Share

Nekat

Author: Queeny
last update Last Updated: 2021-07-23 12:58:24

Keesokan harinya. 

Kuparkir mobil bersebelahan dengan milik Riska di halaman butik. Kemarin aku menjemputnya, sehingga mobilnya ditinggal. 

"Nanti gak usah jemput, Mas. Masa' mobil aku ditinggal di sini terus," katanya saat melepas seat belt. 

Selama ini kami memang jalan sendiri-sendiri kalau berangkat bekerja. Biasanya Riska akan pergi agak siang karena membereskan rumah terlebih dahulu. Kunci butik dipegang oleh salah salah satu karyawannya. Jadi, dia bebas datang kapan saja.

Sementara itu, aku harus berangkat pagi-pagi karena kunci bengkel dipegang sendiri. Bukannya tidak percaya dengan karyawan, tapi lebih baik mengantisipasi di awal sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. 

"Masuk dulu, gak? Apa mau langsung aja?" Dia mencium punggung tanganku sebelum membuka pintu mobil.

"Gak usahlah. Udah telat," jawabku sembari melirik jam tangan. 

Pasti saat tiba di bengkel nanti, karyawan sudah menunggu di depan pintu karena aku datang terlambat.

"Eh, tapi aku ada sesuatu yang mau diliatin sama kamu, Mas. Masuk dulu bentar, ya," kata Riska merayu. 

"Ada apa memangnya?" tanyaku penasaran.

"Ada, deh. Ikut aja, Mas. Bentaran," bujuknya lagi sembari mengedipkan mata. 

Akhirnya aku luluh dan ikut ke dalam. Riska menggandeng tanganku manja. Wajahnya berseri-seri sekali pagi ini. 

"Pagi, Bu. Pak."

Para karyawan menyapa saat kami masuk. Aku membalasnya dengan anggukan. Mataku menatap sekeliling butik, hingga berhenti pada satu sosok yang sedang duduk santai di sofa. 

Bukannya itu Tante Sinta? Untuk apa dia datang ke sini lagi? Seingatku, Riska bilang semua detail baju yang akan dijahit sudah selesai. Tinggal memproduksi pesanan mereka.

"Loh, kok Tante datang lagi? Apa yang kemarin masih kurang sreg?" tanya Riska keheranan. 

Sinta terlihat salah tingkah dan gugup. Itu terlihat dari gesture tubuhnya yang gelisah. 

"Itu ... masih ada yang kurang," jawab Sinta dengan lirikan tajam ke arahku. 

Suasana menjadi canggung. Aku memilih untuk menyingkir, berpura-pura melihat beberapa baju yang di-display. Apa menariknya baju-baju dengan model begini? Bagiku terlihat aneh. 

Kaum wanita memang banyak tingkahnya. Hal itu terbukti dari model pakaian yang mereka kenakan. Namun, daripada harus ikut mengobrol bersama Sinta di sana, lebih baik aku begini.

"Rahman gak ikutan diskusi kita?" 

Pertanyaanya Sinta barusan membuatku menoleh. Kutatap wanita itu dengan tak kalah tajam sembari memberi kode agar dia tak berulah. 

"Suami saya, kan, gak ada hubungannya sama pesenan Tante. Kenapa harus ikut?" tanya Riska. Raut wajahnya terlihat kebingungan saat menatap kami secara bergantian. 

"Itu ... untuk yang beskap, mungkin bisa minta bantuan suami kamu buat masukkannya. Tante kurang puas sama design yang kamu bikin kemarin," jawab Sinta dengan santai. Bibir wanita itu menyunggingkan senyum licik, merasa diri sudah menang karena berhasil mempermainkan aku. 

Aku membuang pandangan dan mengumpat dalam hati. Baiklah, dia menang kali ini. Namun, akan aku pastikan bahwa dia tak akan berani mencobanya lain kali. 

"Mas Rahman mau berangkat kerja, Tante. Baiknya kita berdua aja," tolak Riska halus. 

Istriku hendak menarik lengan Sinta agar masuk ke ruangan, ketika wanita itu berkata.

"Eh, sebentar. Tante ada foto yang mau diliatin sama kamu, Riska." 

