Pagi itu aku sedang bersiap hendak berangkat mengajar. Aku baru mengenakan sepatu ketika Bu Nirmala datang ke rumah. Wajah wanita itu terlihat sebab. Entah berapa lama dia menangis. Tak tega aku mempersilakannya masuk.
“Silakan diminum, Bu.” Usai membuatkannya minum, aku duduk di sampingnya.
Tak ada salahnya untuk berbicara dengan wanita itu sebentar. Jam juga baru menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit.
“Bu, ada apa dengan Ibu?”
Masih dalam keadaan terisak Ibu menceritakan yang terjadi. Menurut wanita itu, kini Afseen tinggal di rumah Mas Bhanu. Tepatnya sejak aku tanpa sengaja bertemu dengan waktu itu di rumah Bu Nirmala.
Ibu juga menceritakan kalau Mas Bhanu mendesak wanita itu untuk menjual rumah yang ditinggalinya. Pria itu beralasan hendak menggunakan uang tersebut sebagai modal usaha. Ibu menolaknya. Karena rumah itu peninggalan almarhum suami Ibu. Kalaupun dijual beliau tak lagi memiliki tempat dia. Bu Nirmala tidak mau tinggal bersama Mas Bhanu. Alasannya adalah sikap Afseen padanya.
“Ibu tidak tahu harus bagaimana, Deema?” Wanita itu terisak.
Mendengar hal itu aku geram. Mas Bhanu sudah menyakiti ibunya. Hal itu tidak bisa dibiarkan. Kalau hal itu terus terjadi, Bu Nirmala akan hidup terlantar.
“Bu, aku akan coba berbicara pada Mas Bhanu. Kalaupun dia butuh modal, dia bisa meminta pada Afseen. Bukankah wanita itu kaya?”
Mungkin jika aku berbicara pria itu akan merasa malu. Apalagi dia tempo hari mengelu-elukan kalau Afseen ladang uang baginya.
“Jangan khawatir, Bu. Aku tidak akan membiarkan menyakiti Ibu.”
Pukul tujuh kurang lima belas menit, aku berangkat menuju ke sekolah. Namun, sebelumnya aku mengantarkan Bu Nirmala pulang terlebih dahulu ke rumahnya.
***
Pulang mengajar, aku ke rumah Bhanu.
Ketika tiba di sana motor Mas Bhanu ada di rumah. Tanda kalau pria itu berada di rumah. Bukan hanya itu ada mobil juga yang ada di halaman.
Herannya lagi kenapa Afseen memilih tinggal di rumah Mas Bhanu. Sedangkan dia sendiri orang kaya pasti memiliki rumah mewah. Tak ingin terlalu peduli, aku melangkahkan kaki menuju pintu.
Pintu rumah Mas Bhanu terbuka. Tanpa sengaja aku melihat dua orang yang sedang bermesraan di ruang keluarga. Kebetulan antara ruang tamu dan keluarga hanya dibatasi korden. Korden itu pun terbuka. Aku merasa jijik melihat hal itu.
Segera aku membalikkan badan hendak meninggalkan rumah itu. Akan tetapi, aku kembali teringat akan tujuan awal datang ke sana. Aku mengetuk pintu seraya mengucapkan salam.
Aku bisa melihat kedua orang yang sedang dimabuk cinta itu kaget mendengar suaraku. Sontak mereka menghentikan aktivitas. Mas Bhanu dan Afseen memang tak tahu malu. Melakukan hal itu di tempat yang tak sepatutnya. Apalagi dengan kondisi pintu yang terbuka.
Afseen memandang Mas Bhanu sebelum melangkah menuju diriku. Dengan senyum bangga wanita itu bertanya ada apa aku ke sana.
“Aku ingin berbicara dengan Mas Bhanu sebentar,” ucapku tanpa basa-basi.
Sejenak Afseen memandang Mas Bhanu lalu kembali beralih padaku. “Bicara saja padaku.”
