Sebenarnya aku juga kepikiran hal yang sama dengan mas Gibran untuk merawat bayi ini. Namun, kalau tidak melaporkannya terlebih dahulu pada pak Rt, takutnya ke depan nanti akan mendapat masalah yang tak terduga.
Kutatap balik mata mas Gibran yang memandangku dengan binar mata cerah, "apa tidak apa-apa, Mas? Soalnya kita belum laporan lada pak Rt." Tanyaku sedikit khawatir.
Mas Gibran menatapku geli, "ya, kita laporan dulu sayang. Setelah laporan kita ajukan pengadopsiannya, baru setelah itu kita menjadi orang tua angkatnya yang sah."
Aku tersenyum dan mengangguk mengerti.
"Bayi ini laki-laki, mau kamu namain siapa?" tanya mas Gibran kepadaku.
Aku tersenyum dan ikut memandang bayi putih menggemaskan dalam gendongan suamiku. Setelah melihatnya lamat-lamta, satu nama melintas dipikiranku. "Bagaimana kalau 'Aydan Atthallah. Aydan memiliki arti pemuda yang penuh semangat, sedangkan Atthallah berati hadiah atau karunia Allah. Bagaimana, Mas?"
Mas Gibran memandangku lembut, "itu nama yang bagus. Berarti nama itu menjadi bukti rasa syukur kita atas kehadiran putra kecil ini sekaligus harapan agar anak ini selalu memiliki semangat untuk menjalankan hidupnya."
Kedua sudut bibirku makin tertarik lebar, "benar, Mas."
"Ayo, kita bersihkan bayi ini karena sepertinya belum dibersihkan!"
Aku mengikuti mas Gibran dari belakang sekaligus membawa kardus bekas tempat menampung bayi tak berdosa itu, lalu membuangnya pada tong sampah. Setelah itu baru kususul mas Gibran ke kamr mandi.
Diam-diam aku tersenyum bangga pada suamiku. Walaupun dia baru pertama kali menggendong bayi. Namun, usahanya begitu gigih dalam memandikan baby Aydan dengan cara menonton turorial dari youtube. Karena kasihan, aku ikut berjongkok di depan mas Gibran untuk membantu membersihkan bayi rapuh ini.
Setelah baby Aydan selesai dimandikan, aku mendapat bagian menggendongnya sekarang. Namun, masalah datang lagi, kami tidak punya baju bayi yang bisa dipakaikan pada baby Aydan.
"Kita potong selimut yang agak tipis ini saja ya, sayang?" Mas Gibran menatapku meminta persetujuan.
"Iya, Mas. Potong saja, lagipula baby Aydan lebih butuh."
Kini baby Aydan sudah rapi dengan bedong dari selimut tipis sehingga tidak akan membuatnya kepanasan atau kedinginan. Ku alihkan pandangan mata dari bayi menggemaskan ini pada mas Gibran yang terlihat menelpon seseorang.
"Mas sudah izin cuti hari ini, jadi kita bisa beli kebutuhan baby Aydan setelah laporan nanti pada pak Rt." Mas Gibran datang menghampiriku.
"Kayaknya ini sudah siang, apa tidak lebih baik kita ke rumah pak Rt-nya sekarang saja, Mas?" Ucapku mengemukakan pendapat saat kulihat cuaca di luar yang sudah terang dengan sinar matahari pagi menyorot hangat.
"Kalau begitu ayo kita siap-siap!"
Kami berangkat ke rumah pak Rt dan menceritakan tentang penemuan baby Aydan di depan pintu rumah serta niat kami untuk mengadopsinya. Setelah itu barulah kami pergi ke toko yang khusus menjual perlengkapan bayi serta susu formulanya.
Saat kami melewati rumah Bu Yulis, tetangga sebelah rumah, kami bertemu dengan Devina anak bu Yulis yang pendiam. Namun, kali ini aku melihat tatapan tak biasa Devina saat melihat baby Aydan dalam gendonganku.
Cara memandang Devina pada baby Aydan nampak terlihat mencurigakan di mataku. Namun, aku berusaha cuek untuk mengusir buruk sangka dalam hatiku karena aku tahu itu tidak baik.
"Eh, vina. Tidak sekolah?" tanyaku berusaha seramah mungkin dan menepis jauh pikuran konyol dalam otaku.
Terlihat Devina tersentak saat aku menyapanya. Dengan senyuman tipis Devina mengangguk, "iya, Mbak Las. Vina sakit, jadi gak masuk dulu."
Kulihat wajahnya memang pucat dan badannya kurusan banget, padahal dua hari ke belakang aku masih melihat Devina ini gendut. Apa mungkin ada ya orang yang sakit dua hari bisa langsung kurus begini? Ah, entahlah.
