Untuk apa bertahan kalau pada akhirnya akan mengecewakan. Untuk apa tetap diam, kalau diam akan menjadi senjata paling tajam dalam menyakiti diri sendiri. Yang harus dilakukan melawan. Melawan hati yang tak pernah dicintai. Menghancurkan hati lain yang ingin menyakiti.
“Deema, apa kamu yakin dengan keputusanmu itu?” Bu Nirmala mendekatiku yang sedang berkemas.
Aku menghentikan aktivitas sejenak dan memandang Bu Nirmala. “Insya Allah Deema yakin, Bu.”
Keputusanku sudah bulat untuk pergi dari Mas Bhanu. Jika aku bertahan, pria itu akan merasa menang dan memperlakukanku semakin semena-mena. Dia akan berpikir hidupku tergantung padanya. Aku tidak menginginkan itu. Hidup dalam belenggu seorang pria.
Aku wanita merdeka. Bebas menentukan kehidupan sendiri. Aku punya pekerjaan. Masih juga memiliki orang tua. Ada tempat untukku bersandar.
Setelah semua siap, aku menarik koperku hendak keluar dari rumah Mas Bhanu.
“Deema.” Ibu meraih tanganku. Menghentikan langkahku. “Pikirkanlah lagi. Ibu mohon.” Ibu mengiba padaku. Hal itu membuatku tak tega meninggalkannya.
Aku meletakan kembali koper di tangan lalu duduk di ranjang bersamanya.
“Bu, ikatan antara suami istri bisa terputus. Namun, ikatan anak dan orang tua tak akan putus.” Aku meyakinkan pada Bu Nirmala akan sering menjenguknya. Hubungan suami istri boleh putus. Namun, hubunganku dengannya tak akan putus. Walaupun hanya beberapa bulan kami bersama nyatanya ikatan itu sangat kuat adanya.
Aku begitu terharu pada Ibu. Wanita itu begitu menyayangiku walau aku tak secara langsung lahir dari rahimnya. Namun, rasa sayang itu juga beban untukku. Beban jika aku tak lagi bisa kembali bersama dengan putranya. Pasti akan menyakitinya.
“Bu, Deema pamit dulu.” Aku meraih tangan Bu Nirmala. Menciumnya takzim sebelum pergi. Air mata tak henti-hentinya mengalir membasahi pipi wanita tua itu. Tak tega, aku lantas membawanya ke dalam pelukanku.
“Bhanu hanya memberikanmu talak satu, Deema. Ibu berjanji akan membawamu kembali.”
Sebelum pergi, aku mengambil kunci motor dan tas yang ada di atas nakas. Kepergianku dari rumah itu bukan berarti kalah. Namun, awal untuk membuktikan kalau diriku lebih layak untuk dicintai dan dimiliki.
***
Hari Selasa, jadwal untuk les privat dengan Airin. Sebenarnya gadis itu tergolong anak yang pandai. Karena kesibukan orang tuanya tak ada yang membimbingnya dalam belajar.
Aku menekan bel pintu sebuah rumah mewah. Tak butuh lama seorang wanita yang berusia jauh di atasku membuka pintu. Wanita itu mempersilakan masuk dan mengantarkanku ke tempat Airin berada.
“Bu Guru.” Airin yang sedang duduk sendiri di dekat jendela berlari menghampiriku. Dia mencium tanganku takzim.
Gadis kecil itu lantas menarikku untuk duduk bersamanya. Airin yang pintar lalu mengambil buku-bukunya karena sudah tak sabar ingin segera belajar.
Telaten aku mulai mengajarinya. Pertama aku menerangkan materi sesuai dengan tingkat kelas gadis itu. Usai memberinya materi aku memberinya soal untuk mengasah daya tangkapnya.
Gadis kecil itu mengerjakan soal-soal yang diberikan dengan penuh semangat. Airin bisa mengerjakan soal dengan mudah. Gadis itu memang pandai. Entah mengapa orang tuanya masih memintaku untuk mengajar les privat padanya.
Tanpa disadari ayah Airin berdiri bersandar pintu dengan satu tangan masuk ke saku celana.
“Papa.” Melihat ayahnya, Airin berlari memeluk pria itu. Melihat putrinya dia berjongkok dan meraih Airin ke dalam pelukannya.
“Sudah belum belajarnya, Sayang?” tanya pria itu.
Dari tutur katanya aku bisa tahu kalau pria bernama Farabi itu begitu menyayangi putrinya.
Airin menjawab pertanyaan ayahnya dengan menggelengkan kepala. Pak Farabi memandang putrinya lalu mengendongnya kembali ke tempat duduknya.
