Share

Bab 3. Membungkam CCTV tetangga dengan elegan

Saat ini aku lagi menjemur baby Aydan di bawah sinar matahari. Para tetangga yang kebetulan rumahnya berdampingan dengan rumahku terang-terangan melihatku dengan pandangan memgejek sekaligus hina. 

"Lihat si Lastri! Dia kan gak hamil-hamil, eh kesenangan nemu bayi di depan pintu ruamhnya. Walaupun itu bayi sudah bisa dipastikan bayi haram, tapi mau-mau aja dia ngerawatnya.  Apa gak takut kena sial, dia?"

Aku yang tengah mendunduk memandang baby Aydan dalam pangkuanku mendengar jelas suara bu Yulis tetanggaku, ibunya Vina. Namun, aku tetap acuh seolah tidak mendengar ucapannya.

"Memangnya itu anak haram?"

Terdengar bu Gina tukang pamer perhiasan ikut nimbrung akan pertanyaan sok tahunya bu Yulis.

"Ya ampun, emangnya ada gitu bayi yang masih merah dengan sengaja dibuang oleh orang tuanya kalau itu bukan anak haram. Sudah jelas kali bu Gina." Bu Yulis menjawab pertanyaan bu Gina. 

Aku tahu, suaranya sengaja di tinggikan bair aku mendengar acara gibahnya. Namun, aku tetap berusaha tidak terpancing oleh ucapan-ucapan mereka. Aku memfokuskan diri pada baby Aydan dan mengajaknya berbicara.

"Kalau saya, sudah kumasuakan ke panti asuhan itu bayi. Tak sudi saya merawatnya! Ibunya saja sudah membuangnya, kenapa saya mau-mau saja merawat bayi itu."

Aku menghembuskan napas perlahan berusaha untuk tetap sabar. Ternyata tidak enak juga di katain terang-terangan begini. Mana buakan hanya bu Gina saja yang mendengar. Namun, termasuk mamah mertuku sekaligus.

Dari ekor mataku, aku dapat melihat mamah duduk tak nyaman di samling bu Gina. Pancamaran matanya memandangku tak puas, terkesan memusuhi. Mungkin mamah memang benar-benar tidak setuju aku dan mas Gibran merawat baby Aydan, tapi mau bagaimana lagi, baby Aydan sekarang sudah sepenuhnya tanggung jawab aku dan mas Gibran. 

"Nah, bu Marisa. Gimana tuh menatunya kok dibiarin sih ngurus anak gak jelas gitu? Kalau memang tidak bisa hamil, kan bisa ngangkat anak saudara. Kenapa harus anak kayak begitu?" 

Kini bu Yulis menatap mamah penuh ejekan, termasuk semua teman mamah juga. Aku hanya bisa terdiam tanpa mau berurusan dengan ibu-ibu arisan itu, karena aku tahu akhirnya akan seperti apa.

Terlihat mamah berdiri, "aku pulang dulu. Tadi lupa belum izin papa-nya Gibran. Duluan ya, ibu-ibu."

Dengan langkah cepat mamah pergi meninggalkan sekumpulan ibu-ibu yang baru selesai arisan itu. Sekepergiannya mamah, ibu-ibu yang semula tidak enak hati membicarakanku dihadapan mamah kini dengan terang-terangan ikut meledekku.

Tidak tahan mendengar hinaan dan ucapan jeleknya, bergegas aku masuk kedalam rumah. Samar-samar aku mendengar suara bu Yulis yang menyebutku 'menyedihkan'. Hati ini rasanya teriris. Namun, aku hanya bisa memendam karena tak mungkin juga bila melepaskan emosi pada mereka semua.

Setelah membuat baby Ayda tidur nyenyak, bergegas ku buka kulkas dan ku keluarkan piding buah kesukaan mas Gibran. Lalu ku hias dengan baik sampai bentuknya indah. Setelah itu aku membawanya ke luar ruamh menghampiri para ibu-ibu yang ternyata masih asyik mengosipkanku.

Mereka serentak memandangku heran saat kuperlihatkan senyuman manis pada mereka dengan puding buah di tanganku. "Inilah hadiah bagi kalian karena telah mengguncingku, karena guncingan kalian berarti pahala amal kebaikan kalian untuku. Terima kasih ya, ibu-ibu."

