Saat ini aku lagi menjemur baby Aydan di bawah sinar matahari. Para tetangga yang kebetulan rumahnya berdampingan dengan rumahku terang-terangan melihatku dengan pandangan memgejek sekaligus hina.
"Lihat si Lastri! Dia kan gak hamil-hamil, eh kesenangan nemu bayi di depan pintu ruamhnya. Walaupun itu bayi sudah bisa dipastikan bayi haram, tapi mau-mau aja dia ngerawatnya. Apa gak takut kena sial, dia?"
Aku yang tengah mendunduk memandang baby Aydan dalam pangkuanku mendengar jelas suara bu Yulis tetanggaku, ibunya Vina. Namun, aku tetap acuh seolah tidak mendengar ucapannya.
"Memangnya itu anak haram?"
Terdengar bu Gina tukang pamer perhiasan ikut nimbrung akan pertanyaan sok tahunya bu Yulis.
"Ya ampun, emangnya ada gitu bayi yang masih merah dengan sengaja dibuang oleh orang tuanya kalau itu bukan anak haram. Sudah jelas kali bu Gina." Bu Yulis menjawab pertanyaan bu Gina.
Aku tahu, suaranya sengaja di tinggikan bair aku mendengar acara gibahnya. Namun, aku tetap berusaha tidak terpancing oleh ucapan-ucapan mereka. Aku memfokuskan diri pada baby Aydan dan mengajaknya berbicara.
"Kalau saya, sudah kumasuakan ke panti asuhan itu bayi. Tak sudi saya merawatnya! Ibunya saja sudah membuangnya, kenapa saya mau-mau saja merawat bayi itu."
Aku menghembuskan napas perlahan berusaha untuk tetap sabar. Ternyata tidak enak juga di katain terang-terangan begini. Mana buakan hanya bu Gina saja yang mendengar. Namun, termasuk mamah mertuku sekaligus.
Dari ekor mataku, aku dapat melihat mamah duduk tak nyaman di samling bu Gina. Pancamaran matanya memandangku tak puas, terkesan memusuhi. Mungkin mamah memang benar-benar tidak setuju aku dan mas Gibran merawat baby Aydan, tapi mau bagaimana lagi, baby Aydan sekarang sudah sepenuhnya tanggung jawab aku dan mas Gibran.
"Nah, bu Marisa. Gimana tuh menatunya kok dibiarin sih ngurus anak gak jelas gitu? Kalau memang tidak bisa hamil, kan bisa ngangkat anak saudara. Kenapa harus anak kayak begitu?"
Kini bu Yulis menatap mamah penuh ejekan, termasuk semua teman mamah juga. Aku hanya bisa terdiam tanpa mau berurusan dengan ibu-ibu arisan itu, karena aku tahu akhirnya akan seperti apa.
Terlihat mamah berdiri, "aku pulang dulu. Tadi lupa belum izin papa-nya Gibran. Duluan ya, ibu-ibu."
Dengan langkah cepat mamah pergi meninggalkan sekumpulan ibu-ibu yang baru selesai arisan itu. Sekepergiannya mamah, ibu-ibu yang semula tidak enak hati membicarakanku dihadapan mamah kini dengan terang-terangan ikut meledekku.
Tidak tahan mendengar hinaan dan ucapan jeleknya, bergegas aku masuk kedalam rumah. Samar-samar aku mendengar suara bu Yulis yang menyebutku 'menyedihkan'. Hati ini rasanya teriris. Namun, aku hanya bisa memendam karena tak mungkin juga bila melepaskan emosi pada mereka semua.
Setelah membuat baby Ayda tidur nyenyak, bergegas ku buka kulkas dan ku keluarkan piding buah kesukaan mas Gibran. Lalu ku hias dengan baik sampai bentuknya indah. Setelah itu aku membawanya ke luar ruamh menghampiri para ibu-ibu yang ternyata masih asyik mengosipkanku.
Mereka serentak memandangku heran saat kuperlihatkan senyuman manis pada mereka dengan puding buah di tanganku. "Inilah hadiah bagi kalian karena telah mengguncingku, karena guncingan kalian berarti pahala amal kebaikan kalian untuku. Terima kasih ya, ibu-ibu."
Ku asongkan puding buah itu pada bu Gina yang duduk paling dekat dengan aku. Karena bu Gina tak kunjung menerima pudingnya, langsung saja kuletakan puding itu di tengah-tengah riungan ibu-ibu arisan.
"Silahkan dinikmati," ucapku diiringi senyuman teramat manis. Setelah itu kutinggalkan mereka yang terbengomg-bengong oleh aksiku barusan.
