Keesokan harinya.
Kuparkir mobil bersebelahan dengan milik Riska di halaman butik. Kemarin aku menjemputnya, sehingga mobilnya ditinggal.
"Nanti gak usah jemput, Mas. Masa' mobil aku ditinggal di sini terus," katanya saat melepas seat belt.
Selama ini kami memang jalan sendiri-sendiri kalau berangkat bekerja. Biasanya Riska akan pergi agak siang karena membereskan rumah terlebih dahulu. Kunci butik dipegang oleh salah salah satu karyawannya. Jadi, dia bebas datang kapan saja.
Sementara itu, aku harus berangkat pagi-pagi karena kunci bengkel dipegang sendiri. Bukannya tidak percaya dengan karyawan, tapi lebih baik mengantisipasi di awal sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
"Masuk dulu, gak? Apa mau langsung aja?" Dia mencium punggung tanganku sebelum membuka pintu mobil.
"Gak usahlah. Udah telat," jawabku sembari melirik jam tangan.
Pasti saat tiba di bengkel nanti, karyawan sudah menunggu di depan pintu karena aku datang terlambat.
"Eh, tapi aku ada sesuatu yang mau diliatin sama kamu, Mas. Masuk dulu bentar, ya," kata Riska merayu.
"Ada apa memangnya?" tanyaku penasaran.
"Ada, deh. Ikut aja, Mas. Bentaran," bujuknya lagi sembari mengedipkan mata.
Akhirnya aku luluh dan ikut ke dalam. Riska menggandeng tanganku manja. Wajahnya berseri-seri sekali pagi ini.
"Pagi, Bu. Pak."
Para karyawan menyapa saat kami masuk. Aku membalasnya dengan anggukan. Mataku menatap sekeliling butik, hingga berhenti pada satu sosok yang sedang duduk santai di sofa.
Bukannya itu Tante Sinta? Untuk apa dia datang ke sini lagi? Seingatku, Riska bilang semua detail baju yang akan dijahit sudah selesai. Tinggal memproduksi pesanan mereka.
"Loh, kok Tante datang lagi? Apa yang kemarin masih kurang sreg?" tanya Riska keheranan.
Sinta terlihat salah tingkah dan gugup. Itu terlihat dari gesture tubuhnya yang gelisah.
"Itu ... masih ada yang kurang," jawab Sinta dengan lirikan tajam ke arahku.
Suasana menjadi canggung. Aku memilih untuk menyingkir, berpura-pura melihat beberapa baju yang di-display. Apa menariknya baju-baju dengan model begini? Bagiku terlihat aneh.
Kaum wanita memang banyak tingkahnya. Hal itu terbukti dari model pakaian yang mereka kenakan. Namun, daripada harus ikut mengobrol bersama Sinta di sana, lebih baik aku begini.
"Rahman gak ikutan diskusi kita?"
Pertanyaanya Sinta barusan membuatku menoleh. Kutatap wanita itu dengan tak kalah tajam sembari memberi kode agar dia tak berulah.
"Suami saya, kan, gak ada hubungannya sama pesenan Tante. Kenapa harus ikut?" tanya Riska. Raut wajahnya terlihat kebingungan saat menatap kami secara bergantian.
"Itu ... untuk yang beskap, mungkin bisa minta bantuan suami kamu buat masukkannya. Tante kurang puas sama design yang kamu bikin kemarin," jawab Sinta dengan santai. Bibir wanita itu menyunggingkan senyum licik, merasa diri sudah menang karena berhasil mempermainkan aku.
Aku membuang pandangan dan mengumpat dalam hati. Baiklah, dia menang kali ini. Namun, akan aku pastikan bahwa dia tak akan berani mencobanya lain kali.
"Mas Rahman mau berangkat kerja, Tante. Baiknya kita berdua aja," tolak Riska halus.
Istriku hendak menarik lengan Sinta agar masuk ke ruangan, ketika wanita itu berkata.
"Eh, sebentar. Tante ada foto yang mau diliatin sama kamu, Riska."
Sinta berpura-pura mengambil ponsel di dalam tas tetapi matanya menatap tajam ke arahku.
Melihat itu, aku segera mengambil sikap sebelum sesuatu terjadi.
"Sudah gak apa-apa. Mas bantu diskusi di dalam. Biar cepat selesai."
Aku ikut menimpali pembicaraan mereka. Jangan sampai Sinta nekat mengirimkan foto kami kepada istriku. Bisa pecah perang dunia ketiga nanti.
