Home / Rumah Tangga / Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku / Bab 2. Devina yang mendadak kurus

Share

Bab 2. Devina yang mendadak kurus

Author: Irna flo
last update Last Updated: 2022-09-21 15:34:43

Sebenarnya aku juga kepikiran hal yang sama dengan mas Gibran untuk merawat bayi ini. Namun, kalau tidak melaporkannya terlebih dahulu pada pak Rt, takutnya ke depan nanti akan mendapat masalah yang tak terduga.

Kutatap balik mata mas Gibran yang memandangku dengan binar mata cerah, "apa tidak apa-apa, Mas? Soalnya kita belum laporan lada pak Rt." Tanyaku sedikit khawatir.

Mas Gibran menatapku geli, "ya, kita laporan dulu sayang. Setelah laporan kita ajukan pengadopsiannya, baru setelah itu kita menjadi orang tua angkatnya yang sah."

Aku tersenyum dan mengangguk mengerti.

"Bayi ini laki-laki, mau kamu namain siapa?" tanya mas Gibran kepadaku.

Aku tersenyum dan ikut memandang bayi putih menggemaskan dalam gendongan suamiku. Setelah melihatnya lamat-lamta, satu nama melintas dipikiranku. "Bagaimana kalau 'Aydan Atthallah. Aydan memiliki arti pemuda yang penuh semangat, sedangkan Atthallah berati hadiah atau karunia Allah. Bagaimana, Mas?"

Mas Gibran memandangku lembut, "itu nama yang bagus. Berarti nama itu menjadi bukti rasa syukur kita atas kehadiran putra kecil ini sekaligus harapan agar anak ini selalu memiliki semangat untuk menjalankan hidupnya."

Kedua sudut bibirku makin tertarik lebar, "benar, Mas."

"Ayo, kita bersihkan bayi ini karena sepertinya belum dibersihkan!"

Aku mengikuti mas Gibran dari belakang sekaligus membawa kardus bekas tempat menampung bayi tak berdosa itu, lalu membuangnya pada tong sampah. Setelah itu baru kususul mas Gibran ke kamr mandi.

Diam-diam aku tersenyum bangga pada suamiku. Walaupun dia baru pertama kali menggendong bayi. Namun, usahanya begitu gigih dalam memandikan baby Aydan dengan cara menonton turorial dari youtube. Karena kasihan, aku ikut berjongkok di depan mas Gibran untuk membantu membersihkan bayi rapuh ini.

Setelah baby Aydan selesai dimandikan, aku mendapat bagian menggendongnya sekarang. Namun, masalah datang lagi, kami tidak punya baju bayi yang bisa dipakaikan pada baby Aydan.

"Kita potong selimut yang agak tipis ini saja ya, sayang?" Mas Gibran menatapku meminta persetujuan.

"Iya, Mas. Potong saja, lagipula baby Aydan lebih butuh."

Kini baby Aydan sudah rapi dengan bedong dari selimut tipis sehingga tidak akan membuatnya kepanasan atau kedinginan. Ku alihkan pandangan mata dari bayi menggemaskan ini pada mas Gibran yang terlihat menelpon seseorang. 

"Mas sudah izin cuti hari ini, jadi kita bisa beli kebutuhan baby Aydan setelah laporan nanti pada pak Rt." Mas Gibran datang menghampiriku.

"Kayaknya ini sudah siang, apa tidak lebih baik kita ke rumah pak Rt-nya sekarang saja, Mas?" Ucapku mengemukakan pendapat saat kulihat cuaca di luar yang sudah terang dengan sinar matahari pagi menyorot hangat.

"Kalau begitu ayo kita siap-siap!"

Kami berangkat ke rumah pak Rt dan menceritakan tentang penemuan baby Aydan di depan pintu rumah serta niat kami untuk mengadopsinya. Setelah itu barulah kami pergi ke toko yang khusus menjual perlengkapan bayi serta susu formulanya.

Saat kami melewati rumah Bu Yulis, tetangga sebelah rumah, kami bertemu dengan Devina anak bu Yulis yang pendiam. Namun, kali ini aku melihat tatapan tak biasa Devina saat melihat baby Aydan dalam gendonganku. 