Saat menutup pintu, aku langsung mengusap dada sabar. Menghadapi CCTV tetangga memang perlu kesabaran extra. Kalau tidak, sudah minta hidup di hutan aku sama mas Gibran.
Tok
Tok
Tok
Aku mengernyit karena pintuku ada yang mengetuk, bukan, tapi leboh tepatnya gedoran. Apa jangan-jangan ibu-ibu itu ingin mengembalikan puding buah yang kuberikan? Namun, saat aku membuka pintu, saat itu pula sebuah tamparan mengenai pipiku. Tanganku terangkat mengusap rasa panas yang langsung menjalar di pipiku. Itu mamah mertuaku, dia menatap aku marah campur benci.
ZTanpa kata mamah langsung masuk dan membanting pintu rumahku, "kenapa kamu tidak sadar juga? Saya tidak menyukaimu dari awal, kenapa masih tidak tahu malu dengan tetap menjadi istri anak saya?"
Napas mamah terengah seretelah mengeluarkan kata penuh kebencian padaku. Lalu mamah melanjutkan, "bukannya kasih saya cucu ini malah mungut anak tidak tahu asal usulnya. Malu, malu saya di bicarain sama teman-teman arisan saya. Kamu bisanya hanya membuatku malu saja. Apa hidupmu tidak sempurna bila tidak menjadi benalu dalam hidup saya?"
Kurapatkan dengan erat kedua bibirku agar tidak keceplosan membalas makian mamah. Untuk menguatkan hati, aku terus mengingat ucapan mas Gibran yang selalu nenangin aku di saat mamah memojokanku.
"Kenapa diam? Benarkan ucapan saya kalau kamu hanya benalu?" Mamah tersenyum sinis.
Mamah mengedarkan pandangan kesetiap penjuru rumahku. Aku was-was saat melihat mamah berjalan ke arah kamarku dan mas Gibran. Tidak, jangan-jangan mamah mau membawa baby Aydan? Dengan cepat kuikuti langkah mamah menuju kamarku.
"Mamah, mamah mau apa dengan baby Aydan?" tanyaku panik saat melihat mamah sudah membawa baby Aydan ke dalam gendongannya.
Mamah menatapku sinis," minggir! Jangan halangi saya!"
Aku bergeming di ambang pintu sama sekali tidak mau menuruti apa kata mamah. "Letak balik baby Aydan ke atas kasur, kalau tidak mamah akan menyesalinya." Ancamku tak main-main.
Mamah malah tertawa makin lebar seolah ucapanku barusan sama sekali tidak berepek. "Memangnya kamu bisa apa? Selama ini saya maki-maki dan hina, kamu hanya bisa diam saja. Coba buktikan sekarang kamu bisa apa untuk membalas saya!"
"Aku pastikan mamah akan menyesalinya," ucapku balik menantang.
Ini sudah ada 15 menit semenjak mamah datang dan kejutan sebentar lagi akan dimulai.
"Sayang, Lastri."
Aku menyeringai begitu mendengar suara khawatir mas Gibran. Tak lama mas Gibran sampai di depan kamar. Matanya melotot begitu melihat baby Aydan ada di dalam gendongan mamah.
"Gi-gibran?"
Mamah terbata seolah tidak percaya ada mas Gibran sekarang. Saat mamah baru datang, memang aku langsung mengirim watsap pada mas Gibran untuk memberitahukan kalau mamah datang dan nampar aku. Walau terkesan aku ini jahat karena mengadu domba antara anak dan ibu, tapi aku juga tidak bisa diam saja terus diperlakukan buruk oleh orang yang seharusnya memberikan naungan serta contoh yang baik bagiku.
"Mas Gibaran," panggilku. Langsung saja aku menghampiri mas Gibran dan mengeluarkan air mata. Lihat saja, akan kuadukan kelakuan buruk mamah barusan. "Mas, mamah mau bawa baby Aydan pergi."
Mas Gibran makin memelototkan matanya, "mamah mau bawa ke mana baby Aydan?"