Ku asongkan puding buah itu pada bu Gina yang duduk paling dekat dengan aku. Karena bu Gina tak kunjung menerima pudingnya, langsung saja kuletakan puding itu di tengah-tengah riungan ibu-ibu arisan.

"Silahkan dinikmati," ucapku diiringi senyuman teramat manis. Setelah itu kutinggalkan mereka yang terbengomg-bengong oleh aksiku barusan.

Saat menutup pintu, aku langsung mengusap dada sabar. Menghadapi CCTV tetangga memang perlu kesabaran extra. Kalau tidak, sudah minta hidup di hutan aku sama mas Gibran.

Tok

Tok

Tok

Aku mengernyit karena pintuku ada yang mengetuk, bukan, tapi leboh tepatnya gedoran. Apa jangan-jangan ibu-ibu itu ingin mengembalikan puding buah yang kuberikan? Namun, saat aku membuka pintu, saat itu pula sebuah tamparan mengenai pipiku. Tanganku terangkat mengusap rasa panas yang langsung menjalar di pipiku. Itu mamah mertuaku, dia menatap aku marah campur benci.

ZTanpa kata mamah langsung masuk dan membanting pintu rumahku, "kenapa kamu tidak sadar juga? Saya tidak menyukaimu dari awal, kenapa masih tidak tahu malu dengan tetap menjadi istri anak saya?"

Napas mamah terengah seretelah mengeluarkan kata penuh kebencian padaku. Lalu mamah melanjutkan, "bukannya kasih saya cucu ini malah mungut anak tidak tahu asal usulnya. Malu, malu saya di bicarain sama teman-teman arisan saya. Kamu bisanya hanya membuatku malu saja. Apa hidupmu tidak sempurna bila tidak menjadi benalu dalam hidup saya?"

Kurapatkan dengan erat kedua bibirku agar tidak keceplosan membalas makian mamah. Untuk menguatkan hati, aku terus mengingat ucapan mas Gibran yang selalu nenangin aku di saat mamah memojokanku. 

"Kenapa diam? Benarkan ucapan saya kalau kamu hanya benalu?" Mamah tersenyum sinis.

Mamah mengedarkan pandangan kesetiap penjuru rumahku. Aku was-was saat melihat mamah berjalan ke arah kamarku dan mas Gibran. Tidak, jangan-jangan mamah mau membawa baby Aydan? Dengan cepat kuikuti langkah mamah menuju kamarku.

"Mamah, mamah mau apa dengan baby Aydan?" tanyaku panik saat melihat mamah sudah membawa baby Aydan ke dalam gendongannya.

Mamah menatapku sinis," minggir! Jangan halangi saya!"

Aku bergeming di ambang pintu sama sekali tidak mau menuruti apa kata mamah. "Letak balik baby Aydan ke atas kasur, kalau tidak mamah akan menyesalinya." Ancamku tak main-main.

Mamah malah tertawa makin lebar seolah ucapanku barusan sama sekali tidak berepek. "Memangnya kamu bisa apa? Selama ini saya maki-maki dan hina, kamu hanya bisa diam saja. Coba buktikan sekarang kamu bisa apa untuk membalas saya!"

"Aku pastikan mamah akan menyesalinya," ucapku balik menantang.

Ini sudah ada 15 menit semenjak mamah datang dan kejutan sebentar lagi akan dimulai.

"Sayang, Lastri."

Aku menyeringai begitu mendengar suara khawatir mas Gibran. Tak lama mas Gibran sampai di depan kamar. Matanya melotot begitu melihat baby Aydan ada di dalam gendongan mamah.

"Gi-gibran?"

Mamah terbata seolah tidak percaya ada mas Gibran sekarang. Saat mamah baru datang, memang aku langsung mengirim watsap pada mas Gibran untuk memberitahukan kalau mamah datang dan nampar aku. Walau terkesan aku ini jahat karena mengadu domba antara anak dan ibu, tapi aku juga tidak bisa diam saja terus diperlakukan buruk oleh orang yang seharusnya memberikan naungan serta contoh yang baik bagiku.

"Mas Gibaran," panggilku. Langsung saja aku menghampiri mas Gibran dan mengeluarkan air mata. Lihat saja, akan kuadukan kelakuan buruk mamah barusan. "Mas, mamah mau bawa baby Aydan pergi."

Mas Gibran makin memelototkan matanya, "mamah mau bawa ke mana baby Aydan?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status