Kami duduk di lantai dengan meja belajar yang berada di hadapanku dan Airin. Sedangkan Pak Farabi duduk di samping putrinya. Pria itu mengamati Airin yang sedang mengerjakan soal-soal di hadapannya seraya tersenyum bangga.
“Terima kasih telah bersedia menjadi guru les privat Airin.”
Usia belajar dengan Airin, Pak Farabi meminta untuk bicara sebentar. Pria memintaku untuk duduk di ruang keluarga.
Kami tak hanya berdua saja di ruangan itu. Ada Airin yang sedang bermain tak jauh dari kami. Gadis kecil itu sedang asyik memainkan boneka di tangannya. Sesekali dia tersenyum memandang kami.
“Maaf, Pak. Bukannya lancang atau tak bersyukur karena Bapak sudah bersedia menerima jasaku.”
Pria itu memandangku penuh tanya.
“Airin anak yang pandai. Dia bisa menangkap materi dengan cepat. Harusnya tanpa guru privat pun Airin dapat belajar dengan baik.”
Pak Farabi memandangku. “Bukannya pisau jika diasah akan semakin tajam? Begitu juga dengan Airin. Dia butuh bimbingan agar bisa lebih mendalami materi,” jawab Pak Farabi.
“Maaf, kenapa tidak ibunya atau Bapak sendiri yang meluangkan waktu untuk membimbingnya?” tanyaku lagi.
Sesaat pria itu menunduk diam. Dia menghela napas panjang. “Pekerjaan membuat saya tak bisa selalu berada di samping Airin. Sedangkan ibunya meninggal ketika melahirkannya.”
“Maaf, Pak. Saat tidak bermaksud ....”
“Tidak apa-apa, Bu. Kehadiran Ibu bukan hanya untuk membimbing Airin. Namun, sekaligus menjadi temannya. Airin sendiri yang meminta untuk Ibu membantunya belajar.”
“Bukan hanya itu, Pa.” Airin ternyata mendengarkan pembicaraan kami. Gadis kecil yang duduk dibangku kelas tiga itu menghampiri kami.
“Terus?” tanya Pak Farabi seraya membelai lembut rambut gadis kecil yang duduk di pangkuannya itu.
“Airin ingin terus memandang Bu Deema.”
Aku mengernyitkan dahi tak paham dengan perkataan gadis kecil itu. “Kenapa? Bukannya setiap hari Airin juga bisa memandang ibu di sekolah.”
“Bu Deema mirip dengan mama Airin. Andai Bu Deema setiap hari ada di sini menemani Airin. Airin pasti tidak akan kesepian seperti saat ini.”
Pernyataan gadis kecil itu benar-benar mengejutkanku.
Mendengar pernyataan putrinya Pak Farabi bergegas meminta maaf padaku.
“Tidak apa-apa, Pak. Saya tahu bagaimana perasaan Airin saat ini.”
Gadis sekecil itu pasti dia juga merasa iri dengan teman-temannya. Tidak bisa dipungkiri. Setiap pagi para siswa diantar oleh ibunya ke sekolah. Aku juga sering melihat Airin memandang mereka. Aku tahu gadis kecil itu juga ingin seperti teman-temannya.
“Silakan diminum, Bu,” tawar asisten rumah tangga Pak Farabi.
Kehadiran asisten rumah tangga Pak Farabi mengurangi kecanggungan di antara kami. Wanita itu meletakan dua gelas jus jeruk di atas meja.
Aku mengambil gelas di atas meja. Setelah minum, aku pun pamit undur diri pada pria dan putrinya itu.
Sebelum pulang, aku mampir terlebih dahulu ke rumah Bu Nirmala. Hampir seminggu keluar dari rumah putranya. Selama itu pula aku tak berjumpa dengannya.
“Assalamuaikum.” Beberapa kali aku mengetuk pintu rumah bercat biru. Tak ada jawaban. Mungkin saja Ibu sedang pergi, aku memutuskan pulang dan kembali esok hari.
Baru saja membalikkan badan. Wanita tua itu sedang berjalan memasuki halaman. Melihat kehadiranku, Ibu mempercepat langkah.
“Deema.” Erat wanita itu memelukku. Seakan kami sudah lama tak berjumpa. Aku balas memeluknya.
“Kenapa kamu lama sekali tak ke sini, Nak?”
Aku menjelaskan pada Ibu kesibukanku akhir-akhir ini. Setelah pergi dari rumah Mas Bhanu, aku mulai mendaftar menjadi reseler dari beberapa toko daring. Hal itu aku lakukan untuk menambah pemasukan. Rencana aku ingin membeli rumah sendiri dan hidup mandiri. Tidak enak bila selamanya menjadi beban orang tua.
“Ayo masuk dulu, Deema.”
