Beranda / Rumah Tangga / Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku / Bab 3. Membungkam CCTV tetangga dengan elegan

Share

Bab 3. Membungkam CCTV tetangga dengan elegan

Penulis: Irna flo
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-21 15:35:42

Saat ini aku lagi menjemur baby Aydan di bawah sinar matahari. Para tetangga yang kebetulan rumahnya berdampingan dengan rumahku terang-terangan melihatku dengan pandangan memgejek sekaligus hina. 

"Lihat si Lastri! Dia kan gak hamil-hamil, eh kesenangan nemu bayi di depan pintu ruamhnya. Walaupun itu bayi sudah bisa dipastikan bayi haram, tapi mau-mau aja dia ngerawatnya.  Apa gak takut kena sial, dia?"

Aku yang tengah mendunduk memandang baby Aydan dalam pangkuanku mendengar jelas suara bu Yulis tetanggaku, ibunya Vina. Namun, aku tetap acuh seolah tidak mendengar ucapannya.

"Memangnya itu anak haram?"

Terdengar bu Gina tukang pamer perhiasan ikut nimbrung akan pertanyaan sok tahunya bu Yulis.

"Ya ampun, emangnya ada gitu bayi yang masih merah dengan sengaja dibuang oleh orang tuanya kalau itu bukan anak haram. Sudah jelas kali bu Gina." Bu Yulis menjawab pertanyaan bu Gina. 

Aku tahu, suaranya sengaja di tinggikan bair aku mendengar acara gibahnya. Namun, aku tetap berusaha tidak terpancing oleh ucapan-ucapan mereka. Aku memfokuskan diri pada baby Aydan dan mengajaknya berbicara.

"Kalau saya, sudah kumasuakan ke panti asuhan itu bayi. Tak sudi saya merawatnya! Ibunya saja sudah membuangnya, kenapa saya mau-mau saja merawat bayi itu."

Aku menghembuskan napas perlahan berusaha untuk tetap sabar. Ternyata tidak enak juga di katain terang-terangan begini. Mana buakan hanya bu Gina saja yang mendengar. Namun, termasuk mamah mertuku sekaligus.

Dari ekor mataku, aku dapat melihat mamah duduk tak nyaman di samling bu Gina. Pancamaran matanya memandangku tak puas, terkesan memusuhi. Mungkin mamah memang benar-benar tidak setuju aku dan mas Gibran merawat baby Aydan, tapi mau bagaimana lagi, baby Aydan sekarang sudah sepenuhnya tanggung jawab aku dan mas Gibran. 

"Nah, bu Marisa. Gimana tuh menatunya kok dibiarin sih ngurus anak gak jelas gitu? Kalau memang tidak bisa hamil, kan bisa ngangkat anak saudara. Kenapa harus anak kayak begitu?" 

Kini bu Yulis menatap mamah penuh ejekan, termasuk semua teman mamah juga. Aku hanya bisa terdiam tanpa mau berurusan dengan ibu-ibu arisan itu, karena aku tahu akhirnya akan seperti apa.

Terlihat mamah berdiri, "aku pulang dulu. Tadi lupa belum izin papa-nya Gibran. Duluan ya, ibu-ibu."

Dengan langkah cepat mamah pergi meninggalkan sekumpulan ibu-ibu yang baru selesai arisan itu. Sekepergiannya mamah, ibu-ibu yang semula tidak enak hati membicarakanku dihadapan mamah kini dengan terang-terangan ikut meledekku.

Tidak tahan mendengar hinaan dan ucapan jeleknya, bergegas aku masuk kedalam rumah. Samar-samar aku mendengar suara bu Yulis yang menyebutku 'menyedihkan'. Hati ini rasanya teriris. Namun, aku hanya bisa memendam karena tak mungkin juga bila melepaskan emosi pada mereka semua.

Setelah membuat baby Ayda tidur nyenyak, bergegas ku buka kulkas dan ku keluarkan piding buah kesukaan mas Gibran. Lalu ku hias dengan baik sampai bentuknya indah. Setelah itu aku membawanya ke luar ruamh menghampiri para ibu-ibu yang ternyata masih asyik mengosipkanku.