"Tapi, Mas. Kasihan kan karyawan kamu jadi lama nunggu di depan," kata istriku masih berusaha menolak permintaan Sinta. Feeling perempuan sangatlah kuat. Dia pasti mencurigai sesuatu.
"Ayok."
Aku menarik lengan Riska lalu berjalan ke dalam. Sinta mengekori kami di belakang. Bunyi high heels yang dia pakai bergema di ruangan ini. Sepertinya dia memang merencanakan untuk menerorku. Itu terbukti dengan dress merah ketat yang dipakainya hari ini, sama seperti sewaktu pertama kali kami bertemu.
"Duduk, Tante. Aku ambilkan minuman dulu."
Istriku membuka kulkas, mengeluarkan beberapa minuman kaleng dan meletakkannya di meja.
Aku mengambil satu dan membukanya. Berusaha bersikap sesantai mungkin, padahal dalam hati tak karuan. Entah Sinta akan berulah apa kali ini, aku hanya bisa mengikuti permainannya.
"Tadi Tante mau liatin foto apa?" tanya Riska saat memilih duduk di sebelahku.
Sementara itu, Sinta duduk di depan, berhadapan dengan kami.
"Eh, apa ya? Lupa," katanya santai sambil melipat tangan di dada. Itu menyebabkan bagian depan gaunnya tertarik ke dalam.
Aku membuang wajah. Bagaimanapun juga, dulu kami pernah menghabiskan hari bersama. Sedikit banyak, kenangan itu masih tersimpan di benakku. Harus diakui, Sinta masih tetap menarik sekalipun kami sudah lama tidak bertemu.
"Kalau gitu langsung aja ke intinya. Bagian mana yang Tante gak suka? Nanti Mas Rahman yang bantu kasih masukan."
Riska mengeluarkan sebuah buku dan mencari gambar design yang dimaksud. Lalu mereka berdua berdiskusi. Sinta meminta banyak bagian agar diganti agar dibuat lebih mewah. Dia tak masalah jika harus menambah biaya.
"Coba suami kamu berdiri, deh. Tante pengen cocokin pake badannya. Biar lebih pas," ucap Sinta sembari mengedipkan mata ke arahku.
Aku tersedak minuman saat mendengarnya, lalu dengan cepat mengambil tissue dan membersihkan mulut.
"Ya gak bisalah, Tante. Ukuran badan orang kan beda-beda. Lagipula ini kan untuk lima belas orang. Mana bisa disamakan sama Mas Rahman aja," kata istriku. Wajahnya terlihat kesal. Hendak mengusir Sinta juga tidak mungkin karena dia pelanggan.
"Buat contoh aja, sih. Dikira-kira gitu. Tapi kayaknya kalau ukuran Rahman pas aja deh buat Tante," katanya dengan senyum licik. Aku tahu maksud kata 'ukuran' tadi itu apa. Dia sengaja ingin memancing emosi.
Kuremas kaleng minuman yang sudah kosong kemudian berdiri dan melemparnya ke tempat sampah di sudut. Kesal.
"Ukur!" kataku menahan geram.
Sinta langsung berdiri, lalu memegang pundak juga lenganku. Aku menahan napas saat dia menyentuh bagian dada. Entah berapa banyak umpatan yang terucap hari ini. Aku sudah tidak perduli.
"Begini sudah cocok, belum?" tanya Riska.
"Eh, iya. Udah aja, deh," jawab Sinta sambil tersenyum senang.
"Kalau ini berarti gak ada yang diubah, Tante. Cuma nambahin beberapa hiasan. Beskap itukan modelnya begitu aja." Riska menjelaskan. Mereka kembali berdiskusi yang membuat aku malas mendengarnya.
"Mas, jalan dulu." Aku berpamitan karena tak tahan berlama-lama berada di sana. Bisa mendidih darahku melihat tingkah Sinta yang semakin menjadi.
"Yang tadi mau aku lihatin nanti dibawa ke rumah aja ya, Mas," ucap Riska sembari melambaikan tangan.
"Makasih ya Rahman atas batuannya," ucap Sinta dengan mata berbinar.
Aku mengangguk lalu keluar ruangan. Ketika sudah di dalam mobil dan hendak menyalakan mesin sebuah pesan masuk.
"Kamu makin oke. Aku kangen pengen peluk." Lagi, dari Sinta.
Kuabaikan chat itu dan mulai menyetir saat ada pesan masuk lagi.
"Kopi Tiam. Nanti malam jam 7. Aku tunggu."
