Kedua manusia tanpa status yang jelas itu melangkah keluar dari kabin, membelah salju tipis yang mulai membeku di jalan setapak. Malam sudah menggulung sempurna langit Abisko, namun bukan malam pekat yang mencekam—melainkan malam hening, seperti panggung raksasa yang menunggu tirainya dibuka.
Hiriety menggigil kecil saat udara menggigit pipinya, tapi Marco segera menggenggam tangannya, mengusapnya hangat dengan kedua telapak.
“Jangan jatuh sakit. Aku tidak pandai merawat orang sakit,” ucap Marco pelan.
“Lucunya, aku tidak percaya,” balas Hiriety setengah skeptis, separuh lagi masih berjuang menahan dingin.
Mereka berhenti di tengah lapangan terbuka, tidak jauh dari lodge, tempat pepohonan tidak terlalu rapat dan langit terbuka lebar. Hanya ada suara salju yang remuk perlahan di bawah kaki, dan embusan angin yang lembut, nyaris seperti bisikan.
Lalu, di detik itu—langit mulai bergerak.
Sebuah kilasan cahaya
Pagi itu, sinar matahari yang lemah menyusup melalui tirai tipis kamar Hiriety. Hiriety masih menggeliat malas di bawah selimut ketika ponsel Marco berdering pelan di meja samping ranjang.Marco meraih ponsel dengan satu tangan, berusaha tidak membangunkan Hiriety yang bersandar di dadanya.Nama Yurid tertera di layar—asisten kepercayaannyaMarco menjawab dengan suara rendah, “Ya?”“Tuan, Dewan Direksi ingin mengatur pertemuan darurat. Ada perkembangan terkait akuisisi DormanTech. Anda bilang akan ke Washington akan kembali hari ini kan? Tanggal 18” suara Yurid terdengar tegas, penuh urgensi.“Hmmm siapkan penerbanganku malam ini”“Baik Tuan”Marco menutup panggilan itu dengan gumaman tak senang. Ia mendesah berat dan memejamkan mata sejenak, sebelum menoleh ke arah wanita di sampingnya. Hiriety masih terjaga, menatapnya dengan mata setengah terbuka.“Masalah besar?&rd
Penerbangan menuju Milan memakan waktu hampir enam jam. Hiriety lebih banyak tidur sepanjang perjalanan, kepalanya bersandar di bahu Marco. Dan ketika pesawat mendarat di bandara Malpensa dan roda menyentuh tanah, Hiriety terbangun dengan helaan napas pelan.Kota Milan menyambut mereka dengan udara musim dingin yang lebih lembab, tapi tidak setajam Kiruna. Gedung-gedung tinggi dan lampu-lampu kota memberi kesan seolah dunia nyata telah menanti merekaBawahan Marco sudah menunggu di luar dan menyerahkan kunci mobil padanya. Begitu masuk ke dalam mobil, Marco langsung membuka pesan-pesan di ponselnya—deretan laporan, notifikasi penting, dan beberapa panggilan tak terjawab dari bawahannya.Tapi saat menoleh ke sisi lain, melihat Hiriety yang sedang menatap keluar jendela dengan wajah dingin namun tatapan kosong, dia mematikan layar ponselnya dan menyelipkannya ke saku jas.“Apa rencanamu besok?” tanya Marco, memecah keheningan.Hirie
Pagi berikutnya, salju turun lebih deras. Langit abu-abu seperti kapas basah, dan dunia seolah diselimuti diam. Hiriety berdiri di luar kabin, memakai mantel putihnya, memandangi bentangan salju yang membeku. Sementara itu Marco di dalam sedang menyiapkan sarapan, tapi tak henti mencuri pandang ke arah jendela—seolah memastikan wanita itu tidak menghilang.Ketika Hiriety akhirnya masuk kembali, aroma roti panggang dan telur memenuhi ruangan.“Kau benar-benar akan jadi istri yang manja kalau terus kulayani begini” goda Marco sambil meletakkan piring di meja.Hiriety mencibir. “Dan kau akan jadi pria yang menawan kalau terus memanjakanku begini. Ah gila juga..”“Bukankah kita sudah sepakat kalau kita memang saling gila?”Hiriety duduk, menatap Marco dengan intens. “Kalau nanti aku pergi tanpa pamit, kau akan mencariku sampai ke ujung dunia?”Marco tak berkedip. “Aku akan mencarimu bah
Kedua manusia tanpa status yang jelas itu melangkah keluar dari kabin, membelah salju tipis yang mulai membeku di jalan setapak. Malam sudah menggulung sempurna langit Abisko, namun bukan malam pekat yang mencekam—melainkan malam hening, seperti panggung raksasa yang menunggu tirainya dibuka.Hiriety menggigil kecil saat udara menggigit pipinya, tapi Marco segera menggenggam tangannya, mengusapnya hangat dengan kedua telapak.“Jangan jatuh sakit. Aku tidak pandai merawat orang sakit,” ucap Marco pelan.“Lucunya, aku tidak percaya,” balas Hiriety setengah skeptis, separuh lagi masih berjuang menahan dingin.Mereka berhenti di tengah lapangan terbuka, tidak jauh dari lodge, tempat pepohonan tidak terlalu rapat dan langit terbuka lebar. Hanya ada suara salju yang remuk perlahan di bawah kaki, dan embusan angin yang lembut, nyaris seperti bisikan.Lalu, di detik itu—langit mulai bergerak.Sebuah kilasan cahaya