“Tidak. Aku hanya ingin bicara dengan Mas Bhanu.”
Mendengar hal itu, mimik wajah Afseen berubah. Dia tampak tak suka dengan kehadiranku.
“Tidak, ya tidak!” Afseen memintaku pergi dari rumah itu. Wanita itu mendorong tubuhku agar menjauh dari pintu.
Tak mau kalah aku menerobos masuk. Kalau bukan karena Bu Nirmala, aku enggan berurusan dengan mereka.
“Berhenti, Deema!”
Wanita itu mengejarku. Aku berhasil berdiri di hadapan Mas Bhanu.
“Mas apa yang kamu lakukan pada Ibu?” Amarahku pecah. Aku sudah tak tahan dengan perbuatan mereka.
“Bukan urusanmu. Wanita tua itu ibuku. Jadi aku lebih berhak atas dirinya dari pada kamu!” Mas Bhanu menunjukku.
“Tapi yang kamu lakukan itu keterlaluan. Dia ibumu! Wanita yang membesarkan dirimu tanpa mengharapkan balasan. Sekarang apa yang kamu lakukan!”
“Diam kamu, Deema.” Afseen menarikku.
Aku berbalik menghadap wanita itu. “Katanya kamu kaya. Kalau memang butuh modal usaha kenapa tidak memakai uangmu saja. Bukannya kamu mencintai Mas Bhanu?” Aku memandang pria yang masih duduk di sofa dengan rambut acak-acak kan. “Harusnya kamu rela berkorban untuk orang yang kamu cintai. Bukannya mengorbannya orang yang mencintai pria itu, yaitu Ibu.”
Mereka berdua terdiam mendengar perkataanku. Entah karena malu atau memang semua yang kukatakan itu benar.
“Deema!” Mas Bhanu berteriak. Mungkin pria itu tak terima dengan kata-kataku. Dia menunjukku. “Aku katakan sekali lagi, jangan pernah ikut campur urusan kami.”
Aku tak gentar dengan gertakannya. Aku tetap berdiri tegap menghadapi mereka. Aku tak boleh terlihat lemah di hadapan pasangan itu.
“Ok. Aku tidak akan ikut campur urusan kalian lagi. Tapi ingat. Jangan pernah sakiti Ibu lagi. Kalau sampai itu terjadi, aku tak segan akan segan melaporkan kalian ke pihak yang berwajib.” Aku memperingatkan mereka.
Setelah semua aku ungkapkan tanpa berpamitan, aku melangkahkan kaki keluar dari rumah Mas Bhanu.
Bersambung ....
Pukul sembilan malam. Aku masih sibuk dengan laptop di hadapan. Membuat soal ulangan untuk lusa. Bagaimana aku akan cepat menyelesaikannya. Sedangkan pikiranku terbagi dua. Pikiranku terus tertuju pada Bu Nirmala. Aku begitu khawatir dienggan keadaannya. Apalagi setelah tahu yang dilakukan putranya.“Deema.” Ayah mengetuk pintuku.“Masuk Ayah.”Ayah menghampiriku yang sedang menatap layar laptop di kamar. Pria itu duduk di tepi ranjang.“Ada apa, Ayah? Apa ada yang Ayah butuh kan?”Pria itu menjawab pertanyaanku dengan menggeleng. “Ayah tadi hendak ke kamar mandi. Melihat lampu kamarmu masih menyala, ayah ke sini.” Pria itu menatap laptop di hadapanku.“Deema, sedang membuat soal ulangan, Ayah,” jawabku.“Ayah tahu, kamu sedang memikirkan suamimu itu. Ayah juga tahu kalau kamu tadi dari rumahnya. Untuk apa kamu ke sana?”Aku menjelaskan semua