Sesuai dengan permintaan Sinta, setelah bengkel tutup aku langsung menuju ke Kopi Tiam. Tempat itu berada di sebuah mall yang terletak di tengah kota.Sebuah pesan kukirim ke Riska untuk mengabari kalau aku akan pulang malam hari ini. Alasanku karena ada keperluan dengan seorang teman lama. Untunglah dia mengerti. Aku merasasedikit lega saat dia tak banyak bertanya dan hanya membalas 'iya'.Sesampainya di sana ternyata Sinta sudah menunggu. Seperti biasa, dengan penampilan yang glamour juga dandanan menor. Wanita itu memang sejak dulu tak banyak berubah, mengandalkan kecantikan fisik untuk menggoda lawan jenis."Mau pesan apa?" Sinta menyodorkan daftar menu.Aku langsung menolaknya karena memang tak ada niat untuk berbincang lama di sini. Aku hanya sekadar ingin tahu apa maunya. Itu saja."Minum dulu, Rahman. Jangan buru-buru gitu," ucapnya dengan penuh harap. Tangannya bahkan hendak menyentuh jemariku. Namun, sebelum itu terjadi, aku dengan
Riska meletakkan sebuah undangan mewah berwarna abu-abu dengan pita gold berhiaskan mutiara di meja, saat aku sedang mencatat beberapa keperluan bengkel yang akan dibeli."Apa ini?" tanyaku sembari meletakkan pulpen. Bau harum seketika menguar saat kubuka bungkusnya."Itu acara nikahannya keponakan Tante Sinta. Dia ngundang kita, Mas. Katanya, keluarga mereka pengen kenalan sama desainernya," jelas Riska saat duduk di sebelahku. Lengannya melingkar di pinggang dengan erat, sehingga membuatku ingin memanjakannya saat ini juga."Loh, bukannya waktu ukur baju mereka datang semua?" tanyaku lagi.Aku membuka dan membaca isinya, melihat nama kedua mempelai, lalu kaget saat mendapati siapa saja yang menjadi tamu kehormatan. Nama beberapa pejabat dan pengusaha penting di kota ini tercantum di sana.Acara akad nikahnya akan berlangsung di masjid raya, sedangkan resepsi di sebuah gedung besar. Keluarga Sinta pastilah kaya sehingga mengadakan pesta seme
Riska memandangku dengan tajam. Tangannya terlipat di dada dengan bibir ditekuk. Napasnya naik turun, tapi saat berbicara masih halus terdengar. Dia berusaha menahan diri. Padahal aku tahu itu ... marah."Jujur! Darimana Mas kenal dengan mereka?"Aku terdiam seperti biasa. Bukankah laki-laki harus begitu jika menghadapi wanita yang sedang marah? Agar tak terjadi luapan emosi yang semakin meledak."Aku minta penjelasan. Dari awal ketemu Tante Sinta di butik, aku udah curiga. Kenapa dia bisa kenal Mas? Bahkan tau kebiasaan mas," lanjutnya.Riska mencecarku dengan banyak pertanyaan dan aku masih menatapnya dengan hati gamang. Aku menjadi serba salah, jika berkata jujur maka semua akan terbongkar. Aku tak mau kehilangan dia, bahkan tak sanggup hidup lagi jika sampai itu terjadi."Jawab, Mas. Apa kamu punya masa lalu yang masih disimpan dan aku belum tahu?" cecarnya.Lagi, bibir ini bungkam. Sulit untuk mengatakan kebenaran. Masa laluku adalah ai
Semua mata menatap kami dengan heran, lalu bisik-bisik kembali terdengar. Aku merangkul Riska untuk saling menguatkan. Jemari kami bertautan dengan erat seolah tak ingin dipisahkan."Jadi ... selama ini yang gak subur itu Mas Rahman?" tanya Dina setengah tak percaya. Selama ini dialah yang ngotot memojokkan kakak iparnya karena sakit hati."Iya. Ini hasil tes rumah sakit."Aku mengeluarkan selembar kertas hasil pemeriksaan dari saku dan menyodorkannya. Dina meraihnya dengan cepat, lalu bergantian dengan Ibu dan keluarga yang lain.Aku kembali menatap Riska sembari tersenyum. Akhirnya rasa bersalah kepadanya kini lepas sudah. Aku tak ingin Riska disudutkan terus menerus oleh mereka."Sudah. Sudah. Jangan dibahas lagi."Tiba-tiba saja mamanya Riska mengambil kertas itu lalu menyimpannya di tas. Beliau mengalihkan pembicaraan dengan menceritakan hal lain agar kami tak membahas itu lagi.Acara selesai. Satu per satu keluarga berpamitan pu
