Mamah terlihat gelisa. Mungkin karena kepalang tanggung ms Gibran memergokinya tengah mau membawa beby Aydan pergi, mamah berkta jujur. "Mamah mau bawa bayi ini ke panti asuhan. Mau mamah berikan pada ibu panti. Kenapa? Kamu mau coba halangin mamah?"
Terlihat wajah mas Gibran memerah marah. Giginya bergemulutuk karena beradu satu sama lain. Namun, aku tahu mas Gibran mencoba tidak terpancing dengan ucapan mamah barusan. Aku juga sama marahnya dengan mas Gibran, tapi tentu saja aku harus main cantik untuk menyelamatkan baby Aydan.
"Mamah, pak Rt sudah mengizinkan kami untuk mengurusnya. Kenapa mamah malah mau mengirim baby Aydan ke panti asuhan?" Ucapku dengan nada tersakiti. Terasa tangan mas Gibran yang melingkari pinggangku mengerat.
Mamah mendelik sinis, "ya, biar kalian bisa fokus pada program kehamilan kalian. Kalau ada bayi ini, kapan kalian fokusnya."
"Mah, kami pasti program kehamilan, tapi aku mohon sama mamah. Tolong letak balik baby Aydan ke atas kasur. Mamah jangan bawa dia, aku mohon mah". Suaraku terdengar makin memelas dan tentu saja itu akan membua mas Gibran makin tak tega kepadaku.
"Diam kamu! Dasar benalu! Kalau bukan karena anak saya mencintai kamu, sudah dari lama saya tendang kamu dari hidup saya." Mamah melotot marah. Dia tidak sadar telah mengucapkan kata kasar padaku dihadapan anaknya.
"Mamah bilang apa barusan?" Mas Gibran berucap pelan dengan nada teramat dingin.
Mamah tersentak kaget. Dia menatap mas Gibran kaku, lalu menoleh kearahku yang masih dalam rngkulan mas Gibran. "Kamu sengaja 'kan memancing emosi saya, biar saya kelihatan jahat di mata anak saya?"
"Cukup, mah! Aku memang anak mamah yang masih punya kewajiban, tapi Lastri juga istri aku yang harus aku perlaakukan dengan baik. Dengan mamah menyebut Lastri benalu, apa mamah tidak sadar itu juga menyakitiku? Aku suaminya dan hanya aku yang Lastri punya. Jadi aku mohon sama mamah, tolong jangat memojokan Lastri lagi."
Mamah mengusap kasar air matanya. Mungkin dia sakit hati karena mas Gibran membelaku. Mamah menyimpan kasar baby Aydan ke atas kasur. Tanpa kata mamah pergi keluar.
Mas Gibran melepaskan rangkulannya, lalu menghampiri baby Aydan yang sudah terbangun.
"Apa Mas barusan terlalu kasar pada mamah?" Mas Gibran menatapku sendu. Terlihat sekali pancaran kesedihn dari kedua bola matanya.
Aku hanya diam karena tidak ada jawaban pas atas pertanyaan mas Gibran. Ini mungkin memang salahku sudah membuat hubungan ibu dan anak ini penuh perseturuan, tapi aku tidak punya lagi pilihan. Kalau bukan mas Gibran yang membelaku, lalu pada siapa lagi aku harus berlindung.
Karena tidak mendapat jawaban dari aku, mas Gibran kembali menoleh ke arah baby aydan yang terbaring di atas kasur sambil memperhatikan kami berdua. "Maafkan papa baby Aydan karena tidak bisa menjaga baby Aydan dengan baik." Lalu mas Gibran mengecup sayang kening baby Aydan.
Mas Gibran berdiri, "Mas kerja lagi ya, sayang. Soalnya tadi cuma izin sebentar."
"Iya, Mas." Aku mencium tangan mas Gibran. Setelah itu barulah mas Gibran berangkat kerja lagi.
Sepeninggalannya mas Gibran, kudekati baby Aydan yang anteng tengah mengisap jempolnya. "Mamah akan melakukan apapun demi melindungimu."
