Aku melangkah lebar meninggalkan Aisha, istriku. Dia melepas kepergian dengan tatapan kosong. Pasti dia khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan karena akan menemui Pak Askara, laki-laki yang menjadi duri dalam rumah tanggaku.Laki-laki yang menginginkan Aisha, padahal dengan jelas mengetahui statusnya telah bersuami.Kami sepakat untuk bertemu di sebuah taman yang terletak di pusat kota. Entah apa yang akan terjadi diantara kami berdua. Seandainya laki-laki itu mengajak menyelesaikan masalah secara jantan, mau tidak mau harus siap meladeninya. Ini semua demi harga diriku dan Aisha.Mobil yang aku kemudikan dengan kecepatan tinggi melesat menembus jalan raya yang cukup padat. Sebenarnya jika menuruti hawa nafsu, emosiku sudah terpancing sejak mendengar percakapannya dengan Aisha. Dia seolah mengancam, akan menghancurkan hati Alma sahabatnya karena tidak menerima cinta laki-laki itu. Sebenarnya memang sudah sejak lama aku menaruh rasa cemburu kepadanya.Bahkan aku hampir saja menyera
Aku dan Alma hanya menatap dengan wajah tegang saat melihat Mas akbar melayangkan tinjunya ke wajah Pak Askara. Terdengar erangan kesakitan, bersamaan dengan cairan merah segar yang keluar dari mulutnya. Sebenarnya aku tidak tega melihatnya, tetapi Mas akbar sepertinya sudah dilanda emosi saat mengetahui semua kebenarannya. Pak Askara menginginkan cinta dariku, seorang wanita yang telah bersuami. Terlebih dia mempermainkan hati wanita yang dicintainya, Alma. Dia menjalin hubungan dengan Alma hanya bertujuan ingin membalaskan sakit hatinya karena mendapatkan penolakan dariku.Beberapa jam sebelumnya, saat Mas Azam berkata akan menemui Pak Askara, aku sangat mengkhawatirkannya. Sehingga lekas menghubungi Mas Akbar untuk meminta bantuannya. Kebetulan dia sedang berada diluar. Namun bersamaan dengan itu, Alma pun datang berkunjung ke rumah. Akhirnya aku mengajaknya serta untuk menyusul Mas Azam dan Pak Askara di tempat yang belum diketahui keberadaannya. Namun kemudian Mas Akbar memberit
"Yang, Kamu ada dimana?" tanyaku pada laki-laki yang berstatus Suami melalui pesan berlogo hijau. Kali ini pesanku langsung bercentang dua dan berubah warna, tidak seperti pesan sebelumnya. "Tidak usah banyak tanya, bukan urusanmu!" balas Mas Adnan ketus. Aku terhenyak membaca balasan pesan Mas Adnan. Tidak biasanya dia seperti ini. Mungkin Mas Adnan masih marah kepadaku karena masalah Mas Irwan? "Ya jelas urusanku Mas, karena Kamu itu Suamiku. Ayah dari Adeva, Anak yang setiap hari menanyakan keberadaanmu!" balasku tidak mau kalah. "Kalau Kamu masih menganggapku Suami, apa susahnya Kamu bantu Mas Irwan kasih pinjam sertifikat rumah Kita untuk di gadaikan ke Bank? dia sedang butuh modal untuk usahanya!" balasnya lagi. Ooh...jadi Mas Adnan masih marah karena Aku tidak mau membantu Kakaknya lagi? Aku sudah kapok membantu Kakak Iparku yang satu itu. Dulu pernah dia meminjam BPKB mobilku sebagai jaminan pinjaman modal usahanya. Tetapi baru dua bulan berjalan, dia sudah mogok membayar
Tubuhku gemetar mendengar suara menjijikan itu, karena salah satunya adalah suara milik Suamiku, Mas Adnan. Rasanya tak percaya, jika orang yang berada di dalam kamar itu adalah Mas Adnan. Laki-laki kedua yang menempati relung hatiku setelah Mas Syarif berpulang.Dadaku bergemuruh menahan amarah yang siap meledak bagaikan bom atom. Ingin rasanya Aku mendobrak pintu kamar Mas Adnan dan melampiaskan amarahku kepada dua insan durjana itu. Tetapi hati kecil seolah berkata, agar tidak mengedepankan emosi yang akan merugikan diriku sendiri.Aku harus punya bukti perbuatan mereka yang akan berguna kelak di kemudian hari. Aku berusaha mengatur nafasku yang terasa sesak, seakan dadaku tertimpa batu yang begitu besar. Perlahan Aku menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Terus lakukan berulang, hingga Aku merasa sedikit tenang.Aku mengeluarkan ponsel yang berada di dalam tas kerjaku, berniat merekam yang mereka lakukan berdua di kamar. Aku mencoba mengintip dari celah lubang
Akhirnya, dengan terpaksa Aku beranjak dari tempat tidur. Nikmat sekali rasanya memejamkan mata walau sekejap. Kuseret langkah kaki keluar dari kamar menuju ruang tamu. Aku terkejut, ketika melihat seseorang yang tengah duduk di ruang tamu."Mas Adnan," pekikku.Laki-laki yang baru saja menorehkan luka di hatiku itu menengok dengan wajah datar."Kamu jangan kegeeran dulu, Aku kesini cuma mau mengambil semua barang-barangku." Ucapnya seraya bangkit dari tempat duduk dan berkacak pinggang dengan jumawanya."Siapa juga yang kegeeran? baguslah Kamu datang dan mengambil barang-barangmu. Tadinya kalau Kamu tidak datang mengambilnya, akan Aku buang atau dibakar saja sekalian!" ucapku sinis.Mata mas Adnan melotot mendengar ucapanku. Tanpa banyak bicara, dia melangkah lebar menuju kamar Kami, sementara Aku mengikutinya dari belakang. Mas Adnan mengambil kopernya yang tersimpan di atas lemari. Lalu memasukkan semua pakaian dan barang-barang miliknya. Lebih tepatnya barang pemberian dariku."Ayo
Aku menuntun Adeva masuk ke kamar dan duduk di atas tempat tidur. Sejak usia tiga tahun, dia memang sudah berpisah kamar denganku. Tujuannya tidak lain agar dia tumbuh menjadi Anak yang lebih mandiri."Ayah enggak pulang, Sayang. Ayah sibuk, karena usaha ayam bakarnya lagi ramai pembeli." Jawabku berbohong, seraya mengelus puncak kepalanya."Terus, kapan Ayah pulang?" tanyanya lagi."Kalau sudah tidak sibuk, secepatnya Ayah akan pulang." Aku berkata seraya tersenyum menghiburnya."Adeva malam ini boleh bobo sama Ibu saja, mau?" tawarku."Yeay, Adeva boleh bobo sama Ibu!" sorak Adeva senang."Tetapi sebelum bobo harus pipis dulu ke kamar mandi ya, biar enggak ngompol!" ucapku seraya tersenyum menggodanya."Adeva sudah tidak ngompol, Bu!" jawabnya polos."Iya deh, Anak Ibu yang cantik ini selain pintar juga sudah tidak mengompol. Tetapi, tetap harus ke toilet dulu ya." Ajakku seraya menurunkannya dari atas tempat tidur.Selesai dari toilet, Adeva naik ke atas tempat tidur sendiri."Bu, A
Aku mencoba mengingat suara yang ada di telepon itu. Sangat asing di telingaku. Ditambah, nomor ponselnya pun tidak ada dikontakku."Maaf, ini dengan siapa ya? mungkin Anda salah orang!" jawabku dengan suara hati-hati."Mbak Aisha sudah lupa ya? Aku, Sarah. Wanita yang bersama Mas Adnan semalam!" ucap Wanita itu dengan percaya dirinya.Darahku tiba-tiba mendidih setelah mengetahui identitas si penelpon. Dasar pelakor murahan, berani-beraninya dia menghubungi Istri sah dari selingkuhannya."Mau apa Kamu menghubungiku, Wanita murahan? tidak puas Kamu sudah merebut Mas Adnan dariku?" hardikku dengan penuh emosi.Andai saja Aku dan Wanita murahan itu bertatap muka, pasti sudah Aku tampar wajahnya."Puas enggak ya? mungkin untuk saat ini cukup puas. Secara, hubungan Kami baru seumur jagung, tetapi Mas Adnan sudah membelikanku satu unit rumah mewah secara cash, lho Mbak." Wanita itu berkata seolah sengaja memancing emosiku."Oh ya? apa Kamu tahu, selama ini Mas Adnan itu menikah denganku ha
"Hallo Mbak Aisha. Sendirian aja? kasiaaaaan banget sih!” cibir wanita tidak tahu malu itu kepadaku. Sementara laki-laki bermodal dengkul yang berdiri disampingnya, hanya tersenyum sinis. Aku tidak menanggapi mereka, karena takut terpancing emosi. Aku harus tetap menjaga sikap, karena sedang berada di tempat umum. “Mba Aisha mau kemana? kok buru-buru banget. Enggak mau lihat kemesraan Kita berdua lagi?” ucap wanita itu sedikit berbisik ke arahku. Aku menghindarinya, tidak sudi rasanyaberdekatan dengan wanita kotor sepertinya. “Kamu seharusnya belajar kepada Sarah, bagaimana caranya memuaskan Suami dengan baik!” timpal Mas Adnan tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Amarah di dalam hatiku berdebur bagai ombak yang sedang pasang. Siap menerjang benda apapun yang menghalangi jalannya. Aku sudah berusaha bersabar, namun mereka membuat emosi terpancing. Saat Aku akan meluapkan amarahku, terjadi sesuatu hal yang tidak terduga. “Hai guys, ini dia pasangan kumpul kebo yang lagi naik daun. Y