Cara memandang Devina pada baby Aydan nampak terlihat mencurigakan di mataku. Namun, aku berusaha cuek untuk mengusir buruk sangka dalam hatiku karena aku tahu itu tidak baik.

"Eh, vina. Tidak sekolah?" tanyaku berusaha seramah mungkin dan menepis jauh pikuran konyol dalam otaku.

Terlihat Devina tersentak saat aku menyapanya. Dengan senyuman tipis Devina mengangguk, "iya, Mbak Las. Vina sakit, jadi gak masuk dulu."

Kulihat wajahnya memang pucat dan badannya kurusan banget, padahal dua  hari ke belakang aku masih melihat Devina ini gendut. Apa mungkin ada ya orang yang sakit dua hari bisa langsung kurus begini? Ah, entahlah.

"Semoga cepat sembuh Vina, Mbak masuk dulu." ucapku sambil mengangguk sebagai tanda permisi yang langsung dibalas sama oleh Devina.

Kulihat mas Gibran yang jalan di sampingku mengernyitkan dahi. Entah apa yang dipikirkannya, karena mas Gibran memang sering terlihat begitu.

"Sudah kamu beri susu baby Aydannya?" 

Mas Gibran menanyaiku yang baru duduk di sampingnya. Barusan memang aku baru memberi baby Aydan susu formula. Berhubung baby Aydan langsung tidur setelah menyusu, jadi aku tinggal untuk menemani mas Gibran yang sedang santai menontin TV ditemani keripik di atas meja.

"Sudah, Mas. Sekarang baby Aydan nya lagi tidur." Jawabku atas pertanyaan mas Gobran barusan. Lalu kuhempaskan tubuhku di samping mas Gibaran.

Mengingat sesuatu, aku memandang mas Gibran dengan raut bertanya. "Apa Mas sudah mengabari mamah dan papa tentang kita yang mengadopsi baby Aydan?"

Mas Gibean yang tengah memasukan keripik ke dalam mulutnya sontak berhenti sebentar sebelum kemudian melanjutkannya lagi. Setelah keripik dalam mulutnya habis, mas Gibran memandangku. "Sudah."

"Apa katanya?" ucapku penasaran.

Terlihat mas Gibran menghela napas berat sebelum kemudian pandangan matanya meredup, "mamah tidak mengizinkan."

Aku pun sama meredupkan pandangan mata saat menatap mas Gibran. Namun, saat ku pandang lagi lamat-lamat wajah mas Gibran, saat itu aku tahu ada yang disembunyikannya dariku. " wajah Ms terlihat gelisah, ada apa? Apa mamah mengatakan sesuatu lagi?"

"Tidak ada," mas Gibran menjawab cepat. Malah terlalu cepat membuatku makin menyipitkan mata tak percaya.

Mas Gibran memghembuskan napas pasarah, "baiklah, mamah juga mengatakan supaya Mas menikah lagi kalau benar-benar tidak mau menceraikanmu."

Aku menatap mas Gibrab tak percaya. Terlihat mas Gibran juga menatap aku dengan pandangan rasa bersalah. "Apa Mas menyetujuinya?"

"Tentu saja tidak! Bagi Mas, kamu hanya satu-satunya wanita yang akan menjadi istri, Mas. Tidak peduli kamu mandul atau tidak, yang terpenting bagi Mas hanya kamu, dirimu, dan bukan orang lain. Paham!" mas Gibran menatapku lekat. Ada pancaran kesungguhan dalam bola matanya.

"Iya, Mas." Aku menjawab pelan.

Mas Gibaran membawaku ke dalam pelukannya, lalu menyandarkan kepalaku di dada bidangnya.

"Oh, ya sayang. Kenapa Mas merasa ada yang aneh dengan vina? Setahu Mas, gaada penyakit yang dapat membuat tubuh orang kurus dalam beberapa hari. Secanggih-canggihnya alat atau semanjur-manjurnya obat, tidak ada yang dapat menurunkan berat badan hanya dalam itungan hari. Tapi kenapa Vina bisa kurus begitu, ya?"

