“Morning, Mia cara” bisik Marco, kecupan demi kecupan ia berikan pada wajah Hiriety. Sentuhannya lembut, namun penuh gairah terpendam. Hiriety merapatkan mata, merasakan sensasi yang luar biasa. Kulitnya terasa hangat dan bergetar di setiap sentuhan Marco dari balik selimut yang membungkus tubuh mereka
"Berhubung tadi malam aku bertingkah baik dengan menghangatkanmu," Marco berbisik, suaranya terdengar sedikit menggoda, "bolehkah aku mendapat hadiah?" Pertanyaannya polos, namun ada sedikit tekanan di dalamnya
“Hadiah apa yang kau inginkan?" Suaranya terdengar sedikit ragu, namun ada sedikit godaan di dalamnya.
“Ini” tunjuk Marco
Hiriety tersenyum tipis “Kau bukan bayi”
Marco menyeringai, matanya berkilat-kilat. “Oh, menurutmu hanya bayi yang butuh susu?”
Marco melanjutkan kecupan-kecupannya, turun dari pipi ke leher Hiriety. Ia meninggalkan jejak basah di kulit Hiriety
“Aku j
“Morning, Mia cara” bisik Marco, kecupan demi kecupan ia berikan pada wajah Hiriety. Sentuhannya lembut, namun penuh gairah terpendam. Hiriety merapatkan mata, merasakan sensasi yang luar biasa. Kulitnya terasa hangat dan bergetar di setiap sentuhan Marco dari balik selimut yang membungkus tubuh mereka"Berhubung tadi malam aku bertingkah baik dengan menghangatkanmu," Marco berbisik, suaranya terdengar sedikit menggoda, "bolehkah aku mendapat hadiah?" Pertanyaannya polos, namun ada sedikit tekanan di dalamnya“Hadiah apa yang kau inginkan?" Suaranya terdengar sedikit ragu, namun ada sedikit godaan di dalamnya.“Ini” tunjuk MarcoHiriety tersenyum tipis “Kau bukan bayi”Marco menyeringai, matanya berkilat-kilat. “Oh, menurutmu hanya bayi yang butuh susu?”Marco melanjutkan kecupan-kecupannya, turun dari pipi ke leher Hiriety. Ia meninggalkan jejak basah di kulit Hiriety“Aku j
Penerbangan dari Milan ke Stockholm dilakukan dengan pesawat komersial atas permintaan Hiriety. Entah kenapa wanita itu menolak menggunakan jet pribadi padahal mereka jelas memilikinya.Marco sempat tak setuju tapi apapun alasannya, Marco tetap kalah dan mengikuti kemauan Hiriety. Selama perjalanan Hiriety selalu bungkam, dia tak mengucapkan apapun dan hanya menjawab dengan deheman saat Marco bertanya.Sesampainya di Stockholm, mereka langsung menuju ke hotel yang telah dipesan Marco. Hotel tersebut terletak di lokasi yang strategis, dekat dengan tempat-tempat wisata dan restoran. Kamar hotel mereka luas dan nyaman, dengan pemandangan kota Stockholm yang indah saat musim dingin.“besok sore kita berangkat ke Abisko dengan kereta malam SJ” Ucap Marco setelah meletakan koper di sudut kamarHiriety tidak langsung menjawab. Ia berdiri di dekat jendela besar, menatap keluar ke arah gedung-gedung yang diselimuti s
Setelah memijat seluruh tubuh Hiriety, Marco membilas minyak terapi dengan air hangat. Ia membantu Hiriety keluar dari bathtub, menyelimuti tubuhnya dengan handuk lembut.Marco mengeringkan tubuh Hiriety dengan lembut, menelusuri kulitnya dengan gerakan yang sensual.“My baby girl” Bisik Marco serak dan dominanHiriety merinding, bukan hanya karena sentuhan Marco yang sensual, tetapi juga karena bisikannya yang dominan, penuh gairah terpendam. Kata-kata "My baby girl" terasa seperti sebuah klaim kepemilikan.Setelah mengeringkan tubuhnya, Marco membungkus Hiriety dengan jubah mandi lembut. Ia menggendong Hiriety menuju ranjang yang empuk, meletakkannya dengan lembut.“Ada rencana untuk malam ini?” tanya Marco“Aku ingin pulang saja” jawabnya. Melihat kerutan dikening Marco, Hiriety menambahkan “Ke apartemenku” JawabnyaMarco mengangguk, meskipun
Uap hangat memenuhi kamar mandi yang lebar itu. Hiriety berendam di dalam bathtub besar yang terbuat dari marmer putih, air hangat membasahi tubuhnya yang lentur.Cahaya lilin yang bertebaran di sekitar bathtub menciptakan suasana yang romantis dan intim. Ia memejamkan mata, merasakan relaksasi yang luar biasa setelah penerbangan panjang dan gairah yang membara. Alunan musik klasik yang lembut mengalun pelan dari speaker tersembunyi, menciptakan suasana yang semakin menenangkan. Aroma lavender yang lembut dari sabun mandi memenuhi udara, menambah kedamaian yang ia rasakan.Tangannya terulur, menggapai segelas wine merah yang diletakkan di tepi bathtub. Ia menyesapnya perlahan, merasakan sensasi hangat yang menyebar di tenggorokannya. Anggur itu terasa begitu nikmat, menambah relaksasi yang ia rasakan. Pikirannya melayang, mengenang kejadian-kejadian yang telah terjadi.Sesekali Hiriety tersenyum konyol, bayangan Marco yang bertingka
