Share

Teror

Penulis: Queeny
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-23 12:57:43

Sepanjang perjalanan pulang kami terdiam. Aku melirik Riska berkali-kali, menatap wajah cantik yang selalu menggetarkan hati. Wanita baik hati yang mau menerimaku apa adanya, sekalipun dia berasal dari keluarga berada. 

"Mas mau bicara apa di rumah?" tanya Sinta memecah keheningan.

Aku menarik napas panjang, merasa lebih lega. Jika Riska sudah mau bicara, itu berarti amarahnya mulai mereda. Tinggal bagaimana aku membujuk agar dia memaafkan. Bukankah laki-laki selalu salah di mata wanita? Dan untuk itu, aku menerimanya, karena aku memang bersalah. 

"Aku ... mau minta maaf. Banyak salah sama kamu," jawabku cepat. 

Tadi aku meminta Riska untuk menyerahkan butik kepada salah satu asisten, sehingga dia bisa pulang lebih awal. 

Riska menatapku, bersamaan dengan aku yang balas meliriknya. Mata kami bertautan sesaat, lalu aku kembali fokus menyetir. 

"Oh, iya. Mas kenal Tante Sinta di mana? Kok, kayaknya akrab gitu." 

Pertanyaan itu membuyarkan konsentrasiku. Mata Riska menatap dengan penuh selidik dengan tangan yang terlipat di dada. Seketika aku menjadi gemas melihat ekspresinya. 

"Lupa." 

Kukeluarkan jawaban andalah kaum Adam jika malas menjelaskan sesuatu. Berpura-pura tak mengingat itu adalah jalan teraman agar tak mendapat amukan dari kaum Hawa. 

Seayu apapun Riska, dia akan berubah menjadi singa betina jika emosinya memuncak. Apalagi jika sampai dia tahu hubunganku dan Sinta dulu. Ditambah kondisiku yang sekarang, maka lengkaplah sudah. 

"Dia itu pelanggan butik beberapa bulan ini. Gak tau dapat rekomendasi dari mana. Kalau pesan gaun pasti yang paling mahal, terus maunya aku sendiri yang jahit, bukan karyawan," jelasnya. 

"Memangnya dia kerja apa? Kok banyak banget uangnya?" tanyaku pura-pura tidak tahu sembari fokus menyetir, padahal dalam hati berdebar kencang. 

"Istri pejabat. Uangnya banyak, gak ada serinya kali. Ngalir kayak air," lanjut Riska. 

"Ada pesenan apa sampai dibilang tamu penting?" tanyaku lagi, mencoba mengalihkan pembicaraan. 

"Kebaya sama beskap buat acara keluarga bulan depan. Lima belas pasang. Katanya sih, ada keponakannya mau nikahan. Dia nyumbang itu." 

Riska tampak bersemangat saat menjelaskan. Wajahnya berseri-seri setiap kali membicarakan pekerjaan. Itulah yang membuat aku jatuh hati selain kebaikan hatinya. 

Sayang, Riska tak tahu masa lalu suaminya. Aku memang pengecut, tak berani mengatakan semua kebenaran itu hingga kini. Belum siap jika sampai kehilangan orang-orang yang disayang hanya karena masa lalu yang buruk.

Tak semua orang bisa menerima keadaan kita yang sekarang, sekalipun telah berubah dan memperbaiki diri. Lalu, ketika aku sudah bersunguh-sungguh melakukan itu, mengapa ujian datang kembali?

Beginikah jalan hidup manusia? Diuji tiada henti hingga kelak ajal menjemput?

"Banyak, dong dapat cuannya," candaku yang sukses menciptakan lengkung manis dibibirnya. 

"Buat bonus anak-anak akhir tahun."

Kami bercerita seperti biasanya, mengalir seolah-olah tidak pernah bertengkar sebelumnya. Sesampainya di rumah, kuparkir mobil dengan cantik di halaman depan. Tempat berteduh sederhana yang dibeli berdua dengan hasil usaha sendiri. 

Begitu daun pintu tertutup, kutarik lembut lengannya. Aku rindu. Selama satu minggu tak memeluknya, terasa ada yang hampa.

"Baru nyampai juga." Pipi Riska merona.

Sikapnya itu membuatku gemas dan semakin erat merengkuhnya.

"Masih marah?" tanyaku mesra.

Riska membuang pandangan sembari menggeleng. Lalu, kubawa di ke kamar dan menyelesaikan semua. 

***

Aku terbangun saat dering ponsel berbunyi tiada henti. Sepertinya aku mengaktifkam mode silnet karena terlalu lelah dengan kebersaaman bersama Riska seharian ini. 

Kunyalakan lampu kamar dan melirik ke arah jam di dinding. Jarumnya menunjukkan angka satu. Siapa yang iseng menelepon tengah malam begini? 

Aku mengambil ponsel dan melihat sebuah nomor tak dikenal tertera di layar. Kuangkat pada dering ke sekian. Siapa tahu memang penting, bukan?

"Rahman, ini Sinta." Terdengar suara lembut san agak serak di seberang sana. 

Aku mengumpat berkali-kali. Untuk apalagi dia menganggu. Nomornya yang dulu pernah menghubungi, sudah kublokir. Salahku malah lupa mengganti dengan nomor sendiri dengan yang baru. 

"Jangan ganggu aku lagi," bisikku karena takut Riska terbangun. Aku bahkan menutup mulut saat berbicara. 

"Tapi aku kangen."

"Aku sudah gak kerja begitu lagi. Baiknya Tante cari orang lain," jawabku cepat.

"Aku gak bisa lupain kamu. Aku, kan, orang yang pertama kali sama kamu. Inget malam itu, gak?" katanya lagi. 

Pertanyaan itu membuatku geram dan ingin segera memutuskan sambungan. 

"Aku sudah bahagia. Tolong jangan rusak rumah tanggaku. Tante juga punya keluarga. Jangan mempermalukan diri sendiri."

Tut!

Sambungan telepon kuputus begitu saja bersamaan dengan kepala yang terasa sakit karena terbangun tadi. Aku berjalan menuju kamar mandi dan mencuci muka, menatap wajah berdosa ini dari pantulan kaca. 

Entah bagaimana kehidupan ini akan berlangsung kedepannya. Aku hanya bisa pasrah. Kadang, kita memang harus menerima takdir yang telah ditetapkan sekalipun itu menyakitkan. Maka berdamai dengannya adalah jalan menuju ketenangan hati. 

Aku kembali ke kamar dan mengambil segelas air di meja dan menghabiskannya dengan cepat, lalu duduk di ranjang, hendak melanjutkan tidur. 

Ponsel kembali berbunyi. Aku membukanya karena ada sebuah pesan yang masuk. 

'Aku mau ketemu. Berdua. Kalau kamu gak mau juga, aku sebar foto-foto kita.'

"Foto? Ah, si--"

Kuabaikan lagi, karena jika diladeni malah akan semakin menjadi. Lalu, sebuah gambar aku dan dia, entah di malam yang mana, muncul di pesan itu.

Aku segera menghapusnya karena merasa jijik melihat perilaku yang dulu. Selain itu, untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu Riska membuka ponselku. 

Kami memang menjaga privasi dengan tidak mencampuri urusan masing-masing. Namun, kadang-kadang aku membiarkan Riska memakai ponselku jika dia ingin meminta nomor seseorang. 

"Mas." 

Panggilan Riska mengangetkanku. 

"Apa, Sayang?"

"Siapa telepon? Kok, Mas bisik-bisik?" tanyanya dengan mata yang masih terpejam.

Aku segera merengkuh Riska dengan erat lalu mengusap anak rambutnya yang terjuntai di pelipis.

"Anak bengkel," jawabku berbohong. 

"Ada apa malam begini?"

Riska membuka mata dan menatapku lekat, lalu membenamkan kepalanya ke dalam dekapanku. 

"Mau ... pijam uang." 

Riska mengeratkan pelukan dan kembali memejamkan mata. Aku mengucap syukur dalam hati bahwa dia tak curiga dan kembali tidur. 

Sepertinya, aku memang harus bertemu dengan Sinta untuk menyelesaikan semua. Wanita itu akan terus meneror selama keinginannya belum terpenuhi. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Taubat Sang Pendosa   Ziarah

    Hari ini cuaca cerah. Aku menggandeng lengan Riska memasuki sebuah area pemakaman. Tadi kami sudah berziarah ke makan Ibu yang terletak didekat rumah. Kini dia memintaku untuk menemani berkunjung ke makam orang tuanya.Di depan pintu gerbang, kami membeli bunga untuk taburan. Ini bukan bulannya untuk berziarah, tetapi kami selalu menyempatkan diri untuk datang.Dua gundukan berwarna hijau itu tertera nama Mama dan Papa. Mereka dimakamkan bersebelahan. Itulah amanat Mama sebelum meninggalkan kami.Papa berpulang duluan karena komplikasi penyakit diabetes. Kabarnya, di masa muda beliau sering mengkonsumsi makanan cepat saji. Oleh karena itulah, Riska sangat menjaga pola makan kami karena khawatir itu akan terulang.Kepergian Damar dan Papa yang memiliki riwayat penyakit yang sama, membuat Riska sedikit trauma karena menyaksikan langsung bagaimana proses pengobatannya."Nanti kalau aku meninggal duluan, makamkan aku di sebelah Mama ya, Pa," pinta Risk

  • Taubat Sang Pendosa   Hari yang Dinanti

    Hari yang dinanti oleh kami telah tiba. Fajar tampak gagah dengan memakai beskap berwarna putih. Aku juga memakai pakaian yang sama hanya berbeda modelnya. Saat ini kami sedang berada di sebuah Masjid Raya. Tempat di mana Fajar akan mempersunting pujaan hatinya. Ada satu ruang yang sudah didesain sedemikian rupa untuk melangsungkan acara sakral ini. "Gimana penampilanku, Pa?" Fajar terlihat gugup sejak tadi. Sedari tadi dia mondar-mandir dan gelisah. Aku sudah menyuruhnya duduk tetapi dia menolak. Putraku berulang kali mengusap kedua telapak tangannya karena gugup. "Udah ganteng maksimal sama kayak Papa Damar," jawabku meyakinkan. "Beneran, Pa?" Aku mengangguk, mengerti sekali apa yang sedang dia rasakan. Dulu aku juga pernah mengalami hal seperti ini saat akan menikahi Riska. Dua kali malah. Namun, justeru yang kedua itu yang paling mendebarkan. Fajar membalikkan tubuh dan menatapku lekat, lalu mengambil foto yang terletak di

  • Taubat Sang Pendosa   Prestasi

    Aku melajukan motor dengan kecepatan tinggi melewati beberapa jalan agar segera sampai di tempat tujuan. Harusnya aku sudah berada di sana karena acara sudah dimulai."Papa udah sampai di mana?" tanya Riska saat aku menjawab panggilannya.Padahal ini masih di jalan raya dan aku terpaksa menepi karena sejak tadi ponsel bergetar tiada henti. Sudah satu jam Riska menunggu dan aku belum datang."Acara utama udah mau selesai. Fajar mau naik ke panggung sebentar lagi.""Iya, Ma. Ini juga lagi di jalan!" teriakku dia antara bunyi bising kendaraan lain yang berlalu-lalang.Aku mengabaikan omelan itu dan langsung memutuskan sambungan. Kuselipkan ponsel di saku, lalu kembali melaju. Hati ini berdebar sejak tadi karena aku akan menyesal jika sampai tidak menyaksikannya.Hari ini adalah hari kelulusan Fajar di Sekolah Menengah Pertama. Putraku yang akan maju memberikan sambutan mewakili teman-teman satu angkatan, karena dia menjadi siswa terbaik tahun i

  • Taubat Sang Pendosa   Nasihat

    Beberapa tahun kemudian."Fajar, dengarin papa kamu bicara!" bentak Riska.Fajar sudah melakukan suatu kesalahan dan menolak dinasihati. Sejak tadi kami menunggunya turun hingga Riska naik dan memanggilnya.Beberapa tahun ini banyak hal yang berubah dari keluarga kami. Fajar yang mulai sulit diatur kerena sudah memiliki keinginan sendiri. Anak berusia sebelas tahun itu lebih suka menyendiri di kamar.Riska juga sama, menjadi ibu yang semakin cerewet juga terlalu banyak mengatur. Kami sama-sama takut jika sampai Fajar terjerumus ke pergaulan bebas. Oleh karena itulah, penjagaan ekstra ketat dilakukan."Jawab Papa. Kamu kamu sentuh gadis itu?" tanyaku lagi.Kami sangat terkejut ketika mendapat laporan dari wali kelas bahwa Fajar telah mendekati salah satu gadis di sekolah."Dia cantik. Abang ... suka.""Ya Allah!"Kami saling berpandangan dan menggeleng berulang kali. Aku mengulum senyum saat melihat jawaban polos darinya,

  • Taubat Sang Pendosa   Kasih Sayang Seorang Papa

    Aku memeluk Fajar yang berlari sembari menangis. Hari ini aku yang bertugas menjemputnya di sekolah. Setiap hari Sabtu, bengkel sengaja aku tutup karena Riska sedang sibuk di toko barunya."Papaaa ....""Ada apa?" tanyaku lembut."Mereka jahat.""Memangnya kenapa?""Mereka bilang--"Aku menatap Fajar yang masih tersedu dengan lekat, mencoba memahami perasaannya. Anak berusia delapan tahun itu sudah mengerti jika ada menyakiti hatinya."Papa bukan papa aku yang sebenarnya."Aku tertegun, lalu menatap segerombolan anak-anak sebaya Fajar yang sedang menunjuk ke arah kami. Sepertinya tak ada rasa takut dalam diri mereka.Aku sengaja metototkan mata untuk menakut-nakuti. Akhirnya, mereka berlari menuju gerbang sekolah. Sudah sejak lama ini terjadi dan kami pernah menghadap wali kelas untuk ditindak.Sayangnya, praktik bully itu belum bisa dihentikan. Aku sudah pernah membahas ini dengan Riska. Namun, sekalipun sudah di

  • Taubat Sang Pendosa   Indah

    Aku membuka pintu kamar dengan gemetaran. Setelah akad nikah, kami mendapatkan hadiah dari Papa untuk bermalam di sebuah hotel bintang lima.Acara pernikahan kami memang dilangsungkan secara sederhana. Hanya menghadirkan keluarga besarku dan Riska. Tidak ada pesta, cukup dengan pemberitahuan kepada beberapa kerabat dan rekan kerja.Aku membawa Riska ke hotel ini dengan berboncengan motor, setelah kami membersihkan diri seusai akad nikah. Bagiku, setelah menjadi istri, dia harus siap menemani dari awal, persis seperti pernikahan kami yang pertama.Riska bersedia menerima, begitupun keluarganya. Hanya saja istriku terlihat sedih saat harus meninggalkan Fajar. Untunglah anak itu tidak rewel dan mau ditinggal dengan neneknya."Ayo masuk," ucapku sembari menarik lengannya.Lampu kamar otomatis menyala, begitu juga dengan pendingin ruangan. Begitu ditutup kembali, aku langsung menarik Riska ke dalam pelukan.Kuusap rambutnya dengan lembut se

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status