***Mamah terlihat gelisa. Mungkin karena kepalang tanggung ms Gibran memergokinya tengah mau membawa beby Aydan pergi, mamah berkta jujur. "Mamah mau bawa bayi ini ke panti asuhan. Mau mamah berikan pada ibu panti. Kenapa? Kamu mau coba halangin mamah?"Terlihat wajah mas Gibran memerah marah. Giginya bergemulutuk karena beradu satu sama lain. Namun, aku tahu mas Gibran mencoba tidak terpancing dengan ucapan mamah barusan. Aku juga sama marahnya dengan mas Gibran, tapi tentu saja aku harus main cantik untuk menyelamatkan baby Aydan."Mamah, pak Rt sudah mengizinkan kami untuk mengurusnya. Kenapa mamah malah mau mengirim baby Aydan ke panti asuhan?" Ucapku dengan nada tersakiti. Terasa tangan mas Gibran yang melingkari pinggangku mengerat.Mamah mendelik sinis, "ya, biar kalian bisa fokus pada program kehamilan kalian. Kalau ada bayi ini, kapan kalian fokusnya.""Mah, kami pasti program kehamilan, tapi aku mohon sama mamah. Tolong letak balik baby Aydan ke atas kasur. Mamah jangan bawa di
Mas Gibran berhenti melangkah, "Mas gak tau, sayang, nanti kita cari tau lagi. Sekarang lebih baik Mas antar kamu pulang dulu, baru setelah itu Mas kembali kerja. Kalau ada apa-apa, ingat kamu harus hubungi mas, ok!""Iya, Mas." Aku menjawab patuh.Saat aku turun dari motor mas Gibran, aku bertemu Dvina yang terlihat baru keluar dari dalam rumahnya. Lagi-lagi Devina memandang baby Aydan dengan tatapan yang menurutku aneh, tapi segera kutepis pemikiran buruk yang mampir ke pemikiranku."Mbak Las, dari mana?" Devina bertanya sambil tersenyum tipis. Namun, aku tahu sesekali dia selalu curi-curi pandang pada baby Aydan dipangkuanku."Habis dari klinik, Vin." Jawabku apa adanya.Aku menangkap raut terkejut dari wajah Devina. Namun, itu hanya sekilas karena Devina sangat apik menyembunyikan ekspresinya itu.Devina kembali mengulas senyuman tipis, "siapa yang sakit, Mbak Las?"Devina ini anak pendiam, mendapati dia bertanya-tanya seperti sekarang membuat aku sedikit aneh dan curiga. "Oh, gak
Kini kami berempat sudah duduk di atas sopa. Tidak, lebih tepatnya kami bertiga karena mas Gibran memilih duduk di lengan kursi tunggal yang aku duduki sambil sebelah tangannya bertengger di pundaku."Jadi ada urusan apa mamah datang ke sini?" Tanpa menunggu lama mas Gibran langsung menanyai tujuan mamah menemuinya. Sebenarnya aku yakin mas Gibran sudah mengetahui tujuan mamah datang ke sini, hanya saja mungkin mas Gibran cuma ingin basa basi saja."Menemui kamu lah, memangnya apa lagi?" Mamah menjawab agak ketus. Mamah melirik tangan mas Gibran di pubdakku, lalu melengoskan wajah seperti tidak rela tangan anaknya ini bersentuhan dengan tubuhku.Mas Gibran melirik Fika yang duduk di samping mamah, "lalu ngapain dia di sini?"Berbanding terbalik saat mamah melihatku dengan jutek, waktu mamah memnoleh ke arah Fika, wajahnya berubah bersinar seolah Fika ini calon menantu idaman semua mertua. "Mamah ingin memperkenalkannya pada kamu. Namanya Fika Anindita. Kamu bisa lihat orangnya cantik
Devina langsung menoleh terkejut ke arahku. Dengan tergesa-gesa dia melepas puting payudaranya dari mulut baby Aydan. Baby Aydan langsung menangis, mungkin karena belum kenyang menyusu. Dengan gesit aku berlari mengejar Devina yang hendak kabur. Untung saja aku sudah mengunci pintu kamar ini sesuai arahan mas Gibran, kalau tidak Devina pasti sudah melarikan diri."Ternyata benar kecurigaan Mbak selama ini, kalau kamu adalah ibu kandungnya baby Aydan. Sekarang kamu bisa menjelaskan apa mengenai hal ini, Vina?"Langsung saja aku todong dia dengan pertanyaan. Tidak akan kubiarkan Devina lolos begitu saja. Aku akan meminta kejelasan atas perbuatannya. Sebelum aku dapat penjelasannya, maka Devina akan tetap aku tahan.Devina sangat gelisah terlihat dari gerakaan tangannya yang terus berusaha melepaskan diri. Bukan Lastri namaku kalau mengalah begitu saja. Langsung saja kueratkakn genggaman tanganku pada pergelangan tangan Devina hingga membuat Devina meringis kesakitan. "Mau mencoba kabu
