Deema, wanita cantik berusia 24 tahun tanpa sengaja memergoki suaminya, Bhanu. Pria berusia 27 tahun yang bekerja serabutan itu bersama dengan mantan kekasihnya, Afseen, wanita yang lebih muda. Tak tahan dengan pemandangan yang dia lihat, Deema menghampiri keduanya. Melihat istrinya, pria itu menarik Deema menjauh. Bahkan pria itu meminta istrinya untuk pergi dan mengancam akan menceraikannya kalau tidak menuruti perkataan pria itu. Deema pun diam dan menurut. Semalaman, wanita itu menunggu suaminya. Namun, pria itu tak jua pulang. Hingga akhirnya tertidur. Pagi buta Bhanu pulang dan keributan terjadi di antara mereka. Bahkan, pria itu mengungkit malam pertama mereka. Pertengkaran tersebut berakhir pada ucapan talak oleh, Bhanu. Namun, tanpa sengaja Nirmala, wanita berusia 55 tahun yang notabene adalah ibunya Bhanu tak terima putranya menceraikan Deema. Wanita itu marah pada putranya itu. Pada akhirnya, Deema memilih pergi dari rumah Bhanu. Baginya tak ada alasan untuk bertahan. Bertahan justru akan menyakitinya. Wanita itu memilih pergi daripada hidup dalam penderitaan. Suatu ketika, Deema mengunjungi Nirmala. Wanita itu hendak menjenguk sang mertua. Walau bagaimana pun, wanita itu sudah baik padanya. Hubungannya dengan Bhanu boleh berakhir, tapi hubungan di antara mereka tak bisa berakhir. Sayangnya, tanpa sengaja dia datang ke rumah Nirmala berbarengan dengan kedatangan Bhanu dan Afseen. Kedatangan mereka hendak meminta restu pada ibunya. Apalagi Afseen sedang mengandung anak pria itu. Bukan hanya itu, Bhanu juga meminta Deema untuk mengajukan perceraian terhadapnya dengan alasan akan lebih mudah putus jika pihak wanita yang melakukannya. Memiliki pemikiran yang luas, Deema menolak permintaan Bhanu. Hingga suatu ketika pria itu mengancam dan akhirnya Deema menggugatnya. Ujian bertubi-tubi dihadapi Deema. Tak berselang usai perceraiannya, ayahnya mendapat musibah. Tanah garapan pria itu dirampas oleh orang kepercayaannya. Beruntung ada Farabi, pria berusia 30 tahun yang mau membantunya dengan syarat wanita itu mau menikah denganya.
View More“Mas dari mana saja kamu?”
Malam itu, tepat jam satu malam, Mas Bhanu baru saja pulang.
“Kerja, Dek.” Pria itu duduk di kursi berlapis busa yang ada di ruang tamu. Dia mulai membuka sepatu yang dikenakannya.
Aku duduk di samping pria itu. Seketika aroma parfum menguar menusuk hidungku. Setahuku Mas Bhanu tak pernah memakai parfum. Apalagi dia baru pulang dari kerja seharian, harusnya aroma keringat yang menyengat yang menguar dari tubuhnya. Aku merasa ada sesuatu yang tak beres dari pria itu. Mungkinkah dia ada main di luar sana? Segera kutepis segala praduga. Mas Bhanu bekerja sebagai tukang ojek daring. Bisa saja parfum salah satu penumpangnya tak sengaja menempel di baju suamiku.
Usai melepas sepatu, Mas Bhanu melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Sebelumnya dia memintaku untuk mengambilkan handuk dan membawanya ke sana.
“Mas!” Beberapa kali aku mengetuk pintu kamar mandi. Tak butuh lama, pria itu membuka sedikit pintu kamar mandi. Tangannya mengulur ke luar. Aku pun menyodorkan handuk berwarna merah padanya.
“Mas kamu sudah makan belum?”
“Aku sudah makan. Kamu tidur saja,” ucapnya sedikit berteriak. Aku menuruti perkataan pria itu.
Ketika hendak melangkahkan kaki meninggalkan kamar mandi, tanpa sengaja, aku melihat secarik kertas menyembul dari saku pakaian Mas Bhanu yang dikenakannya tadi. Penasaran aku mengambilnya.