Kami pun masuk ke dalam untuk melepas rindu.
Bu Nirmala bercerita banyak tentang Mas Bhanu. Ibu bercerita jarang menemui Ibu. Pria itu lebih sering menghabiskan waktu bersama Afseen. Hal itu membuat Ibu kesepian.
“Deema, Ibu mohon. Kembalilah bersama, Bhanu.”
Sebenarnya aku tak tega dengan Ibu. Namun, aku juga tak mungkin kembali bersama Mas Bhanu. Bagiku kembali dengannya sama saja masuk ke kandang singga. Akan ada banyak derita yang kudapat.
Setelah puas melepas rindu, aku pamit undur diri. Hari juga mulai petang. Aku khawatir Ayah akan mencariku.
Baru saja keluar dari rumah Bu Nirmala sebuah mobil memasuki halaman. Mungkin saja itu keluarga Bu Nirmala, pikirku. Aku coba mengabaikannya dan terus berjalan menuju motorku. Mobil tersebut berhenti tepat di dekat motorku. Ketika hendak menyalakan motor, dua orang turun dari mobil. Mas Bhanu dan Afseen. Mereka berjalan menghampiriku.
“Deema. Kebetulan sekali kamu di sini,” ucap Mas Bhanu. Di samping pria itu berdiri Afseen yang memandangku tak suka. “Aku punya kabar bahagia.”
Aku menaikkan kedua alis tak paham dengan perkataannya.
“Afseen sedang hamil. Semoga dengan kehamilan Afseen ibu akan menerimanya.
Aku berusaha tegar mendengar hal itu.
“Selamat, Mas.” Usai mengucapkannya aku menyalakan motor dan meninggalkan mereka. Pria itu memang tak pantas untukku. Tunggu saja, Mas. Aku pasti akan membuktikan kalau aku lebih berharga dari wanita itu.
Bersambung ....
Hal itu membuatku malu, aku lantas menyenggol lengan pria itu karena malu. Sedangkan Ayah tersenyum melihat tingkah kami. “Ayah, Deema punya kabar bahagia,” ucapku. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin memberitahukan perihal kehamilanku pada Ayah. “Kabar apa, Deema?” Ayah yang duduk di teras bersama kami memandangku. Pria itu sepertinya sudah tidak sabar untuk mendengarnya. Sejenak aku memandang Pak Farabi yang duduk di sampingku untuk meminta izin padanya. Pria itu mengangguk. Gegas, aku mengambil sebuah kotak kecil dari dalam tas dan menyerahkannya pada Ayah. “Buka, Yah. Kabar bahagianya ada di sana.” Aku menunjuk kotak beludru berwarna biru itu pada Ayah. Perlahan, Ayah membukanya. “Apa ini, Deema?” tanya Ayah memandangku. Pria itu lantas mengamati benda kecil yang berada di dalam kotak. “Deema hamil Ayah.” Mendengar itu, mata Ayah berkaca-kaca. “Benarkah itu, Deema?” Pria itu seakan tak percaya dengan apa yang aku katakan. “Iya, Ayah. Sebentar lagi, Ayah akan memiliki cuc
Aku begitu terharu ketika dokter menyatakan aku telah hamil delapan minggu. Memang aku terakhir datang bulan sebelum berangkat bulan madu. Sehari setelah mengetahui kabar kehamilan, aku dan Pak Farabi pulang ke kota kelahiran kami. Kepulangan kami tak ada satu keluarga pun yang tahu. Pun dengan berita kehamilanku. Aku dan Pak Farabi berencana ingin memberi kejutan pada semua keluarga. Pulang dari bandara kami sengaja tak menelepon sopir untuk menjemput. Melainkan mengendarai taksi daring. “Deema, Farabi, kenapa kalian sudah pulang?” tanya Bu Sekar. Beliau begitu terkejut melihat kepulanganku dan Pak Farabi malam itu.Berbeda dengan beliau, Airin justru sangat bahagia melihat kehadiran kami. Gadis kecil itu bahkan berlari untuk memelukku.Kami berdua hanya diam mendengar pertanyaan Bu Sekar.“Apa ada kabar bahagia untuk kami?” tanya Bu Sekar kembali.Pak Farabi yang sedari tadi pura-pura memasang wajah memelas, menjawab kalau aku tak mau disentuh olehnya.Sontak Bu Sekar marah pad