"Mbak Las, gimana ini. Ibu tahu akau ada di rimahnya Mbak Las, padahal aku sudah pergi seapik mungkin agar ibu tidak mengetahuinya. Mbak Las, tolong aku!" Devina memohon-mohon supaya aku membantunya. "Kamu yang tenang, Vina! Biar Mbak yang buka pintu, kamu jangan panik dulu!." Aku menenangkan Devina yang sudah menangis ketakutan.Setelah mendapat anggukan dari Devina, bergegas aku membuka kunci kamar. Setelah menarik napas, kubuka pintu depan rumahku. "Ada apa Bu Yulis gedor-gedor pintu aku?" Aku bertanya seolah tidak tahu tujuan bu Yulis datang ke rumahnya untuk mencari Devina.Bu Yulis curi-curi pandang ke dalam rumahku. Namun, secepatnya aku menutupi pandangan bu Yulis. Bu Yulis mencebikan bibir kesal, "Vina ada di rumah kamu, bukan?""Ada apa emangnya bu Yulis cari Vina?" Aku memasang senyum polos dan ramah. Bu Yulis menatapku sinis. "Sudah deh, kamu gak usah sok baik gini. Aku sudah tahu kalau anaku Vina ada di rumah kamu. Bisa-bisanya kamu deketin anak saya, pasti buat disuruh
Kualihkan pandanganku pada laki-laki yang dari tadi diam menyimak pembicaraanku dengan Fika. Terlihat Fika mulai memaang sikap waspda. "Ngomong-ngomong, Mas ini siapanya Fika?""Saya Calon Suaminya Fika."Kubulatkan bibir sambil perlahan menggulirkan tatapan ke arah Fika yang sudah diam membeku.***"Calon suami? Bukankah kamu masih sendiri?" Tanyaku pada Fika.Fika makin gelagapan saat laki-laki yang mengaku calon suaminya ini menatap tajam Fika. Kelihatan sekali Fika ini memaksakan senyum saat menatap balik laki-laki ini. "Dia memang belum tahu kalau kita mau nikah, Mas Ferdi.""Oh, begitu." Raut laki-laki yang bernama Ferdi ini mulai melembut kembali."Sudah Mas, ayo kita pergi." Tanpa persetujuan Ferdi, Fika langsung menyeretnya pergi meninggalkan aku yang menyeringai di belakang. Samar kudengar perseturuan antara dua sejoli itu. Namun, karena jaraknya sudah mulai jauh, aku tidak jelas mendengarnya. Hanya Ferdi yang sesekali melirikku dan Fika yang terus memasang wajah memelas.K
Mamah berdiri diikuti Fika, aku, dan mas Gibran. Saat ini tatapan mamah begitu tajam saat melihat Fika. Dan, PlakSatu tamparan mendarat mulus di pipi Fika.Aku dan mas Gibran saling pandang dan berbicara lewat mata seakan saling berbicara dengan ungkapan. Kami sama-sama meringis seakan merasakan nyerinya tamparan yang Fika dapat dari mamah."Kamu berani bohongin saya?" Mamah meraung marah. Mungkin karena teramat kesal telah dibohongi, mamah menyeret Fika ke luar rumah dan membantingnya hingga jatuh di teras rumahku."Tante, itu semua bohong. Pasti foto itu editan." Fika masih berkelit. Dia enggan mengakui kesalahannya. Aku jadi ingin tahu, sebenarnya kenapa Fika sampai rela berlutut begitu demi meyakinkan mamah? Apa yang Fika harapkan? Padahal dia sudah mempunyai calon suami."Mah, sudah! Malu sama orang-orang yang pada lihatin. Tahan emosi mamah!" Mas Gibran buru-buru menghentikan mamah yang kembali akan mendorong Fika yang saat ini tengah berlutut sambil memegangi kaki mamah.M
"Vina, sebelumnya Mbak minta maaf kalau membahas ini lagi, tapi saat Mbak dan mas Gibran tadi bermusyawarah, kami memutuska untuk kembali menanyakan apakah Vina mau kembai meminta pertanggung jawaban pada Aryo?"Aku menambahkan, "kalau Vina mau tahu, sebenranya bu Yulis sudah mengetahui selama ini mengenai kehamilan Vina."Mata bulat Devina melebar terkejut. "APA?"***Aku mengangguk membenarkan, "bu Yulis memang sudah mengetahuinya. Kamu ingat saat bu Yulis datang ke rumah Mbak?"Devina mengangguk."Itu karena bu Yulis tahu kamu masuk diam-diam ke ruamah Mbak untuk menemui baby Aydan. Mungkin saat itu rencananya bu Yulis ingin melihat kamu. Namun, entah karena di kamar ini ada Mbak atau ada hal yang lainnya, bu Yulis cepat-cepat ke luar kembali. Akhirnya bu Yulis memanggil-manggil kamu untuk menyuruh kamu keluar."Aku menambahkan, "coba, kalau bukan karena bu Yulis sudah tahu kamu ada di kamar Mbak, tidak mungkin kan ucapan Mbak kemarin yang lumayan bernada tinggi sampai terdengar ke