Setelah makan malam selesai dan dapur dirapikan, malam kembali sunyi. Hanya terdengar suara kipas angin yang berputar pelan dan dengung halus dari luar jendela.Pintu kamar Emily terbuka sedikit, cahaya lampu dari lorong mengintip masuk. Ibu Emily berdiri di ambang pintu, lalu mengetuk pelan sambil memanggil dengan suara lembut,"Kak..."Emily menoleh dari tempat tidurnya."Belum tidur, Bu."Sambil tersenyum tipis, sang ibu masuk ke dalam dan duduk di tepi tempat tidur. Emily bergeser sedikit, memberi ruang. Sang ibu meraih tangan putrinya, menggenggamnya dengan hangat."Bagaimana kondisi Kakak? Ada yang sakit? Atau butuh sesuatu?""Enggak, Bu. Aku baik-baik saja," jawab Emily sambil tersenyum tipis.Sang ibu diam sejenak, seperti menimbang sesuatu sebelum akhirnya bertanya,"Kalian… sudah berapa lama menjalin hubungan?"Emily menarik napas sebentar, mencoba mengingat."Mungkin sekitar sebulan atau dua bulan, Bu. Aku sendiri nggak terlalu menghitung.""Kenapa kalian memutuskan berpaca
...Mobil melaju perlahan melewati jalanan kota kecil yang mulai ramai. Di dalam mobil, Sylvester menyetir, sementara Emily duduk di kursi depan, dan sang ibu di belakang, memandangi keluar jendela dengan tenang.Mereka tiba di pasar tradisional yang tidak terlalu besar, tapi cukup ramai oleh pedagang dan pembeli. Udara pagi terasa segar, meski sedikit bau rempah dan ikan asin menyengat dari beberapa sudut pasar."Kita ke bagian sayur dulu," ujar sang ibu sambil menyesuaikan tas belanja di pundaknya.Sylvester dan Emily mengangguk dan mengikuti. Emily menggenggam lengan Sylvester tanpa berkata apa-apa, dan Sylvester membalasnya dengan senyum kecil.Mereka menyusuri lorong-lorong pasar, melewati pedagang sayur, buah, dan bumbu dapur. Sang ibu terlihat sangat lihai memilih bahan—mengetuk-ngetuk semangka, mencium daun bawang, dan menawar harga sambil sesekali bercanda dengan pedagang langganannya."Ibu kamu jago sekali menawar," bisik Sylvester ke Emily sambil terkagum-kagum.Emily terki
Emily menoleh cepat, suaranya bergetar."Kamu pikir… dia sengaja?"Sylvester mengangguk pelan, wajahnya penuh kekhawatiran."Aku nggak suka ini. Pertama, motor tadi di pasar hampir menabrakmu. Sekarang mobil ini. Terlalu kebetulan untuk jadi kebetulan."Ibu Emily menggenggam sandaran kursi depan, wajahnya mulai cemas."Kalau begitu kita harus pulang sekarang juga. Jangan berhenti di mana pun.""Iya, Bu." Sylvester segera menyalakan lampu sein dan kembali masuk ke jalur. Ia menjaga kecepatan stabil, tapi matanya waspada, terus memeriksa spion dan jendela.Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang mencekam, sampai akhirnya Emily berbisik,"Apa ini ada kaitannya dengan Carol?"Sylvester langsung menoleh cepat, jelas terkejut mendengar Emily menyebut nama itu. Tapi ia segera menyadari sang ibu ada di belakang."aku tidak tahu tapi Itu yang aku khawatirkan," katanya pelan. "Tapi selama kamu bersamaku, kamu aman. Aku janji.""Carol? Siapa Carol?" tanya sang ibu heran dari belakang.Sylve