Aku tertawa pelan dalam dekapan hangat mas Gibran, "ada-ada aja mas ini. Emang gak ada yang gitu, kok. Mungkin selama ini kita saja yang salah lihat. Nyangkanya vina itu gendut, padahal selama ini kurus karena memang badannya tidak terlihat. Vina selalu memakai jaket tebal ke mana-mana, jadi mana bisa kita menyimpulkan dengan sendirinya." ucapku berusaha senatural mungkin. Padahal aku juga sepemikiran dengan mas Gibran. Namun, aku tidak mau berprasangka buruk dulu sebelum menemukan bukti kuat.

Mas Gibran ikut tertawa, "padahal tadi Mas nyangkanya Vina sebelum dua hari ini hamil."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 32. Akhir kisah

    Mendengar ucapan mas Gibran, Mamah diam membeku. Ia mundur satu langkah, mungkin agar dapat melihat wajah Gibran dengan lebih jelas. "Kenapa kamu bicara seperti itu?" "Mamah akan kembali menjodohkan aku dengan perempuan lain 'kan?" Tanya mas Gibran dengan suara yang tertahan amarah. Mas Gibran menggeleng pelan, tertawa lirih penuh luka ke luar dari mulutnya. "Tidak cukup kah dengan apa yang Mamah lakukan sebelumnya hampir membuatku hancur, sekarang Mamah malah lakuin hal ini lagi. Aku capek loh Mah, apa lagi Lastri yang seolah keberadaannya tak kasat mata di pandangan Mamah." "Gibran--,""Aku belum selesai bicara, Mah." Mas Gibran langsung memotong perkataan mamah, "sebelum Mamah menyuruhku untuk menikahi perempuan itu, aku tegaskan tidak akan pernah mau. Suruh mereka pulang!""Gibran, duduk dulu. Ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan." ayah mertua menimpali, dia berdiri dan menarik tangan mas Gibran dengan tak lupa membawaku juga. Setelah duduk di kursi, aku menatap perempuan

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 31. Ketegasan Gibran pada mamah

    Sampai di halaman rumah, aku melihat ayah mertuaku sedang duduk di kursi yang terdapat di luar rumah. Aku menoleh ke arah Mas Gibran sekejap, sebelum kemudian membuka pintu mobil dan turun. "Assalamualaikum Papa," aku menghampiri ayah mertuaku dan langsung menyaliminya. Aku menyingkir tatkala mas Gibran mendekat, gantian menyalimi ayah mertua. "Waalaikumsalam," ayah mertuaku menjawab, pandangannya menyipit penasaran ke arah aku dan mas Gibran. "Dari mana saja kalian? Papa sudah setengah jam menunggu di sini, ada hal penting yang harus dikatakan pada kalian berdua."Aku mengeluarkan kunci dari dalam tas, lalu memasukan pada liang kunci di pintu rumah. Setelah itu aku membuka pintu dan mendorongnya masuk, menatap ayah mertuaku dengan pandangan sopan. "Ayo masuk dulu Papa, tidak enak kalau hal penting itu dibicarakan di luar rumah." "Iya, Pa mari kita bicarakan di dalam." Mas Gibran juga ikut mengajak ayah mertuaku masuk. "Tumben banget Papa datang langsung ke rumah, tanpa mamah pula.

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 30. Positif hamil

    "Sudah siap sayang?" Mas Gibran melongokkan kepalanya dari depan pintu kamar, sedangkan aku sendiri tengah memakai jilbab di depan cermin. Hari ini aku dan mas Gibran akan ke rumah sakit sesuai dengan rencana, memeriksa apakah aku ini benar-benar hamil atau tidak. Ya, semoga saja hasilnya positif. Aku berdiri, mengambil tas di atas meja rias. Sebelum itu aku mengambil ponsel dan dompet, mulai dari sekarang aku tidak ingin kejadian seperti saat di tempat makan waktu terulang kembali. Baby Aydan tidak aku bawa, ia saat ini bermain bersama Devina dan Aryo. Mereka berlibur ke pantai, sengaja membawa baby Aydan karena tahu aku dan mas Gibran hendak ke rumah sakit. "Sudah Mas," aku tersenyum ke arah mas Gibran. Menghampirinya dan menutup pintu kamar. "Semoga hasilnya positif ya, Mas. Aku berharap begitu banyak."Mas Gibran mengusap pipi aku dengan lembut, menciumnya sekilas dengan penuh sayang. Tatapannya begitu lembut, terlihat sama besarnya harapan denganku. Ia mengangguk, lalu menari