“K-kau.. tidak serius kan?”“Menurutmu?” Goda Marco dengan satu alis terangkat jahil“Gila!!”Marco terkekeh “Aku bercanda, Mia cara~~”Hiriety mendengus, dengan sengaja dia berjalan melewati Marco dan menyenggol badan tegap pria itu “Aku tidur dulu sampai sore. Bangunkan kalau langitnya sudah hijau” ucapnya sambil menutup matanya saat sudah berbaring di ranjangMarco hanya tersenyum. Ia duduk di pinggir tempat tidur, menatap Hiriety yang mulai tenggelam dalam kantuk.Dalam diamnya, Marco mengulurkan tangan dan menyentuh rambut Hiriety pelan, menyapukan jemarinya lembut di ujung-ujung helai cokelat tua itu. Ia tahu perasaannya tidak bisa dianggap normal. Ia terobsesi. Tapi bukan obsesi yang ringan atau sementara seperti yang dia rasakan pada Selena.Ia tahu dirinya butuh Hiriety seperti tubuh butuh oksigen.Dan ia tahu Hiriety pun begitu, meskipun wanita itu meno
Menjelang pagi, kereta mulai mendekati kawasan pegunungan. Salju semakin tebal di luar, dan langit perlahan berubah warna dari hitam pekat ke biru keabu-abuan. Di kejauhan, tampak siluet pegunungan yang menjulang, dikelilingi hutan pinus yang tertutup salju.Sekitar pukul lima pagi, suara speaker dalam gerbong mulai terdengar. Suara pelan namun tegas menyebutkan bahwa mereka akan tiba di Abisko Turiststation dalam lima belas menit.Hiriety bangun lebih dulu, menyibak selimut, lalu berdiri untuk mengganti pakaian. Marco, yang masih setengah tertidur, memandangi punggung Hiriety dari balik selimut. Matanya menyipit karena cahaya, tapi senyumnya muncul pelan.“Mia cara..” panggilnya“Hmm” jawab HirietyTak puas dengan jawaban itu, Marco menyandarkan kepalanya dengan kirinya dan menatap Hiriety lekat “Mia cara~~” panggilnya merayuHiriety menoleh dengan wajah yang cenderung kesal “Apa?!” tanyanya
Menjelang pukul tiga pagi, kereta berhenti di salah satu stasiun kecil di utara. Hanya dua atau tiga orang yang turun. Hiriety terbangun sebentar karena getaran rem, lalu mendapati Marco masih memeluknya erat dari belakang.Ia mendengar suara napas pria itu—dalam dan tenang. Tapi ketika ia mencoba menjauh perlahan untuk duduk, Marco bergumam dalam setengah sadar, “Jangan pergi, Hirie.”“Aku cuma mau ambil air” jawabnya pelan sambil menepuk tangan Marco yang melingkar di pinggangnya.Marco tidak menjawab. Tapi saat Hiriety kembali beberapa menit kemudian, ia mendapati Marco kini duduk di tepi tempat tidur, menatap jendela yang diselimuti embun.“Tak bisa tidur lagi?” tanya Hiriety sambil naik ke tempat tidur lagi.Marco menoleh, lalu tersenyum. “Takut auroranya muncul dan kau melihatnya tanpa aku.”Hiriety tersenyum, menggulung selimut dan bersandar ke bahunya. “Kita bahkan belum sam
Matahari mulai merendah ketika Marco dan Hiriety tiba di Stasiun Sentral Stockholm. Suasana stasiun cukup ramai, dengan para penumpang yang membawa koper-koper besar dan jaket tebal, sebagian besar tampak seperti turis yang hendak mengejar pengalaman musim dingin di utara Swedia.Di papan elektronik, kereta malam tujuan Abisko tertulis dengan jelas: SJ Night Train – Northbound to Kiruna, stopping at Abisko Turiststation.“Ini dia” ujar Marco sambil menarik koper Hiriety dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya menggenggam tangan Hiriety dan menyelipkannya ke dalam saku coat-nya yang hangat. Hiriety tidak menolak.“Kau bawa senjata?” tanya Hiriety tanpa menoleh, berjalan sejajar di samping Marco. Ia mengenakan coat krem panjang dan syal abu-abu yang membungkus lehernya dengan rapi. Butiran salju tipis mulai turun, menghiasi rambut dan pundaknya seperti serpihan kaca.Marco mengangguk, menunduk sedikit untuk me
“Morning, Mia cara” bisik Marco, kecupan demi kecupan ia berikan pada wajah Hiriety. Sentuhannya lembut, namun penuh gairah terpendam. Hiriety merapatkan mata, merasakan sensasi yang luar biasa. Kulitnya terasa hangat dan bergetar di setiap sentuhan Marco dari balik selimut yang membungkus tubuh mereka"Berhubung tadi malam aku bertingkah baik dengan menghangatkanmu," Marco berbisik, suaranya terdengar sedikit menggoda, "bolehkah aku mendapat hadiah?" Pertanyaannya polos, namun ada sedikit tekanan di dalamnya“Hadiah apa yang kau inginkan?" Suaranya terdengar sedikit ragu, namun ada sedikit godaan di dalamnya.“Ini” tunjuk MarcoHiriety tersenyum tipis “Kau bukan bayi”Marco menyeringai, matanya berkilat-kilat. “Oh, menurutmu hanya bayi yang butuh susu?”Marco melanjutkan kecupan-kecupannya, turun dari pipi ke leher Hiriety. Ia meninggalkan jejak basah di kulit Hiriety“Aku j