Emily melangkah ke pantry dengan botol minum di tangan, tapi langkahnya melambat saat ia mendengar suara-suara dari dalam. Beberapa rekannya sedang bercakap-cakap, dan meskipun mereka berbicara pelan, Emily bisa menangkap potongan kalimat mereka.“Serius deh, aku nggak kuat lagi kalau duduk di dekat dia,” suara itu terdengar dari Dina, salah satu rekannya.“Memangnya dia nggak sadar, ya? Masa tiap hari kayak gitu terus?” balas leni, setengah berbisik.“Kayaknya sih enggak sadar. Mungkin dia nggak tahu, atau... ya, gimana ya bilangnya ke dia?” tambah jesselyn, sambil menghela napas.Dina terkekeh kecil. “Bilang? Kamu bercanda? Bisa jadi dia malah tersinggung, terus drama. Mending nggak usah deh.”“Tapi kita yang jadi korban, kan?” jesselyn menimpali. “Aku sampai bawa parfum ekstra, tahu. Kalau dia lewat, langsung aku semprot meja aku.”Dina tertawa kecil, tapi suaranya terdengar setengah bersalah. “Iya sih, aku juga pernah pura-pura keluar meeting cuma buat nyari udara segar. Jujur aja
Saat Emily duduk di meja kerjanya, mencoba mengatur napas agar bisa melanjutkan hari dengan tenang, suara familiar memanggilnya dari belakang."Hei, Emi, kamu yang mengerjakan design proyek klien dari perusahaan Amerika, kan?" Tanya Leni, rekan satu tim yang seringkali tampak tenang dan percaya diri, sambil mendekat dengan langkah cepat."Iya, betul, Kak. Ada apa ya?" jawab Emily, sedikit bingung, berusaha menjaga nada suaranya tetap normal meskipun hatinya mulai terasa cemas."Siang ini perwakilan dari Whiteller Corp akan datang untuk rapat. Kita diminta untuk mempresentasikan gambaran proyek itu," jawab Leni, tanpa basa-basi, seperti memberikan instruksi rutin yang tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut.Emily terkejut."Kenapa aku tidak tahu kalau mereka akan datang? Aku belum siap sepenuhnya," jawabnya dengan nada cemas, otaknya mulai berpacu untuk mencari-cari ide tentang bagaimana ia bisa menyiapkan materi dalam waktu yang sangat terbatas."Informasinya sudah dikasih di grup,"
Emily, yang sejak tadi berusaha fokus pada pekerjaannya, akhirnya bisa memperhatikan Mr. Whiteller dengan lebih jelas. Selama rapat tadi, pria itu hampir tidak berbicara. Ia hanya duduk diam, mengamati dengan cermat, dan sesekali berbisik pada Beni. Namun, sekarang, saat ia berjalan menjauh, Emily merasa ada sesuatu yang memancarkan wibawa dari dirinya—sesuatu yang membuat pria itu sulit untuk diabaikan.Dia tampak begitu tenang, begitu percaya diri, seolah-olah tidak ada yang bisa mengguncang dirinya. Mata hijau itu... Emily tidak bisa melupakan tatapan tajamnya yang sempat bertemu dengan matanya beberapa kali.Namun lamunan itu tidak berlangsung lama. Leni, yang tampaknya masih senang memanfaatkan momen untuk memberikan komentar, membungkuk sedikit ke arah Emily dan berbisik dengan nada sarkastik."Jangan berkhayal, Emi. Melirikmu saja mungkin dia tidak tertarik."Komentar itu terasa seperti paku yang menusuk gelembung lamunan Emily. Ia menoleh pelan ke arah Leni, menahan emosi yang
"Untuk apa main-main ke luar? Lebih baik temani Ibu di rumah. Kalau Ibu ada apa-apa, siapa yang tahu?" ucap Emily, nadanya terdengar lebih serius sekarang. Kekhawatirannya akan kondisi ibunya di rumah memang sering menghantui pikirannya."Sudah-sudah. Muka kamu jadi jelek lagi tuh kalau terus marah-marah. Ingat waktu, jangan sampai kamu terlambat," ucap ibunya sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.Emily cemberut, tapi tidak bisa menahan senyumnya. "Iya, Bu. Kalau Ibu yang bilang, aku nggak bisa protes.""Sudah, siap-siaplah. Jangan terlambat, Kak," ujar ibunya lagi, nada penuh perhatian itu membuat hati Emily terasa lebih ringan."Iya, Bu. Jangan lupa makan, ya. Aku tutup dulu, ya, Bu," pamit Emily, melambaikan tangan ke layar."Iya, Kakak. Jaga dirimu, ya," balas ibunya, senyum hangatnya masih terpancar hingga panggilan berakhir.Emily menutup panggilan dan menghela napas panjang. Ia meletakkan ponselnya di meja dan memandangi wajahnya di cermin. Rasanya sedikit lebih ten
