"Mas Surya," gumamku lirih. Suaraku sampai bergetar menyebut nama lelaki tersebut. Gambar yang kulihat ini berupa foto seorang laki-laki yang sedang tidur di sebuah ranjang dengan kasur bersprei putih. Dia mirip suamiku. Harapku cuma mirip, tapi hati mengatakan tidak, itu beneran memang dia. Mas Surya. Di foto itu ia hanya sendiri, tapi di foto yang kedua yang dikirim tampaklah seorang wanita yang sedang foto selfie bersandar pada dinding kaca besar, tersenyum semringah dengan latar belakang pemandangan gedung-gedung tinggi dibelakangnya. Hal ini mungkin memperjelas dimana foto tersebut diambil. Mungkin hotel atau apartemen. Yang pasti tempat itu gedung tinggi bertingkat. "Aurel!" pekikku setelah tahu dialah yang mengirimkan foto tersebut. Foto kedua yang menunjukkan siapa pengirim pesan tersebut. Wanita yang sebelumnya mengemis ingin menginap di rumah kami. Apa maksud wanita ini mengirim pesan seperti itu? Apa dia mau menunjukkan wujud aslinya sebagai seorang pelakor? Meminjam
"Bu Medina? Ibu ngapain di sini?" Aku menoleh sebentar ke arah Bi Jum yang datang ke dapur menghampiriku yang sedang memasak. "Masak. Tolong Bi, ambilkan satu piring di almari. Buat menaruh ini," titahku dengan menyorot ke hasil masakanku di pagi buta ini. Setelah solat subuh aku menuju dapur untuk membuat sarapan pagi. "I–iya, Bu." Meski kebingungan, Bi Jum tetap menurut. Ia bergegas mengambilkan apa yang kuminta. "Maaf, Bu. Kenapa Ibu bereskan semua? Masak juga. Terus kerjaan Bibi apa, Bu? Apa Ibu mau memecat Bibi?" Tampak hati-hati Bi Jum bertanya. Aku tersenyum menanggapinya. Tidak mungkin aku memecatnya karena Bi Jum tidak membuat kesalahan apapun. Mungkin belum dan kuharap tidak pernah. Apa yang kulakukan hanyalah pelampiasan atas kemarahan pada seseorang yang tidak bisa kuluapkan langsung ke orang yang bersangkutan. "Nggak Bi, nggak papa. Saya lagi pengen aja membersihkan rumah sendiri. Biasanya juga begitu. Mungkin karena terbiasa jadi lupa ternyata sudah ada Bibi," ja
"Bu." Suara memanggilku disertai ketukan pintu berbunyi bersamaan di depan pintu kamar. "Ya, tunggu!" sahutku meyakini kalau yang barusan memanggil adalah Bi Jum. Segera aku bangun dan menggendong Malik menuju arah pintu. Alisku terangkat dan saling bertaut menanyakan apa maksud Bi Jum memanggil. "Anu, Bu. Itu Bapak." Tampak hati-hati Bi Jum menjawab, tapi tak jelas apa maksudnya. "Bapak? Suami Saya, Bi? Memangnya Mas Surya kenapa?" tanyaku bingung. "Anu, Bu. Bapak minta dibuatkan kopi, tapi katanya minta Ibu yang bikinkan."Kerutan di keningku mengendur mendengar perkataan Bibi. "Oh, itu. Gampang Bi. Suami saya itu suka kopi hitam dengan taburan sedikit kayu manis diatasnya, terus–" Mencoba menjelaskan tapi disela Bi Jum. "Anu Bu, katanya Ibu saja yang bikinkan. Jangan Bibi. Rasanya pasti beda. Tadi Bibi sudah mau coba tapi dilarang Bapak."Aku mendesah berat. Laki-laki itu, apa lagi maunya? "Ya sudah, biar Saya, Bi. Ada lagi yang mau disampaikan?" Bi Jum menggeleng da
"Aurel, silakan bicara. Waktu dan tempat dipersilahkan," ujarku meminta Aurel bicara setelah Mas Surya duduk. Lelaki tersebut ternyata memilih duduk di sofa yang sama denganku, di sebelahku. Kukira ia akan duduk di sofa yang sama dengan diduduki Aurel. Wajahnya masih diliputi kebingungan. "Heh, aku tak tahu kalau kamu bisa selicik ini Na. Seharusnya aku sadari itu sejak awal kamu ubah pertemuan kita," ucap Aurel dengan sinisnya. Aku tersenyum tipis menanggapi kekesalannya. Licik darimana? Aku hanya menghadirkan sumber dari dua sisi. Kalau sisi satu mengaku begini, maka kita dapat menanyakan langsung ke sisi kedua apakah yang dikatakannya itu benar atau salah. Padahal yang pantas dikatakan licik itu adalah dia. Bersembunyi dibalik kata sahabat nyatanya sekarang mengaku ada sesuatu dengan suamiku. "Ini apa Rel? Apa yang ingin kamu katakan? Kenapa di sini? Kamu bilang sakit makanya tidak masuk kerja, tapi sekarang apa ini?" Pertanyaan berturut Mas Surya lemparkan pada Aurel. Sepert
"Karena itulah aku meminta Surya untuk melepaskanmu, Na. Selama ini dia tersiksa mencoba mencintaimu–""Rel, sudah hentikan!" Mas Surya menyela. "Kenapa harus dihentikan? Lanjutkan Rel, aku mau tahu semuanya. Tersiksa kenapa? Apa pikirmu Mas, aku tak tersiksa mencintai orang yang tidak pernah mencintaiku?""Medina, aku minta maaf. Aku tak bermaksud menyakitimu. Aku sudah berusaha mencintaimu tapi–" "Tapi tidak bisa. Iya kan? Kenapa? Karena kamu mencintai Aurel, begitu?" jawabku mulai gemas mendengar jawabannya yang begitu lamban. "Aku pernah dengar kalimat yang bilang cinta itu akan hadir karena terbiasa bersama. Apa selama bersamaku kamu tidak pernah mempunyai rasa itu, Mas?" lanjutku lagi. Kali ini nada bicaraku tak bisa dikontrol. Suara getarannya keluar karena aku mencoba sekuat tenaga menahan air mata yang ingin merembes keluar dari kedua sudut mataku. "Itu karena sebenarnya Surya itu sangat mencintaiku, Na. Mengertilah karena Surya itu sudah mencintaiku sejak dulu. Kamu pas
"Bu, maaf kalau Bibi lancang. Meskipun Bibi tidak dengar, tapi Bibi tahu kalau rumah tangga Bu Medina sama Pak Surya sedang bermasalah." Bi Jum datang memberikan secangkir teh ke atas meja, ke hadapanku. Setelah berhasil menidur siangkan Malik, aku pergi ke dapur. Berniat ingin makan siang meski sebenarnya tidak bernafsu makan. Aku makan hanya untuk mengisi tenaga. Hati boleh sakit, tapi badan jangan. Kalau aku sakit, bagaimana dengan Malik? "Kalau Bibi boleh ngasih saran, jangan berpisah Bu. Bu Medina harus pertahankan rumah tangga Ibu. Yang harusnya tahu diri itu si itu, anu … Aurel, iya Aurel. Tega sekali perempuan itu masuk ke rumah tangga Ibu dan merebut Pak Surya. Emang dasar kegatelan tuh perempuan. Dari awal ketemu, Bibi sudah bisa tebak perempuan seperti apa dia itu. Katanya teman tapi kok nusuk dadi belakang? Cantikkan juga Bu Medina, dia menang karena makeup saja, Bu. Coba nggak dandan, biasa saja, nggak jauh beda sama Bibi." Mendengar ucapan Bibi barusan cukup membuatk
"Medina." "Medina, kamu? Pembicaraan kita belum selesai." "Apa maksud kamu sudah dapat jawaban?" Pertanyaan Mas Surya kuabaikan. Langkahku pasti ke kamar tidur. Tampak Mas Surya mengekorku dari belakang. "Tunggu! Jelaskan padaku apa maksud ucapanmu barusan, Na?" Niatku ingin membuka pintu dihentikan Mas Surya. Ia maju menutupi pintu kamar menghalangiku masuk. "Pernikahan ini selesai. Jatuhkan talak untukku Mas." Entah dapat kekuatan darimana, dengan percaya diri aku meminta ditalak darinya. Mas Surya tampak tak percaya. Ia menggelengkan kepala. Tak peduli lagi jika itu respon penolakan atau bukan. Hatiku sudah mantap saat ia mengakui secara tak langsung telah mencintai wanita itu. "Kamu apa-apaan, Na. Bukan ini maksudku. Sudah kubilang dari awal kita perbaiki hubungan kita." Tanganku lagi-lagi digenggamnya, dan selalu kutepis karena aku tak suka lagi disentuh olehnya. "Perbaiki seperti apa? Bukankah Mas mencintai wanita itu? Cinta pertama Mas, kan, iya kan? Apalagi yang ha
"Medina!" Terdengar langkah kaki berlari. Aku berbalik menghadapinya. "Tunggu! Tetaplah tinggal di sini, biar aku yang pergi. Aku nggak mau kamu bawa pergi jauh Malik. Aku tidak tahu rumah seperti apa yang akan kamu tempati. Nyaman kah atau tidak untuk anak kita. Dia baru saja sembuh dari sakit, Na. Jangan egois."Perkataan panjang Mas Surya ada benarnya. Aku memang belum tahu seperti apa rumah yang dikontrakkan itu karena belum melihatnya secara langsung. Aku tahu juga baru dari Meira karena dia yang mencarikan rumah tersebut secara mendadak, bukan aku. Kata sahabatku itu rumahnya cukup nyaman meski harganya murah. Kuiyakan saja karena sangat butuh. Namun rencananya aku akan menginap dulu di hotel dulu sehari, dua hari sampai rumah tersebut siap ditempati. "Kalau Mas pergi, Mas nginap di mana? Di tempat Aurel seperti yang kemarin malam Mas lakukan?" tudingku sewot membela diri. "A–apa? Kata siapa? Tidak, aku tidak kesana. Aku ke rumah Mama. Kamu masih saja menyindirku tentang ya