“Zafran.”Entah aku harus bahagia atau bersedih melihat pria itu. Melihatnya sama saja mengusik luka masa lalu. Andai dia tak menikahi Namira, saat ini pasti kami bersama.Aku kembali berjalan menuju tukang tambal ban. Menghindarinya adalah pilihan tepat. Nyatanya perkenalan yang cukup lama tak membuat kami berjodoh. Memang sedari awal kami tak mengikat diri dengan ikatan yang disebut pacaran. Hanya saja dia pernah berjanji untuk menikahiku usai kami lulus kuliah.“Deema, berhenti!” Pria itu turun dari mobilnya dan berlari menghampiriku. Zafran hendak mengambil alih motorku. Aku tahu pria itu hendak membantuku menuntunnya ke tukang tambal ban.“Tidak usah, aku bisa sendiri.” Aku menolak tawarannya.“Sini biar aku saja. Lihat badanmu penuh dengan keringat. Wajahmu juga pucat. Pasti kamu sangat kelelahan.”Aku memang merasakan lemas. Kepala juga rasanya seperti mendidih karena terlalu lama berjem
Zafran berjalan mendekati kami. Entah bagaimana bisa pria itu ada di sini.“Om, kapan pulang?” tanya Airin.Zafran berjalan mendekati gadis kecil itu.Aku bingung dengan mereka. Ada hubungan apa sebenarnya mereka.“Farabi ini kakakku.” Zafran memandang pria di hadapannya.Kalau dilihat tidak ada kemiripan di antara mereka. Kalaupun jalan bersama tidak ada yang mengira kalau mereka bersaudara.“Deema aku antar kamu pulang, ya.”Cepat aku menggelengkan kepala. Gegas aku berpamitan dan ke liar dari rumah itu.Kondisi yang tidak memungkinkan membuatku melajukan motor perlahan. Tanpa sengaja aku melihat sebuah mobil berjalan di belakangku. Mobil itu sama seperti milik Zafran. Pasti pria itu sengaja mengikuti.Setibanya di rumah, Ayah ternyata sudah menunggu kepulanganku. Pria itu berdiri di teras rumah. Senyumnya mengembang ketika melihatku memasuki halaman. Namun, ketika melihat sebuah mob
“Kenapa aku bukan kamu?” Aku menunjuknya. “Kamu yang hendak menikah dengan Afseen. Harusnya kamu yang mengurus segalanya.“Deema. Sulit untukku mengajukan perceraian ke pengadilan.”“Karena sulit atau memang pelit,” sanggahku. Pasti pria itu tak mau keluar uang untuk mengurus perceraian. Dia juga tidak mau repot mengurus semuanya. Enak aja. Aku tidak mau melakukannya. Dia yang berbuat salah, kenapa aku yang harus menanggung segalanya.Pria itu seperti bingung mendengar jawabanku. “Deema, bukan seperti itu. Tak ada alasan untukku mengajukan perceraian ke pengadilan. Tak ada kesalahan dalam dirimu. Jadi tak ada alasan untukku menceraikanmu Sedangkan kamu, bisa saja kamu menggugatku dengan alasan tidak memberimu nafkah selama enam bulan. Beres.”“Bayar pengacara, Mas. Kamu tinggal ongkang-ongkang di rumah. Pengacara yang akan urus segalanya. Beres.”Tak mau mendengar apa-apalagi, aku be
“Ada apa denganmu Zafran?” Pria itu memandang adiknya lalu beralih memandangku. “Apa yang salah dengan perkataanku. Bukankah memang benar perkataanku.” Pak Farabi menjelaskan kalau guru merupakan orang tua kedua bagi muridnya.Zafran menghela napas lega mendengar penjelasan kakaknya. Pria itu lalu kembali melanjutkan makannya. Aku hanya bisa menghela napas lega, karena awalnya aku berpikir ada maksud lain dari perkataannya.“Tapi, Papa.” Airin memandang Ayahnya. Gadis seakan tak terima dengan ucapan Pak Farabi “Itu beda.”“Beda gimana?” tanya Pak Farabi.“Airin maunya ibu beneran!” Gadis cilik itu memandang papanya.Mendengar hal itu aku kembali terlonjak. Sedangkan Zafran menundukkan kepala. Entah apa yang ada di pikirannya.“Mana bisa, Airin. Ibu Deema kan sudah punya suami.” Pria itu memandangku.“Ya ....” Mendengar jawaban papanya, Airi