Aku membuka kertas tersebut dan membaca isinya. Aku begitu terkejut ketika membaca secarik kertas yang merupakan nota pembayaran sebuah hotel melati yang letaknya berada sebuah tempat wisata.
Kembali aku meletakan baju kotor Mas Bhanu ke dalam keranjang pakaian ketika suara kran air dimatikan. Tanda kalau pria itu telah selesai mandi. Sedangkan kertas itu, aku lipat dan masukan ke dalam saku bajuku. Bergegas aku menuju kamar.
Baru saja aku merebahkan diri, Mas Bhanu masuk dengan handuk melilit sebatas pinggang ke bawah. Rambut pria itu basah. Baru harum sampo menguar. Melihat hal itu aku semakin curiga.
“Kamu belum tidur, Deema?” tanyanya seraya membuka lemari tiga pintu yang berisi pakaian kami. Dia mengambil sebuah kaos berwarna biru dan celana pendek abu-abu.
Setelah berganti pakaian, pria itu mengeringkan rambut basahnya dengan handuk. Tak berselang lama, dia merebahkan diri di sampingku. Dalam sekejap terdengar dengkuran halus ke luar dari mulutnya. Sedangkan aku tak sedetik pun mampu memejamkan mata.
***
“Deema, kamu sudah siap?” tanya Liza yang berada di seberang telepon.
“Aku sudah sia, Liz.”
“Ok. Aku jemput sekarang, ya!”
Siang ini rencana kami akan ke rumah salah satu anak didikku. Kebetulan rumahnya tak jauh dari rumah sahabatku—Liza. Orang tua anak tersebut memintaku untuk mengajar les privat pada putrinya. Aku meminta Liza untuk mengantarkanku ke rumahnya.
Kami berdua sama-sama bekerja sebagai pengajar. Liza mengajar di sebuah sekolah menengah pertama di kota kami. Sedangkan aku mengajar di sebuah sekolah dasar.
Kebersamaan kami berawal ketika kami sama-sama duduk di bangku SMP. Namun, kami kuliah di sebuah Universitas yang berbeda. Liza masuk ke Universitas Negeri yang ada di ibukota. Kami sempat berpisah dan kembali bersama usai menyelesaikan kuliah kami.
Aku berdiri di depan gerbang usai Liza mengabarkan kalau dirinya sudah dekat dengan tempatku mengajar. Tak berselang lama, Liza datang mengendarai mobilnya. Aku pun langsung masuk ke dalam dan duduk di samping kemudi.
Nasib Liza memang lebih baik dariku. Setahun lalu dia diangkat menjadi pegawai negeri. Sedangkan aku, masih tetap menjadi guru honorer. Beberapa hari lalu aku juga mengikuti tes PPPK. Namun, nasib masih belum berpihak padaku.
“Oh iya, Deema. Orang tua Airin belum pulang jam segini. Bagaimana kalau kamu temani aku belanja dulu,” pinta Liza.
Airin adalah nama anak didik yang hendak kami datangi. Aku pun mengiyakan permintaannya.
Usai berbelanja Liza mengajakku untuk makan terlebih dahulu. Kami pun memilih makan di resto makanan cepat saji.
Baru saja kami menginjakkan kaki memasuki resto. Aku melihat Mas Bhanu sedang duduk dengan seorang wanita. Suamiku itu mengenakan kemeja berwarna biru, bukannya jaket ojek daring.
Bukan hanya itu. Yang membuat hatiku sakit, mereka tak sekedar makan bersama. Mas Bhanu juga menggenggam mesra tangan wanita di hadapannya. Wanita berambut panjang dengan rok berwarna biru balas menggenggam tangan Mas Bhanu.
Aku begitu kalut melihat semua itu dengan mata kepalaku sendiri. Hati istri mana yang tak terluka ketika melihat suaminya mendua. Begitu juga diriku. Tak tahan aku hendak melabrak mereka.
“Deema. Jangan!” Liza memegang tanganku erat. Wanita itu tak ingin aku mendekati mereka. Alasannya, dia tidak ingin aku tersakiti dan dipermalukan oleh mereka.
“Kenapa aku?” Aku menunjuk diriku sendiri. “Bukan aku yang salah, tapi dia. Jadi bukan aku yang akan menanggung malu, tapi mereka.”
