“Bell! Bella? Heh, tungguin elah! Bella?!”
Aku pun hanya bisa berdecak kesal. Saat Bella mengindahkan panggilanku tersebut.
Rese memang tuh anak, kalau ngambek nggak tahu tempat.
Ngambek?
Iya, benar! Bella memang lagi ngambek sama aku, karena gagal main ice keating seperti keinginan dia.
Bukan karena aku menolak ajakan bapaknya OTW ke Mall. Tentu saja, karena kami sudah ada di Mall ini dan udah muter-muter ngejar Bella yang ngambek nggak ketulungan.
Lalu karena apa? Semua karena pas kami datang, tempat yang Bella
Sebenarnya, kakiku ini nggak papahtahu. Cuma kram biasa dan hanya butuh dilempengin bentar. Yah, pakai koyo ajalah, kalaau masih nyut-nyutan dan greges dikit. Akan tetapi, entah karena merasa bersalah atau karena apa. Si Bella lebay banget jadi nggak mau jauh dari aku, bahkan nggak mau pulang sejak pulang dari Mall tadi itu. Nggak papah sebenarnya, sih. Aku santai aja selama dia nggak ngerusuhin kamarku. Namun, bukan Bella ‘kan namanya, kalau bisa anteng dan nggak banyak tingkah. Karena alih-alih mengungkapkan rasa bersalahnya dengan tindakan mulia, misalnya pijitin aku atau apa gitu. Si Bella malah mengacau tidurku dengan bacain semua buku yang ada di meja belajarku. Asli,
Pak Dika :Tan, saya ada kerjaan di luar kota tiga hari. Titip Bella ya? Aku langsung mendesah berat dan memijat kepalaku yang mendadak pening, saat melihat notif chat dari Pak Dika siang itu. Ya, gimana nggak mendadak pening coba? Kalau aku harus mengurusi Bella selama kepergian Pak Dika. Kalian tahu sendiri ‘kan bagaimana polah bocah kutil itu? Mana aku lagi UAS lagi. Ya ... pastinya bakal semakin puyeng kalau harus nyambi ngurusin si Bella. Me :Emang, orang tuanya Mas ke mana? Aku pun membalas chat itu, sambil berjalan mengekori duo Nur yang masih heboh membahas soal UAS. Biasalah, apa yang dihafalin, nggak ada yang nongol satu pun. Giliran yang nggak dihafalin nongol semua. Jadinya ya ... mereka pada kesel sendiri. Pak Dika :Ada. Lah kalau ada, kenapa harus aku, sih, yang dititipin? Kayak nggak tahu aja gimana hubungan aku sama Bella selama ini? Pak Dika sengaja mau bikin aku nggak konsen belajar? Me :
“Tan, lo yakin mau ngelakuin ini?” bisik Nurhayati di telinggaku, saat aku akhirnya menyetujui usul Guntur. “Iya, Tan. Nggak sebaiknya aja lo telepon Pak Dika atau tanya langsung dia aja. Lo tahu ‘kan, gimana Guntur?” Nurbaeti pun ikut berbisik. Aku memutar mata jengah, sebelum mengedikkan bahu agar kedua tangan mereka jatuh dari bahuku. Berat sekali! “Dan kalian tahu ‘kan, gimana misteriusnya Pak Dika selama ini? Dia nggak pernah mau cerita sama gue soal masa lalunya. Nah, mumpung sekarang lagi ada yang mau nunjukin semuanya dengan senang hati, kenapa enggak ya ‘kan?” tukasku yakin. Nggak terlalu yakin sebenarnya. Cuma ya ... mau bagaimana lagi? Tunggu Pak Dika ngomong sendiri, kayaknya butuh waktu ratusan tahun dan aku
Sepanjang perjalanan, aku nggak berani bersuara sama sekali. Aku memilih menutup mulut, sambil berdoa dalam hati agar tak sampai mati muda hari ini juga. Bagaimana nggak berdoa, jika Pak Dika menjalankan mobilnya seperti kesetanan. Aku auto dzikiran dalam hati agar bisa pulang dengan selamat, kepelukan Mama tercintaku. Mau protes juga nggak bisa lagi, soalnya belum protes aja, aku langsung menelan saliva kelat saat melihat rahang keras dan cengkraman kuat Pak Dika di kemudi setir. Ya, Allah. Umur Intan belum genap 22 tahun loh. Masih kuliah dan belum kawin juga. Jadi, jangan panggil Intan dulu ya, Allah? Intan masih mau lulus kuliah dan ngejar karier dulu. Biar bisa bikin Mama bangga di depan orang sekomplek.
“Mama!” Anjrit! Kaget gue, Bangke! Aku pun langsung mendelik garang pada Bella yang lagi-lagi mengagetkan aku malam itu. Benar-benar ya nih bocah, demen banget teriak kayak di hutan! “Apa, sih, Bell? Kamu nggak bisa ya, manggilnya kayak orang. Nggak usah teriak. Tante belum budek!” omelku kesal sambil mencubit pipi gembil Bella. Kalau diperhatikan, Bella sekarang lebih berisi lho, daripada pertama kali kenal. Entah karena dia sekarang doyan makan sejak aku masakin? Atau karena emang dia udah mau gede? Yang jelas, dia emang lebih montok sekarang.
“Mama, nyebelin!” kesal Bella, saat akhirnya aku membongkar kamarnya, dan menyingkirkan semua bacaan yang memang belum seharusnya dia baca. Ya, gimana nggak aku singkirkan ya? Kalau bacaan si Bella semakin meresahkan saja tiap harinya. Baca buku parenting sama Hallo Dokter masih bisa aku maklumin. Siapa tahu, nanti kalau udah gede, dia bisa jadi dokter gitu? Sebagai emak sambungnya, terang aku bakal bangga dong. Ya ‘kan? Nah, ini. Segala novel psikopat dia baca plus dikumpulin lagi cara-cara sadisnya. Gimana aku nggak senewen, coba? Kalau dia beneran praktek gimana, Sarmijan!
“Tan?” Aku langsung berdecak kesal saat baru saja keluar kelas, sudah melihat penampakan Guntur di depan pintu. Ck, mau apa lagi, sih, nih laki berbiji? “Minggir!” Aku pun coba mengabaikan dan menghardiknya keras, saat dia malah menghalangi jalanku. Dikata badannya ramping, apa? Orang segede babon gitu kok. Seenaknya saja berdiri di tengah jalan. Ngalangin tahu nggak? “Tan, aku mau ngomong,” ucapnya lagi. Masih ngeyel menghalangiku. “Nggak ada yang perlu diomongin lagi. Udah nggak ada urusan gue sama lo!” Aku mencoba tetap mengabaikannya dan malah melengos dengan cepat dari sana. Namun, seakan tak mau menyerah, Guntur pun malah
“Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau pria itu masih suka gangguin kamu?” Aku pun langsung mendesah lelah, saat akhirnya Pak Dika mengajukan pertanyaan itu padaku. Aku tahu, seharian ini dia sudah menahan diri untuk nggak bertanya di depan putrinya yang sedang bahagia karena akhirnya bisa jalan-jalan bersama kami. Ya! Hari ini Pak Dika memang sengaja menjemputku di kampus, demi untuk bisa jalan bertiga. Dia bilang ,sih, sebagai ucapan selamat padaku, yang sudah menyelesaikan UTS. Juga hari terakhir kami bisa bebas bertemu muka seperti ini. Biasa, sebentar lagi ‘kan kami mau nikah, jadi kalau kata orang dulu mah wajib dipingit. Mengerti, ‘kan? Apa harus aku jelasin juga?