Sejak semalam Salma terus menangis. Ia masih tidak rela melepas kepergian Aisyah ke tempat putrinya itu di mutasi. Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang berkepala empat itu tak berhenti merengek pada suaminya supaya di izinkan mengantar Aisyah sampai ke kota tempat putri mereka di tugaskan. "Hanya untuk beberapa hari saja Yah, izinkan Ibu ikut Aisyah," rengeknya untuk yang kesekian kalinya sejak suami istri itu selesai menjalankan sholat shubuh. Jafar hanya bisa menarik nafas panjang, melihat sikap istrinya yang seperti anak kecil itu. Sudah berkali-kali ia menjelaskan bahwa putri mereka itu sudah dewasa pasti bisa menjaga dirinya sendiri, tapi istrinya itu masih tetap kekeh ingin ikut dan menemani Aisyah beberapa hari di tempat baru. "Masih tetap pengen ikut Yah?" Zeyn berjalan masuk dengan membawa Kantong kresek berisi nasi pecel yang di belinya di warung langganan keluarganya. "Hemm," jawab Jafar lalu melirik istrinya yang sejak pagi mengekorinya. "Astaghfirullah
"Siapa yang menyuruhmu?" tanya Aisyah dengan tatapan datar. "Maaf aku tidak bisa mengatakan siapa orangnya. Orang itu sudah membayarku dan aku sudah menjanjikan jika identitasnya menjadi rahasiaku." Andaru tidak bisa membocorkan rahasia orang yang telah membayarnya karena itu adalah merupakan profesional kerja baginya. "Oh," kata Aisyah menganggukkan kepalanya pelan. "Hah." Andaru melongo melihat reaksi wanita yang diakuinya sangat cantik dan memiliki mata yang indah itu. "Cuma oh saja?" Andaru tidak bisa membayangkan wajah tolol yang diekspresikannya saat ini. Ia benar-benar tak habis pikir orang seperti apa Aisyah ini? Mengapa ia begitu tenang dan sabar saat berhadapan dengan orang yang mungkin sangat di bencinya. "Memang aku harus apa?" tanya balik Aisyah. "Kamu tidak ingin marah? Memakiku atau menamparku mungkin?" "Apa kamu akan mengatakannya jika aku menampar dan memakimu?" "Tidak, aku tetap tidak bisa mengatakannya," jawab Andaru pelan. "Ya sudah." Aisyah mengambil tasny
Setelah turun dari kereta api, Aisyah berjalan mendekati seorang wanita yang berdiri dengan memegang sebuah papan bertuliskan namanya. "Bu Shania?" tanya Aisyah pada wanita berseragam coklat khas seragam guru sekolah itu. "Iya. Aisyah?" tanya balik wanita itu yang langsung di jawab anggukan dan senyum tipis oleh Aisyah. "Kenalkan aku Shania Wulandari." Wanita itu mengulurkan tangannya ke depan Aisyah. "Aisyah Ainur Ramadani." Aisyah menyambut tangan Shania. "Bagaimana perjalanannya? Pasti capek ya, habis naik pesawat terus naik kereta," "Lumayan capek." Lagi-lagi Aisyah menjawab dengan senyum yang tak lepas dari wajah cantiknya. Meski tulang punggungnya terasa hampir copot setelah melakukan perjalanan yang memakan waktu cukup lama dan melelahkan itu, namun ia masih tetap bersemangat ketika bertemu dengan rekan-rekan sejawatnya. Shania mengajak Aisyah berbincang-bincang sembari berjalan menuju pintu keluar stasiun dimana temannya sesama gurunya sedang menunggu. "Angga," panggi
Setelah istirahat dua hari, pagi ini Aisyah sudah bisa mulai untuk mengajar kembali. Sejak semalam ia sudah tidak sabar untuk bisa kembali berinteraksi dengan anak-anak polos yang selalu membuatnya merasa di butuhkan. Setelah sholat subuh Aisyah membeli sarapan di sebuah warung nasi pecel rekomendasi Shania yang letaknya tidak jauh dari rumah kontrakannya. Untuk sementara waktu Shania di perintahkan untuk menemani Aisyah selama guru cantik itu beradaptasi dengan tempat barunya. Rumah kontrakan yang di tempati Aisyah letaknya lumayan dekat dengan sekolah. Ia hanya perlu berjalan kaki sekitar sepuluh menit sampai lima belas menit untuk sampai di sekolah. "Sudah selesai? Ayo cepat!" Shania berjalan keluar sembari tangannya sibuk mengetik pesan di ponselnya. "Kita harus cepat sampai di sekolah sebelum Angga sampai duluan," ajaknya sambil menggandeng tangan Aisyah yang sudah menunggunya sejak lima menit yang lalu di teras rumah. berjalan keluar. "Apa?" Aisyah melongo melihat sikap teman