"Semoga cepat sembuh Vina, Mbak masuk dulu." ucapku sambil mengangguk sebagai tanda permisi yang langsung dibalas sama oleh Devina.
Kulihat mas Gibran yang jalan di sampingku mengernyitkan dahi. Entah apa yang dipikirkannya, karena mas Gibran memang sering terlihat begitu.
"Sudah kamu beri susu baby Aydannya?"
Mas Gibran menanyaiku yang baru duduk di sampingnya. Barusan memang aku baru memberi baby Aydan susu formula. Berhubung baby Aydan langsung tidur setelah menyusu, jadi aku tinggal untuk menemani mas Gibran yang sedang santai menontin TV ditemani keripik di atas meja.
"Sudah, Mas. Sekarang baby Aydan nya lagi tidur." Jawabku atas pertanyaan mas Gobran barusan. Lalu kuhempaskan tubuhku di samping mas Gibaran.
Mengingat sesuatu, aku memandang mas Gibran dengan raut bertanya. "Apa Mas sudah mengabari mamah dan papa tentang kita yang mengadopsi baby Aydan?"
Mas Gibean yang tengah memasukan keripik ke dalam mulutnya sontak berhenti sebentar sebelum kemudian melanjutkannya lagi. Setelah keripik dalam mulutnya habis, mas Gibran memandangku. "Sudah."
"Apa katanya?" ucapku penasaran.
Terlihat mas Gibran menghela napas berat sebelum kemudian pandangan matanya meredup, "mamah tidak mengizinkan."
Aku pun sama meredupkan pandangan mata saat menatap mas Gibran. Namun, saat ku pandang lagi lamat-lamat wajah mas Gibran, saat itu aku tahu ada yang disembunyikannya dariku. " wajah Ms terlihat gelisah, ada apa? Apa mamah mengatakan sesuatu lagi?"
"Tidak ada," mas Gibran menjawab cepat. Malah terlalu cepat membuatku makin menyipitkan mata tak percaya.
Mas Gibran memghembuskan napas pasarah, "baiklah, mamah juga mengatakan supaya Mas menikah lagi kalau benar-benar tidak mau menceraikanmu."
Aku menatap mas Gibrab tak percaya. Terlihat mas Gibran juga menatap aku dengan pandangan rasa bersalah. "Apa Mas menyetujuinya?"
"Tentu saja tidak! Bagi Mas, kamu hanya satu-satunya wanita yang akan menjadi istri, Mas. Tidak peduli kamu mandul atau tidak, yang terpenting bagi Mas hanya kamu, dirimu, dan bukan orang lain. Paham!" mas Gibran menatapku lekat. Ada pancaran kesungguhan dalam bola matanya.
"Iya, Mas." Aku menjawab pelan.
Mas Gibaran membawaku ke dalam pelukannya, lalu menyandarkan kepalaku di dada bidangnya.
"Oh, ya sayang. Kenapa Mas merasa ada yang aneh dengan vina? Setahu Mas, gaada penyakit yang dapat membuat tubuh orang kurus dalam beberapa hari. Secanggih-canggihnya alat atau semanjur-manjurnya obat, tidak ada yang dapat menurunkan berat badan hanya dalam itungan hari. Tapi kenapa Vina bisa kurus begitu, ya?"
Aku tertawa pelan dalam dekapan hangat mas Gibran, "ada-ada aja mas ini. Emang gak ada yang gitu, kok. Mungkin selama ini kita saja yang salah lihat. Nyangkanya vina itu gendut, padahal selama ini kurus karena memang badannya tidak terlihat. Vina selalu memakai jaket tebal ke mana-mana, jadi mana bisa kita menyimpulkan dengan sendirinya." ucapku berusaha senatural mungkin. Padahal aku juga sepemikiran dengan mas Gibran. Namun, aku tidak mau berprasangka buruk dulu sebelum menemukan bukti kuat.
Mas Gibran ikut tertawa, "padahal tadi Mas nyangkanya Vina sebelum dua hari ini hamil."
