แชร์

Semua Bermula

ผู้เขียน: Mansur Rabbani
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2022-10-19 07:03:07

Namaku Robby Putra Pratama, anak pertama dari tiga bersaudara. Sejak lulus SMA aku sudah merantau ke Jakarta tepatnya daerah Cawang Jakarta Timur. 

Mengadu nasib di tanah orang kulakukan sebagaimana kebanyakan teman-teman sekampungku pasca lulus sekolah atas. 

Lima bulan bekerja sebagai pelayan cafe ternama yang selalu ramai oleh pengunjung, membuat pergaulanku cukup luas. Mulai dari kalangan anak muda, bapak-bapak hingga wanita sosialita yang hobinya menghamburkan uang dan bersenang-senang bersama teman-temannya menghabiskan malam ditemani nyanyian romantis di Cafe Cinta tersebut. 

Mengisi kesibukan, kuputuskan untuk kuliah di siang hari. Aku ingin suatu saat kelak bisa berkarir di tempat yang lebih baik. 

Setelah kuliah, aku semakin sibuk dan harus pandai membagi waktu antara belajar, bekerja dan beristirahat. Sesekali kulakukan refresing untuk menghilangkan penat. 

Selama hampir tiga tahun bekerja di cafe itu, rasa bosan mulai muncul, hingga akhirnya aku mengobrol dengan seorang wanita langganan cafe yang sedang sendirian duduk di pojok ruangan, Silvi namanya, usia 39 tahun. 

Wanita glamor itu datang bersama beberapa teman sosialitanya, namun teman-temannya sudah terlebih dahulu cabut, menyisakannya sendiri dengan wajah seperti menyimpan banyak masalah. 

Kuberanikan diri menyapanya, dan dia tampak senang ketika aku mencoba mengobrol dan mendengarkan keluh kesahnya. 

Hampir satu jam kami bertukar pikiran, kebetulan malam itu tugasku sudah rampung sejak satu jam sebelumnya, dan cafe sudah mulai sepi pengunjung. 

Keesokan harinya, hal yang sama kami lakukan. Mengobrol hingga pengunjung tak terlihat sepotong pun di sana. Tampaknya tante Silvi, biasa aku memanggilnya, mulai nyaman denganku yang selalu setia mendengarkan curhatan dan terkadang kuselipkan dengan support berupa masukan dan ide lainnya. 

Suatu hari, wanita yang merupakan istri seorang CEO perusahan bonafit di Jakarta Timur itu mengajakku bekerja di rumahnya. 

Melihat peluang yang bagus, di saat rasa bosan bekerja di cafe tersebut hadir, segera kuiyakan ajakanya. Tak lama kemudian aku bekerja di sana sebagai supir pribadi tante Silvi yang merupakan manager salah satu anak perusahaan suaminya. 

Dengan bermodalkan pengalaman menjadi supir angkot di kampung selama dua bulan pasca lulus sekolah sebelum merantau, mudah bagiku menyesuaikan diri sebagai supir pribadi wanita karir itu. 

Alhamdulillah gaji yang kuterima dua kali lipat dari pendapatanku sebagai pelayan cafe. Salah satu fasilitas yang kudapat adalah sebuah kamar yang cukup nyaman di salah satu bagian dari rumah besar itu. 

Di rumah itu ada dua asisten rumah tangga, bi Inah yang bertugas mengurus rumah dan memasak, serta mang Ujang sebagai tukang kebun dan keperluan umum. Sama denganku, mereka pun mendapat fasilitas yang sama berupa kamar tidur yang sangat nyaman. Tak ada security di sana, karena tante Silvi tinggal di komplek perumahan elit yang sistem keamanannya sudah terjamin. 

Di rumah itulah, tante Silvi sering datang ke kamarku malam-malam dan curhat seperti biasanya tentang kondisi kehidupan keluarganya bersama pak Hendrik sang CEO yang sudah berusia 50 tahun itu. 

