Share

Semua Bermula

Namaku Robby Putra Pratama, anak pertama dari tiga bersaudara. Sejak lulus SMA aku sudah merantau ke Jakarta tepatnya daerah Cawang Jakarta Timur. 

Mengadu nasib di tanah orang kulakukan sebagaimana kebanyakan teman-teman sekampungku pasca lulus sekolah atas. 

Lima bulan bekerja sebagai pelayan cafe ternama yang selalu ramai oleh pengunjung, membuat pergaulanku cukup luas. Mulai dari kalangan anak muda, bapak-bapak hingga wanita sosialita yang hobinya menghamburkan uang dan bersenang-senang bersama teman-temannya menghabiskan malam ditemani nyanyian romantis di Cafe Cinta tersebut. 

Mengisi kesibukan, kuputuskan untuk kuliah di siang hari. Aku ingin suatu saat kelak bisa berkarir di tempat yang lebih baik. 

Setelah kuliah, aku semakin sibuk dan harus pandai membagi waktu antara belajar, bekerja dan beristirahat. Sesekali kulakukan refresing untuk menghilangkan penat. 

Selama hampir tiga tahun bekerja di cafe itu, rasa bosan mulai muncul, hingga akhirnya aku mengobrol dengan seorang wanita langganan cafe yang sedang sendirian duduk di pojok ruangan, Silvi namanya, usia 39 tahun. 

Wanita glamor itu datang bersama beberapa teman sosialitanya, namun teman-temannya sudah terlebih dahulu cabut, menyisakannya sendiri dengan wajah seperti menyimpan banyak masalah. 

Kuberanikan diri menyapanya, dan dia tampak senang ketika aku mencoba mengobrol dan mendengarkan keluh kesahnya. 

Hampir satu jam kami bertukar pikiran, kebetulan malam itu tugasku sudah rampung sejak satu jam sebelumnya, dan cafe sudah mulai sepi pengunjung. 

Keesokan harinya, hal yang sama kami lakukan. Mengobrol hingga pengunjung tak terlihat sepotong pun di sana. Tampaknya tante Silvi, biasa aku memanggilnya, mulai nyaman denganku yang selalu setia mendengarkan curhatan dan terkadang kuselipkan dengan support berupa masukan dan ide lainnya. 

Suatu hari, wanita yang merupakan istri seorang CEO perusahan bonafit di Jakarta Timur itu mengajakku bekerja di rumahnya. 

Melihat peluang yang bagus, di saat rasa bosan bekerja di cafe tersebut hadir, segera kuiyakan ajakanya. Tak lama kemudian aku bekerja di sana sebagai supir pribadi tante Silvi yang merupakan manager salah satu anak perusahaan suaminya. 

Dengan bermodalkan pengalaman menjadi supir angkot di kampung selama dua bulan pasca lulus sekolah sebelum merantau, mudah bagiku menyesuaikan diri sebagai supir pribadi wanita karir itu. 

Alhamdulillah gaji yang kuterima dua kali lipat dari pendapatanku sebagai pelayan cafe. Salah satu fasilitas yang kudapat adalah sebuah kamar yang cukup nyaman di salah satu bagian dari rumah besar itu. 

Di rumah itu ada dua asisten rumah tangga, bi Inah yang bertugas mengurus rumah dan memasak, serta mang Ujang sebagai tukang kebun dan keperluan umum. Sama denganku, mereka pun mendapat fasilitas yang sama berupa kamar tidur yang sangat nyaman. Tak ada security di sana, karena tante Silvi tinggal di komplek perumahan elit yang sistem keamanannya sudah terjamin. 

Di rumah itulah, tante Silvi sering datang ke kamarku malam-malam dan curhat seperti biasanya tentang kondisi kehidupan keluarganya bersama pak Hendrik sang CEO yang sudah berusia 50 tahun itu. 

Sudah enam bulan tante Silvi sering merasa kesepian karena pak Hendrik jarang pulang setelah menikah lagi dengan wanita yang lebih muda darinya. Hingga suatu malam, aku tersentak dengan keadaan tante Silvi yang tiba-tiba mengunci pintu kamarku dan mendesakku ke pojok kamar. 

"Maaf, tante. Tante mau apa!" Aku berusaha menjauh. 

Namun wanita itu tampak beringas, ia 'menyerangku' dengan tatapan dan gerakan seperti ingin mengambil hal yang berharga yang hanya akan kuberikan kepada istriku kelak. Tentu saja aku terkejut dan tak menyangka wanita itu akan nekat sedemikian rupa. 

"Tolongin tante, Robby!" suaranya menyayat hati. 

Aku berusaha keras menghindar dan menyadarkan wanita itu. Namun lama kelamaan pertahananku jebol juga, antara kasihan dengan kondisi tante Silvi yang selama ini tersiksa, dengan rasa takutku bertarung. Akhirnya aku kalah, hal berharga itu pun hilang. 

Rasa bersalah tentu ada, namun kedekatan emosionalku dengan wanita itu mengalahkan segalanya. Sisi jahat dalam diriku berkesimpulan 'Tante Silvi berhak bahagia'. 

Kebiasaan buruk itu pun terus berlangsung. Aku sudah menjadi tempat pelampiasan tante Silvi. Tentu setelah ia merengkuhnya, aku mendapat bayaran cukup besar bahkan lebih besar dari gajiku sebagai supir pribadinya. 

"Mas, kok bengong, ayo sarapan!" suara Hana membuyarkan lamunanku. 