Untuk pertama kalinya, Hiriety tak tertidur atau sekedar merasa bosan selama penerbangan panjang. Hal itu terjadi karena pria yang kini sedang memeluknyaMarco Valley.Kecupan demi kecupan lembut terasa di punggungnya, setiap sentuhannya seperti percikan api kecil yang membakar kulitnya. Aroma maskulin yang khas memenuhi indranya, membuatnya merasa terbiasa dengan aroma itu.Suasana di kabin pesawat yang sunyi hanya diiringi suara mesin pesawat yang berdengung samar, menciptakan suasana yang intim dan sensual.Marco membisikkan kata-kata lembut di telinganya, suaranya serak dan penuh gairah. "Mia cara..." bisiknya. "Kenapa kau indah sekali?" Pertanyaannya lebih seperti pernyataan, suaranya dipenuhi kekaguman. Jari-jarinya masih setia mengelus punggung Hiriety, sementara gerakan bokongnya yang memompa tubuh Hiriety dari belakang semakin cepat, intensitasnya meningkat.Hiriety mendesah, suaranya teredam di antara rambutnya yang terurai. Ia menikmati
Hiriety bersandar nyaman di kursi kelas bisnisnya yang luas. Kabin dengan kapasitas 8 orang itu hampir kosong, hanya ada dirinya sendiri, padahal Hiriety mengambil penerbangan mendadak dan menggunakan pesawat komersil.Mengabaikan itu, Ia menutup mata menikmati ketenangan sebelum penerbangan panjangnya ke Milan. Otaknya mencoba melupakan kejadian menegangkan beberapa jam lalu. Namun, ketenangan itu sirna begitu cepat.Sebuah bayangan familiar muncul di pinggiran penglihatannya. Ia membuka mata dan melihat Marco duduk di kursi di depannya. Pria itu tampak cuek, menatap layar ponselnya tanpa menunjukkan tanda-tanda mengenali kehadirannya.Hiriety tersenyum tipis. Harusnya Hiriety curiga dengan business class yang kosong seperti ini. Jelas sekali jika semuanya sudah diatur.“Hallo sir..” Hiriety menyapa dengan tenang, layaknya mereka bukanlah orang yang pernah berbagi k
“Nona Walton meninggalkan mansion, Tuan”Marco menatap layar ponselnya yang menyala, sebuah pesan yang berisikan informasi tentang Hiriety“Tetap ikuti dan beritahu dimanapun dia berada” Marco mengetikan balasan dengan cepat“Baik Tuan”Beberapa detik setelah percakapan itu berakhir, Marco menatap layar ponselnya tanpa berkedip. Hening menguasai ruang kerjanya, hanya suara detik jam di dinding yang terdengar samar.Marco meletakan ponselnya di meja. Ia berdiri dari kursinya, melangkah menuju jendela kamarnya. Matanya agak sayu karena tak tidur semalam dan pemandangan kota Washington yang meluas terbentang di hadapannya tak menjadi pemandangan indah baginyaPikirannya masih tertarik pada Hiriety, pada wanita yang telah mencuri perhatiannya, seluruh jiwanya dan mengacaukan perasaannya.Marco memejamkan netra gelapnya yang sayu, mengingat pertemuan terakhirnya dengan Hiriety.Sentuhannya, aroma
Hiriety terbaring di tempat tidur, selimutnya kusut. Keringat dingin membasahi dahinya, rambutnya menempel di pipi. Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya gemetar. Ia bergumam, suaranya hampir tak terdengar.“Denzel... jangan... tolong...”Ia membalikkan badan, mencoba menghindari sesuatu yang mengerikan dalam mimpinya. Namun, bayangan itu terus mengejarnya. Wajah penuh intrik dari seorang Denzel Stallone, muncul di benaknya.“Jangan sentuh aku... aku takut...”Hiriety mencengkeram selimutnya erat-erat, jari-jarinya pucat karena ketakutan. Ia mengingat kembali masa lalu, saat ia masih muda dan naif. Denzel, pengawal yang seharusnya melindunginya, malah memanfaatka
“Kupikir kau takkan datang” Erasmus berucap dengan tenang. Asap kopi di depan mereka masih mengepul, menandakan jika obrolan mereka baru dimulai.Marco Valley mengangkat bahu, senyum tipis bermain di bibirnya “Aku punya cukup waktu untuk bicara dengan seorang pria yang sebentar lagi akan tertangkap dan mati”Decihan pelan terdengar dari bibir Erasmus “Aku tahu kau yang melaporkan posisiku pada FBI” suaranya datar tanpa emosi. Mata kehijauan itu menatap Marco, tajam seperti pisau yang baru diasah.Marco Valley tersenyum, senyum yang dingin dan tanpa ampun. “Kau terlalu pintar untuk seorang buronan, Erasmus ah salah identitasmu sekarang adalah Daniel Cross...” Marco menyesap kopinya dengan tenang, menikmati reaksi Erasmus yang tertekan.“Bisakah kusimpulkan jika kau berkhianat, kau dan aku sepakat untuk bersaing dengan sehat” Ucap ErasmusMarco terkekeh “Aku bukan sekutumu, jadi agak a