Sudah enam bulan tante Silvi sering merasa kesepian karena pak Hendrik jarang pulang setelah menikah lagi dengan wanita yang lebih muda darinya. Hingga suatu malam, aku tersentak dengan keadaan tante Silvi yang tiba-tiba mengunci pintu kamarku dan mendesakku ke pojok kamar. 

"Maaf, tante. Tante mau apa!" Aku berusaha menjauh. 

Namun wanita itu tampak beringas, ia 'menyerangku' dengan tatapan dan gerakan seperti ingin mengambil hal yang berharga yang hanya akan kuberikan kepada istriku kelak. Tentu saja aku terkejut dan tak menyangka wanita itu akan nekat sedemikian rupa. 

"Tolongin tante, Robby!" suaranya menyayat hati. 

Aku berusaha keras menghindar dan menyadarkan wanita itu. Namun lama kelamaan pertahananku jebol juga, antara kasihan dengan kondisi tante Silvi yang selama ini tersiksa, dengan rasa takutku bertarung. Akhirnya aku kalah, hal berharga itu pun hilang. 

Rasa bersalah tentu ada, namun kedekatan emosionalku dengan wanita itu mengalahkan segalanya. Sisi jahat dalam diriku berkesimpulan 'Tante Silvi berhak bahagia'. 

Kebiasaan buruk itu pun terus berlangsung. Aku sudah menjadi tempat pelampiasan tante Silvi. Tentu setelah ia merengkuhnya, aku mendapat bayaran cukup besar bahkan lebih besar dari gajiku sebagai supir pribadinya. 

"Mas, kok bengong, ayo sarapan!" suara Hana membuyarkan lamunanku. 

"Iya, Sayang," jawabku sambil mengucak mata. 

Sebaiknya aku mengetes reaksi Hana. Aku berdiri dari tempat duduk dan seolah memeriksa sprei dan selimut, kupastikan Hana sedang memperhatikanku. 

"Kamu cari apa, Mas?" wajahnya terlihat tegang. 

"Oh, enggak apa-apa, Han." aku melangkah ke arahnya dan segera membaur dengan kedua orangtua Hana yang sudah siap sarapan di meja makan. 

"Ayo, By ..., kita sarapan," ucap Ustadz Hasan yang kemudian aku panggil abah di rumah itu. 

"Baik, Abah!" Kini aku sudah berhadapan dengannya dan di samping beliau, Umi Nisa, menyendokkanku nasi goreng telor ceplok yang sudah siap santap. 

Namun ada yang anah, Hana kok belum membaur. Sepertinya dia masih di kamar. 

Tak lama kemudian Hana tampak keluar dari kamar, kulirik sekilas ke arahnya, tampak Hana memberi isyarat kepada Umi agar mendekat. 

Aku meneruskan mengunyah sarapan, kulihat Umi menuju Hana di dekat pintu kamar. Hana berbicara pada Umi dengan raut muka agak tegang. Aku pura-pura tak melihat ketika kedua wanita itu berbarengan menatap ke arahku. 

Pasti ada yang mereka sembunyikan!

"By, alhamdulillah, akhirnya kamu kini benar-benar menjadi anak Abah."

"Alhamdulillah, Bah. Terimakasih Abah percaya sama Robby."

"Abah yakin kamu adalah imam yang tepat untuk Hana. Abah doakan, semoga pernikahan kalian langgeng dan kelak mendapatkan keturunan yang sholeh dan sholehah." 

"Aamiin." Kuangkat kedua tangan lalu mengusapkan telapaknya ke wajah. Setelah kedua telapak tanganku kuturunkan ke atas meja, Hana dan Umi Nisa sudah hendak menaruh bokong mereka di atas kursi. 

Segera kugeser piring yang sudah berisi nasi goreng ke hadapan Hana. 