Hubunganku dengan Pak Farabi juga semakin baik, hanya saja aku belum melakukan ritual malam pertama dengan pria itu. Padahal sebelumnya kami berdua sama-sama pernah menikah. Aku heran juga pada pria itu, kenapa dia bisa begitu sabar menahan hawa nafsunya. “Farabi, kapan kamu punya anak dari Deema?” Minggu siang, Bu Sekar ke rumah bersama dengan Rana. Waktu itu Rana dan Airin asyik bermain di ruang keluarga. Aku menemani mereka berdua. Sedangkan Ibu dan Pak Farabi duduk di sofa. Seketika tatapan Pak Farabi beralih padaku. Pria itu seakan-akan memintaku untuk menjelaskan semua pada Ibu. Tak mau ambil pusing, aku mengalihkan pandangan pada gadis kecil yang sedang asyik main kereta es krim di sampingku. “Kalau perlu, kalian pergi ke dokter.” Wanita itu semakin memojokkan Pak Farabi. “Bu, bagaimana bisa Deema hamil, Farabi aja belum menyentuhnya.” Entah pria itu keceplosan atau memang sengaja. Suara Ibu seketika menggelegar, memenuhi ruang keluarga. Tak ingin mendengar obrolan orang
Menurutnya, semalam yang melihatku dan menahan agar tidak jatuh adalah Mbak Darsi. Wanita itu juga yang menjagaku hingga Pak Farabi pulang. Mengenai kepulangan Pak Farabi, Zafran yang menghubunginya.“Deema bagaimana keadaanmu saat ini? Sudah enakkan kah?” Aku tak menjawab pertanyaan pria itu. Melihatku hanya diam saja, Pak Farabi coba meraih tubuhku.“Eh! Bapak mau ngapain?”“Membawamu ke dokter.”“Aku sudah tidak apa-apa. Mungkin karena semalam aku lupa makan. Jadi masuk angin.”Melotot, Pak Farabi memandangku. Dia bertanya kenapa aku tak makan semalam. Alih-alih menjawab, aku justru mengalihkan perhatian dengan menanyakan kenapa dirinya pulang lebih cepat. Tak mungkin juga aku mengatakan Zafran adalah alasanku tak makan.“Mendengarmu sakit saja sudah mampu mengalihkan duniaku. Beruntung pekerjaan sudah selesai hanya Ayah yang tinggal di sana. Sedangkan aku memilih pulang. Mana sanggup aku jauh darimu!” Pria itu menoel hidungku.Aku begitu bersyukur bisa memiliki Pak Farabi. Walaup
“Ya, sudah. Aku pergi dulu. Kamu baik-baik Deema.” Sebelum pergi Pak Farabi mengecup keningku. Hal itu juga dilihat oleh Zafran yang sedang duduk di ruang tamu. Aku bisa melihat pria itu intens menatap ke arah kami. Pada posisi ini aku benar-benar merasa tidak enak hati.Pada acara makan malam bersama aku merasa canggung karena duduk satu meja dengan Zafran. Sedangkan Namira berada di kamar. Wanita itu makan di kamarnya karena kondisi yang tidak memungkinkan.Di sampingku duduk, ada Rana dan Airin. Telaten, aku menyuapi buah hati Namira dan Zafran itu. Ibu juga menawarkan diri untuk menyuapi gadis kecil itu, tapi aku melarangnya dengan dalih dia kelelahan.Kami makan hanya berlima, karena Pak Adilaga juga pergi bersama Pak Farabi Da urusan penting katanya. Menurut Pak Farabi mereka baru pulang besok pagi. Urusan apa aku sendiri tidak tahu.“Deema, kamu tidak makan?” Ibu memandangku yang masih menyuapi Rana.“Habis menyuapi Rana, Bu.”“Ya sudah.” Wanita itu kembali melanjutkan makan.
Napas terasa berat. Dada terasa sesak. Aku begitu tak menyangka dengan kejadian yang menimpaku tadi. Beruntung Pak Farabi sigap dan mendorong tubuh Mas Dhanu menjauh. Dibantu Bu Nirmala, suamiku itu mendorong tubuh pria itu. Sedang aku berlari keluar. Bu Nirmala gegas mengunci pintu kamar pria itu. Dari luar, aku masih bisa mendengar beberapa kali pria itu memanggil namaku. Merasa bersalah dengan apa yang terjadi, Bu Nirmala berkali-kali meminta maaf. “Deema. Tenanglah.” Pak Farabi menggenggam kedua pundakku. Air mata tak henti-hentinya mengalir membasahi pipi. Bukan hanya rasa takut yang menyelimuti diri, tapi juga rasa berdosa karena disentuh pria bukan mahramku. Kami bergegas pamit pada Bu Nirmala dan Bu Diah. Dengan derai air mata penyesalan, wanita itu melepas kepergianku. Mungkin, ini kali terakhir, aku menginjakkan kaki di rumah itu Di tengah perjalanan, karena tak tega melihat kondisiku, Pak Farabi menghentikan mobil. Memberi waktu agar aku lebih tenang. Namun, setengah jam