Sinta berpura-pura mengambil ponsel di dalam tas tetapi matanya menatap tajam ke arahku.

Melihat itu, aku segera mengambil sikap sebelum sesuatu terjadi.  

"Sudah gak apa-apa. Mas bantu diskusi di dalam. Biar cepat selesai." 

Aku ikut menimpali pembicaraan mereka. Jangan sampai Sinta nekat mengirimkan foto kami kepada istriku. Bisa pecah perang dunia ketiga nanti. 

"Tapi, Mas. Kasihan kan karyawan kamu jadi lama nunggu di depan," kata istriku masih berusaha menolak permintaan Sinta. Feeling perempuan sangatlah kuat. Dia pasti mencurigai sesuatu.

"Ayok." 

Aku menarik lengan Riska lalu berjalan ke dalam. Sinta mengekori kami di belakang. Bunyi high heels yang dia pakai bergema di ruangan ini. Sepertinya dia memang merencanakan untuk menerorku. Itu terbukti dengan dress merah ketat yang dipakainya hari ini, sama seperti sewaktu pertama kali kami bertemu. 

"Duduk, Tante. Aku ambilkan minuman dulu." 

Istriku membuka kulkas, mengeluarkan beberapa minuman kaleng dan meletakkannya di meja. 

Aku mengambil satu dan membukanya. Berusaha bersikap sesantai mungkin, padahal dalam hati tak karuan. Entah Sinta akan berulah apa kali ini, aku hanya bisa mengikuti permainannya. 

"Tadi Tante mau liatin foto apa?" tanya Riska saat memilih duduk di sebelahku. 

Sementara itu, Sinta duduk di depan, berhadapan dengan kami.

"Eh, apa ya? Lupa," katanya santai sambil melipat tangan di dada. Itu menyebabkan bagian depan gaunnya tertarik ke dalam.

Aku membuang wajah. Bagaimanapun juga, dulu kami pernah menghabiskan hari bersama. Sedikit banyak, kenangan itu masih tersimpan di benakku. Harus diakui, Sinta masih tetap menarik sekalipun kami sudah lama tidak bertemu. 

"Kalau gitu langsung aja ke intinya. Bagian mana yang Tante gak suka? Nanti Mas Rahman yang bantu kasih masukan."

Riska mengeluarkan sebuah buku dan mencari gambar design yang dimaksud. Lalu mereka berdua berdiskusi. Sinta meminta banyak bagian agar diganti agar dibuat lebih mewah. Dia tak masalah jika harus menambah biaya. 

"Coba suami kamu berdiri, deh. Tante pengen cocokin pake badannya. Biar lebih pas," ucap Sinta sembari mengedipkan mata ke arahku. 

Aku tersedak minuman saat mendengarnya, lalu dengan cepat mengambil tissue dan membersihkan mulut. 

"Ya gak bisalah, Tante. Ukuran badan orang kan beda-beda. Lagipula ini kan untuk lima belas orang. Mana bisa disamakan sama Mas Rahman aja," kata istriku. Wajahnya terlihat kesal. Hendak mengusir Sinta juga tidak mungkin karena dia pelanggan.

"Buat contoh aja, sih. Dikira-kira gitu. Tapi kayaknya kalau ukuran Rahman pas aja deh buat Tante," katanya dengan senyum licik. Aku tahu maksud kata 'ukuran' tadi itu apa. Dia sengaja ingin memancing emosi. 

Kuremas kaleng minuman yang sudah kosong kemudian berdiri dan melemparnya ke tempat sampah di sudut. Kesal.

"Ukur!" kataku menahan geram.

Sinta langsung berdiri, lalu memegang pundak juga lenganku. Aku menahan napas saat dia menyentuh bagian dada. Entah berapa banyak umpatan yang terucap hari ini. Aku sudah tidak perduli.

"Begini sudah cocok, belum?" tanya Riska. 

"Eh, iya. Udah aja, deh," jawab Sinta sambil tersenyum senang. 

"Kalau ini berarti gak ada yang diubah, Tante. Cuma nambahin beberapa hiasan. Beskap itukan modelnya begitu aja." Riska menjelaskan. Mereka kembali berdiskusi yang membuat aku malas mendengarnya.