Mereka serentak memandangku heran saat kuperlihatkan senyuman manis pada mereka dengan puding buah di tanganku. "Inilah hadiah bagi kalian karena telah mengguncingku, karena guncingan kalian berarti pahala amal kebaikan kalian untuku. Terima kasih ya, ibu-ibu."

Ku asongkan puding buah itu pada bu Gina yang duduk paling dekat dengan aku. Karena bu Gina tak kunjung menerima pudingnya, langsung saja kuletakan puding itu di tengah-tengah riungan ibu-ibu arisan.

"Silahkan dinikmati," ucapku diiringi senyuman teramat manis. Setelah itu kutinggalkan mereka yang terbengomg-bengong oleh aksiku barusan.

Saat menutup pintu, aku langsung mengusap dada sabar. Menghadapi CCTV tetangga memang perlu kesabaran extra. Kalau tidak, sudah minta hidup di hutan aku sama mas Gibran.

Tok

Tok

Tok

Aku mengernyit karena pintuku ada yang mengetuk, bukan, tapi leboh tepatnya gedoran. Apa jangan-jangan ibu-ibu itu ingin mengembalikan puding buah yang kuberikan? Namun, saat aku membuka pintu, saat itu pula sebuah tamparan mengenai pipiku. Tanganku terangkat mengusap rasa panas yang langsung menjalar di pipiku. Itu mamah mertuaku, dia menatap aku marah campur benci.

ZTanpa kata mamah langsung masuk dan membanting pintu rumahku, "kenapa kamu tidak sadar juga? Saya tidak menyukaimu dari awal, kenapa masih tidak tahu malu dengan tetap menjadi istri anak saya?"

Napas mamah terengah seretelah mengeluarkan kata penuh kebencian padaku. Lalu mamah melanjutkan, "bukannya kasih saya cucu ini malah mungut anak tidak tahu asal usulnya. Malu, malu saya di bicarain sama teman-teman arisan saya. Kamu bisanya hanya membuatku malu saja. Apa hidupmu tidak sempurna bila tidak menjadi benalu dalam hidup saya?"

Kurapatkan dengan erat kedua bibirku agar tidak keceplosan membalas makian mamah. Untuk menguatkan hati, aku terus mengingat ucapan mas Gibran yang selalu nenangin aku di saat mamah memojokanku. 

"Kenapa diam? Benarkan ucapan saya kalau kamu hanya benalu?" Mamah tersenyum sinis.

Mamah mengedarkan pandangan kesetiap penjuru rumahku. Aku was-was saat melihat mamah berjalan ke arah kamarku dan mas Gibran. Tidak, jangan-jangan mamah mau membawa baby Aydan? Dengan cepat kuikuti langkah mamah menuju kamarku.

"Mamah, mamah mau apa dengan baby Aydan?" tanyaku panik saat melihat mamah sudah membawa baby Aydan ke dalam gendongannya.

Mamah menatapku sinis," minggir! Jangan halangi saya!"

Aku bergeming di ambang pintu sama sekali tidak mau menuruti apa kata mamah. "Letak balik baby Aydan ke atas kasur, kalau tidak mamah akan menyesalinya." Ancamku tak main-main.

Mamah malah tertawa makin lebar seolah ucapanku barusan sama sekali tidak berepek. "Memangnya kamu bisa apa? Selama ini saya maki-maki dan hina, kamu hanya bisa diam saja. Coba buktikan sekarang kamu bisa apa untuk membalas saya!"

"Aku pastikan mamah akan menyesalinya," ucapku balik menantang.

Ini sudah ada 15 menit semenjak mamah datang dan kejutan sebentar lagi akan dimulai.

"Sayang, Lastri."

Aku menyeringai begitu mendengar suara khawatir mas Gibran. Tak lama mas Gibran sampai di depan kamar. Matanya melotot begitu melihat baby Aydan ada di dalam gendongan mamah.

"Gi-gibran?"