"Ayo makan yang banyak, Han!" ucapku semangat sembari kuulas senyuman semanis mungkin. 

Aku harus berusaha menyembunyikan kegelisahanku dan mencairkan suasana di saat Hana dan Umi tampak tegang, entah apa yang mereka sembunyikan. 

***

Pagi yang cerah menyapa hari kedua pernikahanku. Seusai sarapan pagi, aku dan Hana sepakat untuk menikmati udara sejuk itu dengan berkeliling kampung menaiki sepeda motor. Jalan raya penghubung kampung satu dengan kampung lainnya yang sudah relatif mulus dengan aspal yang masih terlihat hitam mengkilap, membuat tarikan gas tipis motorku melajukan kedua rodanya tanpa hambatan. 

"Hana...."

"Iya, Mas."

"Terimakasih ya kamu mau menerima aku sebagai suamimu!" Kubuka komunikasi sehati-hati mungkin. 

Rasa penasaranku tentang 'rahasia' Hana masih mendominasi. Kuharap ini adalah waktu yang tepat. 

"Sama-sama, Mas ... aku juga berterimakasih, Mas mau menerima aku apa adanya."

"Ehem ... apa adanya atau ada apanya? Hehe...."

"Maksud Mas Robby?" ucap Hana tampak tercekat bercampur heran. Sengaja aku pancing sekalian menggodanya. 

"Iya lah, Han ... aku kan menikahi kamu cuma modal nekat, aku nggak punya harta apa-apa selain pekerjaan, sedangkan kamu dan Abah serta Umi kan punya banyak aset di kampung ini. Kebun, sawah, bahkan kontrakan juga kalian punya," pungkasku diiringi dengan kekehan kecil mencairkan suasana. 

"Kamu bisa saja, Mas!" Hana melingkarkan kedua tangannya di pinggangku, kemudian kepalanya ia sandarkan di punggungku. 

Kami pun benar-benar menikmati pagi itu dengan canda tawa ringan. Semakin aku mengombrol dengan istriku itu, semakin takut aku untuk menanyakan hal yang mengganjal hatiku ini. 

Tidid! 

Bunyi klakson dari seseorang mengejutkanku yang tengah asyik memadu hati dengan Hana. 

"Hai, Hana ... selamet ya. Maaf kemaren gua nggak bisa datang ke pernikahan kalian!" Seorang lelaki muda menyapa kami dengan senyuman sempurnanya. Tampak pria itu seperti orang asli Setu Bekasi. 

"Siapa itu, Han?" tanyaku pada Hana yang tak menjawab sepotong kata pun sapaan lelaki itu. 

"Jalan saja, Mas. Jangan hiraukan dia."

"Hana! ... Hana! ... sombong banget, lu," gerutu lelaki itu yang tampak kecewa dengan sikap istriku. 

Aku tak banyak berkata selain melaju motorku sesuai keinginan Hana. Sekilas kulihat wajah lelaki itu dengan seksama, kemudian kami berpisah berlawanan arah. 

"Aneh ... siapa sebenarnya lelaki itu, ya?" gumamku dalam hati. 

Bersambung. 

Mohon bantuan teman-teman klik love dan tinggalkan jejak di kolom komentar ya, supaya Author lebih semangat. 

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
ความคิดเห็น (1)
goodnovel comment avatar
Mansur Rabbani
Alhamdulillah
ดูความคิดเห็นทั้งหมด