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 29. Kisah cinta

    Saat membuka mata, mataku terasa besar dan berat. Semalam sepulang dari restoran, aku menangis dalam pelukan mas Gibran sampai jatuh tertidur. Nayatanya mas Ferdi hanya diam saat aku menyuruh melupakan janji itu, walau aku tahu dia tengah menangis terlihat dari bahunya yang bergetar. Aku menutup mata atas kesedihan mas Ferdi, mau bagaimanapun mas Ferdi adalah orang istimewa di masa laluku. Namun, karena keegoisannya, rumah tanggaku yang sudah kuperjuangkan selama ini hampir saja kandas. "Sudah bangun," mas Gibran datang dari arah pintu. Di tangannya terdapat nampan berisi mangkuk dan se gelas air putih. Aku mengangguk mengiyakan, meumgsut bangun dari baringan menjadi senderan pada tepian ranjang. Aku sedikit mendongak kepala agar bisamelohat Waja mas Gibran, tersenyum tipis saat melihat mas Gibran menatapku teduh sambil menyunggingkan senyuman. "Mas bawa apa?" Aku bertanya sambil menatap mangkuk di atas nampan yang di bawa mas Gibran. Mas Gibran meletakan nampan di atas nakas, la

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 28. Melupakan

    Dan di sinilah sekarang aku bersama mas Gibran, duduk di restoran milik mas Ferdi. Kami memesan ruang khusus privat, di depan aku dan mas Gibran sudah ada mas Ferdi yang memasang wajah datar. Aku menatap lekat wajah mas Ferdi. Memang iya, mas Ferdi ada kemiripan wajah dengan teman lamaku itu. Hanya saja siapa yang akan percaya laki-laki kurus kecil dulu bisa berubah menjadi tinggi dan memiliki badan kekar begini. Jadi pantas bukan kalau aku tidak mengenalinya? "Mas Ferdi," aku memanggil pelan. Mas Ferdi balik menatap aku. "Ya.""Adinab," ucapku dengan serak. Terasa tangan mas Gibran yang berada di bawah meja menggenggam tanganku dengan erat. Begitu aku menyebut nama laki-laki yang dulu menjadi teman dekatku, raut wajah mas Ferdi beriak. "Itu kan nama mas Ferdi dulu?"Mas Ferdi menatap mas Gibran sekilas, sebelum kemudian menatap aku kembali. "Ya, itu memang namaku. Ferdi Adinab Jaya. Kamu mengingatnya karena saya sebelumnya sudah mengingatkanmu bukan?" Aku mengangguk membenarkan,

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 27. Janji di masa lalu

    Mas Gibran mulai menjalankan mobil, meninggalkan taman dengan wajah keruh. Sampai di rumah pun aku tetap diam, sebab jujur saja hati ini masih meragu tentang siapa itu mas Ferdi.Mas Gibran menoleh ke arahku setelah mobil berhenti di halaman rumah. Pancaran matanya penuh tuntutan, aku tau ia menginginkan penjelasan yang harus ke luar dari dalam mulutku. "Lastri," mas Gibran menunggu jawaban. Aku menatap ke arah mas Gibran, tersenyum tipis karena merasa tidak enak. "kita bicara di dalam ya Mas, kalau di dalam mobil seperti ini takutnya banyak mata yang melihat dan banyak telinga yang sengaja mendengar."Mas Gibran menghembuskan napas dengan kasar, mengangguk walau aku tahu ia melakukan itu sangat berat. Melihat mas Gibran sudah turun dari dalam mobil, aku pun ikut turun menyusulnya. Kami berdua masuk ke dalam rumah, duduk di kursi tamu saling berdampingan. "Sekarang coba kamu jelaskan dengan sejujurnya!" Mas Gibran memegang tanganku dengan erat. Sorot matanya begitu sayu, membuatku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status