***
Selesai memandikan baby Aydan aku memutuskan untuk menjemur terlebih dahulu pakaian yang baru tadi pagi aku cuci, kebetulan baby Aydan juga langsung tidur sehabis mandi. Baby Aydan sangat anteng, dia bahkan tidak rewel seperti kebanyakan bayi lainnya, mungkin nangis bila pup atau ingin minum saja.
Setelah selesai menyampirkan pakaian, bergegas aku masuk ke dakam rumah karena belum memberi baby Aydan minum susu. Saat aku melihat baby Aydan di kamar, ternyata baby Aydan sudah terbangun dan sedang menghisap jempolnya.
Aku tersenyum melihatnya dan menghampirinya untuk memberi minum susu. Namun, ada yang aneh, baby Aydan selalu menolak setiap kali aku mau memberinya botol susu. Hatiku berdebar khawatir. Ya Allah, kenapa baby Aydan tidak mau minum susu? Apa jangan-jangan dia sakit?
Kedua tanganku yang memangku baby Aydan gemetar takut. Tanpa pikir panjang aku bergegas mengambil barang seperlunya dan langsung berangkat membawa baby Aydan ke klinik terdekat.
Aku sampai tidak bisa duduk tenang karena kepikiran hal buruk mengenai kondisi baby Aydan sampai lupa menghubungi mas Gibran. Untung saja mas Gibran yang telepon duluan, kalau tidak mungkin aku akan terus melupakannya dalam memberi tahu kondisi baby Aydan.
"Kamu di mana?"
"Ma-mas, aku di klinik. Baby Aydan gak mau minum susu." Aduku sambil sesekali mengusap sudut air mata.
"Mas susul sekarang, ok. Kamu tenang! Jangan panik!"
"Iya, Mas."
Selang 15 menit kemudian giliranku masuk dan itu juga bertepatan dengan mas Gibran yang baru datang. Terlihat mas Gibran mengelap peluh.
"Sudah dipanggil?" Tanya mas Gibran sambil mengatur pernapasannya yang putus-putus. Kelihatan sekali dia habis berlari.
"Baru ini mau masuk, Mas." ucapku dalam menjawab pertanyaan mas Gibran.
Terlihat mas Gibran menghembuskan napas lega, "ayo, Mas temenin. Mas juga ingin tahu baby Aydan kenapa."
Aku mengangguk dan kami berdua sama-sama masuk. Saat baby Aydan diperiksa, aku dan mas Gibran saling menggemgam tangan yang dipenuhi keringat dingin. Mungkin mas Gibran juga sama takutnya seperti aku.
Aku sontak mengambil alih baby Aydan dari gendongan bu Bidan saat bu Bidan menyerahkannya. Kuusap pipi gembul dan gemas baby Aydan saat menatapku sebelum kemudian kualihkan pandangan karena mau mendengar penjelasan bu Bidan.
"Bu Bidan, sebenarnya putra kami mempunyai penyakit apa?" Mas Gibran yang pertama angkat suara karena sudah ridak sabar ingin segera mengetahui kondisi baby Aydan.
Aku mengernyit heran karena melihat bu Bidan malah tersenyum. "Putra Bapak dan Ibu tidak kenapa-napa. Alasan baby Aydan tidak mau minum susu karena perutnya sudah penuh. Mungkin dua satu sampai dua jam ke depan, baby Aydan-nya akan kembali mau minum susu. Jadi Bapak dan Ibu tidak perlu khawatir!"
Aku dan mas Gibran sontak saling pandang begitu mendengar penjelasan bu Bidan. "Tapi Bu Bidan, aku sama sekali belum memberi baby Aydan susu dari pas dia bangun tidur. Lalu kenapa bisa bu Bidan mengatakan kalau baby Aydan sudah kenyang?"
Bu Bidan menatap kami serius, "tapi pas saya t memeriksa putra Ibu, putra Ibu memang kekenyangan makanya menolak saat diberi susu lagi."