บทล่าสุด

  • Taubatnya Mantan Pejantan Tangguh   Keguguran

    "Baiklah, Mas, aku akan mengaku dan mengatakan yang sebenarnya ....""Berarti benar, kamu hamil, Han?!" tanyanya dengan sorot mata yang menakutkan. Aku hanya mengangguk dan bersiap menjelaskan sedetailnya hal yang menderaku. "Terlalu kamu, Hana! ... tega kamu khianati cinta tulusku ini.""Mas, dengarkan dulu penjelasanku....""Mulai saat ini, jangan anggap lagi aku ini pacarmu, Han! ... Aku tak sudi punya pacar yang mengobral kehormatannya untuk orang lain. Kita putus!" Bowo bergegas meninggalkanku dan hendak masuk ke dalam mobilnya. Terlihat dia sangat terpukul menerima kenyataan ini. Aku harus mengejarnya dan menjelaskan semua. Aku tak ingin kehilangan calon imamku itu. "Mas, dengarkan dulu penjelasanku!" Kuraih bahunya agar ia mau berhenti dan berbalik badan serta mau mendengarkan fakta yang sebenarnya. Namun, Bowo bertahan dengan pendiriannya. Dihalaunya tanganku, dan segera ia tutup pintu mobilnya kemudian menghidupkan mesin dan menginjak pedal gas dengan tak pelan, bahkan su

  • Taubatnya Mantan Pejantan Tangguh   Ketahuan Hamil

    Beberapa bulan lagi aku akan diwisuda, itu menjadi pertimbangan utama aku dan Indah harus menutup rapat aib ini, selain menghindari mudhorot yang jauh lebih besar tentunya. Tugas akhir sudah hampir rampung, tapi entahlah, dengan fisik dan psikisku yang jatuh terjun bebas seperti ini, aku tak yakin bisa meraih cita-citaku juga Abah dan Umi yakni menjadi Sarjana Pendidikan. Dua hari aku tak berangkat ke kampus. Selain beristirahat untuk recovery, aku pun malu jika harus bertemu Bowo di sana. Sengaja gawaiku pun aku matikan agar dia tak bisa meneleponku. Aku belum mau bicara apapun padanya saat ini. Satu pekan kulalui dengan status calon ibu. Siang malam aku dan jabang bayi selalu bersama kemanapun aku pergi. Stress begitu mudah datang tanpa jadwal yang menentu, namun Indah yang selalu menemaniku selalu menenangkan dan mengajakku meniti jalan yang seharusnya. Sekarang semua kembali normal seperti biasa. Aku berusaha keras agar kegiatanku sebagai mahasiswa tak ada yang berubah. Begitup

  • Taubatnya Mantan Pejantan Tangguh   Apa?! Aku Hamil?

    Mengenalnya membuatku terbuka akan idealisme seorang lelaki sejati. Wawasan luas, perangai santun dan kesetiaannya, membuatku semakin jatuh cinta. Perbowo memang berbeda dengan lelaki yang pernah kukenal. Sejak ia menyatakan perasaannya setelah mengenal aku kurang lebih satu bulan, kami selalu saling support. Walau tak seperti pasangan teman-teman satu kosan yang rutin datang setiap malam minggu, bahkan bisa dihitung dengan jari ia berkunjung ke sana, Bowo selalu spesial di mataku. "Jangan lupa sholat ya, Han!""Kamu sudah makan belum?""Jangan diforsir, ya, belajarnya, meski ujian di kampus sedang banyak, kamu harus jaga kesehatan, istirahat yang cukup, Han."Perhatian seperti itu bukan hanya sebagai pemanis hubungan saja, atau hanya main-main dalam rangka menarik perhatianku, bukan, bukan seperti itu tipe pacarku itu. Aku tahu betul kebiasaannya dan sifatnya, dia benar-benar tulus. Pria yang tak ingin menghabiskan waktu percuma itu, selalu punya waktu untuk menjaga kebugarannya.