"Mas, jalan dulu." Aku berpamitan karena tak tahan berlama-lama berada di sana. Bisa mendidih darahku melihat tingkah Sinta yang semakin menjadi. 

"Yang tadi mau aku lihatin nanti dibawa ke rumah aja ya, Mas," ucap Riska sembari melambaikan tangan.

"Makasih ya Rahman atas batuannya," ucap Sinta dengan mata berbinar.

Aku mengangguk lalu keluar ruangan. Ketika sudah di dalam mobil dan hendak menyalakan mesin sebuah pesan masuk.

"Kamu makin oke. Aku kangen pengen peluk." Lagi, dari Sinta.

Kuabaikan chat itu dan mulai menyetir saat ada pesan masuk lagi. 

"Kopi Tiam. Nanti malam jam 7. Aku tunggu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
yenyen
makanya bikin dirinya jadi buncit biar ga tertarik lagi tante tante
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Taubat Sang Pendosa   Ziarah

    Hari ini cuaca cerah. Aku menggandeng lengan Riska memasuki sebuah area pemakaman. Tadi kami sudah berziarah ke makan Ibu yang terletak didekat rumah. Kini dia memintaku untuk menemani berkunjung ke makam orang tuanya.Di depan pintu gerbang, kami membeli bunga untuk taburan. Ini bukan bulannya untuk berziarah, tetapi kami selalu menyempatkan diri untuk datang.Dua gundukan berwarna hijau itu tertera nama Mama dan Papa. Mereka dimakamkan bersebelahan. Itulah amanat Mama sebelum meninggalkan kami.Papa berpulang duluan karena komplikasi penyakit diabetes. Kabarnya, di masa muda beliau sering mengkonsumsi makanan cepat saji. Oleh karena itulah, Riska sangat menjaga pola makan kami karena khawatir itu akan terulang.Kepergian Damar dan Papa yang memiliki riwayat penyakit yang sama, membuat Riska sedikit trauma karena menyaksikan langsung bagaimana proses pengobatannya."Nanti kalau aku meninggal duluan, makamkan aku di sebelah Mama ya, Pa," pinta Risk

  • Taubat Sang Pendosa   Hari yang Dinanti

    Hari yang dinanti oleh kami telah tiba. Fajar tampak gagah dengan memakai beskap berwarna putih. Aku juga memakai pakaian yang sama hanya berbeda modelnya. Saat ini kami sedang berada di sebuah Masjid Raya. Tempat di mana Fajar akan mempersunting pujaan hatinya. Ada satu ruang yang sudah didesain sedemikian rupa untuk melangsungkan acara sakral ini. "Gimana penampilanku, Pa?" Fajar terlihat gugup sejak tadi. Sedari tadi dia mondar-mandir dan gelisah. Aku sudah menyuruhnya duduk tetapi dia menolak. Putraku berulang kali mengusap kedua telapak tangannya karena gugup. "Udah ganteng maksimal sama kayak Papa Damar," jawabku meyakinkan. "Beneran, Pa?" Aku mengangguk, mengerti sekali apa yang sedang dia rasakan. Dulu aku juga pernah mengalami hal seperti ini saat akan menikahi Riska. Dua kali malah. Namun, justeru yang kedua itu yang paling mendebarkan. Fajar membalikkan tubuh dan menatapku lekat, lalu mengambil foto yang terletak di

  • Taubat Sang Pendosa   Prestasi

    Aku melajukan motor dengan kecepatan tinggi melewati beberapa jalan agar segera sampai di tempat tujuan. Harusnya aku sudah berada di sana karena acara sudah dimulai."Papa udah sampai di mana?" tanya Riska saat aku menjawab panggilannya.Padahal ini masih di jalan raya dan aku terpaksa menepi karena sejak tadi ponsel bergetar tiada henti. Sudah satu jam Riska menunggu dan aku belum datang."Acara utama udah mau selesai. Fajar mau naik ke panggung sebentar lagi.""Iya, Ma. Ini juga lagi di jalan!" teriakku dia antara bunyi bising kendaraan lain yang berlalu-lalang.Aku mengabaikan omelan itu dan langsung memutuskan sambungan. Kuselipkan ponsel di saku, lalu kembali melaju. Hati ini berdebar sejak tadi karena aku akan menyesal jika sampai tidak menyaksikannya.Hari ini adalah hari kelulusan Fajar di Sekolah Menengah Pertama. Putraku yang akan maju memberikan sambutan mewakili teman-teman satu angkatan, karena dia menjadi siswa terbaik tahun i