Tak peduli dengan nasihat Liza, aku berjalan mendekati mereka.
Melihat kedatanganku, Mas Bhanu begitu terkejut. Namun, tidak dengan wanita di hadapannya. Wanita itu tampak santai, duduk dengan kaki kanan yang berada di atas satu kaki kirinya.
“Dia siapa, Mas?” Aku menunjuk wanita di hadapan Mas Bhanu.
“Dia, Afseen.” Mas Bhanu memandang wanita di hadapannya.
Wanita itu balik bertanya pada Mas Bhanu, siapa diriku.
“Dia istriku,” jawab Mas Bhanu.
Mendengarnya, wanita itu terkejut. Sontak dia berdiri memandangku dan Mas Bhanu bergantian. “Istri?”
“Iya. Namun, tak akan lama lagi dia akan menjadi mantanku.” Perkataan Mas Bhanu seperti belati yang menikam jantungku.
“Apa maksudmu, Mas?” Aku memandang Mas Bhanu tak percaya dengan apa yang dikatakannya.
Pria itu menarikku menjauhi wanita itu. Setengah berbisik pria itu memintaku untuk pulang dan membicarakan semuanya di rumah.
“Deema, jangan berulah kamu. Wanita itu ladang uang untukku.”
“Tapi, Mas ....”
“Pulang atau aku talak kamu sekarang juga!”
Bersambung ....
Hal itu membuatku malu, aku lantas menyenggol lengan pria itu karena malu. Sedangkan Ayah tersenyum melihat tingkah kami. “Ayah, Deema punya kabar bahagia,” ucapku. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin memberitahukan perihal kehamilanku pada Ayah. “Kabar apa, Deema?” Ayah yang duduk di teras bersama kami memandangku. Pria itu sepertinya sudah tidak sabar untuk mendengarnya. Sejenak aku memandang Pak Farabi yang duduk di sampingku untuk meminta izin padanya. Pria itu mengangguk. Gegas, aku mengambil sebuah kotak kecil dari dalam tas dan menyerahkannya pada Ayah. “Buka, Yah. Kabar bahagianya ada di sana.” Aku menunjuk kotak beludru berwarna biru itu pada Ayah. Perlahan, Ayah membukanya. “Apa ini, Deema?” tanya Ayah memandangku. Pria itu lantas mengamati benda kecil yang berada di dalam kotak. “Deema hamil Ayah.” Mendengar itu, mata Ayah berkaca-kaca. “Benarkah itu, Deema?” Pria itu seakan tak percaya dengan apa yang aku katakan. “Iya, Ayah. Sebentar lagi, Ayah akan memiliki cuc
Aku begitu terharu ketika dokter menyatakan aku telah hamil delapan minggu. Memang aku terakhir datang bulan sebelum berangkat bulan madu. Sehari setelah mengetahui kabar kehamilan, aku dan Pak Farabi pulang ke kota kelahiran kami. Kepulangan kami tak ada satu keluarga pun yang tahu. Pun dengan berita kehamilanku. Aku dan Pak Farabi berencana ingin memberi kejutan pada semua keluarga. Pulang dari bandara kami sengaja tak menelepon sopir untuk menjemput. Melainkan mengendarai taksi daring. “Deema, Farabi, kenapa kalian sudah pulang?” tanya Bu Sekar. Beliau begitu terkejut melihat kepulanganku dan Pak Farabi malam itu.Berbeda dengan beliau, Airin justru sangat bahagia melihat kehadiran kami. Gadis kecil itu bahkan berlari untuk memelukku.Kami berdua hanya diam mendengar pertanyaan Bu Sekar.“Apa ada kabar bahagia untuk kami?” tanya Bu Sekar kembali.Pak Farabi yang sedari tadi pura-pura memasang wajah memelas, menjawab kalau aku tak mau disentuh olehnya.Sontak Bu Sekar marah pad