  • Taubatnya Mantan Pejantan Tangguh   Masa Lalu Hana

    "Hana, apa betul apa yang dikatakan Robby?" tanya Abah penasaran. "Abah...." Kupeluk lelaki paruh baya yang sangat kucintai dan mencintaiku itu. Tak kuasa aku menjawab langsung pertanyaannya. Hanya tangis sesegukan yang bisa kuberikan bersama pelukan erat tubuh ringkihnya. Rahasia yang selama ini aku dan Umi simpan rapat-rapat, akhirnya harus diketahui Abah. "Ada apa lagi, Hana?" Suara khawatir Umi memecah kebekuan."Umiii...." Kini wanita yang setia menemani Abah itu kupeluk erat. "Kamu kenapa, Han? Mana Robby?"Lagi-lagi, aku tercekat, tak kuasa menjelaskan kejadian terakhir yang baru saja terjadi. "Sudah, sekarang kita duduk dulu, kamu tenangkan diri dulu, Hana," ajak Abah bergetar. Setelah aku berhenti menangis, Abah kembali ke topik pembicaraan. Kulihat wajahnya sangat serius dan muram."Katakan sama Abah, apa sebenarnya yang terjadi, kenapa Robby bilang kalau kamu sudah tidak peraw*n sebelum menikah dengannya?!" tanya Abah tegas. "Ya Allah ...." Umi tampak terkejut, telapak

  • Taubatnya Mantan Pejantan Tangguh   Kabar Buruk

    "Apa kabar, Paman, Bibi, Hana?""Alhamdulillah kami sehat semua, Mal." ucap Abah mewakili aku dan Umi. "Maaf, Paman ... saya baru sempat main, maklum pengantin baru, Paman. Selain itu, bos saya kadang-kadang menelepon minta saya nemenin dia, Paman," ucap Jamal, sepepuku yang pagi ini silaturahim ke rumah Abah bersama istrinya. "Nggak apa-apa, Mal. Yang penting, kalian sehat semua ... ayo di minum tehnya!"Kami pun menikmati kudapan yang tersedia. Suasana hangat sangat terasa dalam perbincangan kami. Apalagi Jamal dan Ayu masih dalam masa-masa penuh bunga cinta setelah empat hari lalu melangsungkan pernikahan. Terpaut jarak dua bulan dengan pernikahanku."Hana, maafin aku ya, pas kamu nikahan, aku nggak bisa hadir," ucap Jamal yang berbadan kekar, berkulit gelap dengan tato yang menyembul di balik lengan kemejanya. "Nggak apa-apa, Mas Jamal, aku dan suamiku juga nggak bisa datang pas sampean nikahan. Maaf ya, waktu itu suamiku habis kecelakaan.""Iya, Han, Paman sudah cerita waktu i

  • Taubatnya Mantan Pejantan Tangguh   Rahasia Terbongkar

    "Kamu kenapa, Mas?" tanya Hana penuh kecemasan mendapatkan wajahku nyaris tak berbentuk. Aku hanya diam. "Mas, siapa yang menghajar kamu seperti ini, Mas?!" Hana terus memburuku dengan pertanyaan yang sebenarnya membuatku sedikit kesal. "Sudah lah, Han ... nanti kuceritakan, lebih baik kamu buatkan aku teh manis dan air hangat, aku ingin mandi."Hana tak melanjutkan kecemasannya dengan mengintrogasiku lebih lanjut, mungkin ia sadar, seharusnya memang segera membersihkan lukaku dan melayani kebutuhanku, termasuk untuk tidak banyak bertanya di saat seperti ini. Aku rebahkan tubuh yang terasa remuk. Sakit yang sedari pertama masuk taksi, masih sangat menggangguku. Hanya dalam posisi miring ke kanan, tubuhku tak merasakan sakit. Tak berapa lama kemudian Hana membawakan aku minuman hangat dan baskom yang berisi air panas serta sehelai waslap. Setelah kuseruput teh manis hangat, Hana membersihkan luka di wajahku dan di beberapa bagian tubuh lain. "Mas, kamu nggak usah mandi ya, cukup d

  • Taubatnya Mantan Pejantan Tangguh   Bunuh Saja Aku!