***
Saat ini aku lagi menjemur baby Aydan di bawah sinar matahari. Para tetangga yang kebetulan rumahnya berdampingan dengan rumahku terang-terangan melihatku dengan pandangan memgejek sekaligus hina. "Lihat si Lastri! Dia kan gak hamil-hamil, eh kesenangan nemu bayi di depan pintu ruamhnya. Walaupun itu bayi sudah bisa dipastikan bayi haram, tapi mau-mau aja dia ngerawatnya. Apa gak takut kena sial, dia?"Aku yang tengah mendunduk memandang baby Aydan dalam pangkuanku mendengar jelas suara bu Yulis tetanggaku, ibunya Vina. Namun, aku tetap acuh seolah tidak mendengar ucapannya."Memangnya itu anak haram?"Terdengar bu Gina tukang pamer perhiasan ikut nimbrung akan pertanyaan sok tahunya bu Yulis."Ya ampun, emangnya ada gitu bayi yang masih merah dengan sengaja dibuang oleh orang tuanya kalau itu bukan anak haram. Sudah jelas kali bu Gina." Bu Yulis menjawab pertanyaan bu Gina. Aku tahu, suaranya sengaja di tinggikan bair aku mendengar acara gibahnya. Namun, aku tetap berusaha tidak t
Mamah terlihat gelisa. Mungkin karena kepalang tanggung ms Gibran memergokinya tengah mau membawa beby Aydan pergi, mamah berkta jujur. "Mamah mau bawa bayi ini ke panti asuhan. Mau mamah berikan pada ibu panti. Kenapa? Kamu mau coba halangin mamah?"Terlihat wajah mas Gibran memerah marah. Giginya bergemulutuk karena beradu satu sama lain. Namun, aku tahu mas Gibran mencoba tidak terpancing dengan ucapan mamah barusan. Aku juga sama marahnya dengan mas Gibran, tapi tentu saja aku harus main cantik untuk menyelamatkan baby Aydan."Mamah, pak Rt sudah mengizinkan kami untuk mengurusnya. Kenapa mamah malah mau mengirim baby Aydan ke panti asuhan?" Ucapku dengan nada tersakiti. Terasa tangan mas Gibran yang melingkari pinggangku mengerat.Mamah mendelik sinis, "ya, biar kalian bisa fokus pada program kehamilan kalian. Kalau ada bayi ini, kapan kalian fokusnya.""Mah, kami pasti program kehamilan, tapi aku mohon sama mamah. Tolong letak balik baby Aydan ke atas kasur. Mamah jangan bawa di
Mas Gibran berhenti melangkah, "Mas gak tau, sayang, nanti kita cari tau lagi. Sekarang lebih baik Mas antar kamu pulang dulu, baru setelah itu Mas kembali kerja. Kalau ada apa-apa, ingat kamu harus hubungi mas, ok!""Iya, Mas." Aku menjawab patuh.Saat aku turun dari motor mas Gibran, aku bertemu Dvina yang terlihat baru keluar dari dalam rumahnya. Lagi-lagi Devina memandang baby Aydan dengan tatapan yang menurutku aneh, tapi segera kutepis pemikiran buruk yang mampir ke pemikiranku."Mbak Las, dari mana?" Devina bertanya sambil tersenyum tipis. Namun, aku tahu sesekali dia selalu curi-curi pandang pada baby Aydan dipangkuanku."Habis dari klinik, Vin." Jawabku apa adanya.Aku menangkap raut terkejut dari wajah Devina. Namun, itu hanya sekilas karena Devina sangat apik menyembunyikan ekspresinya itu.Devina kembali mengulas senyuman tipis, "siapa yang sakit, Mbak Las?"Devina ini anak pendiam, mendapati dia bertanya-tanya seperti sekarang membuat aku sedikit aneh dan curiga. "Oh, gak
Kini kami berempat sudah duduk di atas sopa. Tidak, lebih tepatnya kami bertiga karena mas Gibran memilih duduk di lengan kursi tunggal yang aku duduki sambil sebelah tangannya bertengger di pundaku."Jadi ada urusan apa mamah datang ke sini?" Tanpa menunggu lama mas Gibran langsung menanyai tujuan mamah menemuinya. Sebenarnya aku yakin mas Gibran sudah mengetahui tujuan mamah datang ke sini, hanya saja mungkin mas Gibran cuma ingin basa basi saja."Menemui kamu lah, memangnya apa lagi?" Mamah menjawab agak ketus. Mamah melirik tangan mas Gibran di pubdakku, lalu melengoskan wajah seperti tidak rela tangan anaknya ini bersentuhan dengan tubuhku.Mas Gibran melirik Fika yang duduk di samping mamah, "lalu ngapain dia di sini?"Berbanding terbalik saat mamah melihatku dengan jutek, waktu mamah memnoleh ke arah Fika, wajahnya berubah bersinar seolah Fika ini calon menantu idaman semua mertua. "Mamah ingin memperkenalkannya pada kamu. Namanya Fika Anindita. Kamu bisa lihat orangnya cantik