"Kebakaran! Kebakaran!"Suara teriakan warga sekitar menggema bersamaan dengan sirine mobil Damkar yang melintasi keramaian.Kulihat para petugas berseragam jingga itu bergegas turun sembari sibuk menarik selang yang akan menyemburkan air. Mereka berteriak, saling memberikan perintah agar api yang sedang berkobar dapat segera dipadamkan.Aku terpaku dengan tangan gemetaran di depan bengkel. Bangunan kokoh yang selama ini menjadi tempat mencari rezeki itu kini lenyap dalam sekejap.Untungnya tidak ada korban jiwa karena terjadi di malam hari saat bengkel sudah tutup. Diduga, korsleting listrik adalah penyebab utamanya."Sabar, Pak," ucap salah seorang karyawan sembari menepuk bahuku.Dialah yang memberitahu karena tinggal di dekat situ. Aku terbangun di tengah malam karena sebuah telepon yang mengabari kejadian ini. Kutinggalkan Riska yang kebingungan dan bergegas menuju ke sini."Semangat saya hilang bersama dengan hancurnya ban
Aku menghela napas setelah Sinta pergi dan memintanya datang kembali untuk bertemu dengan Riska esok hari. Untunglah dia tak berani berulah selama di butik, karena aku mengancam akan mencekik lehernya jika sampai berbuat nekat."Tadi ada tamu?" tanya Riska saat kembali setelah makan siang.Aku sendiri memesan makanan online untuk makan siang dan beberapa karyawaan butik. Sepertinya besok aku tidak akan datang ke sini, mengingat cukup bahaya jika sampai bertemu dengan 'ular' itu lagi."Sinta. Katanya mau pesen baju lagi. Entah buat apa aku gak tanya," jawabku santai saat menemui Riska di depan.Aku sudah selesai menyortir kain dan itu terasa membosankan karena tidak ada tantangannya sama sekali. Berbeda dengan bengkel yang membuatku lebih 'hidup' saat mengerjakannya."Iya, Bu. Tadi Ibu Sinta datang, terus Bapak terima di ruang belakang."Aku tersentak mendengarnya. Secara bersamaan kami menoleh ke arah karyawan yang mengatakan itu tadi. Aku m
Hari ini aku bergegas ke rumah sakit hendak menemui Fredy untuk bertanya perihal foto-foto itu. Aku menyesal mengapa kemarin tidak mengambil itu dari tasnya.Riska berangkat ke butik pagi-pagi karena ada janji temu dengan Sinta. Untunglah dia mengerti bahwa aku tak bisa membantu menyortir kain, setelah kuceritakan kejadian di rumah sakit kemarin.Mobil kulajukan dengan kecepatan tinggi karena mengejar waktu. Begitu tiba di sana, aku langsung menuju kamar tempat Fredy dirawat."Hai, Bro. Udah sehat?" sapaku ramah.Aku berniat menggali semua informasi sehingga memilih berpura-pura tidak tahu. Kemunculan Sinta yang tiba-tiba, kebakaran bengkel, dan pertemuan tak sengaja dengan Fredy yang terjadi dalam waktu dekat, membuat prasangka di hati ini semakin menjadi-jadi."Lebih baikan. Thanks Bro karena udah bawa aku ke sini. Kalau gak, mungkin aku udah lewat," ucapnya sembari tersenyum.Aku memulai perbincangan agar suasana mencair dan tidak k
Aku mengerjap berulang kali, lalu merasakan sakit di kepala yang begitu hebat. Pandanganku tampak samar dan buram, bersamaan dengan nyeri yang menyerang di beberapa bagian tubuh."Rahman. Kamu sudah sadar, Le?"Sayup-sayup kudengar suara lembut itu berbisik di telinga. Perlahan kutatap wajah sayu di sebelahku dengan penuh haru. Ada air yang menetes di kedua sudut matanya. Isaknya yang tadi lirih kini semakin jelas terdengar."Bu," ucapku pelan."Alhamdulillah kamu sadar."Ibu memelukku dengan erat bersamaan dengan tangis yang semakin menjadi. Aku mengangkat tangan dan menepuk punggungnya."Jangan banyak gerak. Kamu harus istirahat."Aku mengangguk, lalu kembali merasakan nyeri di kepala. Lalu, secara samar-samar, semua kejadian melintas di benak. Mulai dari kedatanganku ke camp, pertemuan dengan Fredy hingga perkelahian itu."Riska mana, Bu?" tanyaku saat tak melihatnya di ruangan ini."Dia di depan," jawab Ibu.