    "Bagus ... bagus! Kalian memang pasangan yang sangat serasi!" ledek Om Hendrik. "Papah! Lepaskan Robby, Pah!" teriak Tante Silvi. "Maah, Mamah ..., kamu itu orang yang tak pernah berterimakasih, ya. Padahal aku sudah memberikan segalanya untuk kesenangan kamu, Mah ...!""Papah salah, selama ini aku tak pernah bahagia, Pah. Apalagi setelah Papah menikahi wanita jalang itu, sakit hatiku, Pah, sakit!""Lalu kenapa kamu justru selingkuh sama sopir kamu sendiri, Hah?!" bentak Om Hendrik tepat di depan wajah tante Silvi setelah sebelumnya tangannya menjambak ramput istrinya yang tangannya sudah di pegangi oleh kedua lelaki kekar tadi. Dalam kondisi terbelenggu dan tak berkutik, Tante Silvi seolah tak takut dengan perlakuan suaminya yang kasar itu."Ceraikan saja aku, Pah!""Hahaha ..., enak saja kamu minta cerai, Mah. Seribu kali kamu minta itu, tak akan pernah aku kabulkan satu kali pun. Kamu itu milikku, Mah!" teriak Om Hendrik. "Om! Hentikan, Om!" teriakku. "Semua ini salah, Om, sen

  • Taubatnya Mantan Pejantan Tangguh   Dijebak Tante Silvi?

    "Kiri, Pak!" suara beberapa orang berteriak sembari mengetuk langit-langit bus. Driver pun melambatkan laju mobilnya dengan menginjak pedal di samping kiri pedal gas hingga benda kotak panjang dan tinggi itu berhenti tepat di sebuah halte. Terlihat di seberang halte bus tersebut adalah kampus UKI. Rupanya si Bowo pun ikut turun. Satu, dua, tiga orang sudah turun, kini giliran pemuda itu yang melangkah keluar. "Tunggu, Pak supir!" tetiba saja aku bergerak ikut turun juga dari mobil. Pertarungan batin sedari tadi dimenangkan oleh rasa penasaran yang tinggi akan sosok Bowo dengan masa lalunya. "Tahan ... tahan, di belakang ada yang turun juga ...!" teriak kondektur. Kubuka pintu belakang, dan bergegas melangkah keluar setelah kuperiksa bawaanku tak ada yang tertinggal di mobil. Beberapa penumpang yang ingin naik sudah berada di depan pintu yang kubuka. Mereka sedikit menghalangi jalanku menuju tempat si Bowo berdiri yang keluar melalui pintu depan. Setelah berhasil tubuh para penum

  • Taubatnya Mantan Pejantan Tangguh   Pertolongan Bowo

    "Nggak ngomongin yang lain 'kan, Mas?""Maksud, kamu?" tampak Hana bingung menjawabnya. Apakah sekarang waktu yang tepat ya mengintrogasi Hana tentang Bowo? "Hana ....""Eh ..., iya, Mas ....""Kok, malah bengong, sih!""Mhh ... maaf, ya, Mas ... a ... aku lagi kepikiran abah dan umi," ucapnya gugup. Pastinya Hana khawatir sekali aku mengintrogasinya terkait perkataan tante Silvi tentang, Bowo.Ah, lebih baik tak kuteruskan, deh, daripada nanti Hana bertanya lebih jauh tentang tante Silvi, bisa repot urusan. Masalah Si Bowo, nanti saja, menunggu waktu yang tepat."Mas ..., aku boleh bertanya sesuatu tidak?" Aduh, Hana mau bertanya tentang apa ya? "Mau tanya apa, Han?""Maaf, Mas ..., tadi aku sekilas mendengar percakapan kamu dengan tante Silvi ..., sebenarnya, tante Silvi itu siapa sih, Mas?"Tiba-tiba dadaku berdegup, apakah Hana sempat melihat aksi nekat tante Silvi yang menggodakku tadi? "Ta ... tante Silvi, ya, tanteku, lah, Han!""Tadi dia mengatakan ingin menagih janji kep

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status