"Iya, Sayang," jawabku sambil mengucak mata. 

Sebaiknya aku mengetes reaksi Hana. Aku berdiri dari tempat duduk dan seolah memeriksa sprei dan selimut, kupastikan Hana sedang memperhatikanku. 

"Kamu cari apa, Mas?" wajahnya terlihat tegang. 

"Oh, enggak apa-apa, Han." aku melangkah ke arahnya dan segera membaur dengan kedua orangtua Hana yang sudah siap sarapan di meja makan. 

"Ayo, By ..., kita sarapan," ucap Ustadz Hasan yang kemudian aku panggil abah di rumah itu. 

"Baik, Abah!" Kini aku sudah berhadapan dengannya dan di samping beliau, Umi Nisa, menyendokkanku nasi goreng telor ceplok yang sudah siap santap. 

Namun ada yang anah, Hana kok belum membaur. Sepertinya dia masih di kamar. 

Tak lama kemudian Hana tampak keluar dari kamar, kulirik sekilas ke arahnya, tampak Hana memberi isyarat kepada Umi agar mendekat. 

Aku meneruskan mengunyah sarapan, kulihat Umi menuju Hana di dekat pintu kamar. Hana berbicara pada Umi dengan raut muka agak tegang. Aku pura-pura tak melihat ketika kedua wanita itu berbarengan menatap ke arahku. 

Pasti ada yang mereka sembunyikan!

"By, alhamdulillah, akhirnya kamu kini benar-benar menjadi anak Abah."

"Alhamdulillah, Bah. Terimakasih Abah percaya sama Robby."

"Abah yakin kamu adalah imam yang tepat untuk Hana. Abah doakan, semoga pernikahan kalian langgeng dan kelak mendapatkan keturunan yang sholeh dan sholehah." 

"Aamiin." Kuangkat kedua tangan lalu mengusapkan telapaknya ke wajah. Setelah kedua telapak tanganku kuturunkan ke atas meja, Hana dan Umi Nisa sudah hendak menaruh bokong mereka di atas kursi. 

Segera kugeser piring yang sudah berisi nasi goreng ke hadapan Hana. 

"Ayo makan yang banyak, Han!" ucapku semangat sembari kuulas senyuman semanis mungkin. 

Aku harus berusaha menyembunyikan kegelisahanku dan mencairkan suasana di saat Hana dan Umi tampak tegang, entah apa yang mereka sembunyikan. 

***

Pagi yang cerah menyapa hari kedua pernikahanku. Seusai sarapan pagi, aku dan Hana sepakat untuk menikmati udara sejuk itu dengan berkeliling kampung menaiki sepeda motor. Jalan raya penghubung kampung satu dengan kampung lainnya yang sudah relatif mulus dengan aspal yang masih terlihat hitam mengkilap, membuat tarikan gas tipis motorku melajukan kedua rodanya tanpa hambatan. 

"Hana...."

"Iya, Mas."

"Terimakasih ya kamu mau menerima aku sebagai suamimu!" Kubuka komunikasi sehati-hati mungkin. 

Rasa penasaranku tentang 'rahasia' Hana masih mendominasi. Kuharap ini adalah waktu yang tepat. 

"Sama-sama, Mas ... aku juga berterimakasih, Mas mau menerima aku apa adanya."

"Ehem ... apa adanya atau ada apanya? Hehe...."

"Maksud Mas Robby?" ucap Hana tampak tercekat bercampur heran. Sengaja aku pancing sekalian menggodanya. 

"Iya lah, Han ... aku kan menikahi kamu cuma modal nekat, aku nggak punya harta apa-apa selain pekerjaan, sedangkan kamu dan Abah serta Umi kan punya banyak aset di kampung ini. Kebun, sawah, bahkan kontrakan juga kalian punya," pungkasku diiringi dengan kekehan kecil mencairkan suasana. 

"Kamu bisa saja, Mas!" Hana melingkarkan kedua tangannya di pinggangku, kemudian kepalanya ia sandarkan di punggungku. 

Kami pun benar-benar menikmati pagi itu dengan canda tawa ringan. Semakin aku mengombrol dengan istriku itu, semakin takut aku untuk menanyakan hal yang mengganjal hatiku ini. 

Tidid! 

Bunyi klakson dari seseorang mengejutkanku yang tengah asyik memadu hati dengan Hana. 

"Hai, Hana ... selamet ya. Maaf kemaren gua nggak bisa datang ke pernikahan kalian!" Seorang lelaki muda menyapa kami dengan senyuman sempurnanya. Tampak pria itu seperti orang asli Setu Bekasi. 

"Siapa itu, Han?" tanyaku pada Hana yang tak menjawab sepotong kata pun sapaan lelaki itu. 

"Jalan saja, Mas. Jangan hiraukan dia."

"Hana! ... Hana! ... sombong banget, lu," gerutu lelaki itu yang tampak kecewa dengan sikap istriku. 

Aku tak banyak berkata selain melaju motorku sesuai keinginan Hana. Sekilas kulihat wajah lelaki itu dengan seksama, kemudian kami berpisah berlawanan arah. 

"Aneh ... siapa sebenarnya lelaki itu, ya?" gumamku dalam hati. 

Bersambung. 

Mohon bantuan teman-teman klik love dan tinggalkan jejak di kolom komentar ya, supaya Author lebih semangat. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mansur Rabbani
Alhamdulillah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status