"Kamu yakin belum memberi baby Aydan minum susu, sayang?" Mas Gibran menatapku serius.
Aku menggeleng yakin, "aku sangat yakin, Mas."
"Begini saja. Kalau misal putra Bapak dan Ibu tetap tidak mau minum susu, segera bawa kesini lagi. Nanti saya akan cek lebih detail lagi. Bagaimana?" Bu Bidan memberi usul yang langsung aku dan mas Gibran angguki.
Setelah kami keluar dari klinik, aku menatap mas Gibran lekat. "Mas, apa mungkin ibu-nya baby Aydan yang menyusuinya?"
***
Mendengar ucapan mas Gibran, Mamah diam membeku. Ia mundur satu langkah, mungkin agar dapat melihat wajah Gibran dengan lebih jelas. "Kenapa kamu bicara seperti itu?" "Mamah akan kembali menjodohkan aku dengan perempuan lain 'kan?" Tanya mas Gibran dengan suara yang tertahan amarah. Mas Gibran menggeleng pelan, tertawa lirih penuh luka ke luar dari mulutnya. "Tidak cukup kah dengan apa yang Mamah lakukan sebelumnya hampir membuatku hancur, sekarang Mamah malah lakuin hal ini lagi. Aku capek loh Mah, apa lagi Lastri yang seolah keberadaannya tak kasat mata di pandangan Mamah." "Gibran--,""Aku belum selesai bicara, Mah." Mas Gibran langsung memotong perkataan mamah, "sebelum Mamah menyuruhku untuk menikahi perempuan itu, aku tegaskan tidak akan pernah mau. Suruh mereka pulang!""Gibran, duduk dulu. Ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan." ayah mertua menimpali, dia berdiri dan menarik tangan mas Gibran dengan tak lupa membawaku juga. Setelah duduk di kursi, aku menatap perempuan
Sampai di halaman rumah, aku melihat ayah mertuaku sedang duduk di kursi yang terdapat di luar rumah. Aku menoleh ke arah Mas Gibran sekejap, sebelum kemudian membuka pintu mobil dan turun. "Assalamualaikum Papa," aku menghampiri ayah mertuaku dan langsung menyaliminya. Aku menyingkir tatkala mas Gibran mendekat, gantian menyalimi ayah mertua. "Waalaikumsalam," ayah mertuaku menjawab, pandangannya menyipit penasaran ke arah aku dan mas Gibran. "Dari mana saja kalian? Papa sudah setengah jam menunggu di sini, ada hal penting yang harus dikatakan pada kalian berdua."Aku mengeluarkan kunci dari dalam tas, lalu memasukan pada liang kunci di pintu rumah. Setelah itu aku membuka pintu dan mendorongnya masuk, menatap ayah mertuaku dengan pandangan sopan. "Ayo masuk dulu Papa, tidak enak kalau hal penting itu dibicarakan di luar rumah." "Iya, Pa mari kita bicarakan di dalam." Mas Gibran juga ikut mengajak ayah mertuaku masuk. "Tumben banget Papa datang langsung ke rumah, tanpa mamah pula.
