perceraian adalah jalan keluarnya. Ibu tidak akan melarang. Maafkan pula atas tindakan kasar anak ibu."Mertuaku malah meminta maaf padaku disela pelukan kami. Jujur aku datang ke sini bukan untuk meminta kata maaf dari mertuaku karena beliau tidak salah. Hanya anaknya saja yang tidak t
Aku melakukan visum sesuai dengan anjuran dari Marvel. Katanya hasil visum ini akan mempermudah untuk melakukan gugat cerai karena ada kekerasan dalam rumah tangga. Aku berharap ini memang mudah, karena jika boleh jujur aku sudah tidak sanggup lagi terus terikat dalam ikatan pernikahan yang mana tidak ada sakinah, mawadah dan warohmah. Aku ingin terbebas pula dari dosa karena aku selalu saja membenci suamiku dan mengumpat dirinya.Juga aku lakukan ini untuk kebaikan bersama. Selepas pertengkaran yang berujung aku mengalami kekerasan. Mas Raka tidak pernah pulang ke rumah. Handphone miliknya pun tidak aktif. Dia seolah-olah hilang di telan bumi. Aku sama sekali tidak tahu ke mana keberadaannya namun setidaknya aku bersyukur hidupku jauh lebih tenang karena tidak ada lagi pertengkaran yang selalu terjadi.Pagi ini adalah hari di mana aku kembali janjian dengan Marvel di tempat biasa untuk bersama-sama pergi ke pengadilan. Menurut Marvel meskipun Mas Raka tidak datang atau dia menolak
Aku sedikit lega saat berkas gugatan ceraiku diserahkan kepada pengadilan. Aku nerjwr besar tanpa menunggu lama kasus gugatan ceritaku segera masuk meja hijau. Sungguh aku ingin secepatnya berkahir, tidak ingin selalu berurusan dengan Mas Raka lagi. Sudah cukup kenyang aku bertahan selama lima tahun ini.Tiba di rumah waktu sudah larut malam. Bahkan Najma saja sampai tertidur karena pukul sembilan adalah waktunya Najma tidur. Aku senang saat Najma hari ini begitu ceria, tertawa lebar bahkan aku saja ikut tertawa. Mungkin ini adalah hari terbaiknya, selama ia hidup.Sejenak aku diam sebentar sebelum aku benar-benar keluar dari mobil Marvel. Ya, seharian ini aku memang menghabiskan waktuku bersama Marvel. Ia begitu bisa membuat Najma tertawa bahagia. Aku jadi merasa tersindir jika selama ini tidak pernah membuat anak ku bahagia."Terima kasih untuk hari ini," ucapku pada Marvel."Terima kasih untuk apa? Perasaan aku tidak melakukan apa pun?' tanyanya dengan mimik wajah keheranan. Aku bi
Dua hari selepas pertengkaran itu, lagi-lagi Mas Raka menghilang. Entah kenapa setiap kami usai bertengkar ia selalu saja menghilang. Bersembunyi di mana aku sama sekali tidak tahu.Setiap kali aku menangis, dan terlihat oleh Najma. Ia langsung saja memelukku dengan erat. Sebuah pelukan yang mengisyaratkan agar aku berhenti untuk menangis. Tenang ada dirinya yang selalu menjaga.Seperti saat ini misalnya. Tatkala aku mengingat kejadian kasar Mas Raka di depan Najma. Membuat aku tidak bisa tenang. Aku terus saja berpikir, apa Najma tidak apa-apa? Apa Najma melupakan kejadian tempo hari itu? Aku harap ia melupakannya.Dan saat mengingat hal itu aku selalu menangis. "Hai, anak gadis mama kamu kenapa? Lah kok nangis?" Ujarku berpura-pura tidak tahu apa penyebab Najma menangis.Aku yang memang tengah duduk, sementara Najma memelukku dari belakang langsung saja menariknya membawa Najma duduk di pangkuanku. Aku bisa melihat jika dia menangis namun, tidak mengeluarkan suara hanya tubuhnya y