Share

Masa Lalu

Pukul sembilan malam. Aku masih sibuk dengan laptop di hadapan. Membuat soal ulangan untuk lusa. Bagaimana aku akan cepat menyelesaikannya. Sedangkan pikiranku terbagi dua. Pikiranku terus tertuju pada Bu Nirmala. Aku begitu khawatir dienggan keadaannya. Apalagi setelah tahu yang dilakukan putranya.

“Deema.” Ayah mengetuk pintuku.

“Masuk Ayah.”

Ayah menghampiriku yang sedang menatap layar laptop di kamar. Pria itu duduk di tepi ranjang.

“Ada apa, Ayah? Apa ada yang Ayah butuh kan?”

Pria itu menjawab pertanyaanku dengan menggeleng. “Ayah tadi hendak ke kamar mandi. Melihat lampu kamarmu masih menyala, ayah ke sini.” Pria itu menatap laptop di hadapanku.

“Deema, sedang membuat soal ulangan, Ayah,” jawabku.

“Ayah tahu, kamu sedang memikirkan suamimu itu. Ayah juga tahu kalau kamu tadi dari rumahnya. Untuk apa kamu ke sana?”

Aku menjelaskan semua pada Ayah tentang kedatangan Bu Nirmala tadi pagi dan yang aku lakukan di rumah Mas Bhanu.

“Ayah tahu, niatmu memang baik. Bila itu membuatmu sakit, lebih baik menjauhlah, Deema.”

Aku memindahkan laptop yang ada di pangkuan dan meletakannya di atas tempat tidur. “Deema juga maunya begitu Ayah, tapi apa yang dilakukan mereka itu keterlaluan.”

Ayah menasihati agar aku tidak terlalu ikut campur dengan urusan mereka. Membantu boleh, tapi jangan sampai mereka menyakitiku. Aku hanya bisa mengiyakan perkataan Ayah.

“Deema, sampai kapan kamu akan mengantung hubunganmu dengan Bhanu seperti ini?”

 Aku memandang wajah sendunya. Pria dengan wajah penuh kerutan itu tampak kecewa dengan Mas Bhanu. Namun, beliau tak pernah mengutarakannya. Dari raut wajahnya dan kediamannya aku tahu kalau pria itu juga sedang mengkhawatirkan putrinya.

“Entah Ayah. Sebenarnya Deema ingin segera menggugat cerai Mas Bhanu. Namun, sebelumnya Deema ingin membuat mereka merasakan apa yang Deema rasakan terlebih dahulu,” terangku.

“Apa yang hendak kamu lakukan? Jangan bodoh kamu, Deema. Dendam itu tidak baik. Bila dia memang bukan jodoh terbaik untukmu segera lepaskanlah.”

Memang benar kata Ayah. Akan tetapi, apa yang hendak akan aku lakukan bukan semata untuk merugikan Mas Bhanu. Melainkan untuk memberinya pelajaran agar dia tak bersikap semena-mena terhadap perempuan.

“Baiklah, Ayah. Ayah tak perlu khawatir. Deema sudah dewasa. Jadi, Deema tahu apa yang harus dilakukan.

Mendengar jawabanku Ayah tersenyum. “Baiklah Deema. Ayah akan memercayakan semua padamu. Ayah tahu kamu pasti akan memilih jalan terbaik.”

Aku tersenyum pada Ayah. Pria itu selalu mendukung keputusanku. “Terima kasih, Ayah.”

“Ayah tidur dulu.” Ayah bangun dari duduknya. Pria itu menyentuh bahunya. “Kamu jangan bergadang. Jaga kesehatan.”

Pria itu masih sama. Selalu mengkhawatirkanku. Aku pun mengangguk mengiyakan nasihat Ayah.

***

“Beneran Bu Deema enggak mau ikut?” Bu Citra mengajakku untuk mampir ke rumahnya bersama teman-teman lain. Hari ini wanita berusia tiga puluh lima hendak mengadakan syukuran kecil-kecilan. Wanita itu hanya mengundang teman-teman kerja saja.

“Maaf banget, Bu. Saya tidak bisa ikut. Ada anak didik yang sedang menunggu saya.”

Undangan Bu Citra sangat mendadak. Wanita itu mengundang kami selepas rapat kerja. Aku pun pamit undur diri.

Aku mengendarai motor kencang menuju rumah Airin. Hari ini jadwal mengisi les di sana. Jam sudah menunjukkan pukul dua lebih lima belas menit. Aku sudah telat lima belas menit. Bukan tanpa alasan. Ada rapat kerja di sekolah.

Aku mengendarai motor dengan kecepatan penuh. Sayangnya ketika tiba di sebuah belokan motorku terasa oleng. Aku menghentikan laju motor untuk memeriksa. Ternyata ban belakang motorku bocor. Terpaksa aku menuntunnya seraya mencari tambal ban terdekat.

Cuaca yang panas membuat wajah dan badanku penuh keringat. Sudah hampir sepuluh menit aku menuntun motor masih saja tak menemukan tukang tambal ban.

Suasana jalanan juga sepi saat itu. Sehingga tidak ada orang yang ditanyai. Aku terus menuntun motorku.

 Terik panas membuat tenggorokanku terasa kering. Mungkin tidak ada salahnya untuk istirahat sebentar untuk minum.

Ketika membuka tas untuk mengambil air minum, aku melihat ponselku tergeletak. Segera aku mengambilnya untuk memberi Pak Farabi alasan aku telat datang. Sayangnya, ponselku ternyata mati. Semalam aku lupa mengecasnya.

Gegas, aku meneguk air dan kembali mencari tukang tambal ban. Baru beberapa langkah, tampak seorang pria tua keluar dari sebuah. Aku kembali memasang standar dan sedikit berlari menemui pria itu.

“Permisi, Pak. Tukang tambal ban di mana, ya?”

“Di sana ada, Mbak. Sekitar 400 meter dari sini.” Pria itu menunjukkan arah jalan.

“Terima kasih, Pak.”

Aku kembali menuntun motor menuju tukang tambal ban yang ditunjukkan pria tua tadi.

 Sekitar lima menit berjalan, aku melihat sebuah ban yang ditempel di depan sebuah rumah dengan tulisan khas tukang tambal ban. Melihat hal itu seakan aku menemukan oase di padang pasir. Lega. Aku pun mempercepat langkah agar segera tiba di sana.

Tin ... tin ....

Sebuah mobil yang berjalan di belakangku. Pengemudinya membunyikan klakson. Seolah meminta celah untuk lewat. Padahal jalanan cukup lebar. Pengemudi itu bisa melewatiku dengan mudah. Aku pun tak menggubrisnya. Toh aku tidak salah. Aku kembali melanjutkan langkah.

Beberapa meter melangkah, pengemudi mobil kembali membunyikan klaksonnya. Tak hanya sekali dua kali bahkan berkali-kali. Hal itu sangat mengganggu. Aku pun memilih berhenti dan menoleh pada mereka.

“Deema,” panggil seorang pria yang kepalanya menyembul dari dalam mobil.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status