Mamah terbata seolah tidak percaya ada mas Gibran sekarang. Saat mamah baru datang, memang aku langsung mengirim watsap pada mas Gibran untuk memberitahukan kalau mamah datang dan nampar aku. Walau terkesan aku ini jahat karena mengadu domba antara anak dan ibu, tapi aku juga tidak bisa diam saja terus diperlakukan buruk oleh orang yang seharusnya memberikan naungan serta contoh yang baik bagiku.

"Mas Gibaran," panggilku. Langsung saja aku menghampiri mas Gibran dan mengeluarkan air mata. Lihat saja, akan kuadukan kelakuan buruk mamah barusan. "Mas, mamah mau bawa baby Aydan pergi."

Mas Gibran makin memelototkan matanya, "mamah mau bawa ke mana baby Aydan?"

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 32. Akhir kisah

    Mendengar ucapan mas Gibran, Mamah diam membeku. Ia mundur satu langkah, mungkin agar dapat melihat wajah Gibran dengan lebih jelas. "Kenapa kamu bicara seperti itu?" "Mamah akan kembali menjodohkan aku dengan perempuan lain 'kan?" Tanya mas Gibran dengan suara yang tertahan amarah. Mas Gibran menggeleng pelan, tertawa lirih penuh luka ke luar dari mulutnya. "Tidak cukup kah dengan apa yang Mamah lakukan sebelumnya hampir membuatku hancur, sekarang Mamah malah lakuin hal ini lagi. Aku capek loh Mah, apa lagi Lastri yang seolah keberadaannya tak kasat mata di pandangan Mamah." "Gibran--,""Aku belum selesai bicara, Mah." Mas Gibran langsung memotong perkataan mamah, "sebelum Mamah menyuruhku untuk menikahi perempuan itu, aku tegaskan tidak akan pernah mau. Suruh mereka pulang!""Gibran, duduk dulu. Ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan." ayah mertua menimpali, dia berdiri dan menarik tangan mas Gibran dengan tak lupa membawaku juga. Setelah duduk di kursi, aku menatap perempuan

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 31. Ketegasan Gibran pada mamah

    Sampai di halaman rumah, aku melihat ayah mertuaku sedang duduk di kursi yang terdapat di luar rumah. Aku menoleh ke arah Mas Gibran sekejap, sebelum kemudian membuka pintu mobil dan turun. "Assalamualaikum Papa," aku menghampiri ayah mertuaku dan langsung menyaliminya. Aku menyingkir tatkala mas Gibran mendekat, gantian menyalimi ayah mertua. "Waalaikumsalam," ayah mertuaku menjawab, pandangannya menyipit penasaran ke arah aku dan mas Gibran. "Dari mana saja kalian? Papa sudah setengah jam menunggu di sini, ada hal penting yang harus dikatakan pada kalian berdua."Aku mengeluarkan kunci dari dalam tas, lalu memasukan pada liang kunci di pintu rumah. Setelah itu aku membuka pintu dan mendorongnya masuk, menatap ayah mertuaku dengan pandangan sopan. "Ayo masuk dulu Papa, tidak enak kalau hal penting itu dibicarakan di luar rumah." "Iya, Pa mari kita bicarakan di dalam." Mas Gibran juga ikut mengajak ayah mertuaku masuk. "Tumben banget Papa datang langsung ke rumah, tanpa mamah pula.

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 30. Positif hamil

    "Sudah siap sayang?" Mas Gibran melongokkan kepalanya dari depan pintu kamar, sedangkan aku sendiri tengah memakai jilbab di depan cermin. Hari ini aku dan mas Gibran akan ke rumah sakit sesuai dengan rencana, memeriksa apakah aku ini benar-benar hamil atau tidak. Ya, semoga saja hasilnya positif. Aku berdiri, mengambil tas di atas meja rias. Sebelum itu aku mengambil ponsel dan dompet, mulai dari sekarang aku tidak ingin kejadian seperti saat di tempat makan waktu terulang kembali. Baby Aydan tidak aku bawa, ia saat ini bermain bersama Devina dan Aryo. Mereka berlibur ke pantai, sengaja membawa baby Aydan karena tahu aku dan mas Gibran hendak ke rumah sakit. "Sudah Mas," aku tersenyum ke arah mas Gibran. Menghampirinya dan menutup pintu kamar. "Semoga hasilnya positif ya, Mas. Aku berharap begitu banyak."Mas Gibran mengusap pipi aku dengan lembut, menciumnya sekilas dengan penuh sayang. Tatapannya begitu lembut, terlihat sama besarnya harapan denganku. Ia mengangguk, lalu menari

