Sisil mendesah saat tangan sang suami meremas pelan bukit kembarnya.
"Bagaimana, Sayang? Nikmat bukan?" bisik Aldin di telinga Sisil. Bibirnya menempel pada daun telinga sang istri yang membuat bulu tengkuk istrinya meremang.
"Al ...." Sisil menggeliatkan tubuhnya. "Lepasin, Al!"
Bibirnya berucap penolakan, tapi tidak dengan tubuhnya. Tidak dipungkiri ia menikmati sentuhan suaminya.
Aldin tidak mendengarkan ucapan istrinya, ia yakin walaupun Sisil mengucapkan penolakan tapi tubuhnya merespon lain.
Tangan Aldin semakin nakal, menelusuri paha istrinya sampai dengan pangkal paha, diusapnya milik Sisil yang paling berharga itu yang sudah tidak tertutup apa-apa.
Jarinya bermain di dalam lubang inti sang istri yang membuat Sisil mendesah manja. Menggelinjangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri saat tangan suaminya menari-nari di dalam sana.
Terdengar suara sirine dari mobil kebakaran. Suaranya terdengar sangat nyaring sehingga Aldin dan Sisil beserta Bu Lastri dan Mbak Tati bergegas keluar rumah.“Bu, apa di rumah Bu Ina ada orang?” tanya Bu Lastri pada tetangganya yang baru saja dari tempat kejadian.“Tidak ada, Bu. Rumahnya kosong,” jawab tetangga Bu Lastri.Bu Lastri mengusap dadanya, ia merasa lega, setidaknya tidak ada korban jiwa dalam peristiwa kebakaran itu. “Syukurlah.”Terlihat kepulan asap yang menghitam di langit gelap. Dengan cepat para petugas pemadam kebakaran itu mematikan api di rumah Bu Ina. Untung saja jarak rumah mereka tidak terlalu berdekatan sehingga tidak merembet ke rumah warga yang lain. “Untung saja Pak Imam yang baru pulang dari pasar melihat api yang belum membesar, beliau beserta warga yang lain segera melapor dan berusaha memadamkannya s
Sisil terkejut melihat isi dalam boxer berwarna hitam itu yang terlihat sudah berdiri tegak. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Kenapa jadi seperti itu?” tanyanya.Aldin tampak menahan senyumnya melihat kepolosan sang istri. “Ya ini gara-gara kamu, makanya jadi seperti ini,” balas Aldin dengan cepat. “Kamu harus tanggung jawab! Kamu harus menjinakkan pusaka berharga milikku!” titah Aldin yang selalu memanfaatkan kesempatan yang ada.“Gimana caranya?” Sisil membuka telapak tangannya, tapi ia masih menundukkan kepala, menutupi rona pada wajahnya. Ini adalah pertama kalinya ia melihat milik seorang laki-laki dengan mata kepalanya sendiri.“Kamu elus-elus, biar dia tidur lagi!” titahnya pada sang istri. Tanpa menunggu jawaban dari istrinya, ia langsung melorotkan boxer. Kini ia berbaring terlentang di hadapan Sisil tanpa sehelai benang pun yang menutu
“Astaga!” Mbak Tati menutup matanya dengan telapak tangan“Kalau mau bermesraan yo ditutup dulu kaca mobilnya,” sindir Mbak Tati yang kebetuan lewat samping mobil Aldin setelah membuang sampah. Ia melihat adik sepupu suaminya sedang berciuman dengan sang suami di dalam mobil. Ia tidak sengaja melihatnya. Niatnya ingin menyapa Sisil dan suaminya sebelum mereka pulang. Aldin langsung melepas ciumannya, lalu mengusap bibir sang istri dengan ibu jarinya, mengabaikan Mbak Tati yang sedang berdiri di samping mobil. “Kalian mau pulang ya?” tanya Mbak Tati tanpa membuka tangannya yang menutupi mata. “Maaf, Mbak,” ucap Aldin sembari tersenyum malu. “Sisil suka marah kalau pagi nggak dikasih vitamin,” imbuhnya sembari tertawa geli. Sisil langsung memukul lengan suaminya dengan keras. “Fitnah aja!” “Ya sudah, Mbak masuk dulu, kalian hati-hati di jalan!” ucap
“My lovely kita sudah sampai,” ujar Aldin setelah mobilnya berhenti di pekarangan rumah mereka tanpa menoleh pada sang istri. “Sayang!” Aldin menoleh pada istrinya yang duduk di kursi samping kemudi, ternyata Sisil tertidur lelap.Aldin membuka sabuk pengamannya, lalu ia keluar dari mobil dan berjalan memutar mendekati Sisil. Ia membuka pintu mobil dengan hati-hati, khawatir sang istri terbangun. Aldin membopong istrinya dengan sangat hati-hati.“Aku tahu, kesalahanku begitu besar karena sudah menyakitimu dan meragukan cintamu, tapi aku akan tetap berusaha mendapatkan cinta itu kembali,” gumam Aldin. Ia membopong Sisil sembari menatap wajah cantik istrinya. Aldin membawa Sisil ke kamar utama, dan merebahkan tubuh mungil itu di tempat tidurnya. Sementara ia langsung masuk kamar mandi untk membersihkan diri. Tubuhnya terasa sangat lengket karena ia tidak terbiasa tidur tanpa
Aldin keluar dari kamar dan bergegas menghampiri istrinya. Ia duduk di depan Sisil yang sedang sarapan nasi goreng buatannya.Sisil menatap laki-laki yang duduk di hadapannya. “Kamu udah makan?” tanya Sisil pada sang suami yang sedang memperhatikannya makan.“Udah, tadi aku sarapan duluan karena mau bersih-bersih rumah biar kuat,” ucapnya sembari tersenyum. Aldin merasa senang kalau istrinya mau menyapa lebih dulu. Itu artinya Sisil sudah memaafkannya.Sisil mengabsen setiap sudut ruangan yang terlihat lebih rapi. Ia hanya menganggukkan kepalanya tanpa mengatakan apa pun. Kemudian melanjutkan makannya. Sisil menyapa suaminya hanya sebagai ucapan terima kasih karena sudah membuatkannya sarapan. Tapi, bagi Aldin itu merupakan sebuah harapan untuknya mendapat kembali cinta sang istri.“My lovely!” panggil Aldin pada sang istri setelah istrinya itu selesai makan.
Sisil bangun dari duduknya. “Kita nggak akan bercerai sampai enam bulan ke depan. Selama itu pun aku nggak tahu bisa memaafkanmu atau nggak? Anggap aja itu kesempatan terakhir untuk kamu.”‘Sekarang aku merasakan apa yang dia rasakan dulu sebelum aku tahu kalau dia mencintaiku. Ternyata hati ini sangat sakit saat mendengar orang yang kita cintai berkata kasar dan mendiamkan kita,’ gumam Aldin dalam hatinya.Dulu waktu Aldin belum mengetahui kalau Sisil mencintainya, ia selalu bersikap kasar pada Sisil, tidak pernah berbicara ramah dengan gadis mungil itu. Bahkan ia pernah mengatai Sisil sebagai gadis sinting. Sekarang justru dia yang mengejar-ngejar gadis sinting itu.Setelah mengatakan itu Sisil bergegas keluar dari kamar dan masuk ke kamar pribadinya. Walau semua barang-barangnya sudah dipindahkan ke kamar utama, ia lebih nyaman tidur di kamar yang sudah beberapa hari ia tinggali itu.&nb
Sisil berlalu dari hadapan suaminya, ia menutup pintu kamar dengan sangat kencang sehingga menimbulkan dentuman suara yang memekakkan telinga. Sehingga Aldin terlonjak karenanya.“Astaga!” Aldin mengusap dadanya. “Ternyata kalau istri sedang marah lebih mengerikan dari pada kalah tender,” gumamnya sembari menggelengkan kepalanya.Ia segera bangun dari duduknya dan menyusul istri mungilnya. “Sil, maafkan aku! Maksudku bukan seperti itu,” ucap Aldin saat langkahnya sudah sejajar dengan Sisil. Kaki panjangya dengan mudah menyusul langkah sang istri yang mungil.Sisil menghentikan langkah kakinya begitu pun dengan Aldin. Lalu memiringkan tubuh menghadap suaminya. “Minta maaf lagi, nanti diulang lagi kesalahan yang sama, begitu aja seterusnya. Kamu pikir semua masalah bisa selesai hanya dengan minta maaf.”Sisil sudah sangat geram dengan suaminya. Sela
Aldin dan Sisil hanyut dalam kemesraan. Mereka baru melepas ciuman panasnya setelah Sisil mulai kehabisan napas. Aldin mengelap bibir istrinya dengan ibu jari. "Jangan cemberut lagi kalau nggak mau aku sosor mendadak!" Sisil menundukkan kepala menutupi rona wajahnya yang mungkin sudah seperti kepiting rebus. Sejujurnya ia ingin memulai kembali hubungannya dengan sang suami, tapi Sisil tidak mau sakit hati lagi. 'Aku yakin jauh di lubuk hatimu, masih ada cinta untuk suamimu ini,' ucap Aldin dalam hati sembari melirik istrinya. Aldin segera memutar balik kendaraannya karena rumah saudara kembarnya sudah terlewat. Tidak lama kemudian mereka memasuki pekarangan rumah mewah sang adik. Bara dan Gara sudah menyambutnya dengan suka cita. Mereka langsung berhampur ke pelukan sang Tante setelah wanita mungil itu keluar dari mobil. "Tante cantik, kok lama banget sih? Tadi katanya sebentar lagi sampai. Aku nungguin lama tahu!" protes Bara p