“Jangan sentuh aku!”Aku hendak menendangnya. Sayang, kedua kakiku diinjaknya. Sakit. Bukan hanya kaki yang sakit, tapi juga hatiku. Aku sangat takut jika pria itu akan berbuat yang tidak-tidak.Mas Bhanu merapatkan kedua tanganku di atas kepala. Dengan posisi masih menempel di dinding dengan satu tangannya. Sedangkan tangan satunya meraih wajahku. Mencengkeram antara dua rahang dan mendekatkan ke wajahnya.“Jangan la-kukan itu, Mas,” Aku coba memalingkan wajah. Namun, cengkeramannya semakin kuat. Saat itu aku ingin berteriak, tapi tidak bisa. Aku hanya bisa menangis seraya berdoa agar selamat dari pria itu.Aku coba menarik kaki dan tanganku agar bisa terlepas darinya. Akan tetapi tidak bisa. Sedangkan tubuhku semakin terasa lemas. Kepala semakin berputar. Aku bisa merasakan keringat dan air mata jatuh bersamaan. Setelahnya gelap.Ketika terbangun, aku sudah berada di tempat tidur. Di dahiku ada sapu tangan basah yang
Siang itu aku jadi menemui Zafran. Di hadapan kami hanya ada dua jus alpukat. Aku menolak tawaran makan dari pria itu. Kafe yang berada di jantung kota itu, dulu menjadi saksi bisu pertemuan dua hati yang tak akan pernah bersatu. Dari dulu tempat makan yang sering kami datangi itu selalu ramai, walau begitu aku sering mengajak Liza untuk menemui Zafran. Namun, kali ini aku menemuinya sendiri. “Segera ceraikan suamimu. Aku akan membiayainya.” Perkataan Zafran begitu mengejutkanku. Aku memandang pria yang pandangannya tertuju pada jus alpukat yang sedang di aduk-aduknya. “Apa maksudmu?” “Ceraikan suamimu dan kembalilah kepadaku.” “Apa?!” Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang dikatakannya. “Bagaimana dengan Namira?” “Terus bagaimana denganmu? Apa selamanya kamu akan bertahan dengan pria yang akan menyakitimu itu!” Zafran terlihat sangat kesal. &ldqu
Ayah begitu marah melihat kehadiran Mas Bhanu. Apalagi pria itu menuduhku atas perbuatan yang tak aku lakukan. Tak ingin ada keributan, aku meminta Ayah untuk membiarkan pria itu mencari Bu Nirmala di setiap sudut rumah. Setelah tidak menemukan apa yang dicari pria itu pergi tanpa pamit. Aku menghampiri Ayah yang berdiri ruang tamu. Pikiranku tak tenang memikirkan keberadaan Bu Nirmala. Entah di mana saat ini beliau berada. Tak ingin berdiam diri, aku pun meminta izin untuk mencari ibu mertuaku itu pada Ayah. “Deema, hari sudah malam. Ayah takut kamu kenapa-napa?” Aku coba meyakinkan Ayah kalau aku bisa menjaga diri. Apalagi tempat yang hendak aku tuju tergolong ramai, karena berada di daerah pemukiman padat. Apalagi jarak dan jalan menuju ke sana masih aman. Sebab tak melewati jalanan yang sepi. “Baiklah, Nak. Namun, jangan terlalu ikut campur dengan urusan mereka.” Aku mengiyakan perkataan Ayah. Bergegas aku