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 29. Kisah cinta

    Saat membuka mata, mataku terasa besar dan berat. Semalam sepulang dari restoran, aku menangis dalam pelukan mas Gibran sampai jatuh tertidur. Nayatanya mas Ferdi hanya diam saat aku menyuruh melupakan janji itu, walau aku tahu dia tengah menangis terlihat dari bahunya yang bergetar. Aku menutup mata atas kesedihan mas Ferdi, mau bagaimanapun mas Ferdi adalah orang istimewa di masa laluku. Namun, karena keegoisannya, rumah tanggaku yang sudah kuperjuangkan selama ini hampir saja kandas. "Sudah bangun," mas Gibran datang dari arah pintu. Di tangannya terdapat nampan berisi mangkuk dan se gelas air putih. Aku mengangguk mengiyakan, meumgsut bangun dari baringan menjadi senderan pada tepian ranjang. Aku sedikit mendongak kepala agar bisamelohat Waja mas Gibran, tersenyum tipis saat melihat mas Gibran menatapku teduh sambil menyunggingkan senyuman. "Mas bawa apa?" Aku bertanya sambil menatap mangkuk di atas nampan yang di bawa mas Gibran. Mas Gibran meletakan nampan di atas nakas, la

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 28. Melupakan

    Dan di sinilah sekarang aku bersama mas Gibran, duduk di restoran milik mas Ferdi. Kami memesan ruang khusus privat, di depan aku dan mas Gibran sudah ada mas Ferdi yang memasang wajah datar. Aku menatap lekat wajah mas Ferdi. Memang iya, mas Ferdi ada kemiripan wajah dengan teman lamaku itu. Hanya saja siapa yang akan percaya laki-laki kurus kecil dulu bisa berubah menjadi tinggi dan memiliki badan kekar begini. Jadi pantas bukan kalau aku tidak mengenalinya? "Mas Ferdi," aku memanggil pelan. Mas Ferdi balik menatap aku. "Ya.""Adinab," ucapku dengan serak. Terasa tangan mas Gibran yang berada di bawah meja menggenggam tanganku dengan erat. Begitu aku menyebut nama laki-laki yang dulu menjadi teman dekatku, raut wajah mas Ferdi beriak. "Itu kan nama mas Ferdi dulu?"Mas Ferdi menatap mas Gibran sekilas, sebelum kemudian menatap aku kembali. "Ya, itu memang namaku. Ferdi Adinab Jaya. Kamu mengingatnya karena saya sebelumnya sudah mengingatkanmu bukan?" Aku mengangguk membenarkan,

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 27. Janji di masa lalu

    Mas Gibran mulai menjalankan mobil, meninggalkan taman dengan wajah keruh. Sampai di rumah pun aku tetap diam, sebab jujur saja hati ini masih meragu tentang siapa itu mas Ferdi.Mas Gibran menoleh ke arahku setelah mobil berhenti di halaman rumah. Pancaran matanya penuh tuntutan, aku tau ia menginginkan penjelasan yang harus ke luar dari dalam mulutku. "Lastri," mas Gibran menunggu jawaban. Aku menatap ke arah mas Gibran, tersenyum tipis karena merasa tidak enak. "kita bicara di dalam ya Mas, kalau di dalam mobil seperti ini takutnya banyak mata yang melihat dan banyak telinga yang sengaja mendengar."Mas Gibran menghembuskan napas dengan kasar, mengangguk walau aku tahu ia melakukan itu sangat berat. Melihat mas Gibran sudah turun dari dalam mobil, aku pun ikut turun menyusulnya. Kami berdua masuk ke dalam rumah, duduk di kursi tamu saling berdampingan. "Sekarang coba kamu jelaskan dengan sejujurnya!" Mas Gibran memegang tanganku dengan erat. Sorot matanya begitu sayu, membuatku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status