"Sudah siap sayang?" Mas Gibran melongokkan kepalanya dari depan pintu kamar, sedangkan aku sendiri tengah memakai jilbab di depan cermin. Hari ini aku dan mas Gibran akan ke rumah sakit sesuai dengan rencana, memeriksa apakah aku ini benar-benar hamil atau tidak. Ya, semoga saja hasilnya positif. Aku berdiri, mengambil tas di atas meja rias. Sebelum itu aku mengambil ponsel dan dompet, mulai dari sekarang aku tidak ingin kejadian seperti saat di tempat makan waktu terulang kembali. Baby Aydan tidak aku bawa, ia saat ini bermain bersama Devina dan Aryo. Mereka berlibur ke pantai, sengaja membawa baby Aydan karena tahu aku dan mas Gibran hendak ke rumah sakit. "Sudah Mas," aku tersenyum ke arah mas Gibran. Menghampirinya dan menutup pintu kamar. "Semoga hasilnya positif ya, Mas. Aku berharap begitu banyak."Mas Gibran mengusap pipi aku dengan lembut, menciumnya sekilas dengan penuh sayang. Tatapannya begitu lembut, terlihat sama besarnya harapan denganku. Ia mengangguk, lalu menari
Saat membuka mata, mataku terasa besar dan berat. Semalam sepulang dari restoran, aku menangis dalam pelukan mas Gibran sampai jatuh tertidur. Nayatanya mas Ferdi hanya diam saat aku menyuruh melupakan janji itu, walau aku tahu dia tengah menangis terlihat dari bahunya yang bergetar. Aku menutup mata atas kesedihan mas Ferdi, mau bagaimanapun mas Ferdi adalah orang istimewa di masa laluku. Namun, karena keegoisannya, rumah tanggaku yang sudah kuperjuangkan selama ini hampir saja kandas. "Sudah bangun," mas Gibran datang dari arah pintu. Di tangannya terdapat nampan berisi mangkuk dan se gelas air putih. Aku mengangguk mengiyakan, meumgsut bangun dari baringan menjadi senderan pada tepian ranjang. Aku sedikit mendongak kepala agar bisamelohat Waja mas Gibran, tersenyum tipis saat melihat mas Gibran menatapku teduh sambil menyunggingkan senyuman. "Mas bawa apa?" Aku bertanya sambil menatap mangkuk di atas nampan yang di bawa mas Gibran. Mas Gibran meletakan nampan di atas nakas, la
Dan di sinilah sekarang aku bersama mas Gibran, duduk di restoran milik mas Ferdi. Kami memesan ruang khusus privat, di depan aku dan mas Gibran sudah ada mas Ferdi yang memasang wajah datar. Aku menatap lekat wajah mas Ferdi. Memang iya, mas Ferdi ada kemiripan wajah dengan teman lamaku itu. Hanya saja siapa yang akan percaya laki-laki kurus kecil dulu bisa berubah menjadi tinggi dan memiliki badan kekar begini. Jadi pantas bukan kalau aku tidak mengenalinya? "Mas Ferdi," aku memanggil pelan. Mas Ferdi balik menatap aku. "Ya.""Adinab," ucapku dengan serak. Terasa tangan mas Gibran yang berada di bawah meja menggenggam tanganku dengan erat. Begitu aku menyebut nama laki-laki yang dulu menjadi teman dekatku, raut wajah mas Ferdi beriak. "Itu kan nama mas Ferdi dulu?"Mas Ferdi menatap mas Gibran sekilas, sebelum kemudian menatap aku kembali. "Ya, itu memang namaku. Ferdi Adinab Jaya. Kamu mengingatnya karena saya sebelumnya sudah mengingatkanmu bukan?" Aku mengangguk membenarkan,
Mas Gibran mulai menjalankan mobil, meninggalkan taman dengan wajah keruh. Sampai di rumah pun aku tetap diam, sebab jujur saja hati ini masih meragu tentang siapa itu mas Ferdi.Mas Gibran menoleh ke arahku setelah mobil berhenti di halaman rumah. Pancaran matanya penuh tuntutan, aku tau ia menginginkan penjelasan yang harus ke luar dari dalam mulutku. "Lastri," mas Gibran menunggu jawaban. Aku menatap ke arah mas Gibran, tersenyum tipis karena merasa tidak enak. "kita bicara di dalam ya Mas, kalau di dalam mobil seperti ini takutnya banyak mata yang melihat dan banyak telinga yang sengaja mendengar."Mas Gibran menghembuskan napas dengan kasar, mengangguk walau aku tahu ia melakukan itu sangat berat. Melihat mas Gibran sudah turun dari dalam mobil, aku pun ikut turun menyusulnya. Kami berdua masuk ke dalam rumah, duduk di kursi tamu saling berdampingan. "Sekarang coba kamu jelaskan dengan sejujurnya!" Mas Gibran memegang tanganku dengan erat. Sorot matanya begitu sayu, membuatku