Devina langsung menoleh terkejut ke arahku. Dengan tergesa-gesa dia melepas puting payudaranya dari mulut baby Aydan. Baby Aydan langsung menangis, mungkin karena belum kenyang menyusu. Dengan gesit aku berlari mengejar Devina yang hendak kabur. Untung saja aku sudah mengunci pintu kamar ini sesuai arahan mas Gibran, kalau tidak Devina pasti sudah melarikan diri."Ternyata benar kecurigaan Mbak selama ini, kalau kamu adalah ibu kandungnya baby Aydan. Sekarang kamu bisa menjelaskan apa mengenai hal ini, Vina?"Langsung saja aku todong dia dengan pertanyaan. Tidak akan kubiarkan Devina lolos begitu saja. Aku akan meminta kejelasan atas perbuatannya. Sebelum aku dapat penjelasannya, maka Devina akan tetap aku tahan.Devina sangat gelisah terlihat dari gerakaan tangannya yang terus berusaha melepaskan diri. Bukan Lastri namaku kalau mengalah begitu saja. Langsung saja kueratkakn genggaman tanganku pada pergelangan tangan Devina hingga membuat Devina meringis kesakitan. "Mau mencoba kabu
"Mbak Las, gimana ini. Ibu tahu akau ada di rimahnya Mbak Las, padahal aku sudah pergi seapik mungkin agar ibu tidak mengetahuinya. Mbak Las, tolong aku!" Devina memohon-mohon supaya aku membantunya. "Kamu yang tenang, Vina! Biar Mbak yang buka pintu, kamu jangan panik dulu!." Aku menenangkan Devina yang sudah menangis ketakutan.Setelah mendapat anggukan dari Devina, bergegas aku membuka kunci kamar. Setelah menarik napas, kubuka pintu depan rumahku. "Ada apa Bu Yulis gedor-gedor pintu aku?" Aku bertanya seolah tidak tahu tujuan bu Yulis datang ke rumahnya untuk mencari Devina.Bu Yulis curi-curi pandang ke dalam rumahku. Namun, secepatnya aku menutupi pandangan bu Yulis. Bu Yulis mencebikan bibir kesal, "Vina ada di rumah kamu, bukan?""Ada apa emangnya bu Yulis cari Vina?" Aku memasang senyum polos dan ramah. Bu Yulis menatapku sinis. "Sudah deh, kamu gak usah sok baik gini. Aku sudah tahu kalau anaku Vina ada di rumah kamu. Bisa-bisanya kamu deketin anak saya, pasti buat disuruh
Kualihkan pandanganku pada laki-laki yang dari tadi diam menyimak pembicaraanku dengan Fika. Terlihat Fika mulai memaang sikap waspda. "Ngomong-ngomong, Mas ini siapanya Fika?""Saya Calon Suaminya Fika."Kubulatkan bibir sambil perlahan menggulirkan tatapan ke arah Fika yang sudah diam membeku.***"Calon suami? Bukankah kamu masih sendiri?" Tanyaku pada Fika.Fika makin gelagapan saat laki-laki yang mengaku calon suaminya ini menatap tajam Fika. Kelihatan sekali Fika ini memaksakan senyum saat menatap balik laki-laki ini. "Dia memang belum tahu kalau kita mau nikah, Mas Ferdi.""Oh, begitu." Raut laki-laki yang bernama Ferdi ini mulai melembut kembali."Sudah Mas, ayo kita pergi." Tanpa persetujuan Ferdi, Fika langsung menyeretnya pergi meninggalkan aku yang menyeringai di belakang. Samar kudengar perseturuan antara dua sejoli itu. Namun, karena jaraknya sudah mulai jauh, aku tidak jelas mendengarnya. Hanya Ferdi yang sesekali melirikku dan Fika yang terus memasang wajah memelas.K
Mamah berdiri diikuti Fika, aku, dan mas Gibran. Saat ini tatapan mamah begitu tajam saat melihat Fika. Dan, PlakSatu tamparan mendarat mulus di pipi Fika.Aku dan mas Gibran saling pandang dan berbicara lewat mata seakan saling berbicara dengan ungkapan. Kami sama-sama meringis seakan merasakan nyerinya tamparan yang Fika dapat dari mamah."Kamu berani bohongin saya?" Mamah meraung marah. Mungkin karena teramat kesal telah dibohongi, mamah menyeret Fika ke luar rumah dan membantingnya hingga jatuh di teras rumahku."Tante, itu semua bohong. Pasti foto itu editan." Fika masih berkelit. Dia enggan mengakui kesalahannya. Aku jadi ingin tahu, sebenarnya kenapa Fika sampai rela berlutut begitu demi meyakinkan mamah? Apa yang Fika harapkan? Padahal dia sudah mempunyai calon suami."Mah, sudah! Malu sama orang-orang yang pada lihatin. Tahan emosi mamah!" Mas Gibran buru-buru menghentikan mamah yang kembali akan mendorong Fika yang saat ini tengah berlutut sambil memegangi kaki mamah.M