"Menarik," ujar Beni akhirnya. "Namun, saya ingin tahu, apakah insiden tadi benar-benar mencerminkan dirinya, atau justru cerminan dinamika tim Anda sendiri?"Leni terlihat sedikit kaget, tapi dengan cepat menyembunyikan reaksi itu di balik senyum diplomatisnya. "Oh, tentu saja tim kami sangat solid, Pak. Insiden tadi hanyalah sebuah ketidaksengajaan. Saya hanya ingin memastikan Anda dan Mr. Whiteller tidak salah paham terhadap kualitas kerja kami secara keseluruhan."Pak Boy, yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu, akhirnya angkat bicara. Ia menyadari bahwa Leni mencoba menyudutkan Emily dengan cara halus di hadapan Mr. Whiteller dan Beni."Maaf, boleh saya menambahkan sesuatu?" ucap Pak Boy dengan nada yang tenang namun tegas. Ia menatap langsung ke arah Mr. Whiteller dan Beni, berusaha memastikan kata-katanya didengar dengan jelas."Tentu, silakan," jawab Mr. Whiteller sambil melipat tangannya di atas meja.Pak Boy melanjutkan, "Saya memahami kekhawatiran yang Leni sampaikan,
Emily menoleh cepat, suaranya bergetar."Kamu pikir… dia sengaja?"Sylvester mengangguk pelan, wajahnya penuh kekhawatiran."Aku nggak suka ini. Pertama, motor tadi di pasar hampir menabrakmu. Sekarang mobil ini. Terlalu kebetulan untuk jadi kebetulan."Ibu Emily menggenggam sandaran kursi depan, wajahnya mulai cemas."Kalau begitu kita harus pulang sekarang juga. Jangan berhenti di mana pun.""Iya, Bu." Sylvester segera menyalakan lampu sein dan kembali masuk ke jalur. Ia menjaga kecepatan stabil, tapi matanya waspada, terus memeriksa spion dan jendela.Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang mencekam, sampai akhirnya Emily berbisik,"Apa ini ada kaitannya dengan Carol?"Sylvester langsung menoleh cepat, jelas terkejut mendengar Emily menyebut nama itu. Tapi ia segera menyadari sang ibu ada di belakang."aku tidak tahu tapi Itu yang aku khawatirkan," katanya pelan. "Tapi selama kamu bersamaku, kamu aman. Aku janji.""Carol? Siapa Carol?" tanya sang ibu heran dari belakang.Sylve
...Mobil melaju perlahan melewati jalanan kota kecil yang mulai ramai. Di dalam mobil, Sylvester menyetir, sementara Emily duduk di kursi depan, dan sang ibu di belakang, memandangi keluar jendela dengan tenang.Mereka tiba di pasar tradisional yang tidak terlalu besar, tapi cukup ramai oleh pedagang dan pembeli. Udara pagi terasa segar, meski sedikit bau rempah dan ikan asin menyengat dari beberapa sudut pasar."Kita ke bagian sayur dulu," ujar sang ibu sambil menyesuaikan tas belanja di pundaknya.Sylvester dan Emily mengangguk dan mengikuti. Emily menggenggam lengan Sylvester tanpa berkata apa-apa, dan Sylvester membalasnya dengan senyum kecil.Mereka menyusuri lorong-lorong pasar, melewati pedagang sayur, buah, dan bumbu dapur. Sang ibu terlihat sangat lihai memilih bahan—mengetuk-ngetuk semangka, mencium daun bawang, dan menawar harga sambil sesekali bercanda dengan pedagang langganannya."Ibu kamu jago sekali menawar," bisik Sylvester ke Emily sambil terkagum-kagum.Emily terki
Setelah makan malam selesai dan dapur dirapikan, malam kembali sunyi. Hanya terdengar suara kipas angin yang berputar pelan dan dengung halus dari luar jendela.Pintu kamar Emily terbuka sedikit, cahaya lampu dari lorong mengintip masuk. Ibu Emily berdiri di ambang pintu, lalu mengetuk pelan sambil memanggil dengan suara lembut,"Kak..."Emily menoleh dari tempat tidurnya."Belum tidur, Bu."Sambil tersenyum tipis, sang ibu masuk ke dalam dan duduk di tepi tempat tidur. Emily bergeser sedikit, memberi ruang. Sang ibu meraih tangan putrinya, menggenggamnya dengan hangat."Bagaimana kondisi Kakak? Ada yang sakit? Atau butuh sesuatu?""Enggak, Bu. Aku baik-baik saja," jawab Emily sambil tersenyum tipis.Sang ibu diam sejenak, seperti menimbang sesuatu sebelum akhirnya bertanya,"Kalian… sudah berapa lama menjalin hubungan?"Emily menarik napas sebentar, mencoba mengingat."Mungkin sekitar sebulan atau dua bulan, Bu. Aku sendiri nggak terlalu menghitung.""Kenapa kalian memutuskan berpaca
Sebuah tamparan mendarat di pipi Sylvester."Ibu!" seru Emily terkejut."Itu untukmu—yang membawa pengaruh buruk pada anakku."PLAK!"Untukmu—yang merenggut mahkota anakku."PLAK!"Untuk kehamilan ini yang menghancurkan hati seorang ibu."PLAK!"Dan ini, kalau kau sampai lepas tanggung jawab."Sylvester tidak mengelak. Ia menerima semuanya dengan kepala tertunduk."Saya terima, Bu. Saya pantas menerimanya."Suasana hening beberapa detik. Sang ibu memejamkan mata, menarik napas dalam, lalu berkata pelan:"Boleh Ibu duduk?"Emily langsung berdiri dan mempersilakan."Tentu, Bu. Silakan duduk."Sang ibu duduk di kursi seberang mereka. Tatapannya tajam tapi tidak lagi penuh amarah, hanya kelelahan seorang ibu yang sedang mencoba memahami."Ibu... maafkan aku," ucap Emily dengan suara bergetar."Aku tahu ini mengejutkan. Aku tahu aku mengecewakan Ibu."Sang ibu menggeleng perlahan."Kamu tidak mengecewakan Ibu, Emily. Kamu hanya membuat Ibu sangat takut."Emily tertunduk. Sylvester masih me
Emily menoleh, lalu menggenggam tangan Sylvester."Bu, ini Sylvester..."Sylvester menunduk sopan."Selamat siang, Bu. Saya kekasih Emily."Emily menatapnya terkejut—bukan karena kata-katanya, tapi karena... Sylvester berbicara dalam bahasa Indonesia."Weh, hebat! Kamu udah berapa lama tinggal di Indonesia, kok bisa bahasa Indonesia?" tanya sang ibu sambil terkekeh."Semenjak bersama Emily, Bu. Saya masih belajar." jawab Sylvester ramah."Loh, kamu kok nggak bilang-bilang, Emily? Punya pacar bule!" goda ibunya sambil menepuk pelan lengan anaknya.Emily hanya meringis, lalu tertawa."Yasudah, ayo masuk. Kita ngobrol di dalam," ajak sang ibu hangat.Emily menggandeng tangan Sylvester masuk ke dalam rumah, sambil berbisik,"Sejak kapan kamu bisa bahasa Indonesia? Kenapa aku nggak tahu?""Masih tahap belajar," bisik Sylvester sambil tersenyum. "Tapi aku yakin, seminggu lagi aku akan fasih.""Sangat tidak adil," gumam Emily sambil duduk di sofa ruang tamu. "Kau kaya, kau tampan, dan sekara
Dokter hanya membalas dengan senyuman tenang, lalu mulai melakukan pemeriksaan fisik sederhana di bagian perut Emily.Beberapa menit kemudian, Emily kembali duduk di samping Sylvester, menggenggam tangannya erat. Tangannya dingin, dan wajahnya terlihat lebih pucat dari sebelumnya."Apa pun hasilnya, kita hadapi bersama," bisik Sylvester, jemarinya menyentuh pipi Emily dengan penuh kelembutan.Tak lama, pintu diketuk. Dokter masuk kembali sambil membawa sebuah amplop berisi hasil tes. Ia duduk, menatap mereka berdua dengan sorot mata hangat."Emily... selamat. Hasil tesnya positif. Kamu hamil."Seketika, waktu seolah berhenti.Emily menatap dokter itu dengan pandangan kosong, seakan otaknya butuh waktu untuk benar-benar mencerna kata-kata tersebut. Ia perlahan menoleh ke arah Sylvester, yang kini menatapnya penuh haru, tak mampu menyembunyikan campuran antara syok dan kebahagiaan."Aku... hamil?" bisiknya, hampir tak terdengar.Sylvester mengangguk perlahan, lalu merengkuhnya ke dalam
Cahaya matahari menembus tirai kamar, membasuh ruangan dengan kehangatan lembut. Di dalam kamar, Emily tengah bersiap. Gaun sederhana berwarna biru muda membalut tubuhnya, rambutnya disisir rapi ke belakang. Tapi sebelum sempat menyentuh sepatu di dekat ranjang, perutnya tiba-tiba terasa mual.Ia buru-buru menutup mulut, lalu berlari ke kamar mandi."Ugh..." suara muntah terdengar, disusul oleh isakan kecil yang tertahan.Sylvester, yang baru saja datang membawa jaketnya, sontak panik."Emily?" Ia segera menghampiri, langkahnya cepat dan wajahnya cemas.Ia berdiri di ambang pintu kamar mandi yang terbuka setengah, melihat Emily berpegangan pada wastafel dengan wajah pucat."Em, kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut, hampir berbisik.Emily berdiri lemas, membasuh wajahnya dengan air dingin. Ia mencoba tersenyum melalui cermin"Aku nggak tahu... tiba-tiba saja mual."Sylvester masuk dan memegang bahunya dengan hati-hati, seolah takut menyakitinya."Kamu sakit? Kita nggak usah ke mana-ma
Malam itu, Di balkon lantai dua rumah Sylvester, angin malam bertiup pelan, membawa aroma segar.Emily berdiri di sana, mengenakan sweater hangat dan syal tipis, memandang ke kejauhan. Hatinya terasa lebih ringan dibandingkan hari-hari sebelumnya.Langkah kaki ringan terdengar dari dalam."Kau kedinginan?" suara Sylvester lembut menghampiri.Emily menoleh, tersenyum kecil."Sedikit. Tapi pemandangannya terlalu indah untuk dilewatkan."Sylvester tersenyum, lalu mengangkat sesuatu di tangannya — sebotol wine merah dan dua gelas."Kupikir... kita pantas merayakan malam ini."Emily mengangkat alis."Merayakan apa?"Sylvester menuangkan wine ke dalam kedua gelas, lalu menyerahkan satu padanya. Ia menatap Emily dalam-dalam, sorot matanya begitu hangat dan tulus."Merayakan hidup." katanya pelan. "Dan kau... yang masih bersamaku di sini."Emily terdiam, dadanya menghangat. Ia menerima gelas itu, lalu mengan
"Gila..." gumam Ben pelan, suaranya serak."Aku nggak nyangka... tempat tadi ternyata benar-benar terpencil."Sylvester yang duduk di kursi pengemudi, melirik ke kaca spion tengah."Aku juga nggak," katanya pelan."Carol menyembunyikan tempat itu dengan sangat rapi. Bahkan GPS pun nggak bisa mendeteksi koordinatnya secara akurat."Ben menggeleng pelan, masih tak percaya."Rasanya... kayak baru keluar dari dunia lain. Aku bahkan sempat mikir kita udah bukan di kota yang sama lagi. Atau... bahkan bukan di negara yang sama.""Kita di California," ucap Sylvester tiba-tiba, nadanya datar tapi cukup membuat keheningan kembali tegang."APA?!" seru Ben dan Emily bersamaan.Sylvester mengangguk."Yah... aku pun sama terkejutnya dengan kalian saat tahu keberadaan kalian. Aku dapat koordinat kasar dari penyadapan yang nyaris tak sengaja."Ben mengerutkan kening."Kapan dia memindahkan kami? Apa kita tidak sadarkan diri selama itu?" tanyanya, menoleh pada Emily.Gadis itu menggeleng perlahan, sua