"Masa sih?" . "Iya, katanya ia terlibat sebuah skandal yang memalukan sampai akhirnya dia di mutasi kesini." "Astaghfirullah,,," Shania berjalan mendekati dua guru senior yang sedang bergosip di depan koridor kelas. "Eh,,, bu Shania, Pak Angga," sapa salah satu guru dengan name tag Mila. "Maaf ya Bu Mila, ini sekolah tempat orang memberi ilmu dan mencari ilmu sangat tidak pantas jika dijadikan tempat bergosip hal-hal yang belum tentu kebenarannya," ujar Shania masih dengan senyum yang tersemat di wajahnya. "Apa sih, kita cuma ngobrol saja," bantah Mila membela diri. "Maaf Bu, tapi akan menjadi salah faham jika ad yang mendengar pembicaraan kalian. Padahal itu belum tentu benar. Dan sekalipun benar, itu bukan urusan kita. Ibu sendiri pasti tahu hukumnya orang menggunjing," Sahut Angga ikut berbicara. "Ya Alloh, aduh maaf kenapa saya jadi ngomongin orang," sesal Karina, guru yang tadi bergosip dengan Mila. "Maaf ya saya pulang duluan," Mila melirik kesal Shania yang tetap memasan
"Kamu sudah benar-benar yakin ingin menemuinya?" Anton berjalan masuk ke dalam kamar Andaru. "Iya," jawab Andaru menoleh sebentar lalu kembali sibuk memasukkan pakaian dan barang-barang pribadinya ke dalam ransel. Setelah berpikir panjang juga atas saran dari Anton, akhirnya Andaru memutuskan menemui Aisyah untuk memastikan rasa yang saat ini tumbuh di hatinya. Pria berusia 28 tahun itu ingin mencari jawaban dari rasa tidak tenang dan kegelisahan yang sudah beberapa bulan ini ia rasakan. Apakah ini murni rasa bersalah ataukah perasaan lain. Mungkinkah playboy seperti dirinya benar-benar merasakan jatuh cinta. "Ya semoga kamu bisa menemukan jawabannya. Dan setelah pulang dari sana, kamu tidak lagi seperti vampir yang wajahnya dipenuhi dengan kantong mata," ujar Anton sambil terkekeh lantas merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur sembari menunggu temannya itu bersiap-siap. "Kamu yakin alamat yang kamu berikan itu benar?" tanya Andaru ingin memastikan Anton tidak salah memberi alam
Aisyah pov. "Maaf," ucap laki-laki tampan yang duduk berhadapan denganku. Benar, aku akui wajahnya memang sangat tampan, tapi bukan berarti ia dapat seenaknya mengucapkan kata suka kepada wanita yang bahkan sama sekali tidak dikenalnya. "Bukankah aku sudah memaafkan kamu saat kita bertemu di bandara beberapa bulan yang lalu. Kamu tidak perlu lagi meminta maaf." Aku kembali mengingatkan pertemuan kami beberapa bulan lalu di bandara. "Tapi kamu terus menghantuiku," katanya. Apa maksudnya? Aku tercengang mendengar kata-katanya. Apa laki-laki ini sedang mabuk? Sepertinya otaknya sedang bermasalah karena itu omongannya melantur kemana-mana. Aku masih hidup bagaimana bisa aku menghantuinya. "Kamu pasti berpikir aku seperti orang tidak waras,?" sambungnya dengan tatapan yang entah apa artinya. Aku sama sekali tidak bisa mengartikan arti tatapan matanya."Iya." Tanpa basa-basi aku menjawab jujur sesuai apa yang aku pikirkan. Kulihat dia menghela nafas panjang lalu kembali berbicara, "S
Derrrrtt.... Suara ponsel milik Arka bergetar. Nampak sebuah panggilan suara dan beberapa pesan dari nomer yang sama. "Angkatlah dulu ponselmu! Sepertinya penting," ujar Radit teman kerja sekaligus sahabat Arka sejak masih kuliah. Belum ada sepuluh menit sejak Radit masuk ke ruang kerja temannya itu, sudah lebih dari tiga kali panggilan suara dari nomer yang sama yaitu nomer telfon dengan nama kontak 'Mama Maya'. "Sudah tidak usah kamu perdulikan," jawab Arka tanpa mengalihkan fokusnya dari kertas-kertas yang ada di atas meja kerjanya. "Kamu masih belum mau pulang ke rumah?" tanya Radit menatap Arka yang nampak sibuk. Arka hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Masih dengan posisi yang sama yaitu sibuk memeriksa beberapa dokumen dan membubuhkan tanda tangan di beberapa kertas penting itu. "Ini sudah dua tahun sejak perceraianmu dengan guru SD itu. Sepertinya keinginan Mamamu bukan hal yang aneh jika melihat kedekatan kamu dan Maharani," tutur Radit sambil membolak-balikk