Hubunganku dengan Pak Farabi juga semakin baik, hanya saja aku belum melakukan ritual malam pertama dengan pria itu. Padahal sebelumnya kami berdua sama-sama pernah menikah. Aku heran juga pada pria itu, kenapa dia bisa begitu sabar menahan hawa nafsunya. “Farabi, kapan kamu punya anak dari Deema?” Minggu siang, Bu Sekar ke rumah bersama dengan Rana. Waktu itu Rana dan Airin asyik bermain di ruang keluarga. Aku menemani mereka berdua. Sedangkan Ibu dan Pak Farabi duduk di sofa. Seketika tatapan Pak Farabi beralih padaku. Pria itu seakan-akan memintaku untuk menjelaskan semua pada Ibu. Tak mau ambil pusing, aku mengalihkan pandangan pada gadis kecil yang sedang asyik main kereta es krim di sampingku. “Kalau perlu, kalian pergi ke dokter.” Wanita itu semakin memojokkan Pak Farabi. “Bu, bagaimana bisa Deema hamil, Farabi aja belum menyentuhnya.” Entah pria itu keceplosan atau memang sengaja. Suara Ibu seketika menggelegar, memenuhi ruang keluarga. Tak ingin mendengar obrolan orang
Menurutnya, semalam yang melihatku dan menahan agar tidak jatuh adalah Mbak Darsi. Wanita itu juga yang menjagaku hingga Pak Farabi pulang. Mengenai kepulangan Pak Farabi, Zafran yang menghubunginya.“Deema bagaimana keadaanmu saat ini? Sudah enakkan kah?” Aku tak menjawab pertanyaan pria itu. Melihatku hanya diam saja, Pak Farabi coba meraih tubuhku.“Eh! Bapak mau ngapain?”“Membawamu ke dokter.”“Aku sudah tidak apa-apa. Mungkin karena semalam aku lupa makan. Jadi masuk angin.”Melotot, Pak Farabi memandangku. Dia bertanya kenapa aku tak makan semalam. Alih-alih menjawab, aku justru mengalihkan perhatian dengan menanyakan kenapa dirinya pulang lebih cepat. Tak mungkin juga aku mengatakan Zafran adalah alasanku tak makan.“Mendengarmu sakit saja sudah mampu mengalihkan duniaku. Beruntung pekerjaan sudah selesai hanya Ayah yang tinggal di sana. Sedangkan aku memilih pulang. Mana sanggup aku jauh darimu!” Pria itu menoel hidungku.Aku begitu bersyukur bisa memiliki Pak Farabi. Walaup
“Ya, sudah. Aku pergi dulu. Kamu baik-baik Deema.” Sebelum pergi Pak Farabi mengecup keningku. Hal itu juga dilihat oleh Zafran yang sedang duduk di ruang tamu. Aku bisa melihat pria itu intens menatap ke arah kami. Pada posisi ini aku benar-benar merasa tidak enak hati.Pada acara makan malam bersama aku merasa canggung karena duduk satu meja dengan Zafran. Sedangkan Namira berada di kamar. Wanita itu makan di kamarnya karena kondisi yang tidak memungkinkan.Di sampingku duduk, ada Rana dan Airin. Telaten, aku menyuapi buah hati Namira dan Zafran itu. Ibu juga menawarkan diri untuk menyuapi gadis kecil itu, tapi aku melarangnya dengan dalih dia kelelahan.Kami makan hanya berlima, karena Pak Adilaga juga pergi bersama Pak Farabi Da urusan penting katanya. Menurut Pak Farabi mereka baru pulang besok pagi. Urusan apa aku sendiri tidak tahu.“Deema, kamu tidak makan?” Ibu memandangku yang masih menyuapi Rana.“Habis menyuapi Rana, Bu.”“Ya sudah.” Wanita itu kembali melanjutkan makan.
Napas terasa berat. Dada terasa sesak. Aku begitu tak menyangka dengan kejadian yang menimpaku tadi. Beruntung Pak Farabi sigap dan mendorong tubuh Mas Dhanu menjauh. Dibantu Bu Nirmala, suamiku itu mendorong tubuh pria itu. Sedang aku berlari keluar. Bu Nirmala gegas mengunci pintu kamar pria itu. Dari luar, aku masih bisa mendengar beberapa kali pria itu memanggil namaku. Merasa bersalah dengan apa yang terjadi, Bu Nirmala berkali-kali meminta maaf. “Deema. Tenanglah.” Pak Farabi menggenggam kedua pundakku. Air mata tak henti-hentinya mengalir membasahi pipi. Bukan hanya rasa takut yang menyelimuti diri, tapi juga rasa berdosa karena disentuh pria bukan mahramku. Kami bergegas pamit pada Bu Nirmala dan Bu Diah. Dengan derai air mata penyesalan, wanita itu melepas kepergianku. Mungkin, ini kali terakhir, aku menginjakkan kaki di rumah itu Di tengah perjalanan, karena tak tega melihat kondisiku, Pak Farabi menghentikan mobil. Memberi waktu agar aku lebih tenang. Namun, setengah jam
Heran, aku memandang pria itu.“Aku ikut denganmu.” Pria itu memandangku dengan tatapan entah.Mengangguk, aku mengiyakan permintaannya.Kopi dalam gelas pun segera dihabiskan. Ingin jalan bersama alasannya.Diam, itu yang bisa aku lakukan ketika jemari kami saling terkait. Semakin hari, aku semakin nyaman dengan pr8a itu. Walaupun, hubungan kami berawal dari sebuah keterpaksaan karena tragedi yang menimpa ayahku, diri ini berharap, rumah, pernikahan kami akan langgeng hingga maut memisahkan.***Sebelum berangkat ke kantor, Pak Farabi mengantarkanku ke rumah Bu Diah. Pikirku, pada pukul enam pagi Bu Nirmala pasti belum berangkat bekerja. Usai dari rumah Bu Nirmala, aku langsung berangkat bekerja. Rana, sementara bersama pengasuhnya. Sedangkan Airin ada Mbak Darsi.Pagi tadi, aku juga menyiapkan sarapan buat Bu Nirmala. Pasti wanita itu kerepotan karena harus bekerja. Aku berharap, makanan yang aku bawa bisa bermanfaat untuknya.“Deema, apa kamu tidak takut untuk bertemu dengan Bhanu
Di luar rumah angin bertiup cukup kencang. Ditambah mendung merajai malam. Sendiri aku menyepi. Duduk menatap ke luar melalui jendela. Korden yang menutupi sebagian jendela, melambai. Aku kembali mengingat perkataan Ayah siang tadi. Entah. Haruskah aku tertawa? Menertawakan kabar yang dibawa Ayah atau aku harus bersedih mendengar sang mantan mendapat karma dari segala yang dilakukan padaku pada masa lalu. Tidak! Aku bukan wanita seperti itu. Aku bukan wanita jahat, yang akan menyimpan dendam karena kejadian masa silam. Semua yang terjadi pada Mas Bhanu ada sebab dan akibatnya. Andai, dia tak terlalu diperbudak oleh cinta, maka hal tragis itu tak akan terjadi. Dari cerita Ayah, nasib Mas Bhanu dan ibunya kini terlunta-lunta. Rumah mereka sudah dijual oleh Afseen. Beberapa waktu mereka tinggal di rumah wanita itu. Hingga pada akhirnya, anak dan ibu itu diusir dari rumah wanita kejam itu seperti anjing. Bukan hanya itu, janin dalam kandungan Afseen juga buka darah daging Mas Bhanu. M
Malam itu, Pak Farabi dan Zafran pergi untuk menunaikan Salat Magrib, aku memilih menunaikan salat di ruang perawatan Namira. Usai melaksanakan kewajiban tiga rakaat, tak lupa kupanjatkan doa kepada Sang Maha Kuasa untuk kesembuhan Namira. Memang wanita itu sudah merebut kebahagiaanku dulu. Namun, aku sama sekali menaruh dendam padanya. Toh semua yang terjadi bukan keinginan wanita itu. “Deema.” Mendengar seseorang memanggil, aku mengedarkan pandangan. Tak ada orang lain di ruangan itu, hanya ada aku dan Namira. Bergegas aku melipat mukena dan perlahan mendekati ranjang. Aku memandang wanita yang terbaring tak berdaya di atas ranjang. Beruntung tak ada luka serius yang didapat. Hanya kaki dan tangannya yang terluka. Kaki yang dulu patah, kini kembali patah. Menurut dokter, hal itu akan sulit untuk disembuhkan. Ternyata wanita itu sudah terjaga. Dia tersenyum memandangku. Ada setitik air menetes melihat wanita itu telah sadar. Ada perasaan lega bisa kembali mendengar suaranya. Be
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments