Adzan berkumandang, aku menggeliat dan bangun. Saat meraba tempat yang selalu menjadi kebiasaan mas Gibran tidur, ternyata kosong dan terasa dingin. Itu artinya mas Gibran tidak tidur di sambungnya atau juga mungkin tidak pulang sama sekali. Aku mengusap dada, rasa tidak nyaman itu semakin melanda. Untuk menghilangkannya, mungkin aku harus berwudhu dan shalat dulu. Setelah itu berdoa memohon pada yang maha kuasa untuk memberi perlindungan pada mas Gibran di manapun dia berada. Selesai menunaikan ibadah serta berdoa, aku melihat baby Aydan yang masih tertidur lelap. Aku memutuskan untuk membersihkan rumah dulu, setelah itu memasak dengan harapan mas Gibran akan pulang pagi. Namun, ternyata harapan tinggal harapan, mas Gibran tak kunjung pulang. Bergegas aky kembali ke kamar, mengecek ponsel mudah-mudahan mas Gibran ada mengabari aku lewat benda pipih itu. "Kok gak ada, pesanku juga cuma di baca doang. Tidak biasanya mas Gibran seperti ini, ada apa? Perasaan aku benar-benar tidak ny
Aku tidak pulang ke rumah, karena tahu mas Gibran pasti menyusul ke sana. Kali ini aku pulang ke rumah yang sudah tiga tahun ini aku tinggalkan. Semenjak menikah dengan mas Gibran, aku memang tidak pernah datang lagi ke sini. Rumah lamaku yang sangat aku sayangi. Walau tahu kemungkinan mas Gibran juga akan datang menyusul ke sini, tapi setidaknya kami akan membahas masalah yang terjadi jauh dari orang-orang. Hanya kami berdua, sejujurnya aku belum bisa kalau harus ada orang lain yang ikut campur pada masalah ini. Ku tidurkan baby Aydan di atas ranjang sempit milikku. Ku usap dahi dan pipinya dengan sayang, lalu menangis di sampingnya. Posisiku sekarang adalah duduk di bawah ranjang, sedangkan baby Aydan terlelap tidur di atas ranjang. Entah berapa lama aku menangis, tapi yang jelas sampai membuatku ketiduran. Saat matahari sudah meninggi, pertanda siang hari sudah datang. Bergegas aku pergi ke kamar mandi yang terletak di dapur, mengambil wudhu dan menunaikan shalat dengan khusu.
"Jawab mas!" "Ma-mas ... sayang, Mas ... gak tahu," mas Gibran menunduk. Aku menghembuskan napas dengan kasar. "Ke mana sikap tegas Mas Gibran? Kenapa malah menunduk seperti ini? Yang aku butuhkan adalah jawaban pasti, bukan keragu-raguan seperti ini. Sekarang aku tanya sekali lagi, apa Mas Gibran Yakin pernah tidur dengan perempuan itu? Tidak mungkin kan seorang laki-laki bisa tanpa sadar melakukan sesuatu pada perempuan tanpa bisa dia mengingatnya, kecuali kalau saat itu Mas Gibran mabuk dengan tingkat kesadaran yang sangat minim." "Mas yakin saat itu gak mabuk," mas Gibran langsung membantah tuduhan ku. "Minuman yang diberikan Novi hanya kopi, tidak mengandung alkohol." Aku menyipitkan mata, "apa setelah meminum kopi itu Mas Gibran merasakan perubahan pada suhu tubuh atau apapun selain itu?" Mas Gibran tampak termenung sesaat, sebelum kemudian menggeleng. Aku makin menyipitkan mata begitu persoalan yang dialami mas Gibran mulai menemukan titik temu. Ku dekati mas Gibran dan m
Mas Gibran tampak termenung beberapa saat. Mungkin sedang memikirkan perkataan aku barusan. Dengan sabar aku menunggu, hingga akhirnya mas Gibran menatapku dengan pandangan kurang yakin.Mas Gibran menghela napas perlahan, menatap aku pasrah. "Kalau ruang kerja Mas ada CCTV, tapi untuk kamar itu gak ada. Kamu sendiri tahu, kamar itu Mas gunakan untuk istirahat di kala penat dari pekerjaan. Mana mungkin Mas pasang CCTV di sana, bisa malu Mas sama penjaga keamanan yang memantau CCTV."Aku menjentikkan jari dengan semangat. "Nah, dari sana bisa kita selidiki Mas."Mas Gibran mengernyitkan dahi, tidak mengerti dengan jalan pikiranku. Aku berdecak kesal, menampar pelan pipi mas Gibran agar pikirannya yang sudah stres dan ruwet bisa tegang sedikit. Sebenarnya ... Tidak ada hubungannya sih, antara pikiran ruwet sama tamparan, tapi kan aku hanya mencoba mencairkan suasana. "Kata kamu kita cuma mencari bukti dari lokasi, kok malah bahas CCTV di ruangan Mas. Di ruangan Mas, gak ada bukti CCTV
Semua karyawan kantor tempat di mana mas Gibran mendirikannya langsung menunduk hormat begitu sang CEO beserta istrinya yaitu aku masuk melewati pintu. Aku membalas sapaan mereka dengan senyuman, tapi mas Gibran hanya membalasnya dengan anggukan kepala saja. Aku dan mas Gibran masuk ke dalam lift khusus para petinggi perusahaan, karena memang di kantor ini ada dua lift. Satu lift khusus para petinggi perusahaan dan satu lift lagi khusus karyawan. Begitu lift tertutup, mas Gibran menoleh ke arahku. Pandangan matanya penuh keingin tahuan, mungkin karena penasaran dengan apa yang akan aku rencanakan sekarang. Aku hanya tersenyum tenang, balik menatap mas Gibran dengan satu alis terangkat. "Aku tahu kalau aku ini cantik, tapi jangan juga terus menatapku. Lihat ke depan, sebentar lagi lift akan berhenti.""Apa rencanamu, sayang? Mas penasaran sekali." Mas Gibran menatapku dengan pandangan memelas, ingin tahu apa yang sedang kurencanakan. Aku hanya tertawa pelan, menepuk pipi mas Gibran
"Ada apa dengan wajahmu, kenapa mendadak pucat begitu? Juga denga suaramu, kamu terlihat gugup terkesan ke arah takut. Apa aku semenyeramkan itu?" Aku melipat tangan di depan dada, tersenyum tipis sambil menatap OB di depanku dengan pandangan penuh guyon. "Ti-tidak sama sekali, I-ibu cantik." Jawab OB di depanku dengan tetap tergagap. Aku mengangguk, "oh ya, lalu cantikkan mana aku sama si Novi?" "I-ibu lah."Kaki sang OB langsung gelisah, tangannya juga saling meremas satu sama lain. Bahkan aku mendengar napasnya yang memburu. Tidak salah lagi, pasti OB ini tahu sesutu. Aku menggeleng pelan, lalu bergerak melangkah ke arah pintu. Semua gerak-gerikku aku tahu OB ini perhatikan, tapi aku sengaja acuh dan langsung mengunci pintu.Aku mencabut kunci, berbalik menghadap ke arah sang OB. "Kamu tahu sesutu bukan tentang insiden saat itu. Di mana si Novi memberikan kopi pada suamiku hingga langsung jatuh tertidur. Jawab dengan jujur! kalau tidak akan aku suruh Mas Gibran memecatmu sekaran
Baru aku mau ke luar, suara menyebalkan penuh drama si Novi terdengar. Aku menghentikan langkah, ingin mendengar sejauh mana wanita ular itu memainkan drama seorang perempuan ternoda. "Ibu, pak Gibran membuangku.""Tidak, Gibran hanya belum bisa menerima kenyataan saja. Kamu mengandung cucuku, jadi jangan takut. Mamah pasti bela kamu, kalau perlu Mamah paksa Gibran supaya mau nikahin kamu segera. Kasihanxong cucu Mamah nanti lahir gak punya ayah." Ucap mamah mertuaku sambil mengelus-elus punggung si ular Novi. Mamah? Bahkan mamah mertuaku itu sudah memanggil dirinya dengan sebutan mamah dihadapan si ular Novi. Huh, apa sebegitu sukanya dia pada si ular Novi? Begitu rupa ular itu terbuka, niscaya mamah mertuaku itu akan menjerit-jerit marah. Aku memutar bola mata jengah, muak dengan segala drama si Novi. Namun, aku tetap tidak mau bergerak maju lebih dulu, masih ingin tahu sampai mana si Novi itu berbuat. Tampak mas Gibran mengeratkan rahang, menatap dua wanita di depannya dengan
Wajah si ular Novi terlihat memucat, menatap bergantian antara aku dan si OB yang kupanggil masuk. Aku melipat tangan di depan dada, memasang postur pongah atas kemenangan yang sudah mencapai persentase 80%. "Maafkan saya Bu, tapi saya tidak bisa lagi menyembunyikannya. Saya ... akan mengembalikan uang yang sudah Ibu Novi kasih, jadi jangan bawa-bawa saya lagi dalam urusan Bu Novi." Si OB menunduk sambil menjelaskan maksud dengan keberadaannya di sini. "Apa maksud semua ini?" Mamah memekik kesal, menatap antara si OB dan si ular Novi secara bergantian. "Menyembunyikan apa?" "Menyembunyikan kebohongan tentang kehamilannya yang mengaku anak aku, Mah." Mas Gibran meluruskan perkataan si OB, mungkin karena sudah muak dan gerak dengan drama queen yang dilakukan si Novi. "Bo-bohong? Maksud kamu apa? Bukankah Novi memang benar hamil anak kamu, Gibran?" Mamah mertuaku itu menatap mas Gibran penuh tuntutan, terlihat sekali hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja mas Gibran jelaskan.