Aku masih belum percaya dengan ucapan Santi. Lagipula setahuku, ruko yang dijadikan tempat usaha Mas Adnan adalah sewa, bukan milik pribadi. Jadi mana mungkin bisa dijadikan jaminan hutang? Tidak tahu jika Mas Adnan dan pemilik ruko mempunyai kesepakatan.“Apakah ucapan Anto dapat di pertanggung jawabkan, Santi? apa dia punya bukti saat Bapak Adnan mengucapkan itu?” tanyaku mencoba meyakinkan ucapan Santi.“Ada, Bu. Kebetulan saat Bapak Adnan mengatakan akan membayar semua gaji karyawan, diam-diam Anto merekamnya. Tujuannya agar ada bukti jika suatu saat beliau ingkar janjinya!” jawab Santi membuatku sedikit lega.Santi meminta nomor kontakku dan mengirimkan rekaman suara Mas Adnan yang di dapat dari Anto. Tak lama kemudian, Santi berpamitan untuk kembali bekerja. Aku menatap kepergian Santi dengan tatapan kosong.Nafsu makanku tiba-tiba hilang setelah mendengar informasi dari Santi. Aku bergegas meninggalkan restaurant dan makanan yang belum habis di nikmati. Fikiranku kini berkecam
Langkahku terhenti, ketika Mas Adnan menghalangi jalan. Disusul kemudian oleh Ibu Mertua yang ikut menghadang jalanku.“Aisha, Kamu dapat informasi darimana kalau Aku ingin rujuk karena ingin memanfaatkanmu?” tanya Mas Adnan dengan tatapan memelas.“Kamu masih belum mau mengaku juga, Mas? apa bukti rekaman itu tidak cukup?” hardikku balik bertanya.“Aisha, dengarkan penjelasan Suamimu dulu, Nak. Tidak mungkin Anak Ibu mau memanfaatkan Kamu, dia benar-benar tidak ingin masa depan Adeeva hancur jika kalian bercerai,” ucap Ibu Mertua berusaha menengahi perdebatan Kami. Sejujurnya, Aku sudah muak melihat wajah Ibu dan Anak yang begitu kompak bersandiwara ini. Namun sayangnya, Aku bukan Aisha yang dulu. Istri dan menantu bodoh yang mau dimanfaatkan oleh Anak dan Ibu Mertua yang parasit.“Maaf Bu, Kita tunggu saja keputusan dari Pengadilan. Kalaupun nanti hasilnya tidak memuaskan, Aku akan tetap menuntut untuk berpisah dengan Mas Adnan. Aku sudah tidak sudi menjadi Istri yang selalu dibodo
Aku membunyikan klakson seraya menjulurkan kepala melalui jendela mobil.“Anto, bisa minta waktunya?” panggilku kepada Anto yang menoleh setelah mendengar suara klakson. Dia tersenyum seraya menganggukkan kepala. Lalu kemudian dia melajukan motornya dan berhenti di tempat parkiran halaman minimarket yang berada di area SPBU. Mobilku melaju mengikuti Anto. Setelah memarkirkan kendaraan dengan aman, Aku melangkah keluar mobil menghampiri Anto yang sudah menunggu di kursi besi yang tersedia di depan minimarket.“Apa kabar Anto?” sapaku mengawali pembicaraan.“Kabar Saya baik, Bu Aisha. Ibu sendiri bagaimana kabarnya?” Anto balik bertanya.“Kabar Saya juga baik-baik saja. Maaf kalau Saya mengganggu perjalanan Kamu. Sebenarnya, ada hal yang ingin Saya tanyakan!” berucap mengutarakan tujuanku.“Hal apa, Bu?” tanya Anto penasaran.“Apa benar, jika Mas Adnan menjanjikan akan membayar gaji kalian jika sudah rujuk dengan Saya?” tanyaku dengan tatapan menyelidik.Anto sedikit terkejut mendengar
Aku terkejut mendengar kemarahan Mas Akbar. Beliau seolah mengetahui masalah yang terjadi dalam rumah tanggaku.“Mas Akbar, apa maksudnya bicara seperti itu? memangnya Mas Adnan kenapa?” tanyaku ber[ura-pura tidak tahu alasan kemarahan kakak satu-satunya itu.“Kamu tidak usah menutupi masalah rumah tanggamu pada Mas, Dek. Aku saudara satu-satunya sekaligus pengganti kedua orang tua Kita. Kenapa Kamu menyembunyikan semuanya dari Mas, Dek?” tanya Mas Akbar dengan sorot mata penuh dengan kekecewaan.Sementara Mbak Nisa, terlihat berusaha menenangkan Mas Akbar yang sudah mulai emosi. Jemarinya yang lentik, mengusap perlahan punggung tangan Mas Akbar.“Ma-afkan Adek, Mas. Bukan maksud Adek menyembunyikan masalah yang sedang terjadi, tetapi Adek takut akan menjadi beban fikiran Mas Akbar!” jawabku memberikan alasan.“Membebani apa maksud Kamu, Dek? Mas ini Kakakmu, jadi berhak tahu apa yang terjadi dengan Adiknya. Mas tidak rela jika Kamu hidup menderita!" ujar Mas Akbar sedikit lebih tenan
Dengan ragu Aku menerima panggilan masuk itu. Terdengar suara berdehem, lalu kemudian suara seorang laki-laki yang terasa begitu asing di telinga.“Hallo, Aisha apa kabar? Ini Aku Reno.” Ucap laki-laki di seberang telepon dengan suara beratnya.“Deg” jantungku seakan berhenti berdetak. Bagaimana bisa kebetulan disaat Aku dan Alma sedang membicarakannya, lalu dia menelpon? tak salah lagi, ini pasti ulahnya Alma.“Kabar Aku baik-baik saja, Ren. Oia, kata Alma besok Kamu pulang ke Indonesia?” tanyaku dengan sedikit canggung.“Iya benar, besok Aku pulang ke Indonesia. Aku mengajukan cuti selama satu bulan!” jawab Reno dengan antusias.Aku terdiam mendengar jawaban Reno. AKu berfikir keras apa lagi yang akan menjadi topik pembicaraan dengannya.“Kamu mau Aku bawakan oleh-oleh apa dari Qatar? cokelat Al Nassma, boneka karikatur Timur Tengah, Kurma Qatar atau apa? Kamu bilang saja, pasti Aku akan bawakan!” tanya Reno dengan penuh semangat.“Terimakasih atas tawarannya. Kamu tidak perlu repot
Sikap Mas Adnan terlihat kurang sopan. Apa dia lupa, jika Kita berdua sudah bercerai dan sah di mata agama karena dia sudah menalakku. Sekarang dia bersikap seolah Aku masih menjadi istrinya. Aku mencari Mas Irwan, dia sudah tidak terlihat lagi. 'Kemana dia? apa jangan-jangn ini hanya akal-akalan mereka berdua?' tanyaku dalam hati."Maaf Mas, tolong jaga sikapmu. Kamu sudah menalakku. Jadi Kita bukan mahram!" hardikku kepada Mas Adnan. Dia terlihat gugup mendapat hardikkan dariku."Maafkan Aku, Aisha. Aku tidak bisa menahan diri, Aku... merindukanmu!" ucap Mas Adnan lagi seraya menatap wajahku dengan lekat.Aku mundur selangkah ke belakang. Sikap dan ucapannya yang terlihat aneh, membuatku merasa takut. Walau bagaimanapun, Aku hanya seorang wanita yang kekuatannya jauh di bawah laki-laki. Aku takut, Mas Adnan berbuat hal nekat."Maaf Mas, Aku ingin menjenguk Ibu. Beliau ada dimana?" tanyaku dengan wajah sinis.Mas Adnan terdiam. Dia terlihat menarik nafas dalam lalu menghembuskannya
“Laki-laki tidak tahu diuntung, bisa-bisanya tidak menghadiri sidang perceraianmu hanya karena menemani selingkuhanmu makan?” bentak Mas Akbar kepada Mas Adnan yang kini mulai menyadari pelaku penyiraman terhadapnya.Wajah Mas Adnan yang basah karena air jus yang tersiram ke wajahnya terlihat pucat pasi karena dipermalukan oleh Mas Akbar di muka umum. Beberapa pengunjung menatap ke arah Kami berempat dengan heran. Sementara Sarah, selingkuhannya Mas Adnan terlihat menundukkan wajah.“Mas Ak-bar. Ini tidak seperti yang ada di fikiran Mas Akbar!” sanggah Mas Adnan, masih bisa berusaha mengelak. Dia tidak menyadari kalau emosi Mas Akbar sudah memuncak ke ubun-ubun.“Lalu, apa yang harus ada di fikiranku sekarang hah? seharusnya dulu Aku tidak merestui pernikahan kalian, kalau pada akhirnya Kamu membuat Adikku menderita lahir dan batin. Kamu meninggalkan istri dan anakmu hanya demi wanita macam begini?” hardik Mas Akbar seraya menunjuk ke arah Sarah.Mas Akbar benar, entah apa yang ada di
“Mas Ak-bar, su-dah ba-ngun?” tanyaku gugup. Mas Akbar tidak menjawab pertanyaan, beliau hanya menatap tajam kearahku.“Mas Akbar, perkenalkan Aku Reno teman lamanya Aisha!” ucap Reno tiba-tiba seraya mengulurkan tangan. Aku sedikit terkejut mendengar ucapan Reno yang dengan beraninya memperkenalkan diri.Mas Akbar membalas uluran tangan Reno, “Akbar!” jawabnya dengan wajah tidak seangker tadi.Tak lama kemudian, mereka terlihat berbincang-bincang. Aku bernafas lega, karena apa yang Aku takutkan tidak terjadi. Aku berpamitan kepada dua laki-laki beda usia itu untuk ke belakang. Memberikan mereka waktu berbincang-bincang dengan akrab.“Bu Aisha, kok bisa ketemu laki-laki seganteng itu? andai saja masih muda, pasti Bibik mau menjadi pacarnya hehehe!” ucap Bik Darmi tiba-tiba dari arah dapur. Aku yang baru keluar dari kamar mandi sedikit terkejut sekaligus terkekeh geli.“Kalau sekarang mau jadi pacarnya juga gak apa-apa, Bik. Reno masih single kok,” timpalku seraya tersenyum menggoda k