  • Taubat Sang Pendosa   Nasihat

    Beberapa tahun kemudian."Fajar, dengarin papa kamu bicara!" bentak Riska.Fajar sudah melakukan suatu kesalahan dan menolak dinasihati. Sejak tadi kami menunggunya turun hingga Riska naik dan memanggilnya.Beberapa tahun ini banyak hal yang berubah dari keluarga kami. Fajar yang mulai sulit diatur kerena sudah memiliki keinginan sendiri. Anak berusia sebelas tahun itu lebih suka menyendiri di kamar.Riska juga sama, menjadi ibu yang semakin cerewet juga terlalu banyak mengatur. Kami sama-sama takut jika sampai Fajar terjerumus ke pergaulan bebas. Oleh karena itulah, penjagaan ekstra ketat dilakukan."Jawab Papa. Kamu kamu sentuh gadis itu?" tanyaku lagi.Kami sangat terkejut ketika mendapat laporan dari wali kelas bahwa Fajar telah mendekati salah satu gadis di sekolah."Dia cantik. Abang ... suka.""Ya Allah!"Kami saling berpandangan dan menggeleng berulang kali. Aku mengulum senyum saat melihat jawaban polos darinya,

  • Taubat Sang Pendosa   Kasih Sayang Seorang Papa

    Aku memeluk Fajar yang berlari sembari menangis. Hari ini aku yang bertugas menjemputnya di sekolah. Setiap hari Sabtu, bengkel sengaja aku tutup karena Riska sedang sibuk di toko barunya."Papaaa ....""Ada apa?" tanyaku lembut."Mereka jahat.""Memangnya kenapa?""Mereka bilang--"Aku menatap Fajar yang masih tersedu dengan lekat, mencoba memahami perasaannya. Anak berusia delapan tahun itu sudah mengerti jika ada menyakiti hatinya."Papa bukan papa aku yang sebenarnya."Aku tertegun, lalu menatap segerombolan anak-anak sebaya Fajar yang sedang menunjuk ke arah kami. Sepertinya tak ada rasa takut dalam diri mereka.Aku sengaja metototkan mata untuk menakut-nakuti. Akhirnya, mereka berlari menuju gerbang sekolah. Sudah sejak lama ini terjadi dan kami pernah menghadap wali kelas untuk ditindak.Sayangnya, praktik bully itu belum bisa dihentikan. Aku sudah pernah membahas ini dengan Riska. Namun, sekalipun sudah di

  • Taubat Sang Pendosa   Indah

    Aku membuka pintu kamar dengan gemetaran. Setelah akad nikah, kami mendapatkan hadiah dari Papa untuk bermalam di sebuah hotel bintang lima.Acara pernikahan kami memang dilangsungkan secara sederhana. Hanya menghadirkan keluarga besarku dan Riska. Tidak ada pesta, cukup dengan pemberitahuan kepada beberapa kerabat dan rekan kerja.Aku membawa Riska ke hotel ini dengan berboncengan motor, setelah kami membersihkan diri seusai akad nikah. Bagiku, setelah menjadi istri, dia harus siap menemani dari awal, persis seperti pernikahan kami yang pertama.Riska bersedia menerima, begitupun keluarganya. Hanya saja istriku terlihat sedih saat harus meninggalkan Fajar. Untunglah anak itu tidak rewel dan mau ditinggal dengan neneknya."Ayo masuk," ucapku sembari menarik lengannya.Lampu kamar otomatis menyala, begitu juga dengan pendingin ruangan. Begitu ditutup kembali, aku langsung menarik Riska ke dalam pelukan